Indonesia Kembali berduka. Haringga
Sirila (Haringga, 23 Tahun), supporter Persija (Jakmania) tewas dikeroyok “bobotoh”
Persib sebelum laga Klasik Persib vs Persija di Stadion Gelora Bandung Lautan
Api. Dunia sepakbole Indonesia kemudian berduka. Korban “akibat” perseteruan
klasik Sepakbola.
Proses hukum tengah berlangsung. Para
pelaku kemudian diproses dengan menerapkan pasal 170 KUHP. Pasal yang dikenal
sebagai “pengeroyokan” yang mengakibatkan “matinya orang lain”.
Tanpa mengganggu proses hukum,
kekerasan atas nama masih sering terjadi di Indonesia.
Di Pilkada, sekedar catatan
menggambarkan konflik yang terjadi dibeberapa daerah seperti Empat Lawang (Juni 2018), Sindereng Rappang (Februari
dan April 2018), Intan Jaya Papua (Agustus 2017), Palopo (Maret 2013), Tolikara
(Februari 2012).
Di konser
Musik, Metallica di Stadion Lebak Bulus (1993) salah satu konser yang berakhir
kerusuhan. Konser yang bermula harga tiket karcis yang terlalu mahal. Padahal
Metallica digandrungi kaum muda dan mahasiswa.
Selain itu juga dikenal Pertunjukan
Musik Summer 28 di Pasar Minggu Jakarta. Atau God Bless (1974), Pesta Musik
Udara Aktuil (1975),
Konser Tunggal Iwan Fals semula
sempat rusuh namun kemudian dapat ditenangkan oleh Iwan Fals (2016). Dengan
suara meyakinkan para penggemarnya (Orang Indonesia/Oi) kemudian menghentak
Lagu “HIO” akhirnya penonton menjadi tertib.
Padahal tahun 2005, Konser Bersatu
dalam Damai, Tour Iwan Fals dan Slank sempat 50 orang mengalami bocor dibagian
kepala akibat kerusuhan. Begitu juga Konser Iwan Fals dan Padi sempat rusuh
tahun 2002.
Membaca konflik-konflik yang
berakhir rusuh seperti Sepakbola, Pilkada dan konser music, hanya pertandingan
sepakbola yang kemudian belum mempunyai desain untuk menekan bahkan untuk
mengurangi kerusuhan.
Terlepas masih adanya konflik akibat
Pilkada, namun “kedewasaan’ public didalam melihat pilkada menunjukkan kemajuan
yang berarti. Berbagai Pilkada serentak justru menampakkan angka-angka yang
menggembirakan. Berbagai pilkada kemudian berakhir dengan damai dan tenang.
Begitu juga konser music. Perbaikan
dengan “menjaga penggemar fanatic” konser music sudah jauh menunjukkan
kemajuan. Berbagai klub-klub penggemar fanatic group music sudah tidak
terdengar lagi terjadinya kerusuhan.
Berbanding terbalik dengan
pertandingan sepakbola. Pertandingan klasik dengan pendukung seperti Jakmania,
The Viking (bobotoh), Bonek, Aremania merupakan “degup” panjang nafas untuk
menyelesaikan pertandingan. Entah berapa kali sesame pendukung kemudian
berakhir bentrok atau kerusuhan. Berbagai upaya para pengurus pendukung untuk
menertibkan para pendukungnya. Namun belum mampu menyelesaikan akar masalah.
Terlepas dari peletup kerusuhan
seperti “kepemimpinan wasit”, “ejekan sesama pendukung, akar masalah terjadinya
kerusuhan sering kali tidak diselesaikan dengan tuntas.
Pemberian hukuman seperti “pertandingan
tanpa penonton, pertandingan diluar daripada stadion yang ditentukan maupun
berbagai factor-faktor lain belum mampu menyelesaikannya.
Padahal kompetisi sudah berjalan
dengan baik, Liga sudah berputar rutin, pemberian fasilitas terhadap para
pemain, transfer pemain yang semakin baik, ternyata belum mampu memberikan
pelayanan optimal kepada para pendukung. Berbagai upaya belum mampu
menghasilkan pendukung fanatic yang tidak berakhir rusuh.
Yang sering dilupakan adalah melihat
kerusuhan sebagai “muara” dari “permukaan” kemudian menyesali dengan dijatuhi
korban. Drama teatrikal kemudian hanya berujung seperti “salaman para pengurus
pendukung fanatic, aksi teatrikal seperti “duka cita dengan mendatangi rumah
korban” atau drama-drama yang hanya menyelesaikan sesaat. Tanpa menyentuh akar
dari kerusuhan.
Padahal “kerusuhan” merupakan
akumulasi konflik berbagai factor dan identitas para pendukung fanatic sebagai
wujud kecintaan terhadap klub sepakbola. Entah kehidupan ekonomi, kekerasan
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, perlawanan dari dominasi ekonomi
bahkan “bentuk perlawanan” dan symbol dari ketertekanan hidup sehari-hari.
Dalam letupan dari akumulasi
persoalan sehari-hari, maka berkumpulnya para pendukung kemudian dapat meletup
dengan issu-issu sepele. Sosiologi kemudian menyebutkan sebagai “kerumunan”.
Yang sulit dikendalikan dan kemudian cenderung brutal. Baik dengan merobohkan
pagar, melempar penonton dengan botol minuman, meniup terompet yang memekkan
kepala, hingga melemparkan mercon dan kembang api. Suasana yang semakin tidak
terkendali kemudian menyebabkan “kerumuman” tidak bisa dikendalikan dalam
keadaan normal. Keadaan yang berulang-ulang kemudian tidak memberikan pelajaran
kepada para pihak untuk “menyaring” dan menempatkan pertandingan sepakbola
sebagai hiburan.
Dari “kerumunan” kemudian menjadi
amunisi yang terus dipaksa menjadi “banal’ untuk menghajar siapapun didepannya.
Peristiwa terhadap Haringga adalah bukti tidak terbantahkan. Sehingga para
pihak kemudian “gagap” dan kemudian “reaksi” untuk menyudahi dengan kekerasan
serupa. Entah dengan membalas dengan bom Molotov, batu hingga aksi sweeping
yang kemudian berakhir dengan tewasnya korban. Cara yang lambat diantisipasi
klub maupun para pihak.
Diperlukan upaya lebih serius untuk
membongkar berbagai factor sehingga para pendukung fanatic yang masih
menempatkan kekerasan sebagai jalan keluar akumulasi harus dikembalikan kepada
hakekat menonton pertandingan.
Sembari itu, penghukuman kepada
klub-klub yang terbukti pendukungnya kemudian terlibat kerusuhan.
Cara ini akan mampu “menghentikan”
sejenak banal yang menggumpal.
Advokat. Tinggal di Jambi