31 Oktober 2018

BAB I - PENDAHULUAN




A.    MONOGRAFI

Provinsi Jambi yang terletak di Pulau Sumatera bagian tengah, membujur dari pantai timur Pulau Sumatera sampai pegunungan Bukit Barisan di bagian barat. Secara geografis, Provinsi Jambi terletak antara 0045’ hingga 2045’ Lintang Selatan dan 101010’ sampai 104055’ Bujur Timur yang membuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Di sebelah timur terbentang laut Cina Selatan.

Mengelilingi Provinsi Jambi, terdapat 4 propinsi lain, yaitu Provinsi Riau di sebelah utara, Provinsi Sumatera Barat di sebelah barat, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Bengkulu di sebelah selatan. Letak yang demikian merupakan wilayah strategis bagi jalur perdagangan dari dulu hingga sekarang.

Luas wilayah Provinsi Jambi mencapai 5,1 juta hektar atau seluas 53.435 Km2. Seluas 95,44 persen meliputi daratan dan seluas 4,66 persen meliputi wilayah perairan. Sekitar 42,73 persen atau seluas 2.1 juta hektar merupakan kawasan hutan yang terbentang dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di sebelah Barat hingga Taman Nasional Berbak (TNB) di sebelah Timur. Sisanya, seluas 57,27 persen atau 2,9 juta hektar merupakan Kawasan Pertanian dan Non Pertanian.
Tipologi wilayah Jambi memanjang dari Dataran tinggi dimulai Kerinci, sebagian hulu Sarolangun, Merangin, Bungo, kemudian membelah sumatera di dataran sedang (Bungo, Tebo dan Batanghari) dan dataran rendah di pesisir Pantai Timur Sumatera (Muara Jambi, Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat). Dataran tengah Jambi kemudian masuk dalam barisan Bukit Barisan yang memanjang ditengah Pulau Sumatera dari Aceh hingga Lampung. Sedangkan dataran rendah di pesisir pantai Timur Sumatera merupakan kawasan gambut.

Tipologi ini kemudian dikenal sebagai Dataran tinggi sebagai penghasil utama kulit manis dan teh dan kemudian Karet dan dataran rendah menghasilkan pinang dan kelapa.

Tipologi ini selain menghasilkan berbagai hasil bumi juga menghasilkan sumber daya alam mineral seperti panas bumi, minyak, batubara dan emas.

Didataran Tinggi, Anugrah Kerinci sebagai penghasil “kulit manis”[1] telah dituliskan oleh Elizabeth Tjahjadarmawan, didalam bukunya “Cassiavera dari Kerinci Primadona Dunia”.  Kulit Kayu Manis adalah salah satu bumbu masakan tertua yang digunakan manusia. Bumbu ini pertama kali digunakan di Mesir Kuno sekitar 5000 tahun yang lalu, dan disebutkan beberapa kali di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama.

Kulit Kayu manis secara tradisional juga digunakan sebagai Suplemen untuk berbagai penyakit, dengan dicampur madu, misalnya untuk pengobatan penyakit radang sendi, kulit, jantung dan perut kembung. 

Kulit manis juga ditanami di hulu kabupaten Merangin.

Selain ditanami kulit manis, Pemerintah Belanda kemudian mencanangkan tanaman teh di pusat onderneming di Pulau Sangkar dan Kayo Aro. Belanda serius “menanam teh” setelah harga kopi tidak stabil dan serangan penyakit tanaman kopi.
Kerinci yang masih termasuk kedalam Keresidenan Sumatera Barat, kemudian mengembangkan melalui perusahaan Belanda, NV. HVA (Namlodse Venotchhhaaf Handle Veriniging Amsterdam) pada tahun 1925[2].

Tahun 1932 Perusahaan NV. H V A sudah mulai menghasilkan teh Kayu Aro yang kemudian melegenda. Bahkan konon teh kayu aro merupakan bahan baku Teh Ty Poo, perusahaan Inggris produsen teh premium dunia yang terkenal di Inggris didirikan Sir John Jr. dan pemasok produk teh ke keluarga bangsawan di Eropa. Bukan hanya itu Ratu Belanda sejak Ratu Wihelmina, Ratu Juliana hingga Ratu Beatrix adalah penikmat teh kayu aro ini. Sehingga tidak salah kemudian, perkebunan teh seluas 3 ribu hektar di kayu aro merupakan perkebunan teh terluas dan tertua di dunia.  Hasil perkebunannya memberikan kontribusi 11,07% terhadap PRDB Provinsi Jambi pada tahun 2005.

Turun sedikit dari dataran tinggi, kita menuju ke dataran sedang yang terdapat di Kabupaten Merangin, Sarolangun, Tebo, Bungo dan Batanghari. Di daerah ini banyak dijumpai tanaman karet sebagai komoditas utama pertanian.

Sebagai penghasil karet, Jambi dikenal dari zaman Belanda hingga sekarang. Elsbeth Locher-Scholten menyebutkan benih tanaman ini awalnya diselundupkan dari Brasil ke Malaka pada 1890, dan kemudian diimpor oleh para pedagang Cina ke Sumatera (Jambi) dan Kalimantan. Karena kondisi ekologi dan struktur tanah Jambi yang baik dan subur, maka tanaman ini dapat tumbuh dengan mudah di mana saja[3].
Barulah diyakini memiliki prospek yang cerah di pasar dunia, Residen Jambi, Helfrich, sekitar tahun 1910-1912 menganjurkan budidaya tanaman ini secara massal, dan mendistribusikan benih-benih unggulan kepada rakyat. Pada 1918, tanaman ini telah menjadi primadona baru bagi orang Jambi. Mereka mulai mengalihkan sawah dan ladang menjadi perkebunan karet, bahkan kemudian menerapkan pertanian dengan sistem monokulltur, yakni hanya dengan menanam karet saja.

Pada periode 1925 – 1928 merupakan zaman kejayaan bagi petani karet Jambi, di mana harga karet ada mencapai angka tertinggi ƒ 52,50 setiap pikul (100 kg)[4].

Bahkan menjelang Kemerdekaan, ekspor karet Jambi ke Singapore mencapai 90.197 ton. Sedangkan luas tanaman karet pada tahun 1942 di Jambi mencapai 188.578 Ha. Angka ini melampaui ekspor dan luas tanaman karet dari daerah Riau Kepulauan, Bengkalis, Indragiri, dan. Sumatera Barat[5]. Bahkan Jambi merupakan daerah penghasil karet “runner up dari Hindia Belanda.

Kejayaan tanaman karet kemudian dikenal sebagai zaman kupon. Cerita “zaman kupon” ditandai dengan masyarakat yang memiliki karet dengan cara sistem penjualan karet dengan kupon. Belanda membeli getah melalui kupon. Jumlah kupon kemudian ditandai dengan jumlah batang dan hasil panen. Kupon merupakan salah satu alat tukar yang memiliki nilai tinggi dan dapat ditukarkan dengan kebutuhan sehari-hari di kampong.
Sebagai komoditas utama pertanian, perkebunan karet rakyat di Jambi mencapai 646.878 ha dan jumlah petani karet sekitar 251.403 KK dan produksi 225.702 ton per tahun[6].

Namun luas karet tergerus dengan sawit. Konversi karet dari sawit hingga mencapai
657 ribu ha (2013). Walaupun BPN sendiri sudah mensinyalir mencapai 1,2 juta ha. namun baru 487 ribu ha yang sudah menjadi HGU[7].

Di daerah hilir, pinang dan kelapa merupakan komoditas utama pertanian. Dengan perkebunan pinang seluas 5.898 ha dengan produktivitas 1.062 kg/ha/tahun, pinang merupakan primadona utama di masyarakat pesisir timur sumatera.

Selain pinang, masyarakat di daerah hilir pesisir Pantai timur Sumatera menjadikan kelapa sebagai primadona. Dengan luas kebun Kelapa mencapai 100 ribu hektar menghasilkan kopra rata-rata hanya 1,3 ton/ha/tahun dan mencapi 109.788 ton membuat ketergantungan dari 95.785 kepala keluarga (KK).

B.    JAMBI DALAM LINTASAN SEJARAH

Dalam berbagai literatur, kata Jambi menjadi salah satu pusat kajian. Kata Jambi dapat ditemukan pada perjalanan pelayaran kedua Maskapai Hindia Timur Inggeris yang dipimpin oleh Sir Hendry Middleton yang berhasil mencapai Ternate, Tidore, Ambon dan Banda. Akan tetapi di wilayah ini mereka mendapat perlawanan dari pihak VOC, dan dimulailah persaingan sengit Inggeris- Belanda untuk mendapatkan rempah-rempah. VOC berusaha memaksakan perjanjian-perjanjian monopoli kepada para penguasa kepulauan penghasil rempah-rempah ini dan mereka sangat marah terhadap apa yang mereka namakan sebagai “komplotan penyeludup” Inggeris di Maluku.

Selama tahun 1611-1617, Orang Inggeris juga mendirikan kantor-kantor dagang mereka di bagian-bagian Indonesia lainnya, di Sukadana (Kalimantan Barat Daya), Makassar, Jayakerta dan Jepara (Jawa) serta Aceh, Pariaman dan Jambi (di Sumatera). Konflik Inggeris –Belanda semakin memuncak ketika orang-orang Belanda merasa bahwa cita-cita monopoli mereka telah luput[8].  Setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan besar di Jawa, Kerajaan Melayu Jambi masih bergabung dengan Kerajaan Minangkabau[9]. Pusat Kerajaan Melayu Jambi di Ujung Jabung pernah dipindahkan ke Muara Jambi, kemudian pernah dipindahkan ke Dhamasraya, namun hanya sebentar. Kemudian dipindahkan ke Batu Sangkar (awalnya bernama Kota Bersangkar Batu) yang kemudia berkembang Menjadi Pusat Kerajaan Minangkabau yang saat itu kekuasaannya meliputi Pulau Andalas (Pulau Sumatra) dan Malaya. Selanjutnya pusat Kerajaan Minangkabau berada di Pagaruyung.

Padahal jauh sebelumnya, Membicarakan Jambi tidak lepas dari perdebatan tentang Sriwijaya.

