A.
MONOGRAFI
Provinsi Jambi yang terletak di Pulau Sumatera bagian tengah,
membujur dari pantai timur Pulau Sumatera sampai pegunungan Bukit Barisan di
bagian barat. Secara geografis, Provinsi Jambi terletak antara 0045’ hingga
2045’ Lintang Selatan dan 101010’ sampai 104055’ Bujur Timur yang membuatnya
beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Di sebelah timur terbentang
laut Cina Selatan.
Mengelilingi Provinsi Jambi, terdapat 4 propinsi lain, yaitu
Provinsi Riau di sebelah utara, Provinsi Sumatera Barat di sebelah barat,
Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Bengkulu di sebelah selatan. Letak yang
demikian merupakan wilayah strategis bagi jalur perdagangan dari dulu hingga
sekarang.
Luas wilayah Provinsi Jambi mencapai 5,1 juta hektar atau seluas
53.435 Km2. Seluas 95,44 persen meliputi daratan dan seluas 4,66 persen
meliputi wilayah perairan. Sekitar 42,73 persen atau seluas 2.1 juta hektar
merupakan kawasan hutan yang terbentang dari Taman Nasional Kerinci Seblat
(TNKS) di sebelah Barat hingga Taman Nasional Berbak (TNB) di sebelah Timur.
Sisanya, seluas 57,27 persen atau 2,9 juta hektar merupakan Kawasan Pertanian
dan Non Pertanian.
Tipologi
wilayah Jambi memanjang dari Dataran tinggi dimulai Kerinci, sebagian hulu
Sarolangun, Merangin, Bungo, kemudian membelah sumatera di dataran sedang
(Bungo, Tebo dan Batanghari) dan dataran rendah di pesisir Pantai Timur
Sumatera (Muara Jambi, Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat). Dataran
tengah Jambi kemudian masuk dalam barisan Bukit Barisan yang memanjang ditengah
Pulau Sumatera dari Aceh hingga Lampung. Sedangkan dataran rendah di pesisir
pantai Timur Sumatera merupakan kawasan gambut.
Tipologi
ini kemudian dikenal sebagai Dataran tinggi sebagai penghasil utama kulit manis
dan teh dan kemudian Karet dan dataran rendah menghasilkan pinang dan kelapa.
Tipologi
ini selain menghasilkan berbagai hasil bumi juga menghasilkan sumber daya alam
mineral seperti panas bumi, minyak, batubara dan emas.
Didataran
Tinggi, Anugrah Kerinci sebagai penghasil “kulit manis”[1]
telah dituliskan oleh Elizabeth Tjahjadarmawan, didalam bukunya “Cassiavera dari Kerinci Primadona Dunia”. Kulit Kayu Manis adalah salah satu
bumbu masakan tertua yang digunakan manusia. Bumbu ini pertama kali digunakan
di Mesir Kuno sekitar 5000 tahun yang lalu, dan disebutkan beberapa kali di
dalam kitab-kitab Perjanjian Lama.
Kulit Kayu manis secara tradisional
juga digunakan sebagai Suplemen untuk berbagai penyakit, dengan dicampur madu,
misalnya untuk pengobatan penyakit radang sendi, kulit, jantung dan perut
kembung.
Kulit manis juga ditanami di hulu
kabupaten Merangin.
Selain
ditanami kulit manis, Pemerintah Belanda kemudian mencanangkan tanaman teh di
pusat onderneming di Pulau Sangkar dan Kayo Aro. Belanda serius “menanam teh”
setelah harga kopi tidak stabil dan serangan penyakit tanaman kopi.
Kerinci
yang masih termasuk kedalam Keresidenan Sumatera Barat, kemudian mengembangkan
melalui perusahaan Belanda, NV. HVA (Namlodse Venotchhhaaf
Handle Veriniging Amsterdam) pada tahun 1925[2].
Tahun 1932 Perusahaan NV. H V A
sudah mulai menghasilkan teh Kayu Aro yang kemudian melegenda. Bahkan konon teh
kayu aro merupakan bahan baku Teh Ty Poo, perusahaan Inggris produsen teh
premium dunia yang terkenal di Inggris didirikan Sir John Jr. dan pemasok
produk teh ke keluarga bangsawan di Eropa. Bukan hanya itu Ratu Belanda sejak
Ratu Wihelmina, Ratu Juliana hingga Ratu Beatrix adalah penikmat teh kayu aro
ini. Sehingga tidak salah kemudian, perkebunan teh seluas 3 ribu hektar di kayu
aro merupakan perkebunan teh terluas dan tertua di dunia. Hasil perkebunannya memberikan kontribusi
11,07% terhadap PRDB Provinsi Jambi pada tahun 2005.
Turun sedikit dari dataran tinggi, kita menuju ke dataran sedang yang terdapat di Kabupaten Merangin, Sarolangun, Tebo, Bungo dan Batanghari. Di daerah ini banyak dijumpai tanaman karet sebagai komoditas utama pertanian.
Sebagai
penghasil karet, Jambi dikenal dari zaman Belanda hingga sekarang. Elsbeth
Locher-Scholten menyebutkan benih tanaman ini awalnya diselundupkan dari Brasil
ke Malaka pada 1890, dan kemudian diimpor oleh para pedagang Cina ke Sumatera
(Jambi) dan Kalimantan. Karena kondisi ekologi dan struktur tanah Jambi yang
baik dan subur, maka tanaman ini dapat tumbuh dengan mudah di mana saja[3].
Barulah diyakini memiliki prospek
yang cerah di pasar dunia, Residen Jambi, Helfrich, sekitar tahun 1910-1912
menganjurkan budidaya tanaman ini secara massal, dan mendistribusikan
benih-benih unggulan kepada rakyat. Pada 1918, tanaman ini telah menjadi
primadona baru bagi orang Jambi. Mereka mulai mengalihkan sawah dan ladang
menjadi perkebunan karet, bahkan kemudian menerapkan pertanian dengan sistem
monokulltur, yakni hanya dengan menanam karet saja.
Pada periode 1925 – 1928 merupakan
zaman kejayaan bagi petani karet Jambi, di mana harga karet ada mencapai angka
tertinggi ƒ 52,50 setiap pikul (100 kg)[4].
Bahkan menjelang Kemerdekaan, ekspor
karet Jambi ke Singapore mencapai 90.197 ton. Sedangkan luas tanaman karet pada
tahun 1942 di Jambi mencapai 188.578 Ha. Angka ini melampaui ekspor dan luas
tanaman karet dari daerah Riau Kepulauan, Bengkalis, Indragiri, dan. Sumatera
Barat[5].
Bahkan Jambi merupakan daerah penghasil karet “runner up dari Hindia Belanda.
Kejayaan tanaman karet kemudian dikenal
sebagai zaman kupon. Cerita “zaman kupon” ditandai dengan masyarakat yang
memiliki karet dengan cara sistem penjualan karet dengan kupon. Belanda membeli
getah melalui kupon. Jumlah kupon kemudian ditandai dengan jumlah batang dan
hasil panen. Kupon merupakan salah satu alat tukar yang memiliki nilai tinggi
dan dapat ditukarkan dengan kebutuhan sehari-hari di kampong.
Sebagai komoditas utama pertanian,
perkebunan karet rakyat di Jambi mencapai 646.878 ha dan jumlah petani karet
sekitar 251.403 KK dan produksi 225.702 ton per tahun[6].
Namun luas karet tergerus dengan
sawit. Konversi karet dari sawit hingga mencapai
657
ribu ha (2013). Walaupun BPN sendiri sudah mensinyalir mencapai 1,2 juta ha.
namun baru 487 ribu ha yang sudah menjadi HGU[7].
Di daerah hilir, pinang dan kelapa
merupakan komoditas utama pertanian. Dengan perkebunan pinang seluas 5.898 ha
dengan produktivitas 1.062 kg/ha/tahun, pinang merupakan primadona utama di
masyarakat pesisir timur sumatera.
Selain pinang, masyarakat di daerah
hilir pesisir Pantai timur Sumatera menjadikan kelapa sebagai primadona. Dengan
luas kebun Kelapa mencapai 100 ribu hektar menghasilkan kopra rata-rata hanya
1,3 ton/ha/tahun dan mencapi 109.788 ton membuat ketergantungan dari 95.785
kepala keluarga (KK).
B.
JAMBI DALAM
LINTASAN SEJARAH
Dalam berbagai literatur, kata Jambi menjadi salah satu pusat kajian.
Kata Jambi dapat ditemukan pada perjalanan pelayaran kedua Maskapai Hindia
Timur Inggeris yang dipimpin oleh Sir Hendry Middleton yang berhasil mencapai Ternate,
Tidore, Ambon dan Banda. Akan tetapi di wilayah ini mereka mendapat perlawanan
dari pihak VOC, dan dimulailah persaingan sengit Inggeris- Belanda untuk
mendapatkan rempah-rempah. VOC berusaha memaksakan perjanjian-perjanjian
monopoli kepada para penguasa kepulauan penghasil rempah-rempah ini dan mereka
sangat marah terhadap apa yang mereka namakan sebagai “komplotan penyeludup”
Inggeris di Maluku.
Selama tahun 1611-1617, Orang Inggeris juga mendirikan kantor-kantor
dagang mereka di bagian-bagian Indonesia lainnya, di Sukadana (Kalimantan Barat
Daya), Makassar, Jayakerta dan Jepara (Jawa) serta Aceh, Pariaman dan Jambi (di
Sumatera). Konflik Inggeris –Belanda semakin memuncak ketika orang-orang
Belanda merasa bahwa cita-cita monopoli mereka telah luput[8].
Setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan
besar di Jawa, Kerajaan Melayu Jambi masih bergabung dengan Kerajaan
Minangkabau[9].
Pusat Kerajaan Melayu Jambi di Ujung Jabung pernah dipindahkan ke Muara Jambi,
kemudian pernah dipindahkan ke Dhamasraya, namun hanya sebentar. Kemudian
dipindahkan ke Batu Sangkar (awalnya bernama Kota Bersangkar Batu) yang kemudia
berkembang Menjadi Pusat Kerajaan Minangkabau yang saat itu kekuasaannya
meliputi Pulau Andalas (Pulau Sumatra) dan Malaya. Selanjutnya pusat Kerajaan Minangkabau
berada di Pagaruyung.
Padahal jauh sebelumnya, Membicarakan Jambi tidak lepas dari perdebatan
tentang Sriwijaya.
Istilah Malayu pertama kali muncul
pada tahun 671 M oleh
seorang
biksu Tiongkok bernama I-Tsing
yang pada saat itu bermukim di
kerajaan Malayu
(Jambi) yang terletak di lembah Batang Hari untuk memperdalam pengetahuan
mengenai filsafat agama Budha.
Kemudian ia pindah ke kerajaan Sriwijaya yang pusatnya berada di lembah
sungai Musi di sekitar kota Palembang untuk menyalin dan menerjemahkan naskah-
naskah Sansekerta. Dari sini I Tsing melaporkan di tahun 689 bahwa Malayu telah
kehilangan kedaulatannya pada Sriwijaya. Mulai saat itu semua utusan yang
dikirim ke negeri Tiong- kok berasal dari Sriwijaya, dan tidak satu pun lagi
dikirim dari Malayu. Selama berabad- abad Sriwijaya tetap berjaya sebagai
kerajaan yang mahakuasa, dan tidak pelak lagi bahwa Sriwijaya patut dipandang
sebagai tempatnya kebudayaan Melayu berkembang di sepanjang abad[10]
Dalam pembahasannya, disadari Sejarah Melayu Kuno masih dilliputi
kegelapan. Selain dasar yang dipakai berita China yang sulit ditafsirkan. Dalam
pembahasan di Seminar, menurut Dr. EE Mc KINNON dan DR. AB Lapian, Muara Jambi
sebagai pusat agama dan pusat pemerintahan. Begitu juga disampaikan oleh Drs.
Bambang B Utomo, Fachruddin Saudagar dan Prof. Dr. Jacob, Pusat Kerajaan Melayu
diperkirakan berasal dari Jambi. Ini didukung oleh Prof. Dr. Nik Hassan Suhaimi
dan Drs. MM. Soekarto K. Atmodjo yang berpendapat, Jambi adalah tapak Kerajaan
Melayu yang diperkirakan keberadaannya sampai abad VII M.
Dari perdebatan mengenai kejelasan dan peran sentral kedudukan Melayu
Kuno, maka S. Sartono kemudian mengemukakan pertanyaan menggugat. Pada abad VII
di Sumatera Timur ada 2 Kerajaan kuno yaitu Moloyu (Malayu, Jambi) dan
Sriwijaya (Palembang). Apakah memang ada hubungan antara dua kerajaan itu.
Bagaimana menghubungkannya ?
Hipotesis yang disampaikan oleh Sartono kemudian menjelaskan, Bahwa
semula Kerajaan Malayu Kuno berpusat di Muara Takus. Tempat kedudukan dipilih
setelah Malayu (Jambi) dikuasai oleh Sriwijaya (Palembang).
Pada tahun 1294 M
Kerajaan Singosari runtuh dan Seri Kartanegara meninggal dunia. Salah satu
anggota Kartanegara berhasil mendirikan kerajaan yaitu Majapahit yang dikuasai
oleh Raden Wijaya (Kartarajasa Jayawardana). Untuk menambah kekuatan tentaranya
dan melanjutkan hubungan persahabatan yang telah dilakukan oleh pendahulunya
dengan penguasa kerajaan Melayu, Raden Wijaya menikahi putri Melayu (Dara
Petak) dan diiringi juga oleh Raja Mauliwarmadewa menikahi Dara Jingga, yaitu
pada tahun 1293 M. Dengan demikian Kerajaan Melayu yang meliputi Jambi, Tebo,
Ulu Batanghari dan Minangkabau di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada
tahun 1347 M[11] Adityawarman
dinobatkan sebagai raja Kerajaan Melayu setelah raja Rendra. Pada masa
kekuasaannya, Adityawarman ingin kerajaan Melayu berdiri sendiri dan lepas dari
kerajaan Majapahit. Maka dari itu, pusat kerajaan dipindahkannya ke Dharmasraya
dan tidak lama kemudian dipindahkannya lagi ke daerah pedalaman yaitu Batu
Sangkar atau Koto Batu Berpagaruyung dan di sini ia bergelar Maharajo Dirajo. Kekuasaan
Adityawarman cukup kuat mendominasi Kekuasaan Adityawarman cukup kuat
mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan sekitarnya. Hal ini, dapat
dibuktikan dengan gelar maharajo dirajo yang disandang oleh Adityawarman
seperti yang terpahat pada bagian belakang Arca Amoghapasa, ditemukan di hulu
sungai Batanghari (sekarang kawasan Kabupaten Dharmasraya)[12].
Selama
Adityawarman menjabat sebagi raja, beliau berhasil menguasai wilayah di
sepanjang Batang Mengkawas (Batanghari), hingga ke Selat Berhalo dan
daerah-daerah lainnya. Setelah Adityawarman wafat pada tahun 1376 M, kerajaan
dipegang oleh anaknya yaitu Anggawarman dan ia juga tidak mau tunduk kepada
raja Mataram[13]. Oleh sebab
itu terjadi perang antara Kerajaan Mataram dengan Kerajaan Pagaruyung di Padang
Sibusuk (1409 M).
Akibat dari perperangan itu, daerah kekuasaan secara berangsur-angsur
mulai memisahkan diri seperti wilayah Batanghari mendirikan sebuah Kerajaan
Melayu yang dipimpin oleh Tun Telanai. Setelah meninggalnya Raja Melayu Tun
Telanai, maka Putri Selaro Pinang Masak yang tinggal di Pagaruyung, menerima
penyerahan Kerajaan Melayu Jambi dari anak Tun Telanai untuk menjadi raja
Melayu Jambi yaitu pada tahun 1460 M[14].
Kerajaan Malayu Kuno seolah-olah didesak oleh Sriwijaya dari arah Jambi
ke Barat sampai di Muara Takus. Dengan penjelasan ini, maka S. Sartono
berpendapat, adanya dua kerajaan yakni Moloyu (Malayu) di Jambi dan Sriwijaya
di Palembang.
Pernyataan dari Sutikno dkk, justru memaksakan kita harus berdebat
hebat. Situs- situs di Muara Jambi membuktikan adanya keberadaan Kerajaan
Sriwijaya dan Kerajaan Malayu kuno.
Belum selesai perdebatan tentang letak Kerajaan Sriwijaya, misteri
tentang Kerajaan Melayu Jambi juga meninggalkan persoalan yang sama. Hilangnya
peradaban Kerajaan Melayu Jambi yang di Candi Muara Jambi kemudian munculnya
kerajaan Melayu Jambi yang beragama islam.
Pemerintah Hindia Belanda telah menetapkan wilayah administrasi Jambi
dengan membagi wilayah dengan menyebutkan “Margo”.
Dalam berbagai dokumen disebutkan dengan berakhirnya masa kesultanan
Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha Saifuddin tanggal 27 April 1904 dan
berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, maka Jambi
ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie.
Residen Jambi yang pertama O.L Helfrich yang diangkat berdasarkan
Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20 tanggal 4 Mei 1906 dan pelantikannya
dilaksanakan tanggal 2 Juli 1906.
Sebagai bagian dari
Sumatera, pengaruh Melayu tidak dapat dielakkan di Jambi. Secara geografis kawasan
Malayu-Jambi mencakup daerah aliran sungai Batang Hari beserta dengan anak
sungai seperti Merangin, Tabir, Tebo, dan Tembesi, dan daerah pegunungan
seperti Kerinci dan Sumatra Barat.
Didalam kertagama dan
prastasi, pada tahun 664-665 “Mo-lo-jeu” telah mengirim utusan ke negeri Cina.
Tahun 853 dan 871 “Champi” (Jambi) mengirim armada dagang. Kota yang dianggap
penting oleh pedagang Arab antara lain “Zabag” (Muara Sabak). Istilah “tauke”
sebagai “pengumpul barang” masih dikenal di tengah masyarakat.
Kata Jambi dapat ditemukan pada perjalanan pelayaran kedua
Maskapai Hindia Timur Inggeris yang dipimpin oleh Sir Hendry Middleton yang
berhasil mencapai Ternate, Tidore, Ambon dan Banda. Akan tetapi di wilayah ini
mereka mendapat perlawanan dari pihak VOC, dan dimulailah persaingan sengit
Inggeris- Belanda untuk mendapatkan
rempah-rempah. VOC berusaha memaksakan perjanjian-perjanjian monopoli kepada
para penguasa kepulauan penghasil rempah-rempah ini dan mereka sangat marah
terhadap apa yang mereka namakan sebagai “komplotan penyeludup” Inggeris di
Maluku.
Selama tahun 1611-1617, Orang Inggeris juga mendirikan
kantor-kantor dagang mereka di bagian-bagian Indonesia lainnya, di Sukadana
(Kalimantan Barat Daya), Makassar, Jayakerta dan Jepara (Jawa) serta Aceh,
Pariaman dan Jambi (di Sumatera). Konflik Inggeris –Belanda semakin memuncak
ketika orang-orang Belanda merasa bahwa cita-cita monopoli mereka telah luput[15]
Setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan besar di Jawa, Kerajaan
Melayu Jambi masih bergabung dengan Kerajaan Minangkabau[16].
Pusat Kerajaan Melayu Jambi di Ujung Jabung pernah dipindahkan ke Muara Jambi,
kemudian pernah dipindahkan ke Dhamasraya, namun hanya sebentar. Kemudian
dipindahkan ke Batu Sangkar (awalnya bernama Kota Bersangkar Batu) yang kemudia
berkembang Menjadi Pusat Kerajaan Minangkabau yang saat itu kekuasaannya
meliputi Pulau Andalas (Pulau Sumatra) dan Malaya. Selanjutnya pusat Kerajaan
Minangkabau berada di Pagaruyung.
Sekitar tahun 1409 M terjadilah perang antara Kerajaan
Minangkabau di Pagaruyung dengan Kerajaan Mataram di Jawa. Perang terjadi di
Padang Sibusuk[17] dan akhirnya
dimenangkan oleh Raja Mataram. Kekalahan ini membuat perpecahaan kerajaan
melayu saat itu akhirnya luhak bepenghulu tinggal di Pagaruyung, alam berajo
balik ke Jambi. Maka sejak itu berdirilah Kerajaan Melayu Jambi secara
tersendiri lepas dari Minagkabau dipimpin oleh Tun Talanai.
