Adapun
adagium ”Batangnyo Alam Barajo” yaitu daerah Teras Kerajaan 12 Suku/Bangso
Yaitu :
1.
Jebus meliputi Sabak dan Dendang, Simpang, Aur Gading,
Tanjung dan Londrang.
2.
Pemayung meliputi Teluk Sébelah Ulu, Pudak, Kumpeh dan Berembang
3.
Maro Sebo meliputi Sungai Buluh, Pelayang, Sengkati Kecil,
Sungai Ruan, Buluh Kasap, Kembang Seri, Rengas Sembilan, Sungai Aur, Teluk
Lebar, Sungai Bengkal, Mengupeh, Remaji, Rantau Api, Rambutan Masam dan Kubu
Kandang.
4.
Petajin meliputi, Betung Bedarah, Penapalan, Sungai Keruh,
Teluk Rendah, Dusun Tuo, Peninjauan, Tambun Arang, dan Pemunduran, Kumpeh.
5.
Tujuh Koto atau Kembang Paseban, meliputi Teluk Ketapang,
Muaro Tambun, Nirah, Sungai Abang, Teluk Kayu Putih, Kuamang dan Tanjung.
6.
Awin meliputi Pulau Kayu Aro dan Dusun Tengah.
7.
Penagan Negerinya Dusun Kuap
8.
Mestong meliputi Tarekan, Lopak Alai, Kota Karang, dan
Sarang Burung.
9.
Serdadu dengan negerinya Sungai Terap.
10.
Kebalen negerinya Terusan
11.
.Air Hitam meliputi Durian Ijo, Tebing Tinggi, Padang
Kelapo, Sungai Seluang, Pematang Buluh, dan Kejasung.
12.
Pinokawan meliputi Dusun Ture, Lopak Aur, Pulau Betung dan
Sungai Duren[1].
Sedangkan
menurut S Budhisantoso, dkk didalam bukunya “Kajian Dan Analisa Undang-undang
Piagam dan Kisah Negeri Jambi[2],
disebutkan Cerita rakyat yang bernilai sejarah yang berisi asal-usul keturunan
kalbu atau Kerajaan Yang Dua Belas Bangsa. Keturunan tersebut diungkapkan
lengkap dengan nama perisai (Kerajaan atau Kalbu), keturunan, gelar, jabatan,
tugas dan lokasi wilayahnya.
1.
Nama Perisai Tujuh Koto Sembilan Koto, keturunan Sunan Pulau
Johor, Gelar Paku Negoro, Jabatan Tumenggung, Tugas menunggu rumah Pusaka Sunan
Pulau Johor dan Pegawai kerajaan, Lokasi Mersam, Sengkati Baru, Malapari, Tantan,
Bungin Petar, Kumpeh, Sungai Abang untuk kerajaan Tujuh Koto. Lokasi Sembilan
Koto, Teluk Kuali, Tanjung Aur, Dusun Danau, Teluk Jambu, Rantau Langkap,
Rambutan, Jambu, Pagar pudding, dan Sungai Rambai.
2.
Nama Perisai Petajin, Keturunan Orang Kayo Pedataran, Gelar
Setio Guno, Jabatan Pesirah, Tugas Membuat dan Merawat rumah Raja, Lokasi
Betung Bedarah.
3.
Nama Perisai Muara Sebo, Keturunan Kembang Seri, Gelar Wira
Sandika, Jabatan Kademang, Tugas Penjaga Keamanan, Lokasi Muara Tebo.
4.
Nama Perisai Pemas Pemayung, Keturunan Rangga Emas, Gelar Puspo
Wijoyo/Pangeran Keramo Yudho, Jabatan Temenggung, Tugas Pengadaan Kerbau,
Kelapa Seratus, beras serratus gantang, asam garamnya, jikai ada sedekah atau
penobatan Raja, Lokasi Kampung Gedang dan dan Tanjung pasir.
5.
Nama Perisai Jebus, keturunan Orang Kayo Pingai, Gelar Suto
Dilago, Jabatan Temenggung, tugas sebagai panitia penobatan. Jadi sebelum Raja
dinobatkan, dialah yang dahulu Raja, sebab dialah yang mengatur semua keperluan
Raja. Maka digelar juga Rajo. Tugas merawat rumah Raja. Lokasi Kampung Baru
Tanjung Pedalaman.
6.
Nama Perisai Air Hitam, Keturunan Orang Kayo Gemuk, Gelar
Setio Guno, Jabatan Pesirah, Tugas Mengambil kayu dan air. Lokasi Lubuk
Kepayang dalam air hitam.
7.
Nama Perisai Awin, keturunan Sunan Muara Pijoan, Gelar Ngebi
Raso Dano, Jabatan Penghulu/Pemangku, Tugas pengawal Raja. Lokasi Pulau Kayo
Aro.
8.
Nama Perisai Penagan, keturunan Sunan Muara Pijoan, Gelar
Ngebi Singo keti, Jabatan Penghulu/Mangku, tugas Pengawal Raja. Lokasi Kuab.
9.
Nama Perisai Miji, Keturunan Sunan Muaro Pijoan, Gelar Ngebi
Kerti Diguno, Jabatan Penghulu/Pemangku, tugas Merawat Raja dan membuat kajang
(atap anyaman) untuk Raja. Lokasi Sakeman.
10.
Nama Perisai Pino Kawan Tengah, Keturunan Sunan Muaro
Pijoan, Gelar Ngebi Suko Dirajo, Jabatan Penghulu/Pemangku, tugas Menyediakan
pengangkutan. Lokasi Sungai Duren.
11.
Nama Perisai Mestong Serdadu, keturunan Kiyai Patih bin
Panembahan Bawah Sawo, Gelar Ngebi Singo pati Tambi Yudo, Jabatan
penghulu/Pemangku, Tugas memelihara persenjataan, Lokasi Sarang Burung.
12.
Nama Perisai Kebalin, keturunan Kiyai Senopati bin
Panembahan Bawah Sawo, Gelar Jaga patih Temin Yudo, Jabatan Pemangku/Penghulu.
Tugas Pengawa Raja. Lokasi Tarusan (Terusan).