Istilah Malayu pertama kali munculpada tahun 671 M oleh seorangbiksu Tiongkok bernama I-Tsingyang pada saat itu bermukim dikerajaan Malayu (Jambi) yang terletak di lembah Batang Hari untuk memperdalam pengetahuan mengenai filsafat agama Budha.
Kemudian ia pindah ke kerajaan Sriwijaya yang pusatnya berada di lembah sungai Musi di sekitar kota Palembang untuk menyalin dan menerjemahkan naskah- naskah Sansekerta. Dari sini I Tsing melaporkan di tahun 689 bahwa Malayu telah kehilangan kedaulatannya pada Sriwijaya. Mulai saat itu semua utusan yang dikirim ke negeri Tiong- kok berasal dari Sriwijaya, dan tidak satu pun lagi dikirim dari Malayu. Selama berabad- abad Sriwijaya tetap berjaya sebagai kerajaan yang mahakuasa, dan tidak pelak lagi bahwa Sriwijaya patut dipandang sebagai tempatnya kebudayaan Melayu berkembang di sepanjang abad[10]

Dalam pembahasannya, disadari Sejarah Melayu Kuno masih dilliputi kegelapan. Selain dasar yang dipakai berita China yang sulit ditafsirkan. Dalam pembahasan di Seminar, menurut Dr. EE Mc KINNON dan DR. AB Lapian, Muara Jambi sebagai pusat agama dan pusat pemerintahan. Begitu juga disampaikan oleh Drs. Bambang B Utomo, Fachruddin Saudagar dan Prof. Dr. Jacob, Pusat Kerajaan Melayu diperkirakan berasal dari Jambi. Ini didukung oleh Prof. Dr. Nik Hassan Suhaimi dan Drs. MM. Soekarto K. Atmodjo yang berpendapat, Jambi adalah tapak Kerajaan Melayu yang diperkirakan keberadaannya sampai abad VII M.

Dari perdebatan mengenai kejelasan dan peran sentral kedudukan Melayu Kuno, maka S. Sartono kemudian mengemukakan pertanyaan menggugat. Pada abad VII di Sumatera Timur ada 2 Kerajaan kuno yaitu Moloyu (Malayu, Jambi) dan Sriwijaya (Palembang). Apakah memang ada hubungan antara dua kerajaan itu. Bagaimana menghubungkannya ?
Hipotesis yang disampaikan oleh Sartono kemudian menjelaskan, Bahwa semula Kerajaan Malayu Kuno berpusat di Muara Takus. Tempat kedudukan dipilih setelah Malayu (Jambi) dikuasai oleh Sriwijaya (Palembang).

Pada tahun 1294 M Kerajaan Singosari runtuh dan Seri Kartanegara meninggal dunia. Salah satu anggota Kartanegara berhasil mendirikan kerajaan yaitu Majapahit yang dikuasai oleh Raden Wijaya (Kartarajasa Jayawardana). Untuk menambah kekuatan tentaranya dan melanjutkan hubungan persahabatan yang telah dilakukan oleh pendahulunya dengan penguasa kerajaan Melayu, Raden Wijaya menikahi putri Melayu (Dara Petak) dan diiringi juga oleh Raja Mauliwarmadewa menikahi Dara Jingga, yaitu pada tahun 1293 M. Dengan demikian Kerajaan Melayu yang meliputi Jambi, Tebo, Ulu Batanghari dan Minangkabau di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1347 M[11] Adityawarman dinobatkan sebagai raja Kerajaan Melayu setelah raja Rendra. Pada masa kekuasaannya, Adityawarman ingin kerajaan Melayu berdiri sendiri dan lepas dari kerajaan Majapahit. Maka dari itu, pusat kerajaan dipindahkannya ke Dharmasraya dan tidak lama kemudian dipindahkannya lagi ke daerah pedalaman yaitu Batu Sangkar atau Koto Batu Berpagaruyung dan di sini ia bergelar Maharajo Dirajo. Kekuasaan Adityawarman cukup kuat mendominasi Kekuasaan Adityawarman cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan sekitarnya. Hal ini, dapat dibuktikan dengan gelar maharajo dirajo yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat pada bagian belakang Arca Amoghapasa, ditemukan di hulu sungai Batanghari (sekarang kawasan Kabupaten Dharmasraya)[12].
Selama Adityawarman menjabat sebagi raja, beliau berhasil menguasai wilayah di sepanjang Batang Mengkawas (Batanghari), hingga ke Selat Berhalo dan daerah-daerah lainnya. Setelah Adityawarman wafat pada tahun 1376 M, kerajaan dipegang oleh anaknya yaitu Anggawarman dan ia juga tidak mau tunduk kepada raja Mataram[13]. Oleh sebab itu terjadi perang antara Kerajaan Mataram dengan Kerajaan Pagaruyung di Padang Sibusuk (1409 M). Akibat dari perperangan itu, daerah kekuasaan secara berangsur-angsur mulai memisahkan diri seperti wilayah Batanghari mendirikan sebuah Kerajaan Melayu yang dipimpin oleh Tun Telanai. Setelah meninggalnya Raja Melayu Tun Telanai, maka Putri Selaro Pinang Masak yang tinggal di Pagaruyung, menerima penyerahan Kerajaan Melayu Jambi dari anak Tun Telanai untuk menjadi raja Melayu Jambi yaitu pada tahun 1460 M[14].

Kerajaan Malayu Kuno seolah-olah didesak oleh Sriwijaya dari arah Jambi ke Barat sampai di Muara Takus. Dengan penjelasan ini, maka S. Sartono berpendapat, adanya dua kerajaan yakni Moloyu (Malayu) di Jambi dan Sriwijaya di Palembang.

Pernyataan dari Sutikno dkk, justru memaksakan kita harus berdebat hebat. Situs- situs di Muara Jambi membuktikan adanya keberadaan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu kuno.

Belum selesai perdebatan tentang letak Kerajaan Sriwijaya, misteri tentang Kerajaan Melayu Jambi juga meninggalkan persoalan yang sama. Hilangnya peradaban Kerajaan Melayu Jambi yang di Candi Muara Jambi kemudian munculnya kerajaan Melayu Jambi yang beragama islam.

Pemerintah Hindia Belanda telah menetapkan wilayah administrasi Jambi dengan membagi wilayah dengan menyebutkan “Margo”.

Dalam berbagai dokumen disebutkan dengan berakhirnya masa kesultanan Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha Saifuddin tanggal 27 April 1904 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie.

Residen Jambi yang pertama O.L Helfrich yang diangkat berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20 tanggal 4 Mei 1906 dan pelantikannya dilaksanakan tanggal 2 Juli 1906.
Sebagai bagian dari Sumatera, pengaruh Melayu tidak dapat dielakkan di Jambi.  Secara geografis kawasan Malayu-Jambi mencakup daerah aliran sungai Batang Hari beserta dengan anak sungai seperti Merangin, Tabir, Tebo, dan Tembesi, dan daerah pegunungan seperti Kerinci dan Sumatra Barat.

Didalam kertagama dan prastasi, pada tahun 664-665 “Mo-lo-jeu” telah mengirim utusan ke negeri Cina. Tahun 853 dan 871 “Champi” (Jambi) mengirim armada dagang. Kota yang dianggap penting oleh pedagang Arab antara lain “Zabag” (Muara Sabak). Istilah “tauke” sebagai “pengumpul barang” masih dikenal di tengah masyarakat.

Kata Jambi dapat ditemukan pada perjalanan pelayaran kedua Maskapai Hindia Timur Inggeris yang dipimpin oleh Sir Hendry Middleton yang berhasil mencapai Ternate, Tidore, Ambon dan Banda. Akan tetapi di wilayah ini mereka mendapat perlawanan dari pihak VOC, dan dimulailah persaingan sengit Inggeris- Belanda untuk mendapatkan rempah-rempah. VOC berusaha memaksakan perjanjian-perjanjian monopoli kepada para penguasa kepulauan penghasil rempah-rempah ini dan mereka sangat marah terhadap apa yang mereka namakan sebagai “komplotan penyeludup” Inggeris di Maluku.

Selama tahun 1611-1617, Orang Inggeris juga mendirikan kantor-kantor dagang mereka di bagian-bagian Indonesia lainnya, di Sukadana (Kalimantan Barat Daya), Makassar, Jayakerta dan Jepara (Jawa) serta Aceh, Pariaman dan Jambi (di Sumatera). Konflik Inggeris –Belanda semakin memuncak ketika orang-orang Belanda merasa bahwa cita-cita monopoli mereka telah luput[15]

Setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan besar di Jawa, Kerajaan Melayu Jambi masih bergabung dengan Kerajaan Minangkabau[16]. Pusat Kerajaan Melayu Jambi di Ujung Jabung pernah dipindahkan ke Muara Jambi, kemudian pernah dipindahkan ke Dhamasraya, namun hanya sebentar. Kemudian dipindahkan ke Batu Sangkar (awalnya bernama Kota Bersangkar Batu) yang kemudia berkembang Menjadi Pusat Kerajaan Minangkabau yang saat itu kekuasaannya meliputi Pulau Andalas (Pulau Sumatra) dan Malaya. Selanjutnya pusat Kerajaan Minangkabau berada di Pagaruyung.

Sekitar tahun 1409 M terjadilah perang antara Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung dengan Kerajaan Mataram di Jawa. Perang terjadi di Padang Sibusuk[17] dan akhirnya dimenangkan oleh Raja Mataram. Kekalahan ini membuat perpecahaan kerajaan melayu saat itu akhirnya luhak bepenghulu tinggal di Pagaruyung, alam berajo balik ke Jambi. Maka sejak itu berdirilah Kerajaan Melayu Jambi secara tersendiri lepas dari Minagkabau dipimpin oleh Tun Talanai.
Kemudian ia pindah ke kerajaan Sriwijaya yang pusatnya berada di lembah sungai Musi di sekitar kota Palembang untuk menyalin dan menerjemahkan naskah- naskah Sansekerta. Dari sini I Tsing melaporkan di tahun 689 bahwa Malayu telah kehilangan kedaulatannya pada Sriwijaya. Mulai saat itu semua utusan yang dikirim ke negeri Tiong- kok berasal dari Sriwijaya, dan tidak satu pun lagi dikirim dari Malayu. Selama berabad- abad Sriwijaya tetap berjaya sebagai kerajaan yang mahakuasa, dan tidak pelak lagi bahwa Sriwijaya patut dipandang sebagai tempatnya kebudayaan Melayu berkembang di sepanjang abad[18]

Dalam pembahasannya, disadari Sejarah Melayu Kuno masih dilliputi kegelapan. Selain dasar yang dipakai berita China yang sulit ditafsirkan. Dalam pembahasan di Seminar, menurut Dr. EE Mc KINNON dan DR. AB Lapian, Muara Jambi sebagai pusat agama dan pusat pemerintahan. Begitu juga disampaikan oleh Drs. Bambang B Utomo, Fachruddin Saudagar dan Prof. Dr. Jacob, Pusat Kerajaan Melayu diperkirakan berasal dari Jambi. Ini didukung oleh Prof. Dr. Nik Hassan Suhaimi dan Drs. MM. Soekarto K. Atmodjo yang berpendapat, Jambi adalah tapak Kerajaan Melayu yang diperkirakan keberadaannya sampai abad VII M.