Kemudian ia pindah ke kerajaan Sriwijaya yang pusatnya berada di
lembah sungai Musi di sekitar kota Palembang untuk menyalin dan menerjemahkan
naskah- naskah Sansekerta. Dari sini I Tsing melaporkan di tahun 689 bahwa
Malayu telah kehilangan kedaulatannya pada Sriwijaya. Mulai saat itu semua
utusan yang dikirim ke negeri Tiong- kok berasal dari Sriwijaya, dan tidak satu
pun lagi dikirim dari Malayu. Selama berabad- abad Sriwijaya tetap berjaya
sebagai kerajaan yang mahakuasa, dan tidak pelak lagi bahwa Sriwijaya patut dipandang
sebagai tempatnya kebudayaan Melayu berkembang di sepanjang abad[18]
Dalam pembahasannya, disadari Sejarah Melayu Kuno masih
dilliputi kegelapan. Selain dasar yang dipakai berita China yang sulit
ditafsirkan. Dalam pembahasan di Seminar, menurut Dr. EE Mc KINNON dan DR. AB
Lapian, Muara Jambi sebagai pusat agama dan pusat pemerintahan. Begitu juga
disampaikan oleh Drs. Bambang B Utomo, Fachruddin Saudagar dan Prof. Dr. Jacob,
Pusat Kerajaan Melayu diperkirakan berasal dari Jambi. Ini didukung oleh Prof.
Dr. Nik Hassan Suhaimi dan Drs. MM. Soekarto K. Atmodjo yang berpendapat, Jambi
adalah tapak Kerajaan Melayu yang diperkirakan keberadaannya sampai abad VII M.
Dari perdebatan mengenai kejelasan dan peran sentral kedudukan
Melayu Kuno, maka S. Sartono kemudian mengemukakan pertanyaan menggugat. Pada
abad VII di Sumatera Timur ada 2 Kerajaan kuno yaitu Moloyu (Malayu, Jambi) dan
Sriwijaya (Palembang). Apakah memang ada hubungan antara dua kerajaan itu.
Bagaimana menghubungkannya ?
Hipotesis yang disampaikan oleh Sartono kemudian menjelaskan,
Bahwa semula Kerajaan Malayu Kuno berpusat di Muara Takus. Tempat kedudukan
dipilih setelah Malayu (Jambi) dikuasai oleh Sriwijaya (Palembang). Dengan kata
lain, Kerajaan Malayu Kuno seolah-olah didesak oleh Sriwijaya dari arah Jambi
ke Barat sampai di Muara Takus. Dengan penjelasan ini, maka S. Sartono
berpendapat, adanya dua kerajaan yakni Moloyu (Malayu) di Jambi dan Sriwijaya
di Palembang.
Pernyataan dari Sutikno dkk, justru memaksakan kita harus
berdebat hebat. Situs- situs di Muara Jambi membuktikan adanya keberadaan
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu kuno.
Belum selesai perdebatan tentang letak Kerajaan Sriwijaya,
misteri tentang Kerajaan Melayu Jambi juga meninggalkan persoalan yang sama.
Hilangnya peradaban Kerajaan Melayu Jambi yang di Candi Muara Jambi kemudian
munculnya kerajaan Melayu Jambi yang beragama islam.
Pemerintah Hindia Belanda telah
menetapkan wilayah administrasi Jambi dengan membagi wilayah dengan menyebutkan
“Margo”[19].
Dalam berbagai dokumen disebutkan
dengan berakhirnya masa kesultanan Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha
Saifuddin tanggal 27 April 1904 dan berhasilnya Belanda menguasai
wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan dan
masuk ke dalam wilayah Nederlandsch
Indie.
Residen Jambi yang pertama O.L
Helfrich yang diangkat berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20
tanggal 4 Mei 1906 dan pelantikannya dilaksanakan tanggal 2 Juli 1906.
Kekuasan Belanda atas Jambi
berlangsung ± 36 tahun karena pada tanggal 9 Maret 1942 terjadi peralihan
kekuasaan kepada Pemerintahan Jepang. Dan pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah
pada sekutu. Tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkanlah Negara Republik
Indonesia. Sumatera disaat Proklamasi tersebut menjadi satu Provinsi yaitu
Provinsi Sumatera dan Medan sebagai ibukotanya dan MR. Teuku Muhammad Hasan
ditunjuk memegangkan jabatan Gubernurnya.
Pada tanggal 18 April 1946 Komite
Nasional Indonesia Sumatera bersidang di Bukittinggi memutuskan Provinsi
Sumatera terdiri dari tiga Sub Provinsi yaitu Sub Provinsi Sumatera Utara,
Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Sub Provinsi Sumatera Tengah
mencakup keresidenan Sumatra Barat, Riau dan Jambi. Tarik menarik Keresidenan
Jambi untuk masuk ke Sumatera Selatan atau Sumatera Tengah ternyata cukup alot
dan akhirnya ditetapkan dengan pemungutan suara pada Sidang KNI Sumatera
tersebut dan Keresidenan Jambi masuk ke Sumatera Tengah. Sub-sub Provinsi dari
Provinsi Sumatera ini kemudian dengan undang-undang nomor 10 tahun 1948 ditetapkan
sebagai Provinsi.
Dengan UU.No. 22 tahun 1948
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah keresidenan Jambi saat itu terdiri dari
2 Kabupaten dan 1 Kota Praja Jambi. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah
Kabupaten Merangin yang mencakup Kewedanaan Muara Tebo, Muaro Bungo, Bangko dan
Batanghari terdiri dari kewedanaan
Muara Tembesi, Jambi Luar Kota, dan Kuala Tungkal. Masa terus berjalan, banyak
pemuka masyarakat yang
ingin keresidenan Jambi untuk menjadi bagian Sumatera Selatan dan dibagian lain
ingin tetap bahkan ada yang ingin berdiri sendiri. Terlebih dari itu, Kerinci
kembali dikehendaki masuk Keresidenan Jambi, karena sejak tanggal 1 Juni 1922
Kerinci yang tadinya bagian dari Kesultanan Jambi dimasukkan ke keresidenan
Sumatera Barat tepatnya jadi bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci.
Namun dalam catatan lain, nama Jambi sering disebutkan didalam
berbagai dokumen seperti Midden Sumatera (Sumatera Tengah) sering diulas oleh P.J.
Veth dalam karya berserinya seperti Aardrijksundige Beschrijving, Reisverhaal,
Naturlijke historie, Volkbeschrijving. Sedangkan von Alfred Maab menuliskan
istilah “Durch Zentral-Sumatra” sebagai wilayah yang menunjuk Sumatera Tengah
sebagaimana dalam catatan koleksi Etnografi
Begitu juga kalimat
“oostkust van Sumatera” sebagaimana sering dituliskan berbagai sarjana Belanda
seperti A. F. Van Blommestein, dalam berbagai peraturan seperti Algmenen
Vereeniging van Rubber planters ter ooskust van Sumatera, Arbeidestoestanden op
de Oostkust van Sumatera, katalog inzending van de oostkust van sumatra,
verslag betreffende bezoek aan het gewest ooskust van sumatra, vereeniging
“plantersbond oostkust sumatera”, sering mewarnai berbagai perjalanan didalam
buku yang telah dituliskan oleh berbagai sarjana.
Sementara menggunakan kata
“East Coast of Sumatera” dapat kita temukan dalam karya A. V. ROS yang menulis
panjang lebar dari perjalanan dan pandangan tentang Sumatera Timur.
Dari berbagai sumber disebutkan
Sumatera Tengah adalah sebuah provinsi yang pernah tercatat sebagai salah satu
provinsi di Indonesia. Namun sejak tahun 1957 kemudian dimekarkan menjadi
provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi.
Berbeda dengan penempatan Jambi
dalam “oostkust van Sumatera” atau “East Coast of Sumatera” dalam karya A. V.
ROS, istilah Negara Sumatera Timur pernah menjadi bagian dari sejarah bentukan
boneka Pemerintah Belanda (1945 – 1950).
Sejarah cukup panjang selain
kelanjutan dari Residen penguasaan Belanda di “lumbung” seperti karet, the,
kopi dan berbagai kebutuhan rempah-rempah, daerah Sumatera Timur hanya
Karesidenan Sumatera Timur adalah wilayah administrasi Hindia Belanda di
kawasan pesisir timur Sumatera bagian utara yang berdiri pada 1 Maret 1887 yang
terdiri dari Kesultanan Asahan, Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang dan
Kesultanan Langkat.
Dari buku-buku, laporan ataupun
peraturan yang dikeluarkan pemerintah Belanda, nama “oostkust van Sumatra'
cukup sering disebutkan. Jambi yang kemudian ditempatkan dalam “Oostkust van
Sumatra” disebutkan sering menghasilkan karet.
Didalam bukunya, Lindayanti
“Perkebunan Karet Rakyat Jambi 1920-1928, Aspek Sosial Ekonoini, dalam Sejarah
Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, sebagaimana dikutip oleh Budiharddjo,
Tanaman karet Jambi berkembang lagi setelah setelah NederlandsIndie membuka
pintu bagi investor asing terutama Inggerris, Belanda, Belgia dan Amerika.
A.H.P. Clemens dalam skripsinya 'De
Bevolkingsrubbercultuur in Djambi en Palembang Tijdens het Interbellum'
(Perkebunan Karet Rakyat.di. Jambi dan Palembang Di Antara Dua Perang Dunia),
perkembangan perkebunan karet rakyat dari tahun 1906 sampai berakhimya
kekuasaan pernerintah Belanda pada tahun 1942, karet dikenal sebagai masa
karet dan sebagai “hujan mas”.
Tentu saja kita kita tidak
mendiskusikan lebih lanjut tentang Jambi yang tidak dapat dipisahkan dari
sejarah “kemakmuran” karet. Sejarah yang sudah sering dituliskan dari berbagai
dokumen.
Menempatkan Jambi dalam kawasan pantai Timur Sumatera memang menjadi kajian yang cukup serius hingga sekarang.
Sebagai bagian dari kawasan pantai timur Sumatera, Jambi beririsan dengan Riau dan Sumatera Selatan. Dengan menggunakan pendekatan region, menempatkan Jambi dalam irisan pantai Timur Sumatera merupakan kawasan yang tidak terpisahkan.
Kawasan itu tidak bisa dilepaskan dari urusan administrasi semata. Melepaskan Jambi dalam urusan administrasi dalam kawasan pantai timur Sumatera merupakan persoalan yang serius dalam pengelolaan sumber daya alam.
Kawasan pantai Timur Sumatera yang
kemudian menempatkan Jambi dalam jajaran pantai pesisir timur kemudian menjadi
pandangan, bacaan kita tentang kawasan pantai timur berbeda dengan kawasan
pedalaman di Jambi.
Data-data menunjukkan penataan
dikawasan pantai timur berbeda dengan pengelolaan di daerah datatan sedang dan
dataran tinggi di Jambi yang terletak di hulu Sungai Batanghari.
Selain vegetasi, pola cocok tanam,
iklim maupun tipologi yang berbeda membuat kawasan pantai timur menjadi
tipologi yang unik.
Namun penempatan Jambi sebagai
bagian dari “oostkust van Sumatera” atau “East Coast of Sumatera” dan
midle Sumatra atau Midden Sumatra sebagaimana didalam catatan panjang P.J. Veth
memang menarik untuk digali lebih lanjut.
Tentu saja kesulitan kita
mendapatkan dokumen yang masih tersimpan di berbagai universitas dan museum di
berbagai dunia juga dilatarbelakangi berbagai bahasa. Baik dalam bahasa Belanda
seperti didalam “Arbeidstoestanden op de oostkust van Belanda”, Algemeene
Vereenigingvan Rubber planters ter oostkust van Sumatra, atau bahasa Perancis
seperti Rapports, Memories & Proces Verbaux Des Seances, Documents pour
servir, atau bahasa Jerman seperti Uber Deckenbau im Gebiet von Djambi
(Sumatra) dan bahasa Inggeris Malay Tongue as spoken in the Peninsula of
Malacca the Island of Sumatra, Java, Borneo, Pulo Pinang.
Namun menurut Charles Campbell
melaporkan bahwa di tahun 1800 penduduk
Sungai Tenang jarang membayar upeti kepada sultan Jambi yang selayaknya terdiri
dari seekor kerbau, setahil emas, dan seratus bambu beras dari setiap kampung.
Surat-surat yang ditulis oleh temenggung sultan Jambi yang sampai sekarang
masih disimpan sebagai pusaka di Kerinci juga menunjukkan bahwa penduduk di
Kerinci tidak selalu patuh kepada perintah rajanya di Jambi
Menurut Ulu Kozok didalam bukunya
“Kitab Undang-undang Tanjung Tanah” Muara
Jambi tetap menjadi pelabuhan tempat armada perdagangan Malayu berpangkal,
tetapi Malayu tidak lagi menguasai Selat Malaka dan hanya menjadi salah satu
dari berbagai pemain dalam perdagangan antarpulau dan antarbangsa[20]
Di sisi yang lain De Casparis tentu
benar bila ia menolak bahwa Malayu takluk pada
Jawa. “Mungkin sekali Adityawarman mengakui kewibawaan negara Madjapahit, tetapi hal itu tidak ternyata dari prasastinya, yang tidak pernah menyebutkan ketergantungan Adityawarman dari Majapahit: nama pulau Jawa pun belum ditemukan dalam prasastiprasasti raja itu” .
Jawa. “Mungkin sekali Adityawarman mengakui kewibawaan negara Madjapahit, tetapi hal itu tidak ternyata dari prasastinya, yang tidak pernah menyebutkan ketergantungan Adityawarman dari Majapahit: nama pulau Jawa pun belum ditemukan dalam prasastiprasasti raja itu” .
Menurut McKinnon “Apa yang sesungguhnya terjadi tidak jelas,
tetapi data arkeologi mengesankan bahwa sebagian besar situs di pantai timur
Sumatra, termasuk Pulau Kompei dan Kota Cina di Sumatra Utara, serta Muara
Jambi, Muara
Kumpeh Hilir, dan Koto Kandis yang terletak di tepi Batang Hari, dimusnahkan atau ditinggalkan oleh penduduknya pada akhir abad ke- 14, merupakan akibat langsung dari politik imperialis Majapahit di perairan Selat Malaka[21]
Kumpeh Hilir, dan Koto Kandis yang terletak di tepi Batang Hari, dimusnahkan atau ditinggalkan oleh penduduknya pada akhir abad ke- 14, merupakan akibat langsung dari politik imperialis Majapahit di perairan Selat Malaka[21]
Jambi
juga dipengaruhi Palembang. Dalam karya “To Live as Brothers”
ahli sejarah Barbara Andaya telah melukiskan dengan sangat teliti betapa
rumitnya hubungan antara kedua wilayah yang paling berpengaruh di Sumatra
bagian selatan, yaitu Jambi dan Palembang.
Di dalam studinya yang mencakup abad
ke-17 dan ke-18 Andaya dapat mengandalkan sumber dari arsip VOC. Tampaknya cukup jelas bahwa kedua saudara
tersebut sudah berabad-abad bersaing secara sangat gigih. Kedua saudara
tersebut selalu bersaing untuk memanfaatkan posisi strategis kedua wilayah
tersebut dalam menguasai Selat Malaka dan arus perdagangannya. Rupa-rupanya
Palembang sering dapat mengungguli Jambi dalam persaingannya sehingga Sriwijaya
selalu dikaitkan dengan Palembang sebagai pusat kerajaannya mulaidari abad ke-7
sampai dengan abad ke-11. Pada tahun 1025 Rajendra Chola yang memerintah
kerajaan Koromandel di India menyerang pusat-pusat perdagangan di Selat Malaka.
Ekspedisi militer ini merupakan pukulan dahsyat bagi Sriwijaya, dan memberi
kesempatan kepada Malayu (Jambi) untuk bangkit kembali. Walaupun Malayu telah berhasil menyingkirkan
Palembang, perubahan yang terjadi antara abad ke-11 dan abad ke-13 yang
terutama menyangkut pola perdagangan di Asia Tenggara tidak terlalu menguntungkan
bagi Malayu yang tidak pernah dapat meraih kembali status yang pernah dipegang
oleh Palembang sebagai penguasa mutlak di kawasan Selat Malaka[22].
Masa periode selanjutnya, Majapahit yang berkuasa setelah runtuhnya
Sriwijaya. Didalam Negara Kartagama, Pararaton, Kidung Hariwijaya, Kidung
Ronggowale disebutkan Majapahit kemudian mempunyai kota-kota pelabuhan seperti
Tuban, Gresik, Sedayu, Jaratan. Majapahit didukung dua sungai besar yaitu
Kalibrantas dan Bengawan Solo. Menurut Tome Pires didalam karya monumentalnya
Suma Oriental menerangkan Pedagang Muslim
kemudian mengadakan hubungan dagang dengan Majapahit
Peristiwa “penundukan” yang disebut
Pamalayu itu telah ditafsirkan oleh para ahli sejarah. Kebanyakan sejarahwan
cenderung mengikuti teori yang dikemukakan oleh Krom dalam karya Hindoe-Javaansche
Geschiedenis melihat patung Amoghapasa yang ditemukan di Pulau Punjung[23]. Dalam sejarah dikenal dengan Ekspedisi
Pamalayu.
Berbeda
dengan C.C.
Berg yang menginterpretasi Pamalayu sebagai bagian untuk menyatukan Nusantara
(pulau-pulau di luar Jawa) agar bersama-sama dapat menghadapi ancaman dari
kaisar Mongol Kublai Khan. Dengan demikian Berg menginterpretasikan Pamalayu
sebagai “perjanjian dengan Malayu untuk membentuk persekutuan melawan agresi
dinasti Mongol. Teori Berg belakangan ini juga didukung oleh De Casparis.
Di sisi yang lain De Casparis tentu
benar bila ia menolak bahwa Malayu takluk pada
Jawa: “Mungkin sekali Adityawarman mengakui kewibawaan negara Madjapahit, tetapi hal itu tidak ternyata dari prasastinya, yang tidak pernah menyebutkan ketergantungan Adityawarman dari Majapahit: nama pulau Jawa pun belum ditemukan dalam prasastiprasasti raja itu”[24]
Jawa: “Mungkin sekali Adityawarman mengakui kewibawaan negara Madjapahit, tetapi hal itu tidak ternyata dari prasastinya, yang tidak pernah menyebutkan ketergantungan Adityawarman dari Majapahit: nama pulau Jawa pun belum ditemukan dalam prasastiprasasti raja itu”[24]
Menurut cerita di berbagai tempat di
daerah hulu Sungai Batanghari, di dahulu kala ada seorang Pangeran
Temenggung Kebaruh, yang dikatakan masih keturunan Majapahit, mengunjungi
Kerinci dari Muara Mesumai yang meyakinkan para raja untuk mengakui kedaulatan
Jambi. Para raja diberi hadiah berbentuk kain dan dianugerahi dengan gelar
dipati (juga disebut depati) yang berasal dari gelar Jawa adipati[25].
Dipati berarti lebih daripada sekalian. Lembaga depati diperkenalkan oleh raja
Jambi lebih dari enam ratus tahun yang lalu sebagai alat untuk memerintah.
Namun menurut Watson Andaya,
berbagai dokumen hanya menunjukkan wilayah Pagaruyung hanya bisa mendukung
Margo Koto VII dan Margo Kota IX (Tebo) yang berlatar belakang Minangkabau. Orang Minangkabau
berpindah ke selatan pada abad Ke 17 atau sesudahnya dan kemudian menyatakan
diri tunduk kepada bathin dengan menyatakan diri sebagai penghulu. Kelompok bathin
migran menetap di Rawas di perbatasan Jambi dan Palembang.
Dokumen
ini juga bisa dilihat dalam geografi dimana wilayah Minangkabau dibagi menjadi
tiga. Darek (darat), Rantau dan Pesisia (Pesisir). Darek
adalah daerah tinggi diantara pegunungan diantaranya Gunung Singgalang dan
Gunung Merapi. Darek dibagi 3 (luhak nan tigo). Luhak tanah datar, luhak
Agam dan Luhak 50 Koto yang terdiri luhak, ranah dan Lareh. Maninjau termasuk
kedalam Luhak Agam. Rantau adalah daerah diluar Luhak nan tigo. Menyusuri Sungai
seperti Rokan, Siak, Kampar, Kuantan/Indragiri dan Batanghari. Biasa disebut
juga Minangkabau Timur atau “ikua rantau (Ekor rantau). Sehingga “ikua
rantau” dilihat dari menyusuri Sungai Batanghari.
Ketika
runtuh Sriwijaya dan Majapahit, Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan
internasional menarik perhatian kerajaan kecil di sepanjang pesisir Timur
Sumatera. Dalam berbagai literature disebutkan, Jambi kemudian ditempatkan dan
menjadi bahan kajian sejarah. Penamaan Kata-kata seperti Midden Sumatera
(Sumatera Tengah) sering diulas oleh P.J. Veth dalam karya berserinya
seperti Aardrijksundige Beschrijving, Reisverhaal, Naturlijke historie,
Volkbeschrijving, atau von Alfred Maab menuliskan istilah “Durch
Zentral-Sumatra” dalam catatan koleksi Etnografi ataupun “oostkust van Sumatera” sebagaimana
sering dituliskan berbagai sarjana Belanda seperti A. F. Van Blommestein, dan“East
Coast of Sumatera” dapat kita temukan dalam karya A. V. ROS membuat posisi
strategis Selat Malaka dan menempatkan Jambi.
Sementara
kerajaan Malaka menjadi kerajaan besar dengan didukung hubungan baik dengan
Kerajaan Samudra pasai pada abad XV[26].
Menurut Barbara Watson Andaya[27],
kebesaran Malaka, yaitu adanya undang-undang yang cukup rapi dan administrasi
sebagai rencana lama pelayaran, keadilan Raja Malaka yang lebih suka di Malaka
daripada berburu sehingga dapat menyelesaikan persoalan pelayaran,
Bahkan
didalam Buku Meilink-Roelofsz “Asian Trade and Europan Influence – 1500 – 1630
“ disebutkan “Kerajaan kecil di pedalaman
seperti di Tungkal juga mengadakan hubungan dagang dengan membawa hasil
pertanian dan membeli barang bernilai tinggi.
Malaka kemudian ditaklukan Portugis tahun 1511 M.
Menurut
Fachruddin Saudagar “Jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis tahun 1511, telah membawah dampak kemerosotan dan merubah
pelabuhan Malaka menjadi bandar yang ditinggalkan pedagangnya. Jatuhnya Malaka
telah membawa perubahan mendasar terhadap konstelasi politik dan perdagangan di
kawasan perairan selat Malaka.
Jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis, maka Johor muncul sebagai bandar penting di selat Malaka. Pada
awal abad 17 antara Jambi dan Johor terjadi persaingan hegemoni menguasai jalan
perdagangan di laut. Dalam kondisi persaingan ini maka pihak Inggris, Belanda,
dan Portugis mulai ingin ikut campur tangan dalam urusan politik.
Perang tidak dapat
dihindarkan yaitu perang terbuka antara Jambi dengan Johor berlangsung lebih
kurang 14 tahun lamanya sejak tahun 1667 – 1681 M (4 kali perang). Perang
Jambi-Johor ke IV tahun 1680 – 1681 M.
Dalam perang terakhir,
Jambi yang dibantu Belanda dengan berbagai macam perlengkapan militer dan dana
kemudian menghadapi perlawanan Johor dibantu Palembang dan Daeng Mangika
menyerang Jambi. Johor berhasil dikalahkan. Belanda kemudian semakin
menanjabkan kukunya di Jambi.
Jambi
selain dipengaruhi perdagangan dalam alur Selat Malaka, bergantiannya sistem
pemerintahan juga dipengaruhi agama. Sebelum kedatangan Islam (banyak versi. Ada menyebut kedatangan Islam
abad XII. Namun ada yang menyebutkan abad XVII), pengaruh Budha dan Hindu
mendominasi kehidupan masyarakat.
Selama berabad-abad ibukota Malayu
terletak di Muara Jambi, sebuah kompleks ritual-politik dengan jumlah penduduk
yang lumayan besar. Schnittger
“menyebutkan “sebuah kota yang besar, barangkali lebih besar dari
Palembang”[28]
Bahkan McKinnon menambahkan bahwa “situs Muara Jambi barangkali merupakan situs
yang terbesar dan paling penting di Sumatra”[29]
Selain itu juga terdapat Pelabuhan
di Muara Sabak/koto Kandis yang ramai dari abad XII – XIV [30]
Dalam
F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, menyebutkan “Masyarakat hukum yang bermukim
di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan
sebagian
dari Muara Tebo dan Muara Tembesi[31].
Pengaruh periode terakhir
datangnya agama Islam. Tidak ada
kesepakatan di antara para sejarawan tentang kapan sebenarnya Islam mulai masuk
dan menyebar di dunia Melayu. Teori yang ada bisa dibagi ke dalam dua kategori.
Ada yang mengatakan kedatangan Islam adalah awal abad Pertama Hijriah (abad 7)[32].
Teori kedua mengatakan kedatangan Islam dimulai di abad 13. [33]
Teori pertama didasarkan pada catatan Tionghoa dari Dinasti T’ang yang
menyebutkan sejumlah orang dari Ta-shih[34]
yang membatalkan niatnya untuk menyerang kerajaan Ho-ling di bawah rezim Ratu
Sima (674 M).
Kedatangan
Islam sejak abad ke 7 dan ke 8 dipicu perkembangan dagang laut antara bagian
timur dan barat Asia. Terutama setelah kemunculan dan perkembangan tiga dinasti
kuat, yaitu Kekhalifahan Umayah (660-749 M), Dinasti T’ang (618-907 M), dan
kerajaan Sriwijaya (7-14M).
Teori
kedua tentang kedatangan Islam pertama kali ke Indonesia pada awal 13
disampaikan oleh Snouck Hurgronje dengan menghubungkan penyerangan dan
pendudukan Baghdad oleh Raja Mongol, Hulagu pada tahun 1258 m[35].
Sejak
itu proses islamisasi terjadi. Hingga berdiri Kerajaan Muslim pada abad 13,
Samudra Pasai[36].
Pertumbuhan kerajaan Muslim dimulai di Malaka pada awal abad 15. Perkembangan
ini kemudian hingga ke Jawa, Maluku hingga ke Patani (bagian utara Malaysia)
dan bagian Selatan Thailand[37].
Proses
Islamisasi terjadi lewat jaringan yang beragam yang menguntungkan masing-masing
pihak. Baik bagi orang Muslim yang datang menyebarkan Islam ke berbagai tempat
di dunia Melayu dan bagi orang yang menerima atau beralih ke Islam di
daerahnya. Proses ini dilakukan melalui jalur yang beragam. Seperti
perdagangan, birokrasi, pendidikan, sufisme, seni, perkawinan[38].
Dengan
demikian, maka kedatangan islam ke beberapa pantai di dunia Melayu mengikuti
rute pelayaran dan perdagangan dari Arab-Persia-India-dunia Melayu-Tiongkok.
Ornamen
masuknya Islam di Jambi dimulai dari pesisir Timur. Cerita Datuk Paduka Berhalo
dan Rangkayo Hitam masih hidup dan dianggap sebagai Raja yang menganut agama
Islam. Datuk Paduka Berhala dan Rangkayo Hitam merupakan Raja yang berkuasa di
jalur perdagangan Selat Malaka. Posisi Jambi, Muara Zabag dan Pulau Berhala
dalam lintasan selat Malaka membuat posisi keduanya begitu penting (abad 12-18
M[39]).
Posisi
pelabuhan di selat Malaka menyebabkan adanya pembagian kekuasaan. Pemerintahan
di kota Bandar diserahkan kepada putra-putra Sultan yang berkedudukan sebagai
Tumenggung atau Adipati. Kota ini menghasilkan seperti lada, kapur barus,
gaharu, madu, lilin, pinang, emas dan kemudian diekspor. Sedangkan komoditas
impor seperti, kain berwarna putih seperti belacu, drill, dan keramik dari
Tiongkok.
Kesultanan
di Selat Malaka mempunyai posisi penting dalam jalur perdagangan internasional
dari berbagai bangsa lain seperti Tiongkok, India, Jepang dan Eropa.
Kontrol
terhadap selat Malaka dilakukan oleh Portugis pada abad XV.
Walaupun
kedatangan Belanda melalui VOC yang ingin menguasai nusantara, namun kejatuhan
Raja-raja yang mempunyai DAS seperti Jambi dan Palembang, baru jatuh setelah
awal abad 20. Dimulai dari kesultanan Aceh Darussalam, Jambi dan Palembang.
Islam
kemudian berkembang dan menyumbang berbagai perkembangan sastra dan tulis
menulis yang ditandai denganarab Melayu).
Dengan
demikian, tidak dapat ditentukan dengan pasti, dari Negara mana muslim datang
dan bersentuhan dengan wilayah di Melayu. Yang pasti, kedatangan Mulsim yang
datang dan menyebarkan islam kepada masyarakat berasal dari Arab, Persia, India
atau bisa saja Tiongkok. Mereka bermula sebagai pedagang, mubaligh atau
pengajar agama dan kaum sufi. Dan kemudian ditambah dengan pelopor dari
masyarakat yang kemudian menyebarkan islam setelah mendapatkan pendidikan di
berbagai tempat seperti pesantren di jawa dan sekolah agama di Mekkah.
Namun
menurut catatan Tiongkok, Pie Hu Lu tahun 875 M, adanya kedatangan Ta-sih dan
Po-Sse ke Chan Pei untuk membeli pinang pada awal abad IX M.
C.
JAMBI DALAM
PERADABAN DUNIA
Sebagai
bagian dari Sumatera, Sriwijaya, Melayu, tentu saja Jambi dipengaruhi berbagai
pengaruh dari luar Jambi. Baik dipengaruhi berkaitan dengan kepentingan dagang,
pengaruh agama maupun pengaruh sistem pemerintahan dan sistem social dari
berbagai penjuru dunia.
Dalam
berbagai catatan, ornament, perjalanan, ungkapan masyarakat, Seloko, Tambo dan
berbagai aspek kehidupan melengkapi cataan tentang pengaruh berbagai agam da
kebudayaan dunia.
Sebagai
bagian dari Sumatera, pengaruh Melayu tidak dapat dielakkan di Jambi. Secara geografis kawasan
Malayu-Jambi mencakup daerah aliran sungai Batang Hari beserta dengan anak
sungai seperti Merangin, Tabir, Tebo, dan Tembesi, dan daerah pegunungan
seperti Kerinci dan Sumatra Barat.
Didalam
kertagama dan prastasi, pada tahun 664-665 “Mo-lo-jeu” telah mengirim utusan ke
negeri Cina. Tahun 853 dan 871 “Champi” (Jambi) mengirim armada dagang. Kota
yang dianggap penting oleh pedagang Arab antara lain “Zabag” (Muara Sabak).
Istilah “tauke” sebagai “pengumpul barang” masih dikenal di tengah masyarakat.
Dalam seloko di tengah masyarakat di
daerah hulu Sungai Batanghari dikenal seloko “Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu
maka Beraja ke Pagaruyung.
Namun menurut Charles Campbell
melaporkan bahwa di tahun 1800 penduduk
Sungai Tenang jarang membayar upeti kepada sultan Jambi yang selayaknya terdiri
dari seekor kerbau, setahil emas, dan seratus bambu beras dari setiap kampung.