Dengan
demikian maka Kerajaan Nan Dua Belas Bangsa adalah Perisai Rajo Sari, Perisai
Petajin, Perisai Air Hitam, Perisai Kebalin, Perisai, Serdadu Mestong (dari
Panembahan Bawah Sawo), Perisai Pemas Pemayung (dari Ranggo Mas), Perisai Awin,
Perisai Miji, Perisai Pino Kawan Tengah, Perisai Penagan, Perisai Muara Sebo
dan Perisai Tujuh Koto Sembilan Koto[3],
Keseluruhan
wilayah Jambi dari sisi Hukum Adat Jambi, batas-batas secara lengkap berbunyi :
dari durian ditakuk rajo lepas kesialang belantak besi melayang ke Tanjung
Simalidu menepih beringin nan sebatang, Beringin gedang nan sekali dalam,
mendaki bukit kelarik nan besibak meniti pematang panjang, menepat ke Singkil
Tujuh Balarik ke sepisak pisau hilang mendaki bukit Alam Babi meniti pematang
panjang menepat kebukit cindaku laju ke ulu Parit Sembilan menuju ke Sungai
Reteh dan Sungai Enggang Marem Tanjung Labuh terjun ke laut nan mendidih
menempuh ombak nan berdebur merapat ke Pulau nan tigo sebelah laut Pulau
Berhalo naik ke sekatak Air Hitam menuju ke Bukit Seguntang – guntang mendaki
bukit tuo lepas sungai Bayung Lincir laju ke hulu Sungai Singkut di kurung
bergandeng bukit tigo mendaki ke serintik hujan panas meniti Bukit Barisan
turun ke Renah Sungai Buntal menuju ke Sungai Air Dikit menerpa ke Hulu sungai
Ketaun mendaki bukit malin dewa laju ke sungai Ipuh mendaki Bukit Sitinjau
Laut, sayup – sayup laut lepas menuju gunung berapi di situ tegak Gunung
Kerinci menepat ke Muaro Bento menempuh Bukit Kaco meniti Pematang Lesung terus
menuju Batu Anggit dan Batu Kangkung, Teratak Tanjung Pisang, Siangkak –
Siangkang Hilir pulo ke durian di takuk rajo di situ mulai bejalan balik pulo
ketempat lamo bejalan meniti batas. Itulah batas yang kini menjadi Wilayah
Provinsi Jambi sebagaimana dimaksud UU Nomor 61 Tahun 1958.
Sedangkan
didalam di Marga Batin Pengambang disebutkan “Mulai dari Sialang Melantak Besi
menuju Durian Takuk Rajo, Mendaki ke Pematang Lirik Nan Besibak, Terus ke
Sepisak Piasau Hilang, Mendaki Bukit Alunan Babi, Mendaki Bukit Alunan Babi,
Meniti Pematang Panjang, Laju ke Bukit Cindaku, Mendepat Ke Parit Sembilan, Turun
Ke renah Sungai Keteh, Menuju Ke Sungai Enggang, Terjun ke laut nan sedidis,
Mendepat ke Pulau Berhalo, Menempuh SEkata Air Hitam, Menuju ke bukit si
Guntar, Mendaki ke Bukit Tuan, Menempuh ke Sungai banyulincir, laju ke ulu
Singkut Bukit Tigo, Mudik ke Serintik hujan Paneh, Meniti ke bukit Barisan,
turun ke renah Sungai Bantal, Menuju ke Sungai Air Dikit, Mendepat ke hulu
batang ketun, mendaki ke bukit malim Dewo, Menuju Ke Sungai Ipuh, Mendaki Bukit
Setinjau laut, menu ke Gunung Merapi, Mendepat ke hulu sungai Danau Bento,
Menempuh Bukit Kaco, Meniti Pematang Lesung Tereh, Menuju ke Batu Angit Batu
Kangkung, Terus ke teratak Tanjung Pisang, Mudik ke lipai nan besibak, Terus ke
Siangkak nan bedengkang, Ilir ke hilir Durian Takuk Rajo, Melayang ke Tanjung
Semalidu, Disitu ditanam Beringin Di Batang.
Istilah
“durian takuk rajo” bisa ditemui di
VII Koto dan Sumay yang berbatasan langsung dengan Sumbar. Sedangkan berbatasan
dengan Riau biasa dikenal “salo belarik”,
Bukit alunan babi, bukit cindaku, parit Sembilan yang kesemuanya termasuk
kedalam Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Istilah salo belarik”, Bukit alunan babi, bukit cindaku, parit Sembilan masih
dapat dijumpai di Margo Sumay.
Sedangkan
Air dikit, Sungai Ipuh, Bukit tigo,
merupakan nama-nama tempat yang berbatasan langsung dengan Bengkulu. Kesemuanya
terdapat di Taman nasional Kerinci Sebelat.
Dan “sialang belantak besi” biasanya
merupakan nama tempat yang berbatasan langsung dengan Sumsel.
Mata
pencarian bercocok tanam yang dibagi seperti parelak, kebun mudo, umo rendah
dan talang[4].
Jumlah kalbu yang tersisa ada 12 yaitu Jebus, Pemayung, Maro Sebo, Awin,
Petajin, Suku Tujuh Koto, Mentong, Panagan, Serdadu, Kebalen, Air Hitam dan
Pinokowan Tengah[5].
Dengan Tambo, maka bisa ditentukan wilayah daerah tertentu yang biasanya ditandai dengan tanda-tanda alam seperti sungai, bukit, napal, renah, lubuk, muaro, bukit, pematang, telun adalah bentuk alam yang tidak hilang. Sedangkan istilah seperti “Dari” artinya dimulai, “ke” artinya menuju,”pelarung” artinya menyeberang sungai atau melewati titian, “naik” artinya mendaki bukit, “turun” artinya menuruni bukit, “balik” artinya kembali. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang.
Dengan Tambo inilah, suatu wilayah
adat dapat diketahui, baik batas wilayah suatu Margo, antara desa satu dengna
yang lain dalam satu margo dan tentu saja menghubungkan antara Margo Satu
dengna margo yang lain. “Klaim adat” berupa wilayah dan cara kelola yang
berdasarkan Seloko dan ujaran adat sampai sekarang menjadi ingatan dan
pengetahuan kolektif masyarakat. Dengan Tembo dan Seloko yang diwariskan turun
temurun dari generasi.
Ketika
menentukan wilayah adat, tembo berangkat dari keberadaan “Marga”[6]
atau Batin. Istilah Marga kemudian digunakan sebagai sistem pemerintahan
sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Di tengah
masyarakat, istilah Marga (margo) menjadi identitas yang khas sebagai
perwujudan persekutuan masyarakat adat (rechtsgemeenshap). Namun berbeda dengan Marga seperti di Batak dan Minang yang berasal
dari factor geneologis. Marga di wilayah Jambi berasal dari factor pertumbuhan
persekutuan hukum territorial[7]
Sejarah bermula ketika setelah Sultan Thaha
Saifuddin gugur tahun 1904. Wilayah Jambi dinamakan Residentie DJambi dan
ditetapkan menjadi Keresidenan dan masuk wilayah Nederlandsch Indie. Residen
Jambi, O.L. Helfrich diangkat menjadi berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal
No. 20 tanggal 4 Mei 1906.
Berdasarkan peta Schetkaart Resindentie Djambi
Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910[8], maka daerah-daerah di
Jambi telah dibagi berdasarkan Margo. Seperti Margo Batin Pengambang, Margo
Batang Asai, Cerminan Nan Gedang, Datoek Nan Tigo. Sedangkan di Merangin
dikenal Luak XVI yang terdiri dari Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo
Peratin Tuo, Margo Tiang Pumpung, Margo Renah Pembarap dan Margo Sanggrahan.
Sedangkan Di Tebo dikenal dengan Margo Sumay. Batanghari Margo Petajin Ulu,
Margo Petajin Ilir, Margo Marosebo, Kembang Paseban. Sedangkan di Muara Jambi
dikenal Margo Koempeh Ilir dan Koempeh Ulu, Jambi Kecil. Di Tanjabbar dikenal
dengan Margo Toengkal ilir, Toengkar Ulu. Dan di Tanjabtim dikenal Margo
Berbak, Margo Dendang Sabak.
Selain Margo juga dikenal Batin[9]. Seperti Batin Batin II,
III Hoeloe (Hulu), Batin IV, Batin V, Batin VII, Batin IX Hilir, Batin VIII dan
Batin XIV.
Marga dan Batin
dipimpin seorang Pesirah. Setiap Margo atau batin mempunyai pusat
pemerintahan. Misalnya pusat pemerintah Margo Batin Pengambang di Moeratalang,
Margo Serampas di Tanjung Kasri, Sungai Tenang di Jangkat, Peratin Tuo di Dusun
Tuo, Sanggrahan di Lubuk Beringin, Sumay di Teluk Singkawang.
Wilayah administrasi setingkat kecamatan.
Nama-nama Margo masih dikenal selain menjadi cerita rakyat. diantaranya
kemudian menjadi Kecamatan. Misalnya Kecamatan Sungai Tenang kemudian menjadi
Kecamatan Sungai Tenang kemudian berubah menjadi Kecamatan Jangkat Timur,
Kecamatan Tiang Pembarap, Kecamatan Renah Pembarap, Kecamatan Sumay, kecamatan
marosebo, Kecamatan Sabak, Kecamatan Dendang atau Kecamatan Tungkal Ulu.
Dibawah Marga dikenal dusun[10].
Dusun merupakan sebagai pemerintahan terendah (village government). Dusun adalah kumpulan dari kampung atau
kelebu. Dipimpin seorang Depati atau Rio[11]
atau Penghulu. Untuk daerah hulu biasa dikenal dengan Depati atau Rio. Di
tingkat Dusun, orang semendo dikenal dengan istilah Depati. Sedangkan putra
asli adalah Bathin.
Sedangkan didalam Luak XVI[12],
Depati membawahi Rio atau Mangku. Misalnya Depati Suko Merajo yang membawahi
“Rio Penganggung jagobayo di Tanjung Mudo, Depati Gento Rajo yang membawahi
“Rio Pembarap” dan “Rio Gento Pedataran”. Depati Kuraco membawahi Rio Kemuyang.
Dengan demikian, maka didalam dokumen Tideman
didalam buku klasiknya “Djambi” menyebutkan Rio dan Depati di wilayah dusun.
Sedangkan Elizabeth “Rio” di tingkat Marga, sedangkan Depati di tingkat dusun
didukung oleh dokumen Tijdschrift voor Nederlandsch Indië.
Namun berbeda di berbagai Marga didalam dusun.
Depati membawahi Dusun dengan dibantu “Rio” di Kampung.
Didalam catatan lain ditemukan, “Rio” adalah
Kepala Pemerintahan Margo. “Rio” merupakan Putra Asli. Pernyataan ini didukung
oleh Elizabeth justru menyebutkan “Rio pemimpin di
tingkat Marga. Depati di tingkat Dusun”.
Bandingkan dengan Keterangan F. J. Tideman yang menganggap “Rio” adalah Kepala
Pemerintahan setingkat Dusun.
Menurut
tradisi lisan di dahulu kala ada seorang Pangeran Temenggung Kebaruh, yang
dikatakan masih keturunan Majapahit, mengunjungi Kerinci dari Muara Mesumi yang
meyakinkan para raja untuk mengakui kedaulatan Jambi. Para raja diberi hadiah
berbentuk kain dan dianugerahi dengan gelar dipati (juga disebut
depati) yang berasal dari gelar Jawa adipati. Dipati berarti lebih daripada
sekalian. Lembaga depati diperkenalkan oleh raja Jambi lebih dari enam ratus
tahun yang lalu sebagai alat untuk memerintah.
depati) yang berasal dari gelar Jawa adipati. Dipati berarti lebih daripada
sekalian. Lembaga depati diperkenalkan oleh raja Jambi lebih dari enam ratus
tahun yang lalu sebagai alat untuk memerintah.
Didalam struktur adat Marga Pangkalan Jambu,
mereka mengenal “Tiga Tali sepilin. Tungku Sejarangan”. Ikatan yang kuat antara
struktur adat yaitu hukum Negara, hukum agama dan hukum adat kemudian
diputuskan oleh Rio sebagai “pemutus akhir” dan pelaksana keputusan adat[13].
Sebagai pemegang kekuasaan Rio di Pangkalan
Jambu, maka terhadap sanksi adat seperti “ayam sekok. beras segantang” atau
“kambing sekok. Beras 10 gantang”, cukup diselesaikan oleh Datuk Nan berempat.
Sedangkan sanksi adat berupa “Kerbau sekok. Beras 100 gantang” maka harus
diselesaikan oleh Rio sebagai pemegang kekuasaan Marga Pangkalan Jambu.
Sedangkan di Dusun Birun, walaupun merupakan
dusun dari Marga Pangkalan Jambu, seluruh proses sanksi baik dimulai dari “ayam
sekok. beras segantang” atau “kambing sekok. Beras 10 gantang” yang biasa cukup
diselesaikan oleh Datuk Nan Berempat, namun Dusun Birun juga bisa menjatuhkan
sanksi adat hingga “Kerbau sekok. Beras 100 gantang”.
Kekuasaan menjatuhkan sanksi Kerbau sekok. Beras
100 gantang” yang terdapat didalam kewenangan Rio di Pangkalan Jambu dapat
dilaksanakan oleh “Datuk Rajo Nan Putih” di Dusun Birun.
Di
Marga Serampas dikenal Tembo Induk dan Tembo Anak. Tembo Induk dan Tembo anak[14].
Tembo Induk mencakup wilayah Depati Pulang Jawa, Depati Singo Negoro dan Depati
Pemuncak Alam. Sedangkan Tembo anak mencakup wilayah Depati Pulang Jawad an
Depati karti Mudo menggalo.
1.
Depati Seri
Bumi Puti Pemuncak Alam Serampas
2.
Depati
Pulang Jawa
3.
Depati Singo
Negoro
4.
Depati Karti
Mudo Menggalo
5.
Depati
Seniudo
6.
Depati
Payung
7.
Depati
Kertau
Depati Siba[15].
Di Marga Sungai Tenang dikenal gelar seperti
Depati Suko Merajo (Dusun Gedang), Depati Tuo Menggalo (Dusun Tanjung Mudo),
Rio Penganggun Jago Bayo (Dusun Tanjung Alam), Depati Suko Dirajo (Dusun
Kotobaru), Depati Suko Menggalo (Dusun Tanjung Benuang), Depati Gento Rajo
(Pulau Tengah), Pemangku Sanggo Ning di Rajo (Desa Renah Pelaan), Depati Sungai
Rito (Rantau Suli), Depati Payung (Desa Pematang Pauh), Sako Rio Pembarap
(Dusun Koto Teguh).
Di
Marga Pratin Tuo dikenal Depati Pemuncak Alam, tempatnyo di dusun Tuo . Depati
Karto Yudo, tempatnyo di dusun Tanjung Berugo, Nilo Dingin dan Sungai Lalang.
Depati Penganggun Besungut Emeh, tempatnyo di dusun Koto Rami dan dusun Rancan
dan Depati Purbo Nyato, tempatnyo di dusun Tiaro[16].
Di
Marga Senggrahan, setiap dusun
dipimpin pemangku Pemerintahan yang diberi gelar[17].
Depati Tiang Menggalo di Dusun Kandang, Depati Surau Gembala Halim di Dusun
Klipit, Depati Kurawo di dusun Lubuk Beringin[18],
Depati Renggo Rajo di Lubuk Birah[19]
dan Rio Kemunyang di Dusun Durian Rambun. Nama Rio Kemunyang kemudian dijadikan
nama Hutan Desa.[20]
Di Marga Datuk Nan Tigo[21],
selain kekuasaan ketiga Datuk, maka dikenal juga Datuk Petinggi dan Datuk
Monti. Datuk Petinggi merupakan pimpinan dari ketiga Datuk. Berpusat di Dusun
Pulau Pandan. Sedangkan Datuk Monti merupakan pembantu dari Datuk Petinggi
berpusat di Dusun Tutur. Kata “tutur” kemudian dikenal sebagai daerah “Dam
Kutur.
Selain hubungan antara Datuk Nan Tigo dengan
Datuk Petinggi dan hubungan Datuk Monti, masing-masing Datuk mengatur sistem
pemerintahan adat di wilayah masing-masing.
Datuk Petinggi berkuasa di Dusun Pulau Pandan.
Dusun Pulau Pandan terdiri dari kampong Pulau Pandan, Muara Limun dan Dusun
Tuo.
Datuk Temenggung menguasai Dusun Mengkadai,
Tanjung Putus, Dusun Kait-kait.
Datuk Demang menguasai Kampung Pondok, Dusun
Baru, Benteng Mukam, Mansao, Kampung Renah, Dusun Barung-barung dan Rantau
Karya
Datuk Ranggo menguasai Kampung Muara Mansao,
Rantau Alai dan Sungai Dingin. Sedangkan Datuk Monti menguasai Muara Kutur.
Marga Air Hitam
dipimpin seorang pesirah. Setiap Dusun kemudian dipimpin Kepala Dusun. Namun
dengan penamaan yang berbeda-beda antara satu dusun dengan dusun yang lain.
Untuk pemangku Dusun Lubuk Kepayang diberi gelar Penghulu. Pemangku Dusun Baru
disebut Menti. Untuk pemangku Dusun Semurung adalah Patih. Sedangkan pemangku
Dusun Jernih Tuo dan Dusun Lubuk Jering diberi gelar Rio.
Lubuk Kepayang disebut
“Penghulu” karena Desanya adalah penghulu. Penghulu artinya “keduluan”. Atau
Dusun pertama.
Sedangkan Dusun Baru
disebut “Menti” karena Dusun Baru dikenal sebagai tempat pemberhentian.
Persekutuan hidup Orang Rimba disebut Rombong.
Satu rombong terdiri beberapa kerabat perempuan beserta suami dan anak-anaknya.
Sama seperti di Minangkabau, sistem kekerabatan Orang Rimba adalah Matrilineal.
Meskipun sistem kekerabatannya matrilineal, pemimpin setiap rombong tetaplah
seorang laki-laki. Setiap rombong mempunyai wilayah kelola sendiri yang
terpisah dengan wilayah kelola rombong lain.
Seorang pemimpin Rombong dipanggil dengan sebutan
Tumenggung. Tugas utama seorang Tumenggung adalah memastikan dipatuhinya
hukum adat oleh anggota-anggota rombongannnya. Di dalam melaksanakan tugas,
sang Tumenggung dibantu oleh Wakil Tumenggung, Depati, Mangku, Debalang batin,
dan Menti. Wakil Tumenggung bertugas mewakili Tumenggung apabila seorang
Tumenggung berhalangan hadir untuk melaksanakan tugasnya.
Seorang Depati bertugas menangani kasus-kasus
yang berkaitan dengan hukum. Pembantu lainnya adalah Mangku. Tugas Mangku
hampir sama dengan Depati yaitu mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan
hukum. Bedanya kasus-kasus hukum yang ditangani oleh Mangku biasanya lebih
kecil bobotnya apabila dibandingkan dengan kasus-kasus hukum yang ditangani
oleh seorang Depati.
Debalang Batin bertugas menjaga dan menegakkan
keamanan apabila terjadi situasi tak menentu, seperti konflik dengan
orang/warga Desa. Menti adalah orang yang bertugas memanggil seorang warga
apabila diperlukan oleh Tumenggung atau oleh tokoh Orang Rimba lainnya. Dalam
bertugas seorang menti bisa meminta bantuan kepada Anak Dalam.
Jabatan lain yang juga cukup penting adalah
dukun, tengganai dan penghulu. Dukun dipercaya dapat menyembuhkan penyakit dan
berhubungan dengan mahluk halus. Petunjuk seorang Dukun, juga diperlukan oleh
warga yang akan membuka ladang. Tengganai bertugas sebagai penasehat warga
dalam urusan rumah tangga dan masalah hubungan antar anggota kelompok rombong.
Seorang tengganai pada saat tertentu bisa memberi nasehat atau masukan pada
Tumenggung di saat Tumenggung harus menghadapi tugas yang sangat berat.
Penghulu bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan seperti upacara
perkawinan, kematian, kelahiran bayi dan lain sebagainya.
Di luar semua itu adalah keluarga-keluarga inti
yang merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat Orang Rimba. Tidak ada
tugas khusus bagi keluarga-keluarga inti, dan mereka hanya harus menjadi warga
yang baik dengan mematuhi hukum adat yang berlaku[22].
Struktur social di Marga IX Koto terdapat “ninik
mamak”. Ninik mamak merupakan struktur social yang ditunjuk oleh masyarakat.
Dalam kerapatan adat, ninik mamak terdiri dari
Kepala Dusun, orang tua yang bijaksana yang kemudian disebut “tuo tau”,
pemangku agama yang terdiri dari Imam, Khatib dan bilal. Selain itu terdapat
“Debalang Batin”. Debalang Batin merupakan tokoh Pemuda yang bisa bersifat
bijaksana mengikuti pertemuan di Ninik Mamak sekaligus sebagai “orang yang
lincah” untuk mengurusi urusan Dusun.
Debalang Batin berbeda dengan “kepak rambai
hulubalang”. Apabila “kepak Rambai hulubalang bertugas “memanggil rapat”,
menjemput ninik mamak atau pembesar negeri yang belum datang namun tidak bisa
menjadi bagian dari rapat pemangku adat.
Namun Debalang Batin memang mempunyai fungsi
khusus. Selain memastikan seluruh pemangku adat telah hadir, Debalang Batin
juga menjadi bagian dari rapat pemangku adat. Posisinya sama dengan pemangku
adat yang lain.
Begitu pentingnya posisi Debalang Batin, selain
akan melaksanakan putusan rapat adat juga sebagai “orang kuat gawe” untuk
melaksanakan pekerjaan yang membutuhkan tenaga orang mudo. Debalang Batin bisa
menggerakkan untuk meringankan pekerjaan di dusun.
Selain itu, Debalang Batin juga bisa berfikir
bijaksana didalam rapat pemangku adat[23].
Dengan mengikuti sistem kekerabatan matrilineal,
maka “urusan keluarga besar” diserahkan kepada Mamak. Mamak adalah “saudara
lelaki dari Ibu” yang kemudian mengurusi urusan keluarga besar.
Pemangku keluarga atau “kepala keluarga “sedatuk”
dikenal sebagai Tengganai. “Urusan sedatuk” ini biasa dikenal Di daerah hulu, kaum biasa disebut
juga “kalbu”. Sedangkan di sebagian daerah hilir Jambi, biasa disebut juga
“guguk”.. Sebuah komunitas dari keturunan Ibu. Sebagaimana menjadi seloko “Anak
sekato Bapak. Kemenakan sekato Mamak”.
Setiap perselisihan di dusun, maka diselesaikan
dahulu antara Tengganai. Fungsi Tengganai sering disebut didalam seloko “rumah
betengganai”.
Setelah itu, maka antara masing-masing pihak yang
berselisih kemudian mempertemukan “mamak” yang kemudian diselesaikan dengan
cara “ninik mamak’.
Hubungan struktur social antara ninik mamak yang
didalamnya terdapat “tuo Tau”, Tengganai, pegawai syarak dengan Debalang batin
begitu erat.
Di
Marga Petajin Ilir dikenal Kedudukan
“induk semang” adalah sebagai “tuo tengganai” dari anak
kemenakan. Kesalahan “anak kemenakan” kemudian harus diselesaikan oleh “tuo
tengganai”. Kesalahan harus dipertanggungjawabkan baik melalui hukum adat
maupun sosial[24].
Sedangkan di daerah hilir seperti Marga Kumpeh,
Marga Jebus, Marga Sabak-Dendang, Marga Berbak biasa mengenal “Penghulu”.
Pimpinan Margo dipimpin oleh Pesirah. Sedangkan
Dusun dipimpin oleh Penghulu yang dibantu oleh Mangku. Pusat Margo di Tanjung.
Margo Kumpeh Ilir berbatasan dengan Margo Jebus yang berpusat di Suak Kandis
dan Margo Kumpeh ulu yang berpusat di Arangan[25].
Bandingkan dengan pimpinan dusun di daerah-daerah ulu yang biasa disebut dengan
Depati atau Rio.
Dibawah dusun dikenal dengna Kampung.
Kepala Kampung hampir sama dengan tuo kampung atau kelebu. Ini ditandai dengan
seloko “kampung
betuo, negeri bebathin”. Namun
Kepala kampung tidak bisa disebut dengan “tuo kampong.
Dibawah kampung dikenal dengan
“Tengganai”. Tengganai yang tertua memiliki kekuasaan tertinggi. Dan karenanya
dalam perkara penting biasanya tengganai yang tua ikut hadir. Seloko adat dapat
dilihat “Rumah bertengganai. Kampung betuo”.
Pemimpin suku adalah ninik-mamak,
yang dipilih melalui musyawarah anggota keluarga laki-laki. Mamak merupakan
saudara pria tertua dari Ibu. Ninik-mamak ini berperan menyelesaikan sengketa
dalam sebuah suku, dan karena itu diharapkan memiliki pengetahuan mendalam
tentang adat- istiadat. Bila ada konflik antara orang-orang dari dua suku atau
lebih ninik-mamak dari masing- masing klan akan bertemu dan berunding untuk
memecahkan masalah
Selain Marga dan Batin, di Kerinci dikenal
Mendapo. Ulu Rozok “Kitab Tanjung Tanah” menyebutkan “Konfederasi kampong yang disebut
mendapo yang pada umumnya terdiri atas sejumlah kampung yang berasal dari satu
kampung induk masih tetap menjadi kesatuan pemerintahan yang terbesar di
Kerinci.
Dalam Laporannya “Bijdragen tot de Taal, Kerintji
Documents”, disebutkan “Mendapo Limo
Dusun (Datuk Tjaja Depati Kodrat,
Depati Singarapi Sulah, Datuk Singarapi Gogok, Rio Mangku Bumi, Depati
Singarapi Putih). Mendapo Rawang (Bujang Pandiang Alam Lapang, Tamai Njato
Negeri, Singaradja Pait, Riau Bungkan Pandan, Depati Sungai Lago, Depati Kuta
Keras Pandjang Rambut, Depati Kemalo Radjo, Depati Niak, Depati Setio Njato,
Depati Njato Negaro, Depati Kuta Keras Tuo Pandjang Rambut, Depati Kemalo
Radjo, Depati Mudo Depati Nanggalo, Depati Setia Mendaro, Depati Pundjo Depati
Lindo, Depati Awang Depati Djanggut, Datuk Nadjo Suka Diano Depati Meradjo,
Depati Kitang, Mangku Suka Rami Itam Bandar Indopuro, Datuk Tjajo Tuo Tjajo
Radja Singarapi). Mendapo Depati
Tudjuh (Depati Kuning Koderat, Depati
Kuning Njato negaro, Depati Kuning Alam Negeri, Depati Muda Terawang Lidah,
Depati Sekungkung Putih, Depati Sekungkung Gedang, Depati Sekungkung Djinang
Putih, Datuk Penghulu Rio Dunin Depati Kubang, Depati Mangumi Medan Alam,
Depati Saliman dan Depati Gajung, Depati Kubang Tua, Mangku Agung Muntjak Alam,
Mangku Agung Tuo). Mendapo Kemantan (Depati Anum Muntjak Alam, Depati Suko Badju
Tuo, Depati Riang Lantur Kuning). Mendapo
Semurup (Depati Simpan Bumi Tuo,
Depati Sumi Puti Koderat, Depati Sigumi Puti Meradja Bonsu, Mangku Agung Tuo,
Radja Simpan Bumi Tuo, Depati Mudo, Depati Mangku BUmi Tuo Sutan nanggalo, Depati
Intan Muara Masumai). Mendapo Hiang
(Mangku Singado Gumi, Mbang Gumi, Rio
Gagah Sabit, Depati Atur Bumi). Mendapo
Seleman (Depati Serah Bumi Serah
Mato, Depati Serah Bumi Putih, Depati Talam, Depati Karto Gumi Njato Negaro). Mendapo Keliling Danau. Mendapo Tanah
Kampung (Depati Ketjik).
Kata “mendapo” juga didapatkan dari nama Desa
Karang Mendapo Kecamatan Pauh, Sarolangun. Desa Karang Mendapo terdiri dari
Dusun Karang Mendapo, Dusun Muara Danau dan Dusun Teluk Gedang.
Pentingnya setiap dusun adanya Depati dikenal
dikenal dengan istilah adat “Kampung betuo, alam berajo, negeri bebathin”.
Atau “Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai. Atau “Alam sekato
rajo, negeri Sekato Batin[26].
Sedangkan Eugen Ehrlich merumuskan sebagai das
lebende Recht (living law) yang bersifat :
1. Pemerintah
dalam persekutuan hukum (rechtsgemeenshap) terletak di tangan pembesar[27]
2. Penghormatan
terhadap pembesar ditandai “Rajo” yang ditandai dengan seloko “Kampung
betuo, Dusun Bepati, Negeri Berajo. . Atau
“Kampung betuo, alam berajo, negeri bebathin
3. Posisi tuo
kampung, kepala Dusun, ninik mamak
4. Tuo Tengganai,
alim ulama, cerdik pandai dan pegawai syara' begitu dominan. Tideman
memberikan istilah “hubungan keluarga masih kuat.
5. Hubungan
antara rakyat bathin dengan rakyat penghulu seperti hubungan antara seorang
induk dengan anaknya, dikukuhkan dengan suatu sumpah dilakukan sewaktu
bersama-sama menikmati hidangan[28]
Sistem pemerintahan dusun ini kemudian digantikan
dengan sistem pemerintahan Desa berdasarkan UU No. 5 tahun 1979. Kampung
kemudian menjadi dusun.
Di kabupaten Bungo kemudian dikembalikan dengan
Sistem Pemerintahan Dusun dengan dikepalai “Rio”. Dusun terdiri dari beberapa
kampung.
Namun dalam struktur social seperti Kepala Dusun,
Menti, Tuo tengganai, Ninik Mamak, Kalbu masih hidup dan terbukti mampu merawat
identitas dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk menyelesaikan persoalan
sehari-hari.
Penghormatan terhadap
struktur ini sering disebutkan didalam seloko “kampung betuo, alam
berajo, negeri bebathin.” Di Margo Sungai Tenang
menyebutkan “Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai.” Di Margo Sumay biasa dikenal dengan ujaran “Alam
sekato rajo, negeri Sekato Batin.”
Sebagai bagian dari masyarakat hukum adat (MHA),
MHA mendeskripsikan sebagai “hak
ulayat”. Van vollenhoven didalam bukunya “Miskenningen
van het adatrecht” menyebutkan Beschikkingrecht (hak ulayat). Untuk memudahkan Beschikkingrecht (hak ulayat), Van
vollenhoven menyebutkan ciri-ciri. (1)Persekutuan hukum itu dan
anggota-anggotanya dapat mempergunakan tanah hutan belukar di dalam wilayahnya
dengan bebas, seperti membuka tanah, mendirikan perkampungan, memungut
hasilnya, berburu, mengembala dan lain sebagainya. (2)Bukan anggota persekutuan
hukum dapat pula mempergunakan hak atas tanah itu, tetapi atas pemberian ijin
dari persekutuan hukum itu. (3)Dalam mempergunakan tanah itu yang bukan anggota
selalu harus membayar sesuatu (recognitie). (4) Persekutuan hukum mempunyai
tanggung jawab atas beberapa kejahatan tertentu yang terjadi di dalam
lingkungan wilayahnya, bilamana orang yang melakukan kejahatan itu sendiri
tidak dikenal. (5) Persekutuan hukum tidak boleh memindah tangankan haknya
(menjual, menukarkan, memberikan) untuk selama-lamanya kepada siapapun juga.
(6) Persekutuan hukum mempunyai hak percampuran tangan terhadap tanah-tanah
yang telah digarap, seperti dalam pembagian pekarangan, dan jual beli tanah dan
lain sebagainya.
Sedangkan Ter Haar menyebutkan identifikasi
masyarakat hukum adat[29].
- Adanya tempat yang dilarang. Yusmar Yusuf menyebutkannya “rimbo simpanan atau rimbo larangan[30]”. Tideman melaporkan sebagai “rimbo gano[31]”.
- Masyarakat bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang terdapat dalam hutan.
- Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan Depati (volkshoofd).
- Depati kemudian menyetujui dan memberitahukan kepada Pesirah.
- Apabila tidak digarap, “sesap rendah, belukar tinggi”, maka hak untuk menggarap tanah menjadi hilang.
- Sedangkan apabila ditanami tanaman keras dan diberi tanda-tanda
- Diluar dari masyarakat yang membuka hutan tanpa persetujuan dari Depati atau Pesirah, maka “Hilang mati”.
- Pengakuan hak milik. Terhadap masyarakat yang membuka hutan telah sesuai dengan tata cara di Desa “seperti memberitahukan Depati atau pesirah, memberikan tanda seperti tanaman buah-buahan, maka adanya pengakuan hak milik.
Untuk
melihat ketiga MHA, maka kita bisa melihat ciri-ciri yang disampaikan oleh Van
vollenhoven dan Ter Haar. Sebagai identitas, ketiga MHA mampu menjelaskan
wilayah-wilayah desa dengan baik.
Semua Desa mengenal Pantang-larang yaitu daerah yang tidak boleh dibuka. Di Batangasai
mereka menyebutkan “Teluk Sakti. Rantu
betuah. Gunung Bedewo. Di Sungai Tenang (Merangin) mereka menyebutkan “Rimbo
Sunyi. Tempat siamang beruang putih. Tempat Ungko berebut tangis”. Sedangkan di
Tebo “Hutan Keramat. Rimbo Kuwao”.
Daerah-daerah yang tidak boleh dibuka merupakan hulu
sungai, tempat “keramat”, tempat
hutan keramat yang kemudian “dioverlay”
dengan pemetaan partisipatif merupakan daerah kawasan hutan lindung atau dengna
kemiringan diatas 30’. Dengan demikian maka pengetahuan masyarakat tentang
hutan telah terbukti dalam pembuktian pemetaan modern dan tidak bertentangan
dengan “pentingnya menjaga kawasan hutan”.
Selain
daerah-daerah yang tidak boleh dibuka, MHA juga mengagungkan tanaman yang tidak
boleh ditebang/dipanjat. Pohon-pohon
itu tidak diboleh ditebang seperti pohon durian, duku, bedaro, manggis, petai
dan pohon sialang.
Dalam proses membuka hutan, MHA tunduk dengan seloko “alam sekato rajo. Negeri sekato bathin”.
Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Hak ini kemudian dikenal dengan
istilah hak Membuka Tanah (ontginningrecht). Ada proses pembagian terhadap yang berhak membuka hutan,
waktu dan luas yang diberikan. Proses ini masih dihormati sehingga hutan masih
terjaga dan diwariskan untuk anak cucu.
Sedangkan apabila
tidak digarap, “sesap rendah, belukar
tinggi atau Empang krenggo”, maka hak untuk menggarap tanah menjadi hilang[32].
Terhadap tanaman keras harus diberi tanda berupa tanaman
buah-buahan seperti durian, maka hak miliknya dilindungi oleh Dusun.
Mereka mengenal dengan istilah “hilang
celak dengan mentaro”, atau cacak tanam, jambu kleko”, atau “lambas”. Tiderman memberikan istilah ”Tanah sesap”.
Diluar dari masyarakat yang membuka hutan tanpa
persetujuan dari Depati atau Pesirah, maka “Hilang
mati”. Segala sesuatu tidak diurus. “mati tidak diurus”. Van Vollenhoven
merumuskan sebagai “delik”.
Bentuk Pengakuan hak milik. Terhadap masyarakat yang
membuka hutan telah sesuai dengan tata cara di Desa “seperti memberitahukan Depati atau pesirah, memberikan tanda seperti
tanaman buah-buahan, maka adanya pengakuan hak milik. Hak milik kemudian
diakui. Soepomo merumuskan dengan istilah “kepemilikan
hak milik membuka peluang bagi pemiliknya untuk berbuat apa saja terhadap tanah
yang dimilikinya”. Namun tidak dikenal adanya jual beli. Apabila
adanya jual beli tanah, maka hak milik menjadi hapus dan tanah kembali ke
Dusun. Dalam teori lain disebutkan dengan istilah “tak terpisahkan tetapi dapat dibedakan”.
Van
Vollenhoven merumuskan “het hoagste
richtten aauzien van garand”, artinya hak tertinggi terhadap tanah dalam
hukum adat yang memberi kewenangan kepada masyarakat hukum adat tertentu atas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil
manfaat atau hasil-hasil yang ada di wilayah masyarakat hukum adat tersebut dan
tanah ulayat tersebut merupakan tanah kepunyaan bersama pada warganya. Lebih
dikenal dengan istilah penguasaan tanah (tenure security).
Dengan
persekutuan hukum (rechtsgemeenshap),
kemudian memiliki hak perseorangan. Hak perorangan itu ialah suatu hak yang
diberikan kepada warga ataupun orang luar atas sebidang tanah yang berada di
wilayah hak ulayat (purba) persekutuan yang bersangkutan. Ada 6 (enam) macam hak perorangan yang
terpenting: (1) hak milik, hak yasan (inlandsbezitsrecht); (2) hak wenang
pilih, hak kinacek, hak mendahulu (voorkeursrecht); (3) hak menikmati hasil
(genotrecht); (4) hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap/mengolah (ontginningsrecht);
(5) hak imbalan jabatan (ambtelijk profijt recht) dan (6) hak wenang beli
(naastingsrecht.
Sistem pemerintahan dusun ini kemudian digantikan
dengan sistem pemerintahan Desa berdasarkan UU No. 5 tahun 1979. Kampung
kemudian menjadi dusun.
Di kabupaten Bungo kemudian dikembalikan dengan
Sistem Pemerintahan Dusun dengan dikepalai “Rio”. Dusun terdiri dari beberapa
kampung.
Namun dalam struktur social seperti Kepala Dusun,
Menti, Tuo tengganai, Ninik Mamak, Kalbu masih hidup dan terbukti mampu merawat
identitas dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk menyelesaikan persoalan
sehari-hari.
Di Kerinci penerapan adat daerah Kerinci berpokok
kepada dusun, luhah, kelebu, perut, pintu, dan tumbi. Unsur ini merupakan
bentuk asli dari susunan masyarakat Kerinci, dari sini muncul corak
kepemimpinan menurut ketentuan adat seperti Depati, Manti atau Nenek Mamak dan
gelar lain yang terdapat di daerah Kerinci[33].
Didalam Perda Provinsi Jambi No. 2 Tahun 2014
Tentang Lembaga Adat Melayu Jambi dikenal Istilah Sko Nan
Tigo Takah adalah bentuk struktur lapisan sosial yang terdapat pada masyarakat
adat Kerinci. Sistem sko tiga takah itu adalah Depati atau setingkat Depati,
Permenti atau Ninik Mamak, dan Tengganai atau anak jantan[34].
Istilah
Sko Tiga Takah serupa dengan makna “tiga tungku sejarangan”[35].
Didalam Struktur
Sosial Orang Rimba ditandai dengan istilah Urang Rimbo, debalang batin,
dan menti. Urang Rimbo berarti
Orang Rimba, istilah lain untuk suku Kubu yang berdomisili di Provinsi Jambi
dan beberapa daerah di Sumatera bagian tengah. Debalang batin merupakan pengawal tumenggung atau kepala suku,
sedangkan menti
yaitu hakim adat bagi Orang Rimba[36].
Didalam Perda No. 2 Tahun 2014 disebutkan Rio/Penghulu/Depati/Pembarap
dan/atau sebutan lainnya adalah sebutan pemangku adat dalam wilayah adat Melayu
Jambi di Provinsi Jambi.
Debalang adalah salah satu
unsur dari pemerintahan adat yang berfungsi membantu peran pemangku adat
dan/atau Rio/Penghulu/Depati/Pembarap dibidang keamanan.
Kepala Kampung dan Mangku adalah salah satu unsur dari
pemerintahan adat yang berfungsi membantu peran pemangku adat dan/atau
Rio/Penghulu/Depati/Pembarap.
[4] Depdikbud 1977/1978, 137
[5] Zulyani
Hidaya, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Pustaska Obor Jakarta, Jakarta,
2015, Hal. 138
[6] Sejarah Margo ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Dari berbagai sumber disebutkan,
marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Menurut Regeering Reglement
(RR) 1854, Nederlandse Indie diperintah oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu
Nederland secara sentralistis. Daerah Nederlandse Indie dibagi dalam dua kategori besar yaitu
daerah Indirect Gebied dan Direct Gebied. Daerah Indirect Gebied adalah daerah
yang diperintah
secara tidak langsung oleh penguasa Batavia.
Istilah Marga telah dikemukakan oleh J.W.Royen, seorang pegawai
Pemerintahan Kolonial yang sedang cuti dalam disertasinya (1927).
[7] Sebagai factor
pertumbuhan persekutuan hukum (rechtsgemeenshap) sebagai faktor territorial, maka masyarakat
Melayu Jambi terbuka dengan kedatangan penduduk. Ujaran sepertinya Tanjung Paku batang
belimbing. Tempurung dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang
lain dipatenggangkan,
melambangkan mereka tidak terikat dalam ikatan geneologis. Mereka terbuka
dengan pendatang. Ter Haar menyebutkan sebagai “Persekutuan Desa”
[8] Didalam dokumen-dokumen Belanda wilayah Jambi sebagai bagian
dari kekuasaan Belanda dapat dilihat pada Peta Belanda seperti Schetkaart
Residentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Skala 1:750.000,
Schetskaart Van de Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala 1 : 500.000,
Schetskaart Van de Residentie Djambi, Bewerkt door het Encyclopaedisch Bureau
1922 – 1923, Skala 1 : 750.000, Automobielkaart van Zuid Sumatra Samengesteld
en Uitgegeven door Koniklijke , Vereenging Java Motor Club, Tahun 1929, Skala 1
: 1.500.000, Economical MAP of The island Of Sumatra, Gold and silver, Tahun
1923, Skala 1 : 1.650.000, Verkeers en Overzichtskaart van het eiland Sumatra,
Tahun 1929, Skala 1.650.000, dan Kaart van het eiland Sumatra, Tahun 1909, Skala
1 : 2.000.000, Aangevende de ligging Der Erfachtsperceelen en
Landbrouwconcessies Of Sumatra, Tahun 1914, Skala 1 : 2.000.000 telah jelas
menerangkan posisi Residentie Jambi.
[9] Didalam “Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap”
disebutkan in het batin gebied staan de woningen in de
doesoen. Dengan
demikian, maka Batin terdiri dari beberapa Dusun. Sedangkan Cerita di masyarakat, arti kata “batin”
berasal dari kata “asal”. Makna ini kemudian menjadi dasar untuk pembagian
Dusun. Misalnya Batin 12 Marga Sumay. Dengan menggunakan kata “Batin”, maka ada
12 dusun asal (dusun Tua) sebagai bagian dari Marga Sumay. Sehingga Dusun
didalam Marga Sumay terdiri dari Pemayungan, Semambu, Muara Sekalo, Suo-suo,
Semerantihan, Tua Sumay, Teluk Singkawang, Teliti, Punti Kalo, Teluk Langkap,
Tambon Arang dan Bedaro Rampak. Begitu juga Batin III Ulu yang terdiri dari Batang Buat, Muara Buat dan
Batang Bungo. Muara Buat terdiri dari kampung Dusun Senamat Ulu, Lubuk
Beringin dan Aur Chino.
[10] Dalam literatur
Onderafdeeling Muarabungo, Bungo,
Sarolangun dan sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi. F. J. Tideman
dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938, disebutkan “di daerah hulu Sungai Batanghari, masyarakat
mengenal dusun sebagai pemerintahan terendah (village government). Dusun
terdiri dari beberapa kampung, Mengepalai Kepala Dusun adalah Depati. Dibawah
Depati adalah Mangku. Dusun-dusun kemudian menjadi Margo. Pembagian kekuasaan
dalam negeri atau dusun di daerah hulu adalah bathin dengan gelar Rio, Rio
Depati atau Depati, di daerah hilir penguasanya adalah Penghulu atau Mangku
dibantu oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi pengumuman)
[12] Marga Serampas, Marga Sungai Tenang, Marga
Peratin Tuo, Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap dan Marga Senggrahan
[14]
Pasal 10 ayat (2) Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat
Marga Serampas.
[15]
Pasal 9 ayat (1) Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat
Marga Serampas.
[20] Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2012 Tentang
Kelembagaan dan Pengelolaan Hutan Desa Rio Kemunyang Desa Durian Rambun
[21] Bustami, Dusun Pulau Pandan, 5 Agustus 2016
[26] Seloko ini juga dikenal di Minangkabau “goenoeng
nan tinggi, rimbo nan dalem, padang nan lawas, radja nan poenja".
Lihat Het Sumatra's Westkust-Rapport en de Adat, P. DE ROO DE LA FAILLE , Hal.
39
[27] Penghormatan
terhadap Pembesar dapat dilihat dalam ujaran “Alam sekato Rajo. Negeri
sekato Bathin”. Dalam Konsep Von Savigny dikenal dengan istilah “die
Volksgeist”. Volksgeist merupakan gabungan dari kekuatan magis yang
melingkupi suatu perkumpulan adat / persekutuan hukum (rechtsgemeenshap).
Dalam konteks Margo, maka dapat ditafsirkan sebagai “Kekuatan
Batin dari Desa”.
[28] F. J.
Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938.
[29] Myrna
Savitri, Negara dan pluralisme hukum -
Kebijakan pluralisme hukum di Indonesia pada masa kolonial dan masa
kini, BERAGAM JALUR MENUJU KEADILAN PLURALISME HUKUM DAN HAK-HAK MASYARAKAT
ADAT DI ASIA TENGGARA, Penerbit Epistema Institute, Jakarta
[30] Yusmar
Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009
[31] F. J.
Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Op.cit
[32] Dalam teori hak individu atas tanah, biasa dikenal
dengan “hak wenang pilih”. Sehingga
hak seperti Hak Menikmati (genotrecht) dan dan memiliki hak
terdahulu (voorkersrecht) atas tanah
yang digarapnya Atau ”Qui prior et tempore, potior est in
jure orang yang
pertama datang adalah
orang yang paling pertama mendapat hak tidaklah bersifat mutlak. Hak ini akan
hapus apabila “sesap rendah, belukar
tinggi. Tiderman memberikan istilah ”tanah belukar tuo dan tanah belukar mudo. Dalam ujaran adat juga
dikenal ”harta berat ditinggalkan. Harta
ringan dibawa”.