Dari perdebatan mengenai kejelasan dan peran sentral kedudukan Melayu Kuno, maka S. Sartono kemudian mengemukakan pertanyaan menggugat. Pada abad VII di Sumatera Timur ada 2 Kerajaan kuno yaitu Moloyu (Malayu, Jambi) dan Sriwijaya (Palembang). Apakah memang ada hubungan antara dua kerajaan itu. Bagaimana menghubungkannya ?

Hipotesis yang disampaikan oleh Sartono kemudian menjelaskan, Bahwa semula Kerajaan Malayu Kuno berpusat di Muara Takus. Tempat kedudukan dipilih setelah Malayu (Jambi) dikuasai oleh Sriwijaya (Palembang). Dengan kata lain, Kerajaan Malayu Kuno seolah-olah didesak oleh Sriwijaya dari arah Jambi ke Barat sampai di Muara Takus. Dengan penjelasan ini, maka S. Sartono berpendapat, adanya dua kerajaan yakni Moloyu (Malayu) di Jambi dan Sriwijaya di Palembang.
Pernyataan dari Sutikno dkk, justru memaksakan kita harus berdebat hebat. Situs- situs di Muara Jambi membuktikan adanya keberadaan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu kuno.

Belum selesai perdebatan tentang letak Kerajaan Sriwijaya, misteri tentang Kerajaan Melayu Jambi juga meninggalkan persoalan yang sama. Hilangnya peradaban Kerajaan Melayu Jambi yang di Candi Muara Jambi kemudian munculnya kerajaan Melayu Jambi yang beragama islam.
Pemerintah Hindia Belanda telah menetapkan wilayah administrasi Jambi dengan membagi wilayah dengan menyebutkan “Margo”[19].
Dalam berbagai dokumen disebutkan dengan berakhirnya masa kesultanan Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha Saifuddin tanggal 27 April 1904 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie.
Residen Jambi yang pertama O.L Helfrich yang diangkat berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20 tanggal 4 Mei 1906 dan pelantikannya dilaksanakan tanggal 2 Juli 1906.
Kekuasan Belanda atas Jambi berlangsung ± 36 tahun karena pada tanggal 9 Maret 1942 terjadi peralihan kekuasaan kepada Pemerintahan Jepang. Dan pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah pada sekutu. Tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkanlah Negara Republik Indonesia. Sumatera disaat Proklamasi tersebut menjadi satu Provinsi yaitu Provinsi Sumatera dan Medan sebagai ibukotanya dan MR. Teuku Muhammad Hasan ditunjuk memegangkan jabatan Gubernurnya.
Pada tanggal 18 April 1946 Komite Nasional Indonesia Sumatera bersidang di Bukittinggi memutuskan Provinsi Sumatera terdiri dari tiga Sub Provinsi yaitu Sub Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Sub Provinsi Sumatera Tengah mencakup keresidenan Sumatra Barat, Riau dan Jambi. Tarik menarik Keresidenan Jambi untuk masuk ke Sumatera Selatan atau Sumatera Tengah ternyata cukup alot dan akhirnya ditetapkan dengan pemungutan suara pada Sidang KNI Sumatera tersebut dan Keresidenan Jambi masuk ke Sumatera Tengah. Sub-sub Provinsi dari Provinsi Sumatera ini kemudian dengan undang-undang nomor 10 tahun 1948 ditetapkan sebagai Provinsi.
Dengan UU.No. 22 tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah keresidenan Jambi saat itu terdiri dari 2 Kabupaten dan 1 Kota Praja Jambi. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Kabupaten Merangin yang mencakup Kewedanaan Muara Tebo, Muaro Bungo, Bangko dan Batanghari terdiri dari kewedanaan Muara Tembesi, Jambi Luar Kota, dan Kuala Tungkal. Masa terus berjalan, banyak pemuka masyarakat yang ingin keresidenan Jambi untuk menjadi bagian Sumatera Selatan dan dibagian lain ingin tetap bahkan ada yang ingin berdiri sendiri. Terlebih dari itu, Kerinci kembali dikehendaki masuk Keresidenan Jambi, karena sejak tanggal 1 Juni 1922 Kerinci yang tadinya bagian dari Kesultanan Jambi dimasukkan ke keresidenan Sumatera Barat tepatnya jadi bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci.
Namun dalam catatan lain, nama Jambi sering disebutkan didalam berbagai dokumen seperti Midden Sumatera (Sumatera Tengah) sering diulas oleh P.J. Veth dalam karya berserinya seperti Aardrijksundige Beschrijving, Reisverhaal, Naturlijke historie, Volkbeschrijving. Sedangkan von Alfred Maab menuliskan istilah “Durch Zentral-Sumatra” sebagai wilayah yang menunjuk Sumatera Tengah sebagaimana dalam catatan koleksi Etnografi
Begitu juga kalimat “oostkust van Sumatera” sebagaimana sering dituliskan berbagai sarjana Belanda seperti A. F. Van Blommestein, dalam berbagai peraturan seperti Algmenen Vereeniging van Rubber planters ter ooskust van Sumatera, Arbeidestoestanden op de Oostkust van Sumatera, katalog inzending van de oostkust van sumatra, verslag betreffende bezoek aan het gewest ooskust van sumatra, vereeniging “plantersbond oostkust sumatera”, sering mewarnai berbagai perjalanan didalam buku yang telah dituliskan oleh berbagai sarjana.
Sementara menggunakan kata “East Coast of Sumatera” dapat kita temukan dalam karya A. V. ROS yang menulis panjang lebar dari perjalanan dan pandangan tentang Sumatera Timur.
Dari berbagai sumber disebutkan Sumatera Tengah adalah sebuah provinsi yang pernah tercatat sebagai salah satu provinsi di Indonesia. Namun sejak tahun 1957 kemudian dimekarkan menjadi provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi.

Berbeda dengan penempatan Jambi dalam “oostkust van Sumatera” atau “East Coast of Sumatera” dalam karya A. V. ROS, istilah Negara Sumatera Timur pernah menjadi bagian dari sejarah bentukan boneka Pemerintah Belanda (1945 – 1950).

Sejarah cukup panjang selain kelanjutan dari Residen penguasaan Belanda di “lumbung” seperti karet, the, kopi dan berbagai kebutuhan rempah-rempah, daerah Sumatera Timur hanya Karesidenan Sumatera Timur adalah wilayah administrasi Hindia Belanda di kawasan pesisir timur Sumatera bagian utara yang berdiri pada 1 Maret 1887 yang terdiri dari Kesultanan Asahan, Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang dan Kesultanan Langkat.
Dari buku-buku, laporan ataupun peraturan yang dikeluarkan pemerintah Belanda, nama “oostkust van Sumatra' cukup sering disebutkan. Jambi yang kemudian ditempatkan dalam “Oostkust van Sumatra” disebutkan sering menghasilkan karet.

Didalam bukunya, Lindayanti “Perkebunan Karet Rakyat Jambi 1920-1928, Aspek Sosial Ekonoini, dalam Sejarah Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, sebagaimana dikutip oleh Budiharddjo, Tanaman karet Jambi berkembang lagi setelah setelah NederlandsIndie membuka pintu bagi investor asing terutama Inggerris, Belanda, Belgia dan Amerika.

A.H.P. Clemens dalam skripsinya 'De Bevolkingsrubbercultuur in Djambi en Palembang Tijdens het Interbellum' (Perkebunan Karet Rakyat.di. Jambi dan Palembang Di Antara Dua Perang Dunia), perkembangan perkebunan karet rakyat dari tahun 1906 sampai berakhimya kekuasaan pernerintah Belanda pada tahun 1942,  karet dikenal sebagai masa karet dan sebagai “hujan mas”.

Tentu saja kita kita tidak mendiskusikan lebih lanjut tentang Jambi yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah “kemakmuran” karet. Sejarah yang sudah sering dituliskan dari berbagai dokumen.

Menempatkan Jambi dalam kawasan pantai Timur Sumatera memang menjadi kajian yang cukup serius hingga sekarang.

Sebagai bagian dari kawasan pantai timur Sumatera, Jambi beririsan dengan Riau dan Sumatera Selatan. Dengan menggunakan pendekatan region, menempatkan Jambi dalam irisan pantai Timur Sumatera merupakan kawasan yang tidak terpisahkan.

Kawasan itu tidak bisa dilepaskan dari urusan administrasi semata. Melepaskan Jambi dalam urusan administrasi dalam kawasan pantai timur Sumatera merupakan persoalan yang serius dalam pengelolaan sumber daya alam.

Kawasan pantai Timur Sumatera yang kemudian menempatkan Jambi dalam jajaran pantai pesisir timur kemudian menjadi pandangan, bacaan kita tentang kawasan pantai timur berbeda dengan kawasan pedalaman di Jambi.

Data-data menunjukkan penataan dikawasan pantai timur berbeda dengan pengelolaan di daerah datatan sedang dan dataran tinggi di Jambi yang terletak di hulu Sungai Batanghari.
Selain vegetasi, pola cocok tanam, iklim maupun tipologi yang berbeda membuat kawasan pantai timur menjadi tipologi yang unik.

Namun penempatan Jambi sebagai bagian dari “oostkust van Sumatera” atau “East Coast of Sumatera”  dan midle Sumatra atau Midden Sumatra sebagaimana didalam catatan panjang P.J. Veth memang menarik untuk digali lebih lanjut.

Tentu saja kesulitan kita mendapatkan dokumen yang masih tersimpan di berbagai universitas dan museum di berbagai dunia juga dilatarbelakangi berbagai bahasa. Baik dalam bahasa Belanda seperti didalam “Arbeidstoestanden op de oostkust van Belanda”, Algemeene Vereenigingvan Rubber planters ter oostkust van Sumatra, atau bahasa Perancis seperti Rapports, Memories & Proces Verbaux Des Seances, Documents pour servir, atau bahasa Jerman seperti Uber Deckenbau im Gebiet von Djambi (Sumatra) dan bahasa Inggeris Malay Tongue as spoken in the Peninsula of Malacca the Island of Sumatra, Java, Borneo, Pulo Pinang.

Namun menurut Charles Campbell melaporkan bahwa di tahun 1800 penduduk Sungai Tenang jarang membayar upeti kepada sultan Jambi yang selayaknya terdiri dari seekor kerbau, setahil emas, dan seratus bambu beras dari setiap kampung. Surat-surat yang ditulis oleh temenggung sultan Jambi yang sampai sekarang masih disimpan sebagai pusaka di Kerinci juga menunjukkan bahwa penduduk di Kerinci tidak selalu patuh kepada perintah rajanya di Jambi

Menurut Ulu Kozok didalam bukunya “Kitab Undang-undang Tanjung Tanah” Muara Jambi tetap menjadi pelabuhan tempat armada perdagangan Malayu berpangkal, tetapi Malayu tidak lagi menguasai Selat Malaka dan hanya menjadi salah satu dari berbagai pemain dalam perdagangan antarpulau dan antarbangsa[20]

Di sisi yang lain De Casparis tentu benar bila ia menolak bahwa Malayu takluk pada
Jawa. “Mungkin sekali Adityawarman mengakui kewibawaan negara Madjapahit, tetapi hal itu tidak ternyata dari prasastinya, yang tidak pernah menyebutkan ketergantungan Adityawarman dari Majapahit: nama pulau Jawa pun belum ditemukan dalam prasastiprasasti raja itu” .

Menurut McKinnon “Apa yang sesungguhnya terjadi tidak jelas, tetapi data arkeologi mengesankan bahwa sebagian besar situs di pantai timur Sumatra, termasuk Pulau Kompei dan Kota Cina di Sumatra Utara, serta Muara Jambi, Muara
Kumpeh Hilir, dan Koto Kandis yang terletak di tepi Batang Hari, dimusnahkan atau ditinggalkan oleh penduduknya pada akhir abad ke- 14
, merupakan akibat langsung dari politik imperialis Majapahit di perairan Selat Malaka[21]
Jambi juga dipengaruhi Palembang. Dalam karya “To Live as Brothers” ahli sejarah Barbara Andaya telah melukiskan dengan sangat teliti betapa rumitnya hubungan antara kedua wilayah yang paling berpengaruh di Sumatra bagian selatan, yaitu Jambi dan Palembang.

Di dalam studinya yang mencakup abad ke-17 dan ke-18 Andaya dapat mengandalkan sumber dari arsip VOC. Tampaknya cukup jelas bahwa kedua saudara tersebut sudah berabad-abad bersaing secara sangat gigih. Kedua saudara tersebut selalu bersaing untuk memanfaatkan posisi strategis kedua wilayah tersebut dalam menguasai Selat Malaka dan arus perdagangannya. Rupa-rupanya Palembang sering dapat mengungguli Jambi dalam persaingannya sehingga Sriwijaya selalu dikaitkan dengan Palembang sebagai pusat kerajaannya mulaidari abad ke-7 sampai dengan abad ke-11. Pada tahun 1025 Rajendra Chola yang memerintah kerajaan Koromandel di India menyerang pusat-pusat perdagangan di Selat Malaka. Ekspedisi militer ini merupakan pukulan dahsyat bagi Sriwijaya, dan memberi kesempatan kepada Malayu (Jambi) untuk bangkit kembali.  Walaupun Malayu telah berhasil menyingkirkan Palembang, perubahan yang terjadi antara abad ke-11 dan abad ke-13 yang terutama menyangkut pola perdagangan di Asia Tenggara tidak terlalu menguntungkan bagi Malayu yang tidak pernah dapat meraih kembali status yang pernah dipegang oleh Palembang sebagai penguasa mutlak di kawasan Selat Malaka[22].

Masa periode selanjutnya, Majapahit yang berkuasa setelah runtuhnya Sriwijaya. Didalam Negara Kartagama, Pararaton, Kidung Hariwijaya, Kidung Ronggowale disebutkan Majapahit kemudian mempunyai kota-kota pelabuhan seperti Tuban, Gresik, Sedayu, Jaratan. Majapahit didukung dua sungai besar yaitu Kalibrantas dan Bengawan Solo. Menurut Tome Pires didalam karya monumentalnya Suma Oriental menerangkan Pedagang Muslim kemudian mengadakan hubungan dagang dengan Majapahit

Peristiwa “penundukan” yang disebut Pamalayu itu telah ditafsirkan oleh para ahli sejarah. Kebanyakan sejarahwan cenderung mengikuti teori yang dikemukakan oleh Krom dalam karya Hindoe-Javaansche Geschiedenis melihat patung Amoghapasa yang ditemukan di Pulau Punjung[23]. Dalam sejarah dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu.
Berbeda dengan C.C. Berg yang menginterpretasi Pamalayu sebagai bagian untuk menyatukan Nusantara (pulau-pulau di luar Jawa) agar bersama-sama dapat menghadapi ancaman dari kaisar Mongol Kublai Khan. Dengan demikian Berg menginterpretasikan Pamalayu sebagai “perjanjian dengan Malayu untuk membentuk persekutuan melawan agresi dinasti Mongol. Teori Berg belakangan ini juga didukung oleh De Casparis.

Di sisi yang lain De Casparis tentu benar bila ia menolak bahwa Malayu takluk pada
Jawa: “Mungkin sekali Adityawarman mengakui kewibawaan negara Madjapahit, tetapi hal itu tidak ternyata dari prasastinya, yang tidak pernah menyebutkan ketergantungan Adityawarman dari Majapahit: nama pulau Jawa pun belum ditemukan dalam prasastiprasasti raja itu”[24]

Menurut cerita di berbagai tempat di daerah hulu Sungai Batanghari,  di dahulu kala ada seorang Pangeran Temenggung Kebaruh, yang dikatakan masih keturunan Majapahit, mengunjungi Kerinci dari Muara Mesumai yang meyakinkan para raja untuk mengakui kedaulatan Jambi. Para raja diberi hadiah berbentuk kain dan dianugerahi dengan gelar dipati (juga disebut depati) yang berasal dari gelar Jawa adipati[25]. Dipati berarti lebih daripada sekalian. Lembaga depati diperkenalkan oleh raja Jambi lebih dari enam ratus tahun yang lalu sebagai alat untuk memerintah. 

Namun menurut Watson Andaya, berbagai dokumen hanya menunjukkan wilayah Pagaruyung hanya bisa mendukung Margo Koto VII dan Margo Kota IX (Tebo) yang berlatar belakang Minangkabau. Orang Minangkabau berpindah ke selatan pada abad Ke 17 atau sesudahnya dan kemudian menyatakan diri tunduk kepada bathin dengan menyatakan diri sebagai penghulu. Kelompok bathin migran menetap di Rawas di perbatasan Jambi dan Palembang.

Dokumen ini juga bisa dilihat dalam geografi dimana wilayah Minangkabau dibagi menjadi tiga. Darek (darat), Rantau dan Pesisia (Pesisir). Darek adalah daerah tinggi diantara pegunungan diantaranya Gunung Singgalang dan Gunung Merapi. Darek dibagi 3 (luhak nan tigo). Luhak tanah datar, luhak Agam dan Luhak 50 Koto yang terdiri luhak, ranah dan Lareh. Maninjau termasuk kedalam Luhak Agam. Rantau adalah daerah diluar Luhak nan tigo. Menyusuri Sungai seperti Rokan, Siak, Kampar, Kuantan/Indragiri dan Batanghari. Biasa disebut juga Minangkabau Timur atau “ikua rantau (Ekor rantau). Sehingga “ikua rantau” dilihat dari menyusuri Sungai Batanghari.

Ketika runtuh Sriwijaya dan Majapahit, Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan internasional menarik perhatian kerajaan kecil di sepanjang pesisir Timur Sumatera. Dalam berbagai literature disebutkan, Jambi kemudian ditempatkan dan menjadi bahan kajian sejarah. Penamaan Kata-kata seperti Midden Sumatera (Sumatera Tengah) sering diulas oleh P.J. Veth dalam karya berserinya seperti Aardrijksundige Beschrijving, Reisverhaal, Naturlijke historie, Volkbeschrijving, atau von Alfred Maab menuliskan istilah “Durch Zentral-Sumatra” dalam catatan koleksi Etnografi ataupun  oostkust van Sumatera” sebagaimana sering dituliskan berbagai sarjana Belanda seperti A. F. Van Blommestein, dan“East Coast of Sumatera” dapat kita temukan dalam karya A. V. ROS membuat posisi strategis Selat Malaka dan menempatkan Jambi.
Sementara kerajaan Malaka menjadi kerajaan besar dengan didukung hubungan baik dengan Kerajaan Samudra pasai pada abad XV[26]. Menurut Barbara Watson Andaya[27], kebesaran Malaka, yaitu adanya undang-undang yang cukup rapi dan administrasi sebagai rencana lama pelayaran, keadilan Raja Malaka yang lebih suka di Malaka daripada berburu sehingga dapat menyelesaikan persoalan pelayaran,

Bahkan didalam Buku Meilink-Roelofsz “Asian Trade and Europan Influence – 1500 – 1630 “ disebutkan “Kerajaan kecil di pedalaman seperti di Tungkal juga mengadakan hubungan dagang dengan membawa hasil pertanian dan membeli barang bernilai tinggi.  Malaka kemudian ditaklukan Portugis tahun 1511 M.

Menurut Fachruddin Saudagar “Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, telah membawah dampak kemerosotan dan merubah pelabuhan Malaka menjadi bandar yang ditinggalkan pedagangnya. Jatuhnya Malaka telah membawa perubahan mendasar terhadap konstelasi politik dan perdagangan di kawasan perairan selat Malaka.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, maka Johor muncul sebagai bandar penting di selat Malaka. Pada awal abad 17 antara Jambi dan Johor terjadi persaingan hegemoni menguasai jalan perdagangan di laut. Dalam kondisi persaingan ini maka pihak Inggris, Belanda, dan Portugis mulai ingin ikut campur tangan dalam urusan politik.
Perang tidak dapat dihindarkan yaitu perang terbuka antara Jambi dengan Johor berlangsung lebih kurang 14 tahun lamanya sejak tahun 1667 – 1681 M (4 kali perang). Perang Jambi-Johor ke IV tahun 1680 – 1681 M.
Dalam perang terakhir, Jambi yang dibantu Belanda dengan berbagai macam perlengkapan militer dan dana kemudian menghadapi perlawanan Johor dibantu Palembang dan Daeng Mangika menyerang Jambi. Johor berhasil dikalahkan. Belanda kemudian semakin menanjabkan kukunya di Jambi.
Jambi selain dipengaruhi perdagangan dalam alur Selat Malaka, bergantiannya sistem pemerintahan juga dipengaruhi agama. Sebelum kedatangan Islam (banyak versi. Ada menyebut kedatangan Islam abad XII. Namun ada yang menyebutkan abad XVII), pengaruh Budha dan Hindu mendominasi kehidupan masyarakat.

Selama berabad-abad ibukota Malayu terletak di Muara Jambi, sebuah kompleks ritual-politik dengan jumlah penduduk yang lumayan besar. Schnittger  “menyebutkan “sebuah kota yang besar, barangkali lebih besar dari Palembang”[28]

Bahkan  McKinnon menambahkan bahwa “situs Muara Jambi barangkali merupakan situs yang terbesar dan paling penting di Sumatra[29]

Selain itu juga terdapat Pelabuhan di Muara Sabak/koto Kandis yang ramai dari abad XII – XIV [30]
Dalam F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, menyebutkan “Masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi[31].
Pengaruh periode terakhir datangnya agama Islam. Tidak ada kesepakatan di antara para sejarawan tentang kapan sebenarnya Islam mulai masuk dan menyebar di dunia Melayu. Teori yang ada bisa dibagi ke dalam dua kategori. Ada yang mengatakan kedatangan Islam adalah awal abad Pertama Hijriah (abad 7)[32]. Teori kedua mengatakan kedatangan Islam dimulai di abad 13. [33] Teori pertama didasarkan pada catatan Tionghoa dari Dinasti T’ang yang menyebutkan sejumlah orang dari Ta-shih[34] yang membatalkan niatnya untuk menyerang kerajaan Ho-ling di bawah rezim Ratu Sima (674 M).

Kedatangan Islam sejak abad ke 7 dan ke 8 dipicu perkembangan dagang laut antara bagian timur dan barat Asia. Terutama setelah kemunculan dan perkembangan tiga dinasti kuat, yaitu Kekhalifahan Umayah (660-749 M), Dinasti T’ang (618-907 M), dan kerajaan Sriwijaya (7-14M).

Teori kedua tentang kedatangan Islam pertama kali ke Indonesia pada awal 13 disampaikan oleh Snouck Hurgronje dengan menghubungkan penyerangan dan pendudukan Baghdad oleh Raja Mongol, Hulagu pada tahun 1258 m[35].

Sejak itu proses islamisasi terjadi. Hingga berdiri Kerajaan Muslim pada abad 13, Samudra Pasai[36]. Pertumbuhan kerajaan Muslim dimulai di Malaka pada awal abad 15. Perkembangan ini kemudian hingga ke Jawa, Maluku hingga ke Patani (bagian utara Malaysia) dan bagian Selatan Thailand[37].
Proses Islamisasi terjadi lewat jaringan yang beragam yang menguntungkan masing-masing pihak. Baik bagi orang Muslim yang datang menyebarkan Islam ke berbagai tempat di dunia Melayu dan bagi orang yang menerima atau beralih ke Islam di daerahnya. Proses ini dilakukan melalui jalur yang beragam. Seperti perdagangan, birokrasi, pendidikan, sufisme, seni, perkawinan[38].

Dengan demikian, maka kedatangan islam ke beberapa pantai di dunia Melayu mengikuti rute pelayaran dan perdagangan dari Arab-Persia-India-dunia Melayu-Tiongkok.

Ornamen masuknya Islam di Jambi dimulai dari pesisir Timur. Cerita Datuk Paduka Berhalo dan Rangkayo Hitam masih hidup dan dianggap sebagai Raja yang menganut agama Islam. Datuk Paduka Berhala dan Rangkayo Hitam merupakan Raja yang berkuasa di jalur perdagangan Selat Malaka. Posisi Jambi, Muara Zabag dan Pulau Berhala dalam lintasan selat Malaka membuat posisi keduanya begitu penting (abad 12-18 M[39]).

Posisi pelabuhan di selat Malaka menyebabkan adanya pembagian kekuasaan. Pemerintahan di kota Bandar diserahkan kepada putra-putra Sultan yang berkedudukan sebagai Tumenggung atau Adipati. Kota ini menghasilkan seperti lada, kapur barus, gaharu, madu, lilin, pinang, emas dan kemudian diekspor. Sedangkan komoditas impor seperti, kain berwarna putih seperti belacu, drill, dan keramik dari Tiongkok.

Kesultanan di Selat Malaka mempunyai posisi penting dalam jalur perdagangan internasional dari berbagai bangsa lain seperti Tiongkok, India, Jepang dan Eropa.

Kontrol terhadap selat Malaka dilakukan oleh Portugis pada abad XV.

Walaupun kedatangan Belanda melalui VOC yang ingin menguasai nusantara, namun kejatuhan Raja-raja yang mempunyai DAS seperti Jambi dan Palembang, baru jatuh setelah awal abad 20. Dimulai dari kesultanan Aceh Darussalam, Jambi dan Palembang.

Islam kemudian berkembang dan menyumbang berbagai perkembangan sastra dan tulis menulis yang ditandai denganarab Melayu).

Dengan demikian, tidak dapat ditentukan dengan pasti, dari Negara mana muslim datang dan bersentuhan dengan wilayah di Melayu. Yang pasti, kedatangan Mulsim yang datang dan menyebarkan islam kepada masyarakat berasal dari Arab, Persia, India atau bisa saja Tiongkok. Mereka bermula sebagai pedagang, mubaligh atau pengajar agama dan kaum sufi. Dan kemudian ditambah dengan pelopor dari masyarakat yang kemudian menyebarkan islam setelah mendapatkan pendidikan di berbagai tempat seperti pesantren di jawa dan sekolah agama di Mekkah.

Namun menurut catatan Tiongkok, Pie Hu Lu tahun 875 M, adanya kedatangan Ta-sih dan Po-Sse ke Chan Pei untuk membeli pinang pada awal abad IX M.
C.   JAMBI DALAM PERADABAN DUNIA

Sebagai bagian dari Sumatera, Sriwijaya, Melayu, tentu saja Jambi dipengaruhi berbagai pengaruh dari luar Jambi. Baik dipengaruhi berkaitan dengan kepentingan dagang, pengaruh agama maupun pengaruh sistem pemerintahan dan sistem social dari berbagai penjuru dunia.

Dalam berbagai catatan, ornament, perjalanan, ungkapan masyarakat, Seloko, Tambo dan berbagai aspek kehidupan melengkapi cataan tentang pengaruh berbagai agam da kebudayaan dunia.

Sebagai bagian dari Sumatera, pengaruh Melayu tidak dapat dielakkan di Jambi.  Secara geografis kawasan Malayu-Jambi mencakup daerah aliran sungai Batang Hari beserta dengan anak sungai seperti Merangin, Tabir, Tebo, dan Tembesi, dan daerah pegunungan seperti Kerinci dan Sumatra Barat.

Didalam kertagama dan prastasi, pada tahun 664-665 “Mo-lo-jeu” telah mengirim utusan ke negeri Cina. Tahun 853 dan 871 “Champi” (Jambi) mengirim armada dagang. Kota yang dianggap penting oleh pedagang Arab antara lain “Zabag” (Muara Sabak). Istilah “tauke” sebagai “pengumpul barang” masih dikenal di tengah masyarakat.

Dalam seloko di tengah masyarakat di daerah hulu Sungai Batanghari dikenal seloko “Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung.

Namun menurut Charles Campbell melaporkan bahwa di tahun 1800 penduduk Sungai Tenang jarang membayar upeti kepada sultan Jambi yang selayaknya terdiri dari seekor kerbau, setahil emas, dan seratus bambu beras dari setiap kampung. Surat-surat yang ditulis oleh temenggung sultan Jambi yang sampai sekarang masih disimpan sebagai pusaka di Kerinci juga menunjukkan bahwa penduduk di Kerinci tidak selalu patuh kepada perintah rajanya di Jambi

Menurut Ulu Kozok didalam bukunya “Kitab Undang-undang Tanjung Tanah” Muara Jambi tetap menjadi pelabuhan tempat armada perdagangan Malayu berpangkal, tetapi Malayu tidak lagi menguasai Selat Malaka dan hanya menjadi salah satu dari berbagai pemain dalam perdagangan antarpulau dan antarbangsa[40]

Di sisi yang lain De Casparis tentu benar bila ia menolak bahwa Malayu takluk pada
Jawa. “Mungkin sekali Adityawarman mengakui kewibawaan negara Madjapahit, tetapi hal itu tidak ternyata dari prasastinya, yang tidak pernah menyebutkan ketergantungan Adityawarman dari Majapahit: nama pulau Jawa pun belum ditemukan dalam prasastiprasasti raja itu” .

Menurut McKinnon “Apa yang sesungguhnya terjadi tidak jelas, tetapi data arkeologi mengesankan bahwa sebagian besar situs di pantai timur Sumatra, termasuk Pulau Kompei dan Kota Cina di Sumatra Utara, serta Muara Jambi, Muara
Kumpeh Hilir, dan Koto Kandis yang terletak di tepi Batang Hari, dimusnahkan atau ditinggalkan oleh penduduknya pada akhir abad ke- 14
, merupakan akibat langsung dari politik imperialis Majapahit di perairan Selat Malaka[41]
Jambi juga dipengaruhi Palembang. Dalam karya “To Live as Brothers” ahli sejarah Barbara Andaya telah melukiskan dengan sangat teliti betapa rumitnya hubungan antara kedua wilayah yang paling berpengaruh di Sumatra bagian selatan, yaitu Jambi dan Palembang.

Di dalam studinya yang mencakup abad ke-17 dan ke-18 Andaya dapat mengandalkan sumber dari arsip VOC. Tampaknya cukup jelas bahwa kedua saudara tersebut sudah berabad-abad bersaing secara sangat gigih. Kedua saudara tersebut selalu bersaing untuk memanfaatkan posisi strategis kedua wilayah tersebut dalam menguasai Selat Malaka dan arus perdagangannya. Rupa-rupanya Palembang sering dapat mengungguli Jambi dalam persaingannya sehingga Sriwijaya selalu dikaitkan dengan Palembang sebagai pusat kerajaannya mulaidari abad ke-7 sampai dengan abad ke-11. Pada tahun 1025 Rajendra Chola yang memerintah kerajaan Koromandel di India menyerang pusat-pusat perdagangan di Selat Malaka. Ekspedisi militer ini merupakan pukulan dahsyat bagi Sriwijaya, dan memberi kesempatan kepada Malayu (Jambi) untuk bangkit kembali.  Walaupun Malayu telah berhasil menyingkirkan Palembang, perubahan yang terjadi antara abad ke-11 dan abad ke-13 yang terutama menyangkut pola perdagangan di Asia Tenggara tidak terlalu menguntungkan bagi Malayu yang tidak pernah dapat meraih kembali status yang pernah dipegang oleh Palembang sebagai penguasa mutlak di kawasan Selat Malaka[42].

Masa periode selanjutnya, Majapahit yang berkuasa setelah runtuhnya Sriwijaya. Didalam Negara Kartagama, Pararaton, Kidung Hariwijaya, Kidung Ronggowale disebutkan Majapahit kemudian mempunyai kota-kota pelabuhan seperti Tuban, Gresik, Sedayu, Jaratan. Majapahit didukung dua sungai besar yaitu Kalibrantas dan Bengawan Solo. Menurut Tome Pires didalam karya monumentalnya Suma Oriental menerangkan Pedagang Muslim kemudian mengadakan hubungan dagang dengan Majapahit

Peristiwa “penundukan” yang disebut Pamalayu itu telah ditafsirkan oleh para ahli sejarah. Kebanyakan sejarahwan cenderung mengikuti teori yang dikemukakan oleh Krom dalam karya Hindoe-Javaansche Geschiedenis melihat patung Amoghapasa yang ditemukan di Pulau Punjung[43]. Dalam sejarah dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu.

Berbeda dengan C.C. Berg yang menginterpretasi Pamalayu sebagai bagian untuk menyatukan Nusantara (pulau-pulau di luar Jawa) agar bersama-sama dapat menghadapi ancaman dari kaisar Mongol Kublai Khan. Dengan demikian Berg menginterpretasikan Pamalayu sebagai “perjanjian dengan Malayu untuk membentuk persekutuan melawan agresi dinasti Mongol. Teori Berg belakangan ini juga didukung oleh De Casparis.
Di sisi yang lain De Casparis tentu benar bila ia menolak bahwa Malayu takluk pada
Jawa: “Mungkin sekali Adityawarman mengakui kewibawaan negara Madjapahit, tetapi hal itu tidak ternyata dari prasastinya, yang tidak pernah menyebutkan ketergantungan Adityawarman dari Majapahit: nama pulau Jawa pun belum ditemukan dalam prasastiprasasti raja itu”[44]

Menurut cerita di berbagai tempat di daerah hulu Sungai Batanghari,  di dahulu kala ada seorang Pangeran Temenggung Kebaruh, yang dikatakan masih keturunan Majapahit, mengunjungi Kerinci dari Muara Mesumai yang meyakinkan para raja untuk mengakui kedaulatan Jambi. Para raja diberi hadiah berbentuk kain dan dianugerahi dengan gelar dipati (juga disebut depati) yang berasal dari gelar Jawa adipati[45]. Dipati berarti lebih daripada sekalian. Lembaga depati diperkenalkan oleh raja Jambi lebih dari enam ratus tahun yang lalu sebagai alat untuk memerintah. 

Bahkan di Marga Serampas diketahui adanya gelar “Depati Pulang Jawo, salah satu gelar Depati di Serampas.

Istilah Depati masih ditemukan di berbagai tempat. Baik di Sarolangun, Kerinci, Bungo maupun di Tebo. Istilah Depati tidak ditemukan di daerah Jambi Hilir. Mereka biasa menyebut “penghulu.

Selain itu pengaruh Minangkabau Di Jambi sendiri begitu terasa. Hampir semuanya mengaku “berasal dari Pagaruyung”. Cerita “Datuk perpatih nan sebatang” hidup di sebagian kawasan Tebo, Bungo, Bangko hingga Sarolangun.

Bahkan di Perda No. 5 Tahun 2007 justru ditemukan kalimat “Adat bersendikan syara'. Syara' bersendikan kitabulah. Sebuah kata yang menjadi pegangan di masyarakat di Minangkabau.

Muchtar Agus Cholif, meyakini bahwa Orang Serampas merupakan keturunan Orang Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dari adanya kemiripan nilai-nilai sosial budaya antara Serampas dengan Minangkabau.

Pendapat ini didukung oleh Ulu Rozak yang mengatakan “Selama masa pemerintahan Adityawarman (1347-1377) kerajaan Malayu mengalami puncak kejayaan. Pada saat itu kerajaan tersebut berpusat di daerah Minangkabau, dan diduga sudah dipindahkan ke pedalaman Sumatra pada awal abad ke-14 selama masa pemerintahan Akarendrawarman atau malahan sebelumnya. Pemindahan ibu kota kerajaan Malayu yang sebelumnya selalu berada di pesisir, dan timbulnya sebuah kerajaan besar di lembah-lembah pegunungan Bukit Barisan merupakan fenomena yang perlu dikaji lebih dalam[46]

Pengaruh Minangkabau merupakan Sebuah upaya penundukkan diri dari berbagai komunitas masyarakat terhadap kebesaran Kerajaan Pagarruyung. “Penundukan diri” bukanlah dalam artian penjajahan fisik seperti yang dianut oleh kaum kolonial. Tapi penyerahan diri bagian dari administasi pemerintahan dengan tetap “menghargai pelaksanaan hukum lokal dan keunikan” masing-masing tiap daerah. Sehingga walaupun bagian dari Kerajaan pagarruyung, namum terhadap pelaksanaan hukum mengenal denda yang berbeda setiap daerah.

Saya belum bisa memprediksi apakah “pengaruh Minangkabau” juga hidup di pesisir Pantai Timur di Jambi. Cerita tentang Datuk Paduka Berhala maupun Rangkayo Hitam hanyalah cerita tentang perkawinan antara Datuk Paduka Berhala dengan Putri Selaras Pinang Masak dari Pagaruyung. Namun tidak tegas menyebutkan kerajaan Jambi merupakan wilayah kekuasaan Pagaruyung.
Namun menurut Watson Andaya, berbagai dokumen hanya menunjukkan wilayah Pagaruyung hanya bisa mendukung Margo Koto VII dan Margo Kota IX (Tebo) yang berlatar belakang Minangkabau. Orang Minangkabau berpindah ke selatan pada abad Ke 17 atau sesudahnya dan kemudian menyatakan diri tunduk kepada bathin dengan menyatakan diri sebagai penghulu. Kelompok bathin migran menetap di Rawas di perbatasan Jambi dan Palembang.

Dokumen ini juga bisa dilihat dalam geografi dimana wilayah Minangkabau dibagi menjadi tiga. Darek (darat), Rantau dan Pesisia (Pesisir). Darek adalah daerah tinggi diantara pegunungan diantaranya Gunung Singgalang dan Gunung Merapi. Darek dibagi 3 (luhak nan tigo). Luhak tanah datar, luhak Agam dan Luhak 50 Koto yang terdiri luhak, ranah dan Lareh. Maninjau termasuk kedalam Luhak Agam. Rantau adalah daerah diluar Luhak nan tigo. Menyusuri Sungai seperti Rokan, Siak, Kampar, Kuantan/Indragiri dan Batanghari. Biasa disebut juga Minangkabau Timur atau “ikua rantau (Ekor rantau). Sehingga “ikua rantau” dilihat dari menyusuri Sungai Batanghari.

Ketika runtuh Sriwijaya dan Majapahit, Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan internasional menarik perhatian kerajaan kecil di sepanjang pesisir Timur Sumatera. Dalam berbagai literature disebutkan, Jambi kemudian ditempatkan dan menjadi bahan kajian sejarah. Penamaan Kata-kata seperti Midden Sumatera (Sumatera Tengah) sering diulas oleh P.J. Veth dalam karya berserinya seperti Aardrijksundige Beschrijving, Reisverhaal, Naturlijke historie, Volkbeschrijving, atau von Alfred Maab menuliskan istilah “Durch Zentral-Sumatra” dalam catatan koleksi Etnografi ataupun  oostkust van Sumatera” sebagaimana sering dituliskan berbagai sarjana Belanda seperti A. F. Van Blommestein, dan“East Coast of Sumatera” dapat kita temukan dalam karya A. V. ROS membuat posisi strategis Selat Malaka dan menempatkan Jambi.

Sementara kerajaan Malaka menjadi kerajaan besar dengan didukung hubungan baik dengan Kerajaan Samudra pasai pada abad XV[47]. Menurut Barbara Watson Andaya[48], kebesaran Malaka, yaitu adanya undang-undang yang cukup rapi dan administrasi sebagai rencana lama pelayaran, keadilan Raja Malaka yang lebih suka di Malaka daripada berburu sehingga dapat menyelesaikan persoalan pelayaran,

Bahkan didalam Buku Meilink-Roelofsz “Asian Trade and Europan Influence – 1500 – 1630 “ disebutkan “Kerajaan kecil di pedalaman seperti di Tungkal juga mengadakan hubungan dagang dengan membawa hasil pertanian dan membeli barang bernilai tinggi.  Malaka kemudian ditaklukan Portugis tahun 1511 M.

Menurut Fachruddin Saudagar “Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, telah membawah dampak kemerosotan dan merubah pelabuhan Malaka menjadi bandar yang ditinggalkan pedagangnya. Jatuhnya Malaka telah membawa perubahan mendasar terhadap konstelasi politik dan perdagangan di kawasan perairan selat Malaka.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, maka Johor muncul sebagai bandar penting di selat Malaka. Pada awal abad 17 antara Jambi dan Johor terjadi persaingan hegemoni menguasai jalan perdagangan di laut. Dalam kondisi persaingan ini maka pihak Inggris, Belanda, dan Portugis mulai ingin ikut campur tangan dalam urusan politik.
Perang tidak dapat dihindarkan yaitu perang terbuka antara Jambi dengan Johor berlangsung lebih kurang 14 tahun lamanya sejak tahun 1667 – 1681 M (4 kali perang). Perang Jambi-Johor ke IV tahun 1680 – 1681 M.
Dalam perang terakhir, Jambi yang dibantu Belanda dengan berbagai macam perlengkapan militer dan dana kemudian menghadapi perlawanan Johor dibantu Palembang dan Daeng Mangika menyerang Jambi. Johor berhasil dikalahkan. Belanda kemudian semakin menanjabkan kukunya di Jambi.
Jambi selain dipengaruhi perdagangan dalam alur Selat Malaka, bergantiannya sistem pemerintahan juga dipengaruhi agama. Sebelum kedatangan Islam (banyak versi. Ada menyebut kedatangan Islam abad XII. Namun ada yang menyebutkan abad XVII), pengaruh Budha dan Hindu mendominasi kehidupan masyarakat.

Selama berabad-abad ibukota Malayu terletak di Muara Jambi, sebuah kompleks ritual-politik dengan jumlah penduduk yang lumayan besar. Schnittger  “menyebutkan “sebuah kota yang besar, barangkali lebih besar dari Palembang”[49]

Bahkan  McKinnon menambahkan bahwa “situs Muara Jambi barangkali merupakan situs yang terbesar dan paling penting di Sumatra[50]

Selain itu juga terdapat Pelabuhan di Muara Sabak/koto Kandis yang ramai dari abad XII – XIV [51]
Dalam F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, menyebutkan “Masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi[52]. mengenal Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo  atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih, Tempat ungko berebut tangis, rimba keramat, rimbo puyang, rimbo ganuh.
Kata-kata seperti Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo  atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih, Tempat ungko berebut tangis, rimba keramat, rimbo puyang, rimbo ganuh mempunyai pengaruh yang kuat dari ajaran Hindu Spritualitas Upanishad[53].
Dalam tradisi intelektual India, Upanishad[54] dihubungkan dengna gerakan yang ingin melakukan reinterpretasi atau reformasi kehidupan religius. Paham ini kemudian menempatkan dalam monistik. Termasuk dalam perkembangan kehidupan sosial keagamaan yang menempatkan tidak semata-mata milik kelompok elite tertentu.  Tujuan utama Upanishad bukanlah mengajarkan kebenaran filsafat melainkan kedamaian dan kebebasan.

Dengan demikian maka Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo  atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih, Tempat ungko berebut tangis, rimba keramat, rimbo puyang, rimbo ganuh hanyalah tempat dan bentuk penghormatan manusia kepada Tuhan. Aristoteles menyebutkannya “hylemorfisme”[55]. Sedangkan Islam sendiri menyebutkannya “Zuhud”, yakni menjalani kehidupan dunia secara sederhana pengaturan yang bertujuan untuk akherat (aspek eksatologis/ukhrawi)
Pengaruh periode terakhir datangnya agama Islam. Tidak ada kesepakatan di antara para sejarawan tentang kapan sebenarnya Islam mulai masuk dan menyebar di dunia Melayu. Teori yang ada bisa dibagi ke dalam dua kategori. Ada yang mengatakan kedatangan Islam adalah awal abad Pertama Hijriah (abad 7)[56]. Teori kedua mengatakan kedatangan Islam dimulai di abad 13. [57] Teori pertama didasarkan pada catatan Tionghoa dari Dinasti T’ang yang menyebutkan sejumlah orang dari Ta-shih[58] yang membatalkan niatnya untuk menyerang kerajaan Ho-ling di bawah rezim Ratu Sima (674 M).

Kedatangan Islam sejak abad ke 7 dan ke 8 dipicu perkembangan dagang laut antara bagian timur dan barat Asia. Terutama setelah kemunculan dan perkembangan tiga dinasti kuat, yaitu Kekhalifahan Umayah (660-749 M), Dinasti T’ang (618-907 M), dan kerajaan Sriwijaya (7-14M).

Teori kedua tentang kedatangan Islam pertama kali ke Indonesia pada awal 13 disampaikan oleh Snouck Hurgronje dengan menghubungkan penyerangan dan pendudukan Baghdad oleh Raja Mongol, Hulagu pada tahun 1258 m[59].

Sejak itu proses islamisasi terjadi. Hingga berdiri Kerajaan Muslim pada abad 13, Samudra Pasai[60]. Pertumbuhan kerajaan Muslim dimulai di Malaka pada awal abad 15. Perkembangan ini kemudian hingga ke Jawa, Maluku hingga ke Patani (bagian utara Malaysia) dan bagian Selatan Thailand[61].

Proses Islamisasi terjadi lewat jaringan yang beragam yang menguntungkan masing-masing pihak. Baik bagi orang Muslim yang datang menyebarkan Islam ke berbagai tempat di dunia Melayu dan bagi orang yang menerima atau beralih ke Islam di daerahnya. Proses ini dilakukan melalui jalur yang beragam. Seperti perdagangan, birokrasi, pendidikan, sufisme, seni, perkawinan[62].

Dengan demikian, maka kedatangan islam ke beberapa pantai di dunia Melayu mengikuti rute pelayaran dan perdagangan dari Arab-Persia-India-dunia Melayu-Tiongkok.
Ornamen masuknya Islam di Jambi dimulai dari pesisir Timur. Cerita Datuk Paduka Berhalo dan Rangkayo Hitam masih hidup dan dianggap sebagai Raja yang menganut agama Islam. Datuk Paduka Berhala dan Rangkayo Hitam merupakan Raja yang berkuasa di jalur perdagangan Selat Malaka. Posisi Jambi, Muara Zabag dan Pulau Berhala dalam lintasan selat Malaka membuat posisi keduanya begitu penting (abad 12-18 M[63]).

Posisi pelabuhan di selat Malaka menyebabkan adanya pembagian kekuasaan. Pemerintahan di kota Bandar diserahkan kepada putra-putra Sultan yang berkedudukan sebagai Tumenggung atau Adipati. Kota ini menghasilkan seperti lada, kapur barus, gaharu, madu, lilin, pinang, emas dan kemudian diekspor. Sedangkan komoditas impor seperti, kain berwarna putih seperti belacu, drill, dan keramik dari Tiongkok.

Kesultanan di Selat Malaka mempunyai posisi penting dalam jalur perdagangan internasional dari berbagai bangsa lain seperti Tiongkok, India, Jepang dan Eropa.

Kontrol terhadap selat Malaka dilakukan oleh Portugis pada abad XV.
Walaupun kedatangan Belanda melalui VOC yang ingin menguasai nusantara, namun kejatuhan Raja-raja yang mempunyai DAS seperti Jambi dan Palembang, baru jatuh setelah awal abad 20. Dimulai dari kesultanan Aceh Darussalam, Jambi dan Palembang.

Islam kemudian berkembang dan menyumbang berbagai perkembangan sastra dan tulis menulis yang ditandai denganarab Melayu).

Dengan demikian, tidak dapat ditentukan dengan pasti, dari Negara mana muslim datang dan bersentuhan dengan wilayah di Melayu. Yang pasti, kedatangan Mulsim yang datang dan menyebarkan islam kepada masyarakat berasal dari Arab, Persia, India atau bisa saja Tiongkok. Mereka bermula sebagai pedagang, mubaligh atau pengajar agama dan kaum sufi. Dan kemudian ditambah dengan pelopor dari masyarakat yang kemudian menyebarkan islam setelah mendapatkan pendidikan di berbagai tempat seperti pesantren di jawa dan sekolah agama di Mekkah.

Namun menurut catatan Tiongkok, Pie Hu Lu tahun 875 M, adanya kedatangan Ta-sih dan Po-Sse ke Chan Pei untuk membeli pinang pada awal abad IX M.

Posisi tokoh agama kemudian diwujudkan dalam prinsip “adat bersendikan syara’. Syara’ bersendikan kitabbulah. Tokoh agamapun kemudian memasuki struktur social yang ditandai dengan tiga tali sepilin yaitu Pemimpin, tokoh adat dan tokoh agama (alim ulama).

Struktur masyarakat ilir cenderung lebih berlapis dengan seorang raja atau sultan sebagai kepala kerajaan, dan golongan elit yang dekat dengan pusat kekuasaan. Masyarakat ilir sangat berfokus pada dunia luar dan dengan mudah menyerap unsur kebudayaan asing seperti dari Eropa, India, Jawa, Timur Tengah, dan Tiongkok. Karena perdaganganinternasional baik di negara-negara Arab, maupun di India dan di Tiongkok didominasi oleh saudagar yang beragama Islam maka masyarakat ilir pun lebih dulu memeluk agama Islam, suatu proses yang sudah mulai sejak abad kedua belas dan mencapai puncak pada abad kelima belas[64].

Hipotesis ini mudah ditemukan di lapangan. Masyarakat di Hulu Batanghari seperti Bangko, Sarolangun maupun Marga Sumay walaupun sudah beragama Islam, maka masih menganut penghormatan kepada nenek moyang. Seloko seperti “rimbo ganuh, rimbo sunyi, Teluk sakti rantau betuah gunung bedewo”meruapakan konfirmasi terhadap hipotesis yang disamapaikan oleh Ulu Kozok. Sedangkan di daerah hilir, walaupun mereka berikrar sebagai Tumenggung Bujang Pejantan namun hampir praktis setiap kehidupan sudah terpengaruh Islam.

Islam kemudian Memperkaya dan mempertegas identitas bahkan merawat kekerabatan (Tambo).


[1] Hingga tahun 2009 luas areal penanaman Cassiavera di Kerinci mencapai sekitar 41.825 hektar. Seluruh areal lahan Cassiavera di daerah lain dan belahan dunia masih jauh lebih kecil dibanding Kerinci. Namun menurut data resmi Pemerintah, luas kulit manis sudah mencapai 49.529 ha.
[2] Lihat ”Mededeelingen van het Bureu voor de Besteur van het Buitenbeziitingan Encylopaedea Bureu, NV “Papyrus “, Batavia, 1915,  hlm 67.
[3] Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907), 2008.
[4] Masa kejayaan karet ditandai dengan cerita di pelosok-pelosok kampong dari penutur orang tua. Mereka menyebutkan sebagai zaman “kupon”
[5] Provinsi Sumatera Tengah, Penerbit Kementrian Penerangan Republik Indonesia, 1952
[6] Pemerintah Provinsi Jambi, 2015
[7] Korsup Sawit KPK, Jambi, 12 April 2016
            [8] M.C Ricklefs, SEJARAH INDONESIA MODERN 1200 – 2008, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008, Hal. 56. Bahkan Elizabeth menyebutkan “tahun 1901 Muara Tembesi diduduki tanpa insiden. Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 2632 Pada akhir abad XVIII, Kesultanan Jambi menjadi negara di bawaha Raja Minangkabau di Pagarayung. Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 45.
            [9] Pada akhir abad XVIII, Kesultanan Jambi menjadi negara di bawaha Raja Minangkabau di Pagarayung. Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 45.
            [10] ULI KOZOK, PH.D, KITAB UNDANG-UNDANG TANJUNG TANAH NASKAH MELAYU YANG TERTUA, Yayasan Naskah Nusantara Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2006
            [11] Pemerintahan Daerah Tingkat 1 Jambi Bekerjasama Dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi, 1992. Seminar Sejarah Malayu Kuno Jambi, 7-8 Desember 1992, hal. 264
            [12] Amir Sjarifoedin Tj.A. Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Imam Bonjol. (Jakarta: Gria Media Prima, 2014), hal. 269
            [13] Muchtar Agus Cholif. Timbul Tenggelam Persatuan Wilayah Luak XVI Tukap Khunut Di Bumi Undang Tambang Teliti. Jambi, 1 Januari 2009, hal. 76
            [14] Abdul Kiram dan Yeyen Kiram. Raja-raja Minangkabau Dalam Lintasan Sejarah. Museum Adityawarman Padang, Padang, 2003, hal. 83
[15] SEJARAH INDONESIA MODERN 1200 – 2008, M.C Ricklefs, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008, Hal. 56. Bahkan Elizabeth menyebutkan “tahun 1901 Muara Tembesi diduduki tanpa insiden. Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 263
[16] Pada akhir abad XVIII, Kesultanan Jambi menjadi negara di bawaha Raja Minangkabau di Pagarayung. Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 45
[17] Dinamakan Padang Sibusuk karena busuk oleh bangkai manusia akibat korban dari kedua belah pihak yang banyak dan tidak bisa dikuburkan.
[18] ULI KOZOK, PH.D, KITAB UNDANG-UNDANG TANJUNG TANAH NASKAH MELAYU YANG TERTUA, Yayasan Naskah Nusantara Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2006
[19] Margo merupakan menjadi identitas dalam masyarakat dan adat. Dari berbagai sumber disebutkan, marga-marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Menurut Regeering Reglement (RR) 1854, Nederlandse Indie diperintah oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Nederland secara sentralistis. Daerah Nederlandse Indie dibagi dalam dua kategori besar yaitu daerah Indirect Gebied dan Direct Gebied. Daerah Indirect Gebied adalah daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh penguasa Batavia. Daerah Direct Gebeid adalah yang diperintah secara langsung oleh Batavia secara hirarkis. Secara historis sistem pasirah terbentuk melalui Surat Keputusan Pemerintah colonial Belanda Tertanggal 25 Desember 1862. Tapi, tahun 1928, pemerintah Belanda menetapkan perubahan marga-marga geneologi-teritorial menjadi marga-marga teritorial-genealogis, dengan penentuan batas-batas daerah masing-masing. Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas dasar pemilihan oleh dan dari punyimbang-punyimbang yang bersangkutan. Demikian pula, kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan oleh dan dari para punyimbang.


[20] Ulu Rozak, Hal. 22
[21] (McKinnon, 1984:65).
[22] Ulu Rozak, Hal. 12
[23] Ulu Rozak, Hal. 12
[24]  (Casparis, 1992).
[25] Ulu Rozok, hal 9
[26] Sejarah Melayu, Laporan Tome Pires
[27] History of  Malaysia
[28] (Schnitger, 1937:6).
[29]  (McKinnon, 1984:60).
[30] Atmodjo, 1997; McKinnon, 1984).
[31] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, 
Amsterdam, 1938
            [32] W.P Groeneveldt, T.W Arnold, Syed Naguib Al-Attas, George Fadlo Hourani, J.C.van Leur, Hamka, Uka Tjandrasasmita.
            [33] Snouck Hurgronje, J/P. Moquette, R.A Kern, Agus Salim
            [34] Kata Ta-sih diidentifikasi oleh Groeneveldt sebagai “orang-orang Arab” yang menetap di Pantai Barat Sumatera. Lihat   Hal. 12
            [35] J.P Moquette berdasarkan temuan arkeologis, yaitu batu nisan  Sultan Malik As-Salih yang meninggal 1297 M, di Gampong Samudra, Lhokseumawe. Mooquette memperkuat dengan catatan Marco Polo yang mengunjungi Perlak dan tempat lain. Dengan demikian Mouqette menyimpulkan kedatangan Islam pertama di Samudra 1270-1275 M
[36] Pendirian kerajaan Samudra Pasai juga dipengaruhi dengan semakin melemahnya Kerajaan Sriwijaya (abad 12-13 M), dan tekanan Kerajaan Singasari yang mengirimkan Ekspedisi Pamalayu (1275 M) ke Sumatera. Sriwijaya tidak mampu lagu mengontrol rute perdagangan internasional di Selat Malaka.
            [37] Data historis menyebutkan Samudra Pasai yang terletak strategis dalam rute perdagangan di sekitar Malaka memiliki peran penting dalam penyebaran Islam dan proses sejumlah wilayah seperti Malaka, Patani, Jawa dan tentu saja Melayu. Lihat Uka Tjandrasasmita.
            [38] Perkawinan silang terjadi antara putri kerajaan dengan pedagang Muslim. Dalam babad Tanah Jawi disebutkan perkawinan antara Putri Campa dengan Raja Majapahit, Brawijaya. Maulana Ishak menikahi putri Raja Blambangan yang kemudian melahirkan Sunan Giri. Babad Cerbon juga menyebutkan perkawinan antara Sunan Gunung Jati dengan Putri Kawung Anten.
[39] Sejarah nasional Indonesia III,
[40] Ulu Rozak, Hal. 22
[41] (McKinnon, 1984:65).
[42] Ulu Rozak, Hal. 12
[43] Ulu Rozak, Hal. 12
[44]  (Casparis, 1992).
[45] Ulu Rozok, hal 9
[46] Ulu Rozak, Hal. 10
[47] Sejarah Melayu, Laporan Tome Pires
[48] History of  Malaysia
[49] (Schnitger, 1937:6).
[50]  (McKinnon, 1984:60).
[51] Atmodjo, 1997; McKinnon, 1984).
[52] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, 
Amsterdam, 1938
[53] Lihat Filsafat Timur – Sebuah pergulatan Menuju Manusia Paripurna, Ach. Dhofir Zuhri, Madani, 2013, Surabaya, Hal. 47
[54] Upanishab mempunyai pengaruh sistematika filsafat, agama, kebudayaan dan kehidupan umat manusia selama beberapa milenium. Denyut dapat dilihat dari penyebaran agama Hindu di Tibet, Thailand, Tiongkok, Indonesia dan negara-negara Indo China. Konsep “membantu sesama manusia sejatinya memuja Tuhan” telah menempatkan kitab Upanishab tentang pandangan tentang realitas yang menjawab ilmiah, filsafat dan agama manusia. Paparan ini telah diuraikan oleh Renada, A. Constructive of Unasibhadic Philosophy.
[55]       Ach. Dhofir Zuhri, Op.cit. Hal. 57
[56] W.P Groeneveldt, T.W Arnold, Syed Naguib Al-Attas, George Fadlo Hourani, J.C.van Leur, Hamka, Uka Tjandrasasmita.
[57] Snouck Hurgronje, J/P. Moquette, R.A Kern, Agus Salim
[58] Kata Ta-sih diidentifikasi oleh Groeneveldt sebagai “orang-orang Arab” yang menetap di Pantai Barat Sumatera. Lihat   Hal. 12
[59] J.P Moquette berdasarkan temuan arkeologis, yaitu batu nisan  Sultan Malik As-Salih yang meninggal 1297 M, di Gampong Samudra, Lhokseumawe. Mooquette memperkuat dengan catatan Marco Polo yang mengunjungi Perlak dan tempat lain. Dengan demikian Mouqette menyimpulkan kedatangan Islam pertama di Samudra 1270-1275 M
                        [60] Pendirian kerajaan Samudra Pasai juga dipengaruhi dengan semakin melemahnya Kerajaan Sriwijaya (abad 12-13 M), dan tekanan Kerajaan Singasari yang mengirimkan Ekspedisi Pamalayu (1275 M) ke Sumatera. Sriwijaya tidak mampu lagu mengontrol rute perdagangan internasional di Selat Malaka.
                        [61] Data historis menyebutkan Samudra Pasai yang terletak strategis dalam rute perdagangan di sekitar Malaka memiliki peran penting dalam penyebaran Islam dan proses sejumlah wilayah seperti Malaka, Patani, Jawa dan tentu saja Melayu. Lihat Uka Tjandrasasmita.
                        [62] Perkawinan silang terjadi antara putri kerajaan dengan pedagang Muslim. Dalam babad Tanah Jawi disebutkan perkawinan antara Putri Campa dengan Raja Majapahit, Brawijaya. Maulana Ishak menikahi putri Raja Blambangan yang kemudian melahirkan Sunan Giri. Babad Cerbon juga menyebutkan perkawinan antara Sunan Gunung Jati dengan Putri Kawung Anten.
                        [63] Sejarah nasional Indonesia III,
[64] Kozok, U., (2004), The Tanjung Tanah code of law: The oldest extant Malay manuscript, Cambridge: St Catharine's College and the University Press, Hal. 5