Surat-surat yang ditulis oleh temenggung sultan Jambi yang sampai sekarang
masih disimpan sebagai pusaka di Kerinci juga menunjukkan bahwa penduduk di
Kerinci tidak selalu patuh kepada perintah rajanya di Jambi
Menurut Ulu Kozok didalam bukunya
“Kitab Undang-undang Tanjung Tanah” Muara
Jambi tetap menjadi pelabuhan tempat armada perdagangan Malayu berpangkal,
tetapi Malayu tidak lagi menguasai Selat Malaka dan hanya menjadi salah satu
dari berbagai pemain dalam perdagangan antarpulau dan antarbangsa[40]
Di sisi yang lain De Casparis tentu
benar bila ia menolak bahwa Malayu takluk pada
Jawa. “Mungkin sekali Adityawarman mengakui kewibawaan negara Madjapahit, tetapi hal itu tidak ternyata dari prasastinya, yang tidak pernah menyebutkan ketergantungan Adityawarman dari Majapahit: nama pulau Jawa pun belum ditemukan dalam prasastiprasasti raja itu” .
Jawa. “Mungkin sekali Adityawarman mengakui kewibawaan negara Madjapahit, tetapi hal itu tidak ternyata dari prasastinya, yang tidak pernah menyebutkan ketergantungan Adityawarman dari Majapahit: nama pulau Jawa pun belum ditemukan dalam prasastiprasasti raja itu” .
Menurut McKinnon “Apa yang sesungguhnya terjadi tidak jelas,
tetapi data arkeologi mengesankan bahwa sebagian besar situs di pantai timur
Sumatra, termasuk Pulau Kompei dan Kota Cina di Sumatra Utara, serta Muara
Jambi, Muara
Kumpeh Hilir, dan Koto Kandis yang terletak di tepi Batang Hari, dimusnahkan atau ditinggalkan oleh penduduknya pada akhir abad ke- 14, merupakan akibat langsung dari politik imperialis Majapahit di perairan Selat Malaka[41]
Kumpeh Hilir, dan Koto Kandis yang terletak di tepi Batang Hari, dimusnahkan atau ditinggalkan oleh penduduknya pada akhir abad ke- 14, merupakan akibat langsung dari politik imperialis Majapahit di perairan Selat Malaka[41]
Jambi
juga dipengaruhi Palembang. Dalam karya “To Live as Brothers”
ahli sejarah Barbara Andaya telah melukiskan dengan sangat teliti betapa
rumitnya hubungan antara kedua wilayah yang paling berpengaruh di Sumatra
bagian selatan, yaitu Jambi dan Palembang.
Di dalam studinya yang mencakup abad
ke-17 dan ke-18 Andaya dapat mengandalkan sumber dari arsip VOC. Tampaknya cukup jelas bahwa kedua saudara
tersebut sudah berabad-abad bersaing secara sangat gigih. Kedua saudara
tersebut selalu bersaing untuk memanfaatkan posisi strategis kedua wilayah
tersebut dalam menguasai Selat Malaka dan arus perdagangannya. Rupa-rupanya
Palembang sering dapat mengungguli Jambi dalam persaingannya sehingga Sriwijaya
selalu dikaitkan dengan Palembang sebagai pusat kerajaannya mulaidari abad ke-7
sampai dengan abad ke-11. Pada tahun 1025 Rajendra Chola yang memerintah kerajaan
Koromandel di India menyerang pusat-pusat perdagangan di Selat Malaka.
Ekspedisi militer ini merupakan pukulan dahsyat bagi Sriwijaya, dan memberi
kesempatan kepada Malayu (Jambi) untuk bangkit kembali. Walaupun Malayu telah berhasil menyingkirkan
Palembang, perubahan yang terjadi antara abad ke-11 dan abad ke-13 yang
terutama menyangkut pola perdagangan di Asia Tenggara tidak terlalu
menguntungkan bagi Malayu yang tidak pernah dapat meraih kembali status yang
pernah dipegang oleh Palembang sebagai penguasa mutlak di kawasan Selat Malaka[42].
Masa periode selanjutnya, Majapahit yang berkuasa setelah runtuhnya
Sriwijaya. Didalam Negara Kartagama, Pararaton, Kidung Hariwijaya, Kidung
Ronggowale disebutkan Majapahit kemudian mempunyai kota-kota pelabuhan seperti
Tuban, Gresik, Sedayu, Jaratan. Majapahit didukung dua sungai besar yaitu
Kalibrantas dan Bengawan Solo. Menurut Tome Pires didalam karya monumentalnya
Suma Oriental menerangkan Pedagang Muslim
kemudian mengadakan hubungan dagang dengan Majapahit
Peristiwa “penundukan” yang disebut
Pamalayu itu telah ditafsirkan oleh para ahli sejarah. Kebanyakan sejarahwan
cenderung mengikuti teori yang dikemukakan oleh Krom dalam karya
Hindoe-Javaansche Geschiedenis melihat patung Amoghapasa yang ditemukan di Pulau
Punjung[43]. Dalam sejarah dikenal dengan Ekspedisi
Pamalayu.
Berbeda
dengan C.C.
Berg yang menginterpretasi Pamalayu sebagai bagian untuk menyatukan Nusantara
(pulau-pulau di luar Jawa) agar bersama-sama dapat menghadapi ancaman dari
kaisar Mongol Kublai Khan. Dengan demikian Berg menginterpretasikan Pamalayu
sebagai “perjanjian dengan Malayu untuk membentuk persekutuan melawan agresi
dinasti Mongol. Teori Berg belakangan ini juga didukung oleh De Casparis.
Di sisi yang lain De Casparis tentu
benar bila ia menolak bahwa Malayu takluk pada
Jawa: “Mungkin sekali Adityawarman mengakui kewibawaan negara Madjapahit, tetapi hal itu tidak ternyata dari prasastinya, yang tidak pernah menyebutkan ketergantungan Adityawarman dari Majapahit: nama pulau Jawa pun belum ditemukan dalam prasastiprasasti raja itu”[44]
Jawa: “Mungkin sekali Adityawarman mengakui kewibawaan negara Madjapahit, tetapi hal itu tidak ternyata dari prasastinya, yang tidak pernah menyebutkan ketergantungan Adityawarman dari Majapahit: nama pulau Jawa pun belum ditemukan dalam prasastiprasasti raja itu”[44]
Menurut cerita di berbagai tempat di
daerah hulu Sungai Batanghari, di dahulu kala ada seorang Pangeran
Temenggung Kebaruh, yang dikatakan masih keturunan Majapahit, mengunjungi
Kerinci dari Muara Mesumai yang meyakinkan para raja untuk mengakui kedaulatan
Jambi. Para raja diberi hadiah berbentuk kain dan dianugerahi dengan gelar
dipati (juga disebut depati) yang berasal dari gelar Jawa adipati[45].
Dipati berarti lebih daripada sekalian. Lembaga depati diperkenalkan oleh raja
Jambi lebih dari enam ratus tahun yang lalu sebagai alat untuk memerintah.
Bahkan di Marga Serampas diketahui
adanya gelar “Depati Pulang Jawo, salah satu gelar Depati di Serampas.
Istilah Depati masih ditemukan di
berbagai tempat. Baik di Sarolangun, Kerinci, Bungo maupun di Tebo. Istilah Depati tidak ditemukan di daerah Jambi
Hilir. Mereka biasa menyebut “penghulu.
Selain
itu pengaruh Minangkabau Di Jambi sendiri begitu terasa. Hampir semuanya mengaku
“berasal dari Pagaruyung”. Cerita “Datuk perpatih nan sebatang” hidup di
sebagian kawasan Tebo, Bungo, Bangko hingga Sarolangun.
Bahkan
di Perda No. 5 Tahun 2007 justru ditemukan kalimat “Adat bersendikan syara'. Syara' bersendikan kitabulah. Sebuah kata
yang menjadi pegangan di masyarakat di Minangkabau.
Muchtar
Agus Cholif, meyakini bahwa Orang Serampas merupakan keturunan Orang
Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dari adanya kemiripan nilai-nilai sosial
budaya antara Serampas dengan Minangkabau.
Pendapat
ini didukung oleh Ulu Rozak yang mengatakan “Selama
masa pemerintahan Adityawarman (1347-1377) kerajaan Malayu mengalami puncak
kejayaan. Pada saat itu kerajaan tersebut berpusat di daerah Minangkabau, dan
diduga sudah dipindahkan ke pedalaman Sumatra pada awal abad ke-14 selama masa
pemerintahan Akarendrawarman atau malahan sebelumnya. Pemindahan ibu kota
kerajaan Malayu yang sebelumnya selalu berada di pesisir, dan timbulnya sebuah
kerajaan besar di lembah-lembah pegunungan Bukit Barisan merupakan fenomena
yang perlu dikaji lebih dalam[46]
Pengaruh
Minangkabau merupakan Sebuah upaya penundukkan diri dari berbagai komunitas
masyarakat terhadap kebesaran Kerajaan Pagarruyung. “Penundukan diri” bukanlah
dalam artian penjajahan fisik seperti yang dianut oleh kaum kolonial. Tapi
penyerahan diri bagian dari administasi pemerintahan dengan tetap “menghargai
pelaksanaan hukum lokal dan keunikan” masing-masing tiap daerah. Sehingga
walaupun bagian dari Kerajaan pagarruyung, namum terhadap pelaksanaan hukum
mengenal denda yang berbeda setiap daerah.
Saya
belum bisa memprediksi apakah “pengaruh Minangkabau” juga hidup di pesisir
Pantai Timur di Jambi. Cerita tentang Datuk Paduka Berhala maupun Rangkayo
Hitam hanyalah cerita tentang perkawinan antara Datuk Paduka Berhala dengan
Putri Selaras Pinang Masak dari Pagaruyung. Namun tidak tegas menyebutkan
kerajaan Jambi merupakan wilayah kekuasaan Pagaruyung.
Namun menurut Watson Andaya,
berbagai dokumen hanya menunjukkan wilayah Pagaruyung hanya bisa mendukung
Margo Koto VII dan Margo Kota IX (Tebo) yang berlatar belakang Minangkabau. Orang Minangkabau
berpindah ke selatan pada abad Ke 17 atau sesudahnya dan kemudian menyatakan
diri tunduk kepada bathin dengan menyatakan diri sebagai penghulu. Kelompok
bathin migran menetap di Rawas di perbatasan Jambi dan Palembang.
Dokumen ini juga bisa dilihat dalam
geografi dimana wilayah Minangkabau dibagi menjadi tiga. Darek (darat), Rantau
dan Pesisia (Pesisir). Darek adalah daerah tinggi diantara
pegunungan diantaranya Gunung Singgalang dan Gunung Merapi. Darek dibagi 3 (luhak
nan tigo). Luhak tanah datar, luhak Agam dan Luhak 50 Koto yang terdiri
luhak, ranah dan Lareh. Maninjau termasuk kedalam Luhak Agam. Rantau adalah
daerah diluar Luhak nan tigo. Menyusuri Sungai seperti Rokan, Siak, Kampar,
Kuantan/Indragiri dan Batanghari. Biasa disebut juga Minangkabau Timur atau “ikua
rantau (Ekor rantau). Sehingga “ikua rantau” dilihat dari menyusuri Sungai
Batanghari.
Ketika runtuh Sriwijaya dan
Majapahit, Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan internasional menarik
perhatian kerajaan kecil di sepanjang pesisir Timur Sumatera. Dalam berbagai
literature disebutkan, Jambi kemudian ditempatkan dan menjadi bahan kajian
sejarah. Penamaan Kata-kata seperti Midden Sumatera (Sumatera Tengah)
sering diulas oleh P.J. Veth dalam karya berserinya seperti Aardrijksundige
Beschrijving, Reisverhaal, Naturlijke historie, Volkbeschrijving, atau von
Alfred Maab menuliskan istilah “Durch Zentral-Sumatra” dalam catatan
koleksi Etnografi ataupun “oostkust
van Sumatera” sebagaimana sering dituliskan berbagai sarjana Belanda
seperti A. F. Van Blommestein, dan“East Coast of Sumatera” dapat kita
temukan dalam karya A. V. ROS membuat posisi strategis Selat Malaka dan
menempatkan Jambi.
Sementara
kerajaan Malaka menjadi kerajaan besar dengan didukung hubungan baik dengan
Kerajaan Samudra pasai pada abad XV[47].
Menurut Barbara Watson Andaya[48],
kebesaran Malaka, yaitu adanya undang-undang yang cukup rapi dan administrasi
sebagai rencana lama pelayaran, keadilan Raja Malaka yang lebih suka di Malaka
daripada berburu sehingga dapat menyelesaikan persoalan pelayaran,
Bahkan
didalam Buku Meilink-Roelofsz “Asian Trade and Europan Influence – 1500 – 1630
“ disebutkan “Kerajaan kecil di pedalaman
seperti di Tungkal juga mengadakan hubungan dagang dengan membawa hasil
pertanian dan membeli barang bernilai tinggi.
Malaka kemudian ditaklukan Portugis tahun 1511 M.
Menurut
Fachruddin Saudagar “Jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis tahun 1511, telah membawah dampak kemerosotan dan merubah
pelabuhan Malaka menjadi bandar yang ditinggalkan pedagangnya. Jatuhnya Malaka
telah membawa perubahan mendasar terhadap konstelasi politik dan perdagangan di
kawasan perairan selat Malaka.
Jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis, maka Johor muncul sebagai bandar penting di selat Malaka. Pada
awal abad 17 antara Jambi dan Johor terjadi persaingan hegemoni menguasai jalan
perdagangan di laut. Dalam kondisi persaingan ini maka pihak Inggris, Belanda,
dan Portugis mulai ingin ikut campur tangan dalam urusan politik.
Perang tidak dapat
dihindarkan yaitu perang terbuka antara Jambi dengan Johor berlangsung lebih
kurang 14 tahun lamanya sejak tahun 1667 – 1681 M (4 kali perang). Perang
Jambi-Johor ke IV tahun 1680 – 1681 M.
Dalam perang terakhir,
Jambi yang dibantu Belanda dengan berbagai macam perlengkapan militer dan dana
kemudian menghadapi perlawanan Johor dibantu Palembang dan Daeng Mangika
menyerang Jambi. Johor berhasil dikalahkan. Belanda kemudian semakin
menanjabkan kukunya di Jambi.
Jambi
selain dipengaruhi perdagangan dalam alur Selat Malaka, bergantiannya sistem
pemerintahan juga dipengaruhi agama. Sebelum kedatangan Islam (banyak versi. Ada menyebut kedatangan Islam
abad XII. Namun ada yang menyebutkan abad XVII), pengaruh Budha dan Hindu
mendominasi kehidupan masyarakat.
Selama berabad-abad ibukota Malayu
terletak di Muara Jambi, sebuah kompleks ritual-politik dengan jumlah penduduk
yang lumayan besar. Schnittger
“menyebutkan “sebuah kota yang besar, barangkali lebih besar dari Palembang”[49]
Bahkan McKinnon menambahkan bahwa “situs Muara Jambi barangkali merupakan situs
yang terbesar dan paling penting di Sumatra”[50]
Selain itu juga terdapat Pelabuhan
di Muara Sabak/koto Kandis yang ramai dari abad XII – XIV [51]
Dalam
F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, menyebutkan “Masyarakat hukum yang bermukim
di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan
sebagian
dari Muara Tebo dan Muara Tembesi[52].
mengenal Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat
siamang beruang putih, Tempat ungko berebut tangis, rimba keramat, rimbo
puyang, rimbo ganuh.
Kata-kata seperti Teluk
sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat
siamang beruang putih, Tempat ungko berebut tangis, rimba keramat, rimbo
puyang, rimbo ganuh mempunyai pengaruh yang kuat dari ajaran Hindu
Spritualitas Upanishad[53].
Dalam tradisi intelektual
India, Upanishad[54]
dihubungkan dengna gerakan yang ingin melakukan reinterpretasi atau reformasi
kehidupan religius. Paham ini kemudian menempatkan dalam monistik. Termasuk
dalam perkembangan kehidupan sosial keagamaan yang menempatkan tidak
semata-mata milik kelompok elite tertentu.
Tujuan utama Upanishad bukanlah mengajarkan kebenaran filsafat melainkan
kedamaian dan kebebasan.
Dengan demikian maka Teluk
sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat
siamang beruang putih, Tempat ungko berebut tangis, rimba keramat, rimbo
puyang, rimbo ganuh hanyalah tempat dan bentuk penghormatan manusia kepada
Tuhan. Aristoteles menyebutkannya “hylemorfisme”[55].
Sedangkan Islam sendiri menyebutkannya “Zuhud”, yakni menjalani kehidupan dunia
secara sederhana pengaturan yang bertujuan untuk akherat (aspek
eksatologis/ukhrawi)
Pengaruh periode terakhir
datangnya agama Islam. Tidak ada
kesepakatan di antara para sejarawan tentang kapan sebenarnya Islam mulai masuk
dan menyebar di dunia Melayu. Teori yang ada bisa dibagi ke dalam dua kategori.
Ada yang mengatakan kedatangan Islam adalah awal abad Pertama Hijriah (abad 7)[56].
Teori kedua mengatakan kedatangan Islam dimulai di abad 13. [57]
Teori pertama didasarkan pada catatan Tionghoa dari Dinasti T’ang yang
menyebutkan sejumlah orang dari Ta-shih[58]
yang membatalkan niatnya untuk menyerang kerajaan Ho-ling di bawah rezim Ratu
Sima (674 M).
Kedatangan
Islam sejak abad ke 7 dan ke 8 dipicu perkembangan dagang laut antara bagian
timur dan barat Asia. Terutama setelah kemunculan dan perkembangan tiga dinasti
kuat, yaitu Kekhalifahan Umayah (660-749 M), Dinasti T’ang (618-907 M), dan
kerajaan Sriwijaya (7-14M).
Teori
kedua tentang kedatangan Islam pertama kali ke Indonesia pada awal 13
disampaikan oleh Snouck Hurgronje dengan menghubungkan penyerangan dan
pendudukan Baghdad oleh Raja Mongol, Hulagu pada tahun 1258 m[59].
Sejak
itu proses islamisasi terjadi. Hingga berdiri Kerajaan Muslim pada abad 13,
Samudra Pasai[60].
Pertumbuhan kerajaan Muslim dimulai di Malaka pada awal abad 15. Perkembangan
ini kemudian hingga ke Jawa, Maluku hingga ke Patani (bagian utara Malaysia) dan
bagian Selatan Thailand[61].
Proses
Islamisasi terjadi lewat jaringan yang beragam yang menguntungkan masing-masing
pihak. Baik bagi orang Muslim yang datang menyebarkan Islam ke berbagai tempat
di dunia Melayu dan bagi orang yang menerima atau beralih ke Islam di
daerahnya. Proses ini dilakukan melalui jalur yang beragam. Seperti
perdagangan, birokrasi, pendidikan, sufisme, seni, perkawinan[62].
Dengan
demikian, maka kedatangan islam ke beberapa pantai di dunia Melayu mengikuti
rute pelayaran dan perdagangan dari Arab-Persia-India-dunia Melayu-Tiongkok.
Ornamen
masuknya Islam di Jambi dimulai dari pesisir Timur. Cerita Datuk Paduka Berhalo
dan Rangkayo Hitam masih hidup dan dianggap sebagai Raja yang menganut agama
Islam. Datuk Paduka Berhala dan Rangkayo Hitam merupakan Raja yang berkuasa di
jalur perdagangan Selat Malaka. Posisi Jambi, Muara Zabag dan Pulau Berhala
dalam lintasan selat Malaka membuat posisi keduanya begitu penting (abad 12-18
M[63]).
Posisi
pelabuhan di selat Malaka menyebabkan adanya pembagian kekuasaan. Pemerintahan
di kota Bandar diserahkan kepada putra-putra Sultan yang berkedudukan sebagai
Tumenggung atau Adipati. Kota ini menghasilkan seperti lada, kapur barus,
gaharu, madu, lilin, pinang, emas dan kemudian diekspor. Sedangkan komoditas
impor seperti, kain berwarna putih seperti belacu, drill, dan keramik dari
Tiongkok.
Kesultanan
di Selat Malaka mempunyai posisi penting dalam jalur perdagangan internasional
dari berbagai bangsa lain seperti Tiongkok, India, Jepang dan Eropa.
Kontrol
terhadap selat Malaka dilakukan oleh Portugis pada abad XV.
Walaupun
kedatangan Belanda melalui VOC yang ingin menguasai nusantara, namun kejatuhan
Raja-raja yang mempunyai DAS seperti Jambi dan Palembang, baru jatuh setelah
awal abad 20. Dimulai dari kesultanan Aceh Darussalam, Jambi dan Palembang.
Islam
kemudian berkembang dan menyumbang berbagai perkembangan sastra dan tulis
menulis yang ditandai denganarab Melayu).
Dengan
demikian, tidak dapat ditentukan dengan pasti, dari Negara mana muslim datang
dan bersentuhan dengan wilayah di Melayu. Yang pasti, kedatangan Mulsim yang
datang dan menyebarkan islam kepada masyarakat berasal dari Arab, Persia, India
atau bisa saja Tiongkok. Mereka bermula sebagai pedagang, mubaligh atau
pengajar agama dan kaum sufi. Dan kemudian ditambah dengan pelopor dari
masyarakat yang kemudian menyebarkan islam setelah mendapatkan pendidikan di
berbagai tempat seperti pesantren di jawa dan sekolah agama di Mekkah.
Namun
menurut catatan Tiongkok, Pie Hu Lu tahun 875 M, adanya kedatangan Ta-sih dan
Po-Sse ke Chan Pei untuk membeli pinang pada awal abad IX M.
Posisi
tokoh agama kemudian diwujudkan dalam prinsip “adat bersendikan syara’. Syara’
bersendikan kitabbulah. Tokoh agamapun kemudian memasuki struktur social yang ditandai
dengan tiga tali sepilin yaitu Pemimpin, tokoh adat dan tokoh agama (alim
ulama).
Struktur masyarakat ilir cenderung
lebih berlapis dengan seorang raja atau sultan sebagai kepala kerajaan, dan
golongan elit yang dekat dengan pusat kekuasaan. Masyarakat ilir sangat
berfokus pada dunia luar dan dengan mudah menyerap unsur kebudayaan asing
seperti dari Eropa, India, Jawa, Timur Tengah, dan Tiongkok. Karena
perdaganganinternasional baik di negara-negara Arab, maupun di India dan di
Tiongkok didominasi oleh saudagar yang beragama Islam maka masyarakat ilir pun
lebih dulu memeluk agama Islam, suatu proses yang sudah mulai sejak abad kedua
belas dan mencapai puncak pada abad kelima belas[64].
Hipotesis ini mudah ditemukan di
lapangan. Masyarakat di Hulu Batanghari seperti Bangko, Sarolangun maupun Marga
Sumay walaupun sudah beragama Islam, maka masih menganut penghormatan kepada
nenek moyang. Seloko seperti “rimbo ganuh, rimbo sunyi, Teluk sakti rantau
betuah gunung bedewo”meruapakan konfirmasi terhadap hipotesis yang disamapaikan
oleh Ulu Kozok. Sedangkan di daerah hilir, walaupun mereka berikrar sebagai
Tumenggung Bujang Pejantan namun hampir praktis setiap kehidupan sudah
terpengaruh Islam.
Islam kemudian Memperkaya dan
mempertegas identitas bahkan merawat kekerabatan (Tambo).
[1] Hingga
tahun 2009 luas areal penanaman Cassiavera di Kerinci mencapai sekitar 41.825
hektar. Seluruh areal lahan Cassiavera di daerah lain dan belahan dunia masih
jauh lebih kecil dibanding Kerinci. Namun menurut data resmi Pemerintah, luas
kulit manis sudah mencapai 49.529 ha.
[2]
Lihat ”Mededeelingen van het Bureu voor de Besteur van het Buitenbeziitingan
Encylopaedea Bureu, NV “Papyrus “, Batavia, 1915, hlm 67.
[3] Elsbeth
Locher-Scholten, Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi –
Batavia (1830-1907), 2008.
[4] Masa kejayaan karet ditandai
dengan cerita di pelosok-pelosok kampong dari penutur orang tua. Mereka
menyebutkan sebagai zaman “kupon”
[5] Provinsi
Sumatera Tengah, Penerbit Kementrian Penerangan Republik Indonesia, 1952
[6] Pemerintah Provinsi Jambi, 2015
[7] Korsup Sawit KPK, Jambi, 12
April 2016
[8]
M.C Ricklefs, SEJARAH INDONESIA MODERN 1200 – 2008, PT. Serambi Ilmu
Semesta, Jakarta, 2008, Hal. 56. Bahkan Elizabeth menyebutkan “tahun 1901 Muara
Tembesi diduduki tanpa insiden. Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan
Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya
imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 263
2 Pada akhir abad XVIII, Kesultanan Jambi menjadi
negara di bawaha Raja Minangkabau di Pagarayung. Elsbeth Locher Sholten,
Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907)
dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 45.
[15] SEJARAH
INDONESIA MODERN 1200 – 2008, M.C Ricklefs, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta,
2008, Hal. 56. Bahkan Elizabeth menyebutkan “tahun 1901 Muara Tembesi diduduki
tanpa insiden. Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial
– Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda,
KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 263
[16] Pada akhir
abad XVIII, Kesultanan Jambi menjadi negara di bawaha Raja Minangkabau di Pagarayung.
Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan
Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta,
2008, Hal. 45
[17] Dinamakan
Padang Sibusuk karena busuk oleh bangkai manusia akibat korban dari kedua belah
pihak yang banyak dan tidak bisa dikuburkan.
[18] ULI KOZOK,
PH.D, KITAB UNDANG-UNDANG TANJUNG TANAH NASKAH MELAYU YANG TERTUA, Yayasan
Naskah Nusantara Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2006
[19] Margo merupakan menjadi
identitas dalam masyarakat dan adat. Dari berbagai sumber disebutkan,
marga-marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Menurut Regeering
Reglement (RR) 1854, Nederlandse Indie diperintah oleh Gubernur
Jenderal atas nama Raja/Ratu Nederland secara sentralistis. Daerah Nederlandse
Indie dibagi dalam dua kategori besar yaitu daerah Indirect Gebied dan Direct
Gebied. Daerah Indirect Gebied adalah daerah yang diperintah secara tidak langsung
oleh penguasa Batavia. Daerah Direct Gebeid adalah yang diperintah secara
langsung oleh
Batavia secara hirarkis. Secara historis sistem pasirah terbentuk melalui Surat
Keputusan Pemerintah colonial Belanda Tertanggal 25 Desember 1862. Tapi, tahun 1928,
pemerintah Belanda menetapkan perubahan marga-marga geneologi-teritorial menjadi
marga-marga teritorial-genealogis, dengan penentuan batas-batas daerah
masing-masing. Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas dasar pemilihan
oleh dan dari punyimbang-punyimbang yang bersangkutan. Demikian pula,
kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan oleh dan dari para punyimbang.
[20] Ulu Rozak, Hal. 22
[21] (McKinnon,
1984:65).
[22] Ulu Rozak, Hal. 12
[23] Ulu Rozak, Hal. 12
[24] (Casparis, 1992).
[25] Ulu Rozok, hal 9
[26] Sejarah Melayu, Laporan Tome
Pires
[27] History of Malaysia
[28] (Schnitger,
1937:6).
[29] (McKinnon, 1984:60).
[30] Atmodjo,
1997; McKinnon, 1984).
[31] F. J. Tideman dan P. L. F.
Sigar, Djambi, Kolonial Institutut,
Amsterdam, 1938
[35]
J.P Moquette berdasarkan temuan arkeologis, yaitu batu nisan Sultan Malik As-Salih yang meninggal 1297 M,
di Gampong Samudra, Lhokseumawe. Mooquette memperkuat dengan catatan Marco Polo
yang mengunjungi Perlak dan tempat lain. Dengan demikian Mouqette menyimpulkan
kedatangan Islam pertama di Samudra 1270-1275 M
[36] Pendirian kerajaan Samudra
Pasai juga dipengaruhi dengan semakin melemahnya Kerajaan Sriwijaya (abad 12-13
M), dan tekanan Kerajaan Singasari yang mengirimkan Ekspedisi Pamalayu (1275 M)
ke Sumatera. Sriwijaya tidak mampu lagu mengontrol rute perdagangan
internasional di Selat Malaka.
[38]
Perkawinan silang terjadi antara putri kerajaan dengan pedagang Muslim. Dalam
babad Tanah Jawi disebutkan perkawinan antara Putri Campa dengan Raja
Majapahit, Brawijaya. Maulana Ishak menikahi putri Raja Blambangan yang
kemudian melahirkan Sunan Giri. Babad Cerbon juga menyebutkan perkawinan antara
Sunan Gunung Jati dengan Putri Kawung Anten.
[39] Sejarah nasional Indonesia III,
[40] Ulu Rozak, Hal. 22
[41] (McKinnon,
1984:65).
[42] Ulu Rozak, Hal. 12
[43] Ulu Rozak, Hal. 12
[44] (Casparis, 1992).
[45] Ulu Rozok, hal 9
[46] Ulu Rozak, Hal. 10
[47] Sejarah Melayu, Laporan Tome Pires
[48] History of
Malaysia
[49] (Schnitger, 1937:6).
[50]
(McKinnon, 1984:60).
[51] Atmodjo, 1997; McKinnon, 1984).
[52] F. J. Tideman dan P. L. F.
Sigar, Djambi, Kolonial Institutut,
Amsterdam, 1938
[53] Lihat Filsafat Timur – Sebuah pergulatan Menuju
Manusia Paripurna, Ach. Dhofir Zuhri, Madani, 2013, Surabaya, Hal. 47
[54] Upanishab mempunyai pengaruh sistematika
filsafat, agama, kebudayaan dan kehidupan umat manusia selama beberapa
milenium. Denyut dapat dilihat dari penyebaran agama Hindu di Tibet, Thailand,
Tiongkok, Indonesia dan negara-negara Indo China. Konsep “membantu sesama
manusia sejatinya memuja Tuhan” telah menempatkan kitab Upanishab tentang
pandangan tentang realitas yang menjawab ilmiah, filsafat dan agama manusia.
Paparan ini telah diuraikan oleh Renada, A. Constructive of Unasibhadic
Philosophy.
[55] Ach.
Dhofir Zuhri, Op.cit. Hal. 57
[56] W.P Groeneveldt, T.W Arnold, Syed Naguib
Al-Attas, George Fadlo Hourani, J.C.van Leur, Hamka, Uka Tjandrasasmita.
[57] Snouck Hurgronje, J/P. Moquette, R.A Kern, Agus
Salim
[58] Kata Ta-sih diidentifikasi oleh Groeneveldt
sebagai “orang-orang Arab” yang menetap di Pantai Barat Sumatera. Lihat Hal. 12
[59] J.P Moquette berdasarkan temuan arkeologis,
yaitu batu nisan Sultan Malik As-Salih
yang meninggal 1297 M, di Gampong Samudra, Lhokseumawe. Mooquette memperkuat
dengan catatan Marco Polo yang mengunjungi Perlak dan tempat lain. Dengan
demikian Mouqette menyimpulkan kedatangan Islam pertama di Samudra 1270-1275 M
[62]
Perkawinan silang terjadi antara putri kerajaan dengan pedagang Muslim. Dalam
babad Tanah Jawi disebutkan perkawinan antara Putri Campa dengan Raja Majapahit,
Brawijaya. Maulana Ishak menikahi putri Raja Blambangan yang kemudian
melahirkan Sunan Giri. Babad Cerbon juga menyebutkan perkawinan antara Sunan
Gunung Jati dengan Putri Kawung Anten.
[64] Kozok, U., (2004), The
Tanjung Tanah code of law: The oldest extant Malay manuscript, Cambridge:
St Catharine's College and the University Press, Hal. 5