I.
HUKUM RIMBO
Didalam hukum Tanah
Jambi dikenal Hukum mengatur tentang perorangan. Yaitu Hukum Paanak Panakan, Paikatan,
Pakawinan, Pawarisan dan Patanahan dan Hutan Rimbo[1]”.
Prinsip dalam hukum patanahan dan hutan rimba diutamakan untuk
kesejahteraan penduduknya[2]”. Hukum Rimbo mengatur tentang milik bersama
masyarakat yang ditandai dengan Seloko “Keayek
samo diperikan, kedarat sama di perotan.
Hukum Rimbo mengatur Pantang larang yang
mengatur tentang daerah yang tidak boleh dibuka, pengaturan tentang hewan dan
tumbuhan, mengatur tentang adab dan perilaku di hutan.
Daerah yang tidak boleh
tidak boleh dibuka atau diganggu (Pantang larang) seperti “Teluk sakti.
Rantau betuah, Gunung Bedewo,[3], Hulu
Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/RImbo Keramat, Bukit Seruling/Bukit Tandus[4],
“Imbo Pseko[5],
“rimbo bulian”, “Bukit tepanggang” [6], “Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo[7],
hutan adat
Pengulu Laleh, hutan adat Rio Peniti, hutan adat
Pengulu Patwa,
hutan adat Pengulu Sati, hutan adat
Rimbo Larangan, hutan adat Bhatin Batuah,
hutan adat
Paduka Rajo, hutan adat Datuk Menti Sati, hutan adat
Datuk Menti,
hutan adat Imbo Pseko, hutan adat
Imbo Lembago, “Rimbo batuah[8]”,
Hutan lindung batu Kerbau, Hutan lindung Belukar Panjang[9],
“Rimbo sunyi, Rimbo Berpenghulu, Ulu Sungai/Rimbo Ganuh[10],
hutan keramat, Tanah Penggal, Bulian Bedarah, Bukit
Selasih, Pasir Embun”[11],
hutan larangan, sialang pendulangan, lupak pendanauan, beduangan dan tunggul
pemarasan[12] dan
Desa Semambu[13], “Pantang padang, Bukit
Siguntang, Gulun, Tepi Sungai, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan dan beduangan[14],
“Daerah Sungai Menggatal, Kedemitan yang
terletak didalam bukit 30, Sungai Sako, Talang Betung, Sungai Semerantihan,
Sungai Kupang yang terletak di Pemandian gajah, Lubuk Laweh, Sungai Beringin,
Pengian Hilir, Sungai Pauh, Pangian Ulu, Kemumu, Bukit Tambun Tulang, Hutan
Keramat, Lupak Pendanauan, Pinang Belaian, Mendelang, Rimbo Siaga, Rimbo
Lampau-lampau.[15],
“Bukit Bakar”[16],
Tano Peranakon,, Tano Pasoron, Tano
Terban, Sentubung Budak,
Balo Balai, Balo Gajah, Inum-inuman, Tempelanai, Hutan hantu pirau. “Payo” atau “payo dalam”, Suak[17], Lopak, Lubuk, Danau,
rongkat,[18]”,
masyarakat juga mengenal hewan dan tumbuhan yang tidak boleh dipanjat atau
ditebang.
Tanaman
yang tidak boleh ditebang seperti durian, petai, cempedak hutan, kayu
sengkawang, kabau, enau, landor rambai, tampui, mampaung, tayas, manggis,
jering (jengkol), dan baungan. Dan hewan yang tidak boleh diburu seperti
Harimau, macan, beruang, anjing hutan, tapir (tenok), kucing hutan, ungko,
siamang, burung gading (termasuk seluruh burung-burung yang dilarang)[19]
atau “Pohon Durian, pohon embacang tidak boleh dipanjat. Ikan tidak boleh
diracun. Burung gagak tidak boleh diambil[20].
Di
Marga Jujuhan dilkenal pantang larang yang disebut kesalahan “memanjat langsat larangan”. Langsat
adalah istilah lain dari tanaman duku. Tanaman duku dan durian sama sekali
tidak boleh dipanjat. Namun duku boleh “dijuluk”,
diambil dengan menggunakan kayu yang panjang[21].
Di
Marga Sungai Tenang dikenal Nutuh Kepayang Nubo
Tepian
artinya
dilarang menebang kayu dihutan yang bermanfaat bagi orang banyak dan mahkluk
lain seperti Kayu yang berbuah (embacang, pauh, petai, kepayang) dan kayu yang
berbuah yang buahnya dimakan oleh burung-burung. Atau dilarang menebang kayu
tempat bersarangya swowalang. Seloko seperti Petai
dak boleh ditutuh, durian dak boleh dipanjat artinya mengambil buah petai dilarang
memotong dahannya, mengambil buah durian dilarang memanjatnya dan menggugurkan
buah yang belum masak.
Dilarang menubo (meracun) dan menyentrum ikan di sungai.
Di
Marga Sumay istilah “Membuka pebalaian”. Dilarang menebang
Sialang[22].
Sanksinya cukup keras dengan hukuman “Kain
putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak
semanis seasam segaram dan ditambah denda Rp. 30 juta, kayu diserahkan kepada
Desa[23].
Sebagai
masyarakat yang menjunjung dan menghormati hutan, masyarakat juga mengenal
tatacara didalam mengelola sumber daya alam. Di Talang Mamak Istilah seperti Langsat-durandan, Manggis-Manggupo[24],
Durian-Kepayang, Sialang-Pendulangan, Sesap-Belukar, Suak-Sungai, Lupai
Pendanauan[25].
Selain itu dikenal
istilah Titak Tikal Embang. Titak adalah pohon yang sekali ditebang langsung
putus. Tikal adalah pohon yang direbahkan. Sedangkan Embang adalah bekas
belukar. Belukar adalah tanah yang sudah dibuka namun kemudian ditinggalkan.
Di
Marga Kumpeh Ulu dikenal Pudak. Pudak adalah sebangsa tumbuh-tumbuhan yaitu
sebangsa Pandan yang berduri tapam pada pinggir kiri dan kanan daunnya. Pandan
berduri kemudian disebutkan Pudak. Pudak dibutuhkan masyarakat untuk membuat
barang ke humo. Daunnya berguna. Duri daun untuk penangkal berang-berang dan tikus
di sawah[26].
Di
Desa Sungai Beras tanaman yang dilindungi adalah Punak, Meranti, Simpur, Balam, Medang, Rengas, Jelutung, Pulai, Parak, Ramin,
Geronggang, Kelat, Kempas, Malas. Sedangkan Hewan Yang Dilindungi Beruang,
Harimau, Tempalo, Landak, Teringgiling, Burung Rangkok, Monyet, uwak-uwak ,
Ular, Burung cicak hijau, Ayam hutan.[27]
Selain
mengatur pantang larang terhadap daerah-daerah yang tidak boleh dibuka seperti
“Teluk sakti. Rantau Betuah, Gunung Bedewo”, “rimbo sunyi”, “hutan keramat,
“hutan Puyang”, “Hutan betuah”, “Hutan hantu pirau” dan pantang larang terhadap
hewan dan tumbuhan tertentu, pantang larang terhadap perilaku terhadap alam
juga dikenal.
‘Tidak
dibenarkan menyebut nama “harimau”. Harimau adalah salah satu hewan yang
dihormati dan disebutkan dengan penamaan “nenek” atau “datuk”.
Setiap
memasuki hutan (rimbo puyang), selalu menyebutkan dan mohon izin. “Oi, Tuk/nek,
cucung nak masuk rimbo. Izin, yo. Jangan diganggu. Ini cucung, tuk/nek”.
Selain
itu tidak dibenarkan membangun pondok/tenda apabila ditemukan jejak Harimau
atau jejak hewan lainnya. Daerah ini dikenal sebagai tempat “peminuman”. Tempat
yang menjadi tempat berkumpul dan meminum air dari hewan-hewan yang berada di
hutan.
Apabila
hendak membuang hajat (baik hajat kecil maupun hajat besar) dianjurkan
mengucapkan “permisi tuk/nek. Cucung mau buang hajat”. Selain itu yang membuang
hajat harus berada di hilir sungai dan tepi sungai. Sehingga tidak mengganggu
yang sedang mandi.
Di
beberapa tempat tidak dibenarkan membawa telur. Dikhawatirkan akan memancing
bau yang tajam dan menarik perhatian dari penghuni hutan.
Tidak
dibenarkan mandi tanpa menggunakan “kain basahan”. Mandi hanya menggunakan
celana dalam dikhawatirkan akan tidak sopan. Di Marga Sungai Tenang dapat
dijatuhi sanksi apabila mandi tanpa menggunakan “kain basahan”.
Tidak
dibenarkan “tertawa terbahak-bahak” atau ngomong yang tidak pantas. Sikap ini
akan justru akan menimbulkan “bala” yang akan mengganggu perjalanan.
Tidak
dibenarkan “takabbur” dan teriak yang tidak pantas. Cara ini akan menyebabkan
“Rajo” akan marah dan akan menimbulkan masalah.
Adab,
sikap bahkan perilaku harus menempatkan hutan sebagai tempat “berkuasanya
Rajo”. Pendatang harus menghormati dengan sikap, adab dan perilaku yang harus
dijaga.
Kesalahan
dan sikap takabur akan menyebabkan korban dan akan mengganggu perjalanan
dihutan.
Pantang
larang selalu diingatkan oleh “tetua kampong” baik sebelum perjalanan maupun
selama perjalanan. Peringatan dari Tetua kampong” mengingatkan wilayah kekuasaan
Rajo.
Sebagai
“rajo” maka dia akan menunjukkan kekuasaannya untuk mengamankan wilayahnya.
Sehingga setiap peristiwa konflik satwa dengan manusia, “tetua kampong” akan
mudah mencari penyebab terjadinya konflik. Sehingga “ingatan, teguran” dari
Rajo akan selalu menjadi peringatan kepada yang lain. Supaya dapat menempatkan
“Rajo” yang berkuasa di hutan.
Terhadap
hasil hutan maupun hasil pertanian dan perkebunan dikenal sebagai cukai. Cukai
dikenal ditengah masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesai “cukai diartikan sebagai pajak atau bea yang
dikenakan pada barang impor dan barang konsumsi. Atau “sebagian dari hasil tanah seperti sawah, ladang yang wajid disetorkan
kepada tuan atau pemilik tanah sebagai ongkos tanah”.
Ditengah
masyarakat Melayu Jambi dikenal seloko seperti “ke aek bebungo pasir. Ke darat bebungo kayu”. Di Marga Pangkalan
Jambi dikenal “ke aek bebungo pasir. Ke
darat bebungo Kayu. Ke tambang bebungo emas” [28].
Di Marga Sungai Tenang Desa Tanjung Benuang dikenal “Ke aek
Bebungo Pasir, kedarat bebungo kayu. Adat samo diisi, Tembago Sama dituang.
Berat sama di pikul, ringan sama dijinjing. Sedangkan di Desa Muara Madras
dikenal “uang
padang” [29].
Bungo emping, merupakan pungutan
pajak untuk setiap hasil panen. Misalnya seperti pada saat kenduri dilakukan pungutan
terhadap hasil panen untuk nenek mamak. Pada saat itu juga dikumpulkan zakat
padi. Bungo “Emeh” merupakan pungutan pajak yang dilakukan
untuk setiap pungutan hasil tambang emas (mendulang).
Tatacara
penarikan cukai berbeda-beda nilainya. Di Desa Tanjung Mudo ditarik setahun
sekali setelah panen[30].. Di Desa Gedang dilakukan setahun sekali hasil
panen baik hasil nilam, kopi, kayu manis[31].
Di Desa Tanjung Benuang[32]“
dikenal dengna penghitungan “kiding beras”. Begitu juga di Desa Tanjung Alam[33].
Selain
itu juga dikenal menarik “cukai” atau “penyerahan hasil buruan”. Hewan buruan yang
diperoleh penduduk maka diberikan 5
canting dagingnya diberikan untuk kepala adat, kalau mendapatkan Rusa diberikan
1 gantang dagingya untuk kepala adat. Demikian juga mendapatkan ikan, burung,
kancil dan sebagainya.
Sedangkan penduduk luar dusun, kalau penduduk dari luar dusun yang
mendapatkan kijang atau rusa maka daging paneh untuk nenek mamak setempat[34].
Dengan
penyerahan “hasil buruan”, maka apabila pemburu tersesat dihutan maka penghulu
adat dapat mengumpulkan warga agar bersama-sama mencarinya.
Di
Timur Jambi daerah Hilir Marga Kumpeh, “pancung alas” selain diartikan sebagai
“pamit ke penghulu” juga sebagai “cukai” kepada pemangku adat.
Setelah
dilakukan penentuan wilayah yang tidak boleh dibuka (pantang larang) (daerah yang tidak boleh dibuka atau diganggu)”, maka kemudian
dikenal daerah untuk pertanian (cencang
latih[35] atau
peumoan[36]), untuk perkebunan (jambu keloko[37], petanang[38]) dan untuk pemukiman
(plabo umah atau sepenegak rumah).
Pengaturan tentang “jambu keloko atau petanang” dikategorikan sebagai “belukar lasah’. Plabo umah atau “sepenegak rumah” juga dikenal sebagai “Tanah dusun” sesuai dengna seloko sesak padang dirancah, sesak koto diumba
Orang
Rimba kemudian menetapkan diluar dari tempat-tempat seperti Tano Peranakon, Tano Pasoron, Tano Terban, Sentubung Budak, Balo
Balaii, Balo Gajah,
Inum-inuman, Tempelanai, kuburan
penguasa hutan (Sialang, Jernang, Tenggiris, Jemban Budak, Bendungan atau Tebat, Tanah
Bersejarah, Payo labor,
maka dibuka untuk berladang dan berkebun[39].
Di
Marga Serampas dikenal “Tanah ajun” dan “tanah arah”. Tanah Ajun dan Tanah Arah
adalah tata cara pemanfaatan tanah yang ditunjuk dan berdasarkan hukm adat ssuai dengan
pembagian, peruntukan dan pemanfaatan tanah untuk produksi, lindung dan
konservasi[40]
Tanah
ajum, tanah yang bisa dimanfaatkan untuk peningkatan perekonomian masyarakat
dengan menanam tanaman muda dan semusim. Sedangkan tanah arah, yaitu wilayah
buat pemukiman.
“Tanah
arah ini hanya untuk keluarga baru dan penerima harus sudah bisa mengumpulkan
bahan bangunan untuk membuat rumah. Kami memberikan tempo atau tenggat disebut timpo ramu dan timpo tegak.” “Maksimalnya dua tahun,
jika pembangunan tak terlaksana, penerima tanah arah akan didenda atau kena
sanksi adat,”
Ada
lagi aturan pemanfaatan tanah ngarai.
Tanah ngarai biasa di
kawasan terjal dan topografi curam. Dalam adat, kawasan ini tak boleh diolah
sama sekali baik perkebunan maupun penebangan kayu[41].
Di Marga Sungai Tenang Desa Muara Madras dibagi
menjadi lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman. Areal persawahan
masyarakat terletak disepanjang 3 sungai besar yaitu sungai mentenang, sungai
madras dan sungai belula. Kelompok huma (areal persawahan) disebut dengan
‘talong”. Areal persawahan tersebar di : talong bajilo, talong mentenang (di
sepanjang sungai mentenang), talong mandras (disepanjang sungai madras), talong
belula mudik dan talong belula ili (sepanjang sungai belula.). Selain itu juga
areal pertanian dan perkebunan masyarakat berada disekitar pemukiman dan daerah
persawahan yaitu di daerah : eks arena MTQ, sungai rebung (sekitar kantor
camat), belukar tengah, hulu mentenang, sungai ningin, belula, sungai kancil
dan renah panjang. Kecendrungan pengembangan areal pertanian dan perkebunan
masyarakat ke arah sungai ningin, bukit padang dan hulu mentenang.
Daerah
pemukiman diantaranya Pemukiman masyarakat sepanjang jalan aspal (jalan utama) mulai dari
areal perkantoran kantor camat hingga ke ujung dusun di lubuk temiang.
Pemukiman masyarakat tebagi 6 dusun.
Kecendrungan
perkembangan pemukiman dimana rumah-rumah baru didirikan yaitu di daerah kantor
camat (Dusun Tanjung Harapan), belukar tengah (Tanjung Aman dan Lubuk Temiang),
eks Arena MTQ (Kampung Lereng dan Kampung Baru).[42]
Di Desa Tanjung Dalam dikenal “dataran tinggi” dan “renah”[43]. Dataran tinggi menjadi tempat pertanian.
Sedangkan “renah” adalah pemukiman.
Pertanian terletak diatas dataran tinggi yang
berlokasi di sekitar bukit sedingin, bukit tongkat, hulu sungai terap dan hulu
sungai jumat, potensi hutannya terdapat dibukit sedingin dan sekitar bukit.
Sedangkan Permukiman penduduk berada didataran perbukitan yang ditengah
permukiman terdapat sebuah sungai yang mengalir ke tempat masyarakat mengambil
air, mandi dan mencuci.
Di
Koto Tapus (Jangkat) dikenal daerah pertanian terletak sungai mentenang,
sungai lirik, sungai duo dan sungai lintang) [44]. Areal perkebunan
masyarakat berada di daerah sungai duo, sungai beringin, sungai panjang, ladang
batu gajah, ladang gunung krakatau, ladang tebat gedang, tanjung benuang
tinggal, renah dusun baru, sungai lirik, sungai mentenang, sungai bangko dan
sungai lintang.
Pemukiman masyarakat
berada sepanjang jalan as (jalan kecamatan) dan sepanjang jalan setapak di
desa. Pemukiman terbagi menjadi dua Dusun Kampung Masjid dan Dusun Kampung
Madrasah.
Arah perkembangan pemukiman masyarakat untuk
pembangunan rumah baru berada di ujung desa di sepanjang jalan kecamatan dan di
belakang desa di daerah kampung lereng.
Di
Desa Beringin Tinggi[45]
Areal pertanian dan perkebunan terdapat di tiga tempat yang terpisah, yaitu
ladang panjang, Renah sungai baru dan
Sepanjang sungai lirik krolang dan mentemu.
Areal persawahan masyarakat berada di sekitar daerah sungai lirik,
sungai mayas, sungai krolang, dan sungai nyangun, sekaligus tempat ini menjadi
tempat pusat pertanian. Dan pengembangan areal pertanian dan perkebunan
mayoritas ke sungai lirik.
Pemukiman masyarakat
di pinggir kiri dan kanan jalan, Akses untuk menuju ke desa ini ada 2 jalan
masuk dari desa tetangga yaitu Desa Pematang Pauh dan Desa Jangkat, mulai masuk
desa melalui sungai mayas yang sekaligus sungai ini dimamfaatkan masyarakat
untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, seperti tempat pemandian umum dan tempat
masyarakat mengambil air untuk masak nasi dan minum. Dari sungai mayas kemudian
mendaki sedikit dan lansung masuk ke areal pemukiman. Desa ini terdiri dari dua
dusun, yaitu Dusun Maleko dan dusun sungai seluang. Dan kecendrungan arah pengembangan pemukiman
masyarakat berada ke arah areal ladang panjang Simpang jalan ke Desa Jangkat
pematang pauh, Dusun Koto Malelo.
Di Desa Pematang Pauh[46],
Areal Pertanian dan perkebunan Masyarakat mengarah ke Sungai Seluang ke arah
daerah lubuk bunta yang mengarah ke Desa Talang Tembago dan arah ke sungai
tembesi di daerah lubuk temiang. Areal persawahan masyarakat yang berada di
Dusun Pematang Pauh I dan Dusun Koto Petani berada di sepanjang sungai
Empayang. Daerah persawahan masyarakat yang berada di Dusun Kabu dan Dusun
Renah Tebat di sepanjang sungai mampiul. Kecendrungan arah pengembangan areal
pertanian dan perkebunan mengarah ke sungai lirik, sungai mampayang, sungai
mampiul dan sungai tembesi.
Daerah pemukiman
masyarakat terbagi menjadi yang berkelompok dalam beberapa dusun. Pemukiman
berada di sektar jalan, menuju Desa Pematang Pauh mulai dari pemukiman di Dusun
Renah Tebat terus ke pemukiman di Dusun Durian Balai terus ke Dusun Koto Rayo
dan Dusun Kabu, terus memutar ke pemukiman di Dusun Pematang Pauh I dan Dusun
Koto Petai.
Kecendrungan
pengembangan pemukiman masyarakat mengarah ke dusun renah tebat, durian balai,
dusun koto rayo dan dusun kabu sepanjang jalan di daerah dusun tersebut.
Di Desa Gedang[47]
Areal persawahan masyarakat berada di sekitar sungai tangkal, sungai salak,
sungai durian, sungai sudung dan sungai dingin. Areal pertanian dan perkebunan
berada di daerah sungai aro, sungai dingin, arah bukit serik dan sungai sudung.
Pengembangan areal pertanian dan perkebunan masyarakat umumnya mengarak ke arah
gunung sedingin.
Pemukiman masyarakat
terbagi dua kelompok pemukiman yaitu di Dusun Simpang Harapan dan Dusun Bawah.
Pemukiman masyarakat di Dusun Simpang Harapan berada di sepanjang jalan
kecamatan, sedangkan pemukiman di Dusun Bawah masuk kedalam sekitar 1 km dari
jalan kecamatan pemukiman masyarakat berkelompok di sekitar jalan desa.
Kecendrungan arah
pengembangan pemukiman masyarakat berada di sekitar jalan kecamatan di dusun
Simpang Harapan.
Desa Kotobaru[48].
Areal persawahan masyarakat berada di sekitar sungai maram. Areal pertanian dan
perkebunan masyarakat berada di sekitar talang bukit, srip, pondok licin hingga
kearah bukit sedingin. Perkembangan areal pertanian dan perkebunan masyarkat ke
arah bukit sedingin dan ke arah Gunung Masurai.
Hamparan areal
pertanian masyarakat disebut dengan “Talang / Talong”. Kelompok talang berada
di : talang bukit, pondok cincin, talang renah, talang sungai gaung dan talang
rimbo jauh.
Pemukiman masyarakat berada sepanjang jalan
kecamatan dan jalan desa (masuk dari simpang tiga di Dusun Simpang Tiga). Rumah
masyarakat umumnya berada di sepanjang jalan. Pemukiman dibagi menjadi dua
dusun yaitu Dusun Simpang Tigo dan Dusun Induk Koto Baru yang pemukimannya
tergabung menjadi satu (tidak terpisah).
Pengembangan pemukiman
berada di sepanjang jalan kecamatan, umumnya masyarakat mendirikan rumah baru
di kiri kanan jalan sepanjang jalan kecamatan di ujung dan hilir desa.
Desa Tanjung Benuang[49]
Areal persawahan berada di sungai aro, sungai gelap dan sugai kandis namun sudah
ditinggalkan sejak tahun 1973 karena hasil padinya kurang baik.
Areal pertanian dan perkebunan masyarakat berada di
pematang batu orang, sawo bekisa, dusun parit, pematang sungai kandis, pematang
bukit serik hingga belakang dusun tanjung beringin.
Perkembangan areal
pertanian dan perkebunan masyarakat didaerah belukar belakang dusun gedang dan
ujung dusun sepanjang jalan arah ke Desa Jangkatt.
Pemukiman masyarakat berada sepanjang jalan
berbanjar hingga beberapa rumah kebelakang. Pemukiman di bagi menjadi dua dusun
yaitu Dusun Tanjung Beringin dan Dusun Batu Balai.
Pengembangan pemukiman
ke arah seberang sungai aro dan ujung dusun sepanjang jalan kearah Desa Gedang
dan Desa Jangkat.
Desa Tanjung Alam[50],
Areal pertanian dan perkebunan sebagian besar di daerah dataran ke arah gunung
masurai daerah pertanian ini disebut daerah sri renah, ada juga di daerah ke
arah rantau suli disebut daerah sawah tinggal dan daerah pauh belepang di
perbatasan dengan Desa Rantau Suli.
Areal persawahan masyarakat berada di sebelah mudik
dusun (pemukiman masyarakat) yaitu di sepanjang Sungai Matang dan Sungai
Mengkuyung serta sebagian di daerah sawah tinggal.
Kecendrungan arah pengembangan areal pertanian ke
arah Bukit Muncung, sungai matang, sungai menteng I dan sungai menteng II.
Daerah pemukiman masyarakat di Desa Tanjung Alam
berada di dataran yang berada di bawah kaki gunung masurai. Pemukiman berada di
sepanjang jalan desa yang bisa dimaskui dari dua arah yaitu dari Desa Tanjung
Mudo atau Dari Desa Rantau Suli.
Kecendrungan arah
pengembangan pemukiman masyarakat kearah sawah tinggal sebagian kecil ke
mengarah ke sungai krobun pauh belepang.
Desa Tanjung Mudo[51], Areal pertanian berada di daerah pematang
kubaning, pematang sri atas betung, inum yang semuanya berada di lereng gunung
masurai.
Areal persawahan berada di daerah timur dan barat
desa mengarah ke arah perbatasan dengan Desa Baru dan Desa Tanjung Alam.
Pengairan sawah berasal dari sungai masrud dan sungai melulo. Pengembangan
areal pertanian mengarah ke arah pematang betung. Kawasan perkebunan mengarah
ke pematang kubaning, sri atas betung dan inum.
Pemukiman masyarakat terdiri dari 1 dusun yaitu
Dusun Tanjung Mudo. Masuk dari Desa Koto teguh ada beberapa rumah yang
terpencar di sepanjang jalan desa kemudian melewati sungai sengga baru masuk ke
kelompok pemukiman di pusat desa. Sebagian pemukiman berada di daerah dataran
sebagian kecil di dareah yang agak miring. Ditengah pemukiman ada saluran
irigasi untuk persawahan masyarakat yang berasal dari sungai masrud.
Pengembangan pemukiman masyarakat ke arah jalan
desa menuju keluar ke arah Desa Koto Teguh dan daerah pematang kubaning.
Di desa Rantau Bidaro, terdapat lahan pertanian
berupa sawah, luasnya mencapai 30 hektar tetapi yang dikelola masyarakat
sekarang ini sekitar 15 Hektar dan yang berhak menanam di lahan tersebut adalah
keturunan nenek 4, yaitu kalbu Rendah, kalbu Solok, kalbu Cabul dan kalbu
Talang, yang kesemuanya sudah dibedakan lokasi masing-masing. Kalbu Rendah
sebelah ilir, kalbu solok sebelah tengah, kalbu cabul sebelah atas dan kalbu
talang sebelah atas juga[52].
Di Marga Peratin Tuo Desa Tanjung Berugo[53],
Areal persawahan berada di sungai siau kecil yang berada sekitar 2 km dari
pemukiman desa.
Areal pertanian dan perkebunan masyarakat di hampir
merata sekitar pemukiman desa, renah durian kuning dekat sungai duku atau
disebut juga talang duku, bukit breng di arah gunung masurai di samping bukit
sedingin dekat sungai siau, talang kabah di mudik dusun dekat sungai siau
tengah, daerah sepanjang jalan ke tanjung berugo dan ilir dusun daerah sungai
ulun anak sungai siau tengah.
Kecendrungan pengembangan areal pertanian dan
perkebunan umumnya adalah lahan yang berupa “perimbun” baik berupa belukar muda maupun belukar tua ditinggal
lebih 5 tahun yang berada banyak di siau kecil dan jalan renah durian kuning.
Pemukiman masyarakat berkelompok-kelompok yang
terbagi dalam dua wilayah dusun yaitu dusun I dan dusun II, setiap dusun
terdiri dari 3 RT. Rumah masyarakat berada sepanjang jalan desa.
Kecendrungan perkembangan pemukiman kearah
sepanjang jalan masuk desa tanjung berugo dari dusun tuo dan daerah lapangan
sepak bola.
Di Desa Nilo Dingin [54], Areal pertanian dan perkebunan masyarakat di
daerah Nilo Sensang, sungai inum, hulu sungai nilo dingin dan kiri kanan jalan
aspal. Disebelah timur desa umunya perkebunan kopi dan kulit manis dan
disebelah barat umumnya tanaman kopi, kayu manis dan hortikultura, sebelah
utara pada umumnya perkebunan kopi dan sebelah selatan umumnya tanaman kopi dan
hortikultura.
Kecendrungan
pengembangan areal pertanian dan perkebunan ke arah daerah nilo sensang.
Pemukiman masyarakat terbagi dua satu di sungai
tebal dan satu di Dusun Nilo Dingin. Pemukiman berada di sepanjang jalan
kecamatan dan jalan desa (beberapa baris rumah di kosentrasi pemukiman).
Kecendrungan perkembangan pemukiman ke arah sungai lalang sepanjang jalan.
Di Desa Sungai Lalang[55]
lahan Pertanian Sepanjang anak Sungai Lalang Dan di Belakang
Dusun. Perkebunan kopi dikaki Gunung Masurai dan di pinggir anak Sungai Lalang.
Pemukiman terdiri dari beberapa baris rumah yang
berada di sepanjang jalan dari Rantau Macang – Sepantai Renah yang terbagi
dalam 7 RT. yang mana pemukiman penduduk terletak di arah batang sungai tiaro
dan sungai kundi. Kecendrungan
perkembangan pemukiman disepanjang jalan ujung desa kearah sepantai renah dan
rantau macang
Desa Sungai Pinang terletak didataran tinggi dan
berbukit-bukit dari permukiman masyarakat berada dipinggiran sungai, dan mata
pencarian masyarakat bergerak dibidang pertanian padi, berkebun karet dan
sawah, mendulang emas dan lain seperti menjaga Gua serta sumber alam lainnya[56].
Di Marga Senggrahan Desa Lubuk Beringin[57]. daerah Pertanian Sekitar Sungai Renah, sungai Legan, sungai
jambun, sungai langkap, sungai Tanjung Batu, dan sungai tekalak.
Kebun
Karet Sekitar sungai Langkap, Sungai
Jambun, sungai Buang, Sungai renah. Pemukiman Kanan jalan poros Dari Muara Siau
Lubuk Birah, dan seberang Batang Nilo kiri
kanan jalan Desa.
Di Desa Durian Rambun Areal Pertanian dan Perkebunan masyarakat di daerah
sungai msa dan di dusun tinggal seberang nilo, arah sungai dedap dan sungai
jatah. Kecendrungan perkembangan areal pertanian dan
perkebunan arah sungai msa laju ke sungai bilah[58].
Pemukiman
Desa Durian Rambun terletak di ujung jalan ke nilo (masuk pasar siau).
Kecendrungan perkembangan pemukiman arah barat desa di sebelah mudik SD dan
Masjid.
Di Marga Pangkalan Jambu Desa Birun[59]
Areal persawahan masyarakat berada di sepadan Sungai
Birun Kecik, Sungai Birun Gedang, Sungai Liat, Sungai, Bintang, Sungai Langeh.
Perkebunan dan areal pertanian masyarakat berada di sekitar Sungai Birun Kecik,
Sungai Birun Gedang, Sungai Liat, Sungai Bintang, Sungai Langeh, Pinggir Sungai
Merangin.
Pemukiman masyarakat berada di
Sepanjang Jalan Lintas Bangko- Keriinci, Pinggir Sungai Birun Kecik dan Sungai Birun Gedang. Kecendrungan
perkembangan pemukiman sepanjang Jalan Lintas Bangko- Keriinci Arah Sungai Langeh
Di Marga Sumay Desa Pemayungan[60] dikenal “Behumo Ronah” sebagai areal pertanian. Ditanami di daerah ronah Sungai Bulan dan Sungai Sumay.
Di Desa Semambu[61] dikenal Lambas
Berbanjar[62]. Di Dusun Simirantihan[63], Perkampungan Suku Talang Mamak bermukim di Tepi
menggatal kemudian pindah ke Kemumu. Nama Tempat Kemumu menjadi pemukiman yang
dihuni hingga sekarang[64].
Di Marga Sebo Ulu Desa Kembang Seri[65],
Wilayah
persawahan masyarakat Desa Kembang Seri terletak di belakang Dusun Kembang Seri
lamo dan juga Dusun Kembang Sekaki, Tanah cengal, Aek Melancur, Talang Tebat,
Rantau Danau, Lubuk Tampang, dan Lebak Padang.
Di Marga Petajin Ilir Desa Lubuk Mandarsyah dikenal
daerah Bukit Bakar”[66]. Sedangkan untuk areal pertanian dan perkebunan harus
berada di belakang permukiman penduduk. Dalam penguasaan tanah dan pembukaan
hutan, setiap keluraga diberikan dengan membuka lebar 25 meter dan panjang 100
meter atau istilah dikampung dinamakan dengan “tapak” [67].
Di Marga Kumpeh dikenal Peumoan[68],
petanang dan pemukiman. Desa Sponjen[69] “tanah
peumoan” di Peumoan buluran bugis, Peumoan rimbo, Peumoan rimbo piatu,
Peumoan
buluran labu kayu, Peumoan buluran
lanjang, Peumoan sungai kumpeh, Peumoan Sungai selat, Peumoan tali gawe,
Peumoan Sungai lais. Sedangkan petanang terletak
Pematang lebar, Pematang kapas,
Penguloan
panjang, Pematang marajel, Pematang
pune.
Desa Sogo[70] “tanah peumoan”, di
Peumoan Sunge Biak , Peumoan Sunge Sogo, Peumoan Pantai,
Peumoan Talang, Peumoan Awa Simpang Medang, Peumoan Selat, Peumoan Dano, Peumoan Sunge Biak, Peumoan Sunge Sogo, Peumoan Pantai, Peumoan Talang, Peumoan Awa Simpang Medang, Peumoan Selat, Peumoan Dano. Sedangkan petanang terletak di
Pematang Talang Belubang, Pematang Talang
Tanjung,
Pematang Talang Bebeko, Pematang Talang Buluran Jeruk
Tipis, Pematang Talang Sunge Bemban, Pematang Talang Parit Putus, Pematang Darat Sogo, Talang Pematang Kapas.
Desa Sungai Bungur[71].,
daerah “peumoan” di Peumoan Sungai Kerupuk, Peumoan Sungai Nawar, Peumoan Sungai Tejo,
Peumoan Sungai Bungur, Peumoan Sungai Batu, Peumoan Teluk Sungai Duo, Peumoan
Lebung Ipuk-Ipuk, Peumoan Pematang Tepulo, Peumoan Pematang Sirih, Pematang
Tepus.
Petanang terletak di Sungai Kerupuk, Peumoan Sungai
Nawar, Peumoan Sungai Tejo, Peumoan Sungai Bungur, Peumoan Sungai Batu, Peumoan
Lebung Ipuk-Ipuk, Peumoan Pematang Sirih, Pematang Tepus, Pematang Tapulo,
Pematang Sirih, Pematang Petar, Pematang Lebar
Di Marga Tungkal Ilir Desa Sungai Rambai[72], Parit banol yang dekat dengan pemukin
masyarakat merupakan tempat persawahan di antara jenisnya padi serai, kudo,
karang dukun, pulut garu, banjar[73].
Desa Makmur Jaya[74] pertanian di sungai Betara. Sedangkan tanaman tua
dikenal ditanami Pinang, Kopi,
dan kelapa. Sedangkan Areal yang
terletak di Dusun Parit Panjang RT 12 digunakan lokasi ekowisata oleh desa dan
ditanami tanaman holtikultura seperti sayur sayuran. Selain itu juga dipergunakan
untuk dijadikan area pesawahan.
Desa Lumahan[75]
di Dusun Rantau Panjang
tempat bermukim dan berladang berada di sepanjang tepi sungai Pangabuan
yang bentuknya memanjang.
Desa Suak Samin[76] Masyarakat membuka
lahan atas izin dari datuk amit (Penghulu). Pembukaan lahan dilakukan per
kelompok, apabila kelompok masyarakat ± 20 orang merekalah yang akan membuka
lahan dan seberapa sanggup masyarakat dalam membuka lahan[77].
Di Desa Serdang Jaya di Dusun Sri Menanti[78].
Wilayah HLG akan ditanami dengan tanaman yang cocok dengan ekosistem gambut.
Di Desa Sungai Landak dikenal kepala keluarga sajalah yang tetap membuka lahan tersebut dijadikan
perkebunan kelapa dan pinang, sebagian lagi tidak mengolah lahan tersebut pada
masa itu, akan tetapi sudah membuat tanda
batas lahan yang mereka buka dengan “BREJEL” / parit kecil[79]
Di Marga Sabak di Desa Bukit Tempurung Dusun Suka Damai, Dusun Suka Mulya dan Dusun Pinang Mas serta
diberikan satu lembar sketsa (peta) wilayah pemukiman Desa Bukit Tempurung.
Di Desa Mencolok Daerah pematang yang cukup luas
dibagian hulu Sungai Simpang Kanan
ini yang cocok untuk bertani maka dijadikanlah daerah tersebut sebagai ladang
pertanian dan sekaligus daerah tempat tinggal.
II.
Hukum Patanahan
Setelah kita membahas
tentang hukum Rimbo maka dapat melihat bagaimana masyarakat tentang hukum
patanahan atau yang biasa dikenal sebagai Hukum Tanah.
Tanah masyarakat Melayu
Jambi tidak dapat dipisahkan dari
berbagai pendekatan didalam model pengelolaan. Dimulai dari proses
pantang larang[80],
tatacara membuka hutan, pemberian tanda, luas areal yang diberikan, siapa saja
yang berhak mendapatkan, cara menyelesaikan masalah, sanksi dan hingga
hilangnya hak terhadap tanah.
Model pengelolaan ini
masih dihormati dan menjadi pengetahuan bersama didalam masyarakat. Model
pengelolaan inilah yang menjadi pengetahuan didalam menyelesaikan persoalan. Mengenai
pantang larang telah dijelaskan didalam bab sebelumnya.
Sebelum dimulai
tatacara membuka rimbo dikenal Tanah pemberian. Sebagai masyarakat Melayu,
Masyarakat Melayu Jambi terbuka terhadap kedatangan penduduk dari luar dusun[81].
Seloko
terhadap kedatangan penduduk dari luar dusun ditandai dengan Seloko seperti “Tanjung Paku batang belimbing. Tempurung
dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang lain dipatenggangkan
adalah perumpaan keterbukaan
masyarakat dengan pendatang[82].
Sebagai
bentuk keterbukaan dengan masyarakat pendatang maka dikenal “tanah pemberian”.
Di
Marga Sungai Tenang dikenal “tanah irung.
Tanah gunting”. Yang ditandai untuk masyarakat Desa Tanjung Alam dengan
istilah “tanah Koto 10, belalang pungguk
9”. Atau “Belalang Pungguk 9. Padang
Koto 10.
Dusun
Tanjung Mudo merupakan tanah pemberian dari Koto 10 namun penduduknya berasal
dari Pungguk 6 yaitu berasal dari Dusun Baru dan Dusun Kototeguh. Mereka
kemudian “beladang jauh” di wilayah
Koto 10. Di masyarakat dikenal dengan istilah “Tanah Koto 10, belalang Pungguk 6”. Ada juga menyebutkan “Belalang Pungguk 6. Padang Koto 10.
Sedangkan
Tanjung Alam merupakan tanah dari Koto
10 namun penduduknya berasal dari Pungguk 9. Dikenal dengna istilah “tanah Koto 10, belalang pungguk 9”. Atau
“Belalang Pungguk 9. Padang Koto 10.
Sedangkan
Koto Rawang penduduknya berasal dari Lubuk Pungguk yang termasuk kedalam
Pungguk 9. Sedangkan wilayah diberikan oleh Pungguk 6. Dikenal dengan
istilah “Tanah Pungguk 6, Belalang Lubuk Pungguk. Lubuk Pungguk termasuk kedalam Pungguk 9.
Istilah “tanah Irung, Tanah gunting”. Atau dengan istilah “mengirung
dan mengunting tanah Koto Sepuluh”. Masyarakat Pungguk
Sembilan Tanahnya merupakan pemberian Koto Sepuluh yang kemudian disebut dengan
“Belalang
Pungguk Sembilan Padang Koto Sepuluh”.
Tanah Irung Tanah Gunting berdasarkan
tembo : “muaro sungai titian teras di sungai sirih
(sungai tembesi sekarang), peradun limau keling (mudik tanjung alam), terus
ketanah genting, pauh belepang, dusun talang lengis, laju ke muaro sungai
matang di sungai sirih mudik ke sungai sirih” [83]”.
Terhadap
masyarakat diluar Marga Sungai Tenang dikenal ujung batin. Penduduknya berasal
dari Marga Batangasai dan Marga Batin Pengambang namun wilayah kemudian
diberikan dari Marga Sungai Tenang. Biasa dikenal dengan istilah “tanah ujung Batin”. Ditandai dengan
Seloko “Belalang Batin Pengambang. Tanah Koto 10.
Begitu
juga dengan Desa Renah Alai. Renah Alai merupakan masyarakat yang berasal dari
dusun yang termasuk kedalam Marga Serampei. Kemudian pindah ke Inum Pendum yang
termasuk kedalam Marga Sungai Tenang. Dusun Inum Pendum kemudian menggunakan
nama Renah Alai. Renah Alai kemudian masuk kedalam Marga Serampas.
Sedangkan
Sungai Lisai merupakan ujung dari wilayah Pungguk 9 yang terletak di Dusun
Muara Madras. Sungai Lisai kemudian masuk kedalam wilayah Sungai Lisai Kecamatan
Pinang Belapis, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Lokasi desa yang berada di tengah-tengah Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Jarak Desa Sungai Lisai ke Desa Seblat Ulu yang
merupakan desa terdekat, hanya 9,5 kilometer.
Tanah
Pembarap
Dalam
himbauan dari Raja Jambi, melihat pemukiman di sekitar bawah Gunung Masurai
yang masih sepi, maka Penduduk dari Serampas kemudian turun untuk menghuni
kawasan di bawah Marga Serampas. Biasa dikenal dengan istilah Tanah Pembarap.
Dusun-dusun
yang termasuk kedalam Tanah Pembarap seperti Tanjung Asal, Dusun Durian Mukut,
Peraduan Temeras, Air Lago, Badak Terkurung, Rantau Pangi, Pulau Raman,
Sekancing, Dusun Baru Padang lalang, Rantau Limau Kapas, Muara Inum,
Dusun
Rantau Limau Kapas, Dusun Sekancing termasuk kedalam Marga Tiang Pumpung dan
menjadi kecamatan Tiang Pumpung. Desa
Muara Pangi, Rantau Jering kemudian masuk kedalam Kecamatan Lembah Masurai.
Sedangkan
Air Lago, Badak Terkurung, Peraduan Temeras, Pulau raman masuk ke Marga Tiang
Pumpung kemudian masuk ke kecamatan Muara Siau.
Di
Marga Pelepat dikenal Pemberian tanah yang disebut didalam seloko “Sejalar Peringgi. Sekokok Ayam”. Seloko
ini melambangkan wilayah yang hendak diberikan[84].
Begitu juga wilayah Ujung Tanjung yang diberi gelar Rio Bagindo merupakan
wilayah “Sebiduk luncur. Sekokok ayam.
Marga
IX Koto dikenal “koto yang ramai”. Daerah ini kemudian dikenal sebagai daerah
Transmigrasi di Rimbo Bujang[85].
Marga
Jebus di Desa Rukam dikenal “jejawi
berbaris dan tali gawe’.
Hanya
Marga Air Hitam dikenal sebagai Tanah Bejenang.
Istilah Jenang adalah penamaan dari “orang
yang dipercaya” dari Tumenggung[86].
Tanah nan berjenang adalah wilayah sembilan yang berada di bawah pemerintahan jenang. Lembaga
jenang adalah jalan lain yang digunakan Sultan untuk mengingatkan para pimpinan
daerah daerah di pedalaman akan keberadaan otoritas sentral. Daerah tersebut
meliputi beberapa daerah di dataran tinggi Jambi di luar area Batanghari.
Penduduk Tanah nan berjenang ini bermukim migran dari Minangkabau yang disebut
sebagai orang Batin dan orang Penghulu, dan yang berasal dari Palembang, yaitu
orang Rawas[87].
Penamaan Tanah bejenang kemudian dipadankan
seperti “tuo kampung, tanah bejenang, rajo bepenghulu, negeri bebatin.
Di daerah hilir dikenal
“pancung alas seperti di Marga Kumpeh seperti di Desa Sponjen[88], Desa Sogo[89],
Desa Sungai Bungur[90]., Dusun Pulau Tigo[91] dan Desa Sungai Beras. Pancung alas adalah
tanah Pemberian dari Pemangku adat.
Pengaturan Hukum Tanah
diutamakan terhadap penduduk dusun. Sedangkan penduduk diluar dusun dapat diberikan
tanah sebagai hak pakai sesuai dengna seloko “beladang jauh”. Tidak dapat hak milik sebagaimana seloko “harto berat ditinggal, harto ringan boleh
dibawa.
III.
Tatacara
membuka Rimbo
Tatacara
membuka rimbo dimulai dari prosesi seperti “pamit ke penghulu, tatacara membuka
rimbo, pemberian tanda, pengaturan, luas yang diberikan dan hak yang
melekatnya.
“Pamit
ke penghulu” adalah Seloko terhadap kegiatan yang dilakukan diwilayah kekuasaan
Dusun harus sepengetahuan pemangku Adat. Sebagai pemangku adat, ditandai dengan
“Alam
sekato Rajo. Negeri sekato Batin. Atau “Alam Berajo, Rantau
Berjenang, Negeri Bebatin, Luhak Berpenghulu, Kampung betuo, Rumah betengganai”
atau “Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri
bernenek mamak. Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau
Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang. Seloko ini melambangkan alam kosmos Rakyat Melayu Jambi untuk
menempatkan dan menghormati pemimpin.
Seloko seperti ”Bejalan dulu selangkah, Bekato dulu
sepatah, netak mutus, Makan ngabisi” adalah melambangkan sikap yang bijaksana.
Seloko seperti ”Tempat Betanyo, artinya pergi tempat
betanyo, Balik tempat beberito” adalah menempatkan keteladanan kepemimpinan
yang kemudian menjadi tempat berteduh dan menjadi saluran dari semua persoalan
masyarakat.
Tata
cara membuka hutan dikenal diberbagai tempat. Di Marga Batin Pengambang dikenal
Setawar
dingin[92]. Ditentukan
didalam rapat kemudian ditentukan siapa saja yang berhak untuk membuka rimbo.
Datang nampak muko. Pegi nampak
punggung. Masyarakat diluar Desa apabila hendak membuka rimbo, maka harus
tinggal selama 3 tahun setelah itu harus melaporkan kepada tuo tengganai dan
nenek mamak.
Nasi Putih Air jernih. Setelah
tinggal selama 3 tahun dan melaporkan kepada tuo tengganai dan nenek mamak,
maka diadakan rapat untuk menyampaikan maksud untuk membuko rimbo.
Di Desa Batu Empang Marga Batin Pengambang[93],
dimulai prosesi seperti “rembug”, “nasi putih air jernih”, . Rembug. Tata cara
membuka rimbo dimulai dengan mengadakan rapat adat. Waktunya setelah Hari raya
Idul Fitri). Anggota yang ingin
mengelola hutan harus memberitahukan kepada ninik mamak.
Setelah ditentukan
anggota yang ingin mengelola hutan, maka dilakukan pengecekkan tempatnya. Luas tanah yang diberikan 2 hektar. Tanah harus
ditanami. Selama 4 tahun tidak dibenarkan membuka rimbo. Tanah tidak boleh dijual kepada siapapun. Sedangkan
tanaman hanya boleh dijual kepada masyarakat Desa Muara Air Duo.
Sedangkan Nasi Putih Air Jernih. Setelah tinggal selama 1 tahun, maka melapor kepada ninik
mamak. Ninik mamak kemudian mengundang rapat untuk memberitahukan kepada
masyarakat. Setelah mendapatkan persetujuan, maka barulah mendapatkan hak untuk
membuka rimbo.
Di Desa Sungai Keradak (Marga Batin Pengambang)
dikenal dengan “betahun bersamo, Rapat kenduri, Melambas, Belukar tuo, Empang
krenggong, Nasi putih air jernih, Kelapp Sekok, Selemak Semanis, “harta berat
ditinggal, harta ringan dibawa.
Untuk Masyarakat Desa Sungai Keradak[94]
dimulai dari prosesi “Betaun bersamo”. Betahun bersamo adalah Waktu ditentukan. Yaitu habis lebaran haji
atau habis lebaran besar.
Kemudian dikenal Rapat Kenduri. Diadakan didalam
rapat kenduri yang akan membuka rimbo. Dengan cara gotong royong.
Belukor Tuo. Rimbo yang sudah dibuka ternyata
tidak ditanami, maka akan kembali ke desa. Belukor Tuo Waktunya selama 5 tahun
Empang Krenggo. Rimbo yang telah dibuka, ditanami
tanaman mudo (padi dan sayur-sayuran) namun ternyata tidak lagi ditanami selama
5 tahun, maka kembali ke Desa. Boleh dijual tapi hanya untuk masyarakat Desa
Sungai Keradak.
Sedangkan
untuk Masyarakat Desa Sungai Keradak dimulai dari Orang luar yang hendak
tinggal di Desa Sungai Keradak, maka minimal 6 bulan tinggal di Desa Sungai
Keradak. Setelah 6 bulan, barulah menghadap ke nenek mamak dan tuo tengganai
untuk meminta izin membuka rimbo.
Tradisi
ini kemudian dikenal dengan “Nasi Putih
Air Jernih, Kelapo Sekok, selemak semanis. Setelah menghadap nenek mamak
dan tuo tengganai, maka diadakan rapat kenduri. Didalam rapat kenduri, maka
barulah dapat diizinkan untuk membuka rimbo. Rimbo yang telah dibuka, menjadi
haknya.
Namun dikenal Harta Berat ditinggal, harta ringan dibawa”. Apabila meninggalkan Desa Sungai Keradak, maka tanahnya kembali ke Desa Sungai keradak.
Di
Desa Tambak Ratu (Marga Batin Pengambang) [95]
dikenal tatacara seperti “Teluk Sakti,
Rantau Betuah, Gunung Bedewo”, Setawar dingin”, “Lambas, Datang Nampak muko,
pegi Nampak punggung”, “nasi putih air jernih.
Teluk
sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo. Setiap membuka rimbo (hutan) dimulai dari
rapat di Desa pada seminggu sesudah lebaran haji. Rapat dihadiri oleh tuo
tengganai, nenek mamak dan pemangku Desa
Setawar
dingin. Didalam rapat kemudian ditentukan siapa saja yang berhak untuk membuka
rimbo.Diutamakan yang baru keluarga.
Datang
nampak muko. Pegi nampak punggung. Masyarakat diluar Desa apabila hendak
membuka rimbo, maka harus tinggal selama 3 tahun setelah itu harus melaporkan
kepada tuo tengganai dan nenek mamak.
Nasi
Putih Air jernih. Setelah tinggal selama 3 tahun dan melaporkan kepada tuo
tengganai dan nenek mamak, maka diadakan rapat untuk menyampaikan maksud untuk
membuko rimbo. .
Di
Marga Batang Asai Tengah dikenal pegang pakai[96]. “Idak
membawo cupak dengan gantang dari kampung, Idak membawo tajuk dengan neraco
dari rumah, Mendapat cupak gantang yang lah ado, Memakai tajuk neraco yang lah
tersedio. Dimano bumi ditijak disitu langit dijunjung, Dimano tembilang
dicacak, disitu tanaman tumbuh, Dimano ranting dipatah disitu aiknyo disauk,
dimano negeri dihuni, disitu adatnyo dipakai dan lembago diisi”
“Adat di desa ini yaitu
tapuek tatiang-tiang panjang yang talukiek ka bendo jati, diasak layu diangguk
mati. Itu akar adat sepucuk Jambi Sembilan lurah dan itulah yang dinamakan adat
Jambi dan pemakaiannya itu berbeda-beda.
Membuka rimbo
gedang bagi setiap warga di Batang Asai haruslah meminta izin dari nenek
mamak, dalam konteks sekarang adalah Kepala Desa. Hutan yang masih tersisa
boleh saja digarap menjadi ladang umo atau
kebun karet jika ada izin dari Kepala Desa sebagai pemimpin tertinggi. Model
yang lain adalah pemberian dari nenek mamak desa sesudah pernikahan yang
disebut rimbo along kumpalan paku.
Di
Desa Sungai Baung dikenal pegang pakai[97]. Membuka rimbo gedang bagi setiap warga di Batang
Asai haruslah meminta izin dari nenek mamak, dalam konteks sekarang adalah
Kepala Desa. Hutan yang masih tersisa boleh saja digarap menjadi ladang umo atau kebun karet jika ada izin dari
Kepala Desa sebagai pemimpin tertinggi. Model yang lain adalah pemberian dari
nenek mamak desa sesudah pernikahan yang disebut rimbo along kumpalan paku[98].
Membuka umo
dulu dilakukan secara bergotong royong atau dipanggil beselang. Namun sekarang sistem sudah mulai berubah menjadi
pengupahan. Dalam sistem lama beselang, jika seorang peneroka telah
memilih lokasi untuk dijadikan umo maka
keluarga terdekatnya akan membantu penebasan[99]..
Di
Desa Paniban
Baru[100]
dikenal tatacara membuka hutan yang dimulai dari “Betaun bersamo, Rapat
kenduri, melambas, Nasi putih Air jernih, Kelapa sekok, selemak semanis.
Untuk masyarakat didalam Desa Paniban Baru
dikenal Betaun
bersamo. Waktu ditentukan. Yaitu habis lebaran haji atau habis lebaran besar.
Kemudian Rapat Kenduri. Diadakan didalam rapat
kenduri yang akan membuka rimbo.
Tata cara bergotong
royong.
Sedangkan untuk masyarakat diluar Desa Paniban Baru dikenal prosesi
“Nasi putih air jernih. Orang luar yang hendak tinggal di DESA PANIBAN BARU,
maka minimal 8 bulan tinggal di DESA PANIBAN BARU. Setelah 6 bulan, barulah
menghadap ke nenek mamak dan tuo. Kemudian prosesi Nasi Putih Air Jernih,
Kelapo Sekok, selemak semanis. Setelah menghadap nenek mamak dan tuo tengganai,
maka diadakan rapat kenduri. Didalam rapat kenduri, maka barulah dapat
diizinkan untuk membuka rimbo. Rimbo yang telah dibuka, menjadi haknya
.
Di
masyarakat Orang Rimba di Taman Nasional Bukit 12 dikenal langkah-langkah
pembukaan ladang seperti memilih lokasi; meminta pendapat dari dukun;
penebasan; pembakaran; pembersihan; penugalan; nenanaman; pemeliharaan, dan
pemanenan[101]
.
Setelah
lokasi ditetapkan, adalah wajib hukumnya untuk bertanya kepada Dukun. Sang
Dukun akan memberi restu apabila menurut pandangan batinnya, lokasi tersebut
cocok untuk dijadikan ladang. Tapi sebaliknya Sang Dukun akan melarang Orang
Rimba membuka ladang apabila menurut pandangan batinnya lokasi tersebut tidak
cocok untuk dijadikan ladang. Apabila Sang Dukun memberi restu untuk membuka
ladang baru, Orang Rimba akan segera melakukan penebasan atau dalam bahasa kami
“mancah”.
Langkah
berikutnya adalah “nobong” (penebangan). Setelah pohon-pohon besar ditebang,
setelah batang-batang yang besar dibersihkan, Orang Rimba membiarkan lokasi
tersebut terbakar sinar matahari selama satu bulan. Penjemuran tersebut
dimaksudkan mengeringkan batang-batang kayu yang masih basah supaya dalam
proses pembakaran, batang-batang itu mudah dilalap api.
Sedangkan
proses pembakaran diawali dengan membuat parit-parit pembatas. Orang Rimba
tidak ingin hutan di sekitar mereka ikut terbakar. Selain sanksinya berat,
kebakaran hutan juga akan sangat merugikan Orang Rimba karena sebagian besar
kebutuhan hidup mereka dipenuhi oleh hutan.
Pembakaran
itu biasanya dilakukan pada saat letak matahari persis berada di atas kepala,
sekitar jam satu siang. Untuk menghindari kebakaran hutan, harus diperhatikan juga
arah mata angin dan kecepatan angin yang berhembus pada saat itu. Apabila
anginnya terlalu besar dan mengarah pada hutan, kami harus menunda dulu
pembakaran sampai anginnya tenang. Pembakarannya sendiri tidak berlangsung
lama, paling lama hanya sekitar dua jam.
Setelah
ladang bersih dari batang-batang yang berserakan, kaum laki-laki Orang Rimba
mulai membuat lubang-lubang untuk menanam biji biji padi ataupun biji-biji
jagung. Untuk tugas menaburkan biji, baik padi atau pun jagung, kaum
perempuan lebih dipercaya. Mereka dianggap lebih sabar dan teliti dibanding
kaum laki-laki. Biji-biji ditaburkan kemudian ditutup dengan tanah.
Selain
itu, orang Rimba tidak punya tradisi memelihara ternak seperti Orang Desa. Ada
ungkapan yang terkenal di lingkungan Orang Rimba, “Adat kami adalah rimba yaitu
berkambing kijang, berkerbau ruso,
berhayom kua, berhatop serdang, berdinding kulit”. Dengan tidak
diperbolehkannya memelihara ternak, Orang Rimba mendidik dirinya sendiri
untuk menjadi pemburu handal. Tak syak, berburu merupakan keterampilan yang
wajib dimiliki oleh setiap laki-laki dewasa Orang Rimba.
Di
Marga Serampas dikenal tanah ajun dan tanah arah. Tanah Ajun dan Tanah Arah
adalah tata cara pemanfaatan tanah yang ditunjuk dan berdasarkan hukm adat ssuai dengan
pembagian, peruntukan dan pemanfaatan tanah untuk produksi, lindung dan
konservasi[102]
Di
Marga Sungai Tenang dikenal berbagai model pengelolaan. Di Desa Tanjung Mudo[103],
Prosesi dimulai dari “Alam sekato Rajo, Negeri sekato batin”, dibuka
berkelompok, Setiap Kepala Keluarga hanya boleh membuka 1 ha dan harus ditanami
selama 2 tahun. Apabila tidak ditanami, maka kembali kepada Penghulu, Tanah
yang dibuka tidak boleh dijual kepada orang luar, Dalam waktu 5 tahun hanya
boleh dibuka 2 hektar, Harta berat ditinggal,
harta ringan dibawa pergi, Cacak Tanam, Jambu Kleko.
Selain itu dikenal Penanda tanah
berdasarkan sejarah pembukaan lahan yang umumnya diketahui oleh masyarakat (cencang latih) dan jambu keloko (tanaman yang ada
dilahan tersebut) atau bedah nang berantai (saluran air persawahan) merupakan bukti legalitas
klaim[104].
Dendang kayu betakuk baris, artinya memberi tanda pada kayu sebagai tanda
bahwa kayu tersebut akan diambil untuk bahan bangunan. Kayu yang diberi tanda
silang desebut Kayu belepang, kayu yang telah dilepang menjadi hak milik penduduk
dusun yang membuat tanda tersebut untuk dijadikan bahan bangunan, jika takuk kayu sudah taup (menyatu) kembali maka
hilanglah tanda tersebut. Maka bisa dimiliki orang lain.
Dendang hutan besawa sulo, artinya memberi tanda denga sulo saw sebagai tanda bahwa
hutan tersebut sudahkan dibuka untuk areal pertanian, ada juga yang diberi
tanda dengan dilambeh maka membuat Sulo sawa dan yang melambeh adalah yang menjadi hak atas hutan yang akan dibuka tersebut. Jika dalam
waktu seumur jagung (+ 3 bulan) tidak dibuka, diperkirakan juga sulo sawanya
sudah rusak, semak yang dilambeh telah tinggi kembali maka tanda tersebut
hilang dan dapat dibuka oleh orang lain[105].
Di Desa Gedang[106],
Desa Kotobaru[107],
Desa Tanjung Benuang[108]
ditandai Seloko “Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri
bernenek mamak, Hutan yang dibuka harus
sepengetahuan Penghulu dalam rapat Adat. Sedangkan di Desa Tanjung Alam[109] Ditandai dengan Seloko “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato
Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang.
Bagi masyarakat desa Renah Pelaan (Merangin)
misalnya, memiliki keyakinan bahwa di dalam hutan terdapat makhluk sebangsa
jin. Untuk membuka lahan pertanian baru, biasanya mereka meminta izin terlebih
dahulu. Permohonan izin ini disebut dengan istilah “puji perago”[110].
Dahulu
dikenal Datuk Padeh. Ia merobohkan rimbo
maka rimbo itu adalah hak masyarakat
Batin. Jadi, jika ada orang lain ingin berkebun di tanah itu maka haruslah
meminta izin. Ibarat jika berkunjung ke rumah kawan, itu haruslah memberi
salam, dan dalam hal izin tanah ini misalnya dengan mengatakan “saya ingin
berkebun di tanah ini”, jika diizinkan maka ibarat orang yang memberi salam
tapi haruslah masuk dengan adat sopan santun. Dalam hal ini adat yang dimaksud
adalah 1 ekor ayam, 1 gantang beras, dan 2 buah kelapa, dan pembayaran itu
ditujukan pada Rio/ pimpinan kampung. Jika tidak begitu, maka kita berkebun
dengan berhutang dengan nenek mamak. Jika masuk dengan adat maka lahan itu jadi
miliknya. Jika tidak maka lahan itu bukan miliknya dan bahkan dia masih
berhutang[111]”.
Begitu juga Di Dusun Tuo[112],
Desa Tanjung Berugo[113], Desa Nilo Dingin[114], Desa Sungai Lalang[115], Desa Kotorami[116]
terhadap proses “membuka “rimbo”. Dengan pengaturan maka Hutan Adat terletak di kaki gunung masurai, daerah
bukit sedingin dan gunung masurai yang termasuk kedalam kawasan HP Batang
Nilo-Nilo Dingin dan TNKS. Dengan pengaturan itulah maka kayu hanya
diperkenankan untuk Betegak rumah.
Di desa Rantau Bidaro
juga menerapkan lahan pemukiman sebagai hak pakai dan bisa diwariskan kepada
anak cucu dan tidak bisa diperjualbelikan seperti pepatah adat mengatakan
“sempit padang diumba” maksudnya adalah walaupun sedikit dapat bagian tetap
sama bagiannya [117]
Di desa Rantau Bidaro,
terdapat lahan pertanian berupa sawah, luasnya mencapai 30 hektar tetapi yang
dikelola masyarakat sekarang ini sekitar 15 Hektar dan yang berhak menanam di
lahan tersebut adalah keturunan nenek 4, yaitu kalbu Rendah, kalbu Solok, kalbu
Cabul dan kalbu Talang, yang kesemuanya sudah dibedakan lokasi masing-masing.
Kalbu Rendah sebelah ilir, kalbu solok sebelah tengah, kalbu cabul sebelah atas
dan kalbu talang sebelah atas juga.
Di Marga Sumay di Desa
Pemayungan[118]
dikenal “Maro ladang/Maro Banjara”, “Behumo rimbo”, “behumo Ronah”.
Maro Ladang/Maro
Banjar mengatur tentang Hutan yang ada
dijaga dan dikelola untuk anak cucu.
Hutan dibuka dengan tata cara “Behumo rimbo”, “Behumo di pangkal tahun,
berlayar di pangkal musin”. Seluruh
masyarakat berkumpul setiap awal tahun. Ditentukan waktunya di bulan Rabiul
Awal. Dibagi kelompok. Ditentukan setiap orang mendapatkan 2 hektar.Sempadan
tanah (setelah ditentukan dibuat batas ladang).
Behumo Ronah. Ditanami di
daerah ronah Sungai Bulan dan Sungai Sumay. Tidak boleh menebang hutan keramat
(Tanah penggal, Bulian berdarah, Bukit Selasih, Pasir embun). Sanksinya kain
putih 300 kayu, kerbau tiga, beras 300 gantang, kelapa 300, selemak semanis
seasam segaram, kayu dikembalikan ke desa, diusir dari kampung dan dilaporkan
kepada Polisi.
Di Desa Muara Sekalo, Maret
2013[119],
tata acara membuka hutan dimulai dengan Seloko “Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah.
Setiap
orang yang hendak beumo harus diberitahukan kepada penghulu.
Masyarakat yang hendak
“Beumo” harus sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Waktu yang ditentukan
biasa dikenal dengan istilah “4 bulan pertama”, 4 bulan kedua”, dan 4 bulan
ketiga. 4 bulan pertama adalah masa menjalani tanah. 4 bulan kedua “Penebangan”
dan 4 bulan ketiga menanami padi.
Kemudian Menjalani
tanah berupa “lambas”, sak sangkut”, “Banjar bertindih galang”, “Bidang’,
“pemarasan hutan”, “ Manugal-beselang”, Menanami”, “nyisip”, dan “beumo”.
Menugal berselang
(gotong royong) artinya mulai menanam tanah yang telah dibuka. Menanami. Ditanami
padi.
Sesap jerami, tunggul
pemarasan. Tanah yang kemudian digarap maka telah menjadi haknya. Harus ditanami tuo seperti “karet”.
Nyisip. Tidak boleh
Beumo diluar waktu. Apabila mau beumo maka dikenal dengna “peridinan”
Yang tidak boleh
“Beumo” adalah anak kampang, junjung nyiru, godak batang, narik rotan di tengah
hutan dan maling.
Di Desa Semambu[120],
dikenal Pseko adat, Larang penghulung dan
gamal. Artinya setiap perbuatan yang menyangkut membuka hutan, “beumo”
harus sepengetahuan Penghulu.
Masyarakat yang hendak
“Beumo” harus sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Rapat Adat yang
dihadiri nenek mamak, Mangku, Tuo Kampung menentukan hari “beumo”.
Sebelum Beumo, harus
diadakan upacara adat. Dengan menyiapkan ayam dan bubur kuning dan bubur putih.
Sesap jerami, Tunggul
Pemarasan. Tanah yang kemudian tidak digarap, maka yang membuka tanah, tidak
mempunyai hak lagi
Di Desa Suo-suo[121]
dikenal Dimana bumi dipijak, disana
langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah. Setiap orang
yang hendak beumo harus diberitahukan kepada penghulu. Masyarakat yang hendak
“Beumo” harus sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Waktu yang ditentukan
biasa dikenal dengan istilah “4 bulan pertama”, 4 bulan kedua”, dan 4 bulan
ketiga. 4 bulan pertama adalah masa “mancah”.
4 bulan kedua “Numbang” dan 4 bulan ketiga Manggang. Dan terakhir “nugal.
Kemudian Mancah. Rapat Adat yang dihadiri nenek mamak, Mangku, Tuo
Kampung menentukan hari “beumo”.
Numbang. Tanah
yang telah ditakuk pohon kemudian ditumbangkan. Manggang. Kemudian manggang
pohon agar tanah dapat dibersihkan. Tidak
boleh “manggang' sendirian. Ketua Kelompok yang memberitahukan kapan dilakukan
“manggang
Nugal. Kemudian
“menugal” artinya mulai menanam tanah yang telah dibuka. Menanami
tanamana seperti padi dan kemudian karet.
Sesap jerami, Tunggul Pemarasan. Selain itu juga
menanami pohon seperti durian, duku dan lainnya sebagai tanda miliknya. Tanah
yang kemudian tidak digarap, maka yang membuka tanah, tetap mempunya hak
Menurut ketentuan
adat Rantau Gedang dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan hutan, diperbolehkan
bagi setiap warga, baik warga asli maupun warga pendatang yang merantau ke Desa
Rantau Gedang kemudian menjadi bagian dari rakyat Rantau Gedang, sepanjang
untuk kebutuhan membuat rumah dan membuka lahan untuk berkebun. Ketentuan adat
ini berdasarkan Seloko adat yang berbunyi “Dimano
bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimano biduk ditarik disitu galang
diletakkan, dimano akar ditetak disitulah aiknyo menetes[122]”.
Di Marga Batin II Ulu, Masyarakat menyebutkan istilah “kebun” untuk
tanah yang sudah dibuka dan ditanami. Utamanya karet. Sedangkan terhadap tanah
yang telah dibuka namun belum ditanami dikenal dengan istilah “sesap” atau
“belukar”[123].
Di Marga Pelepat dikenal membuka
hutan yang disebutkan didalam “mati tanah. buat tanaman”[124].
Seloko ini mirip dengan seloko “sesap
rendah. jerami tinggi’ di Marga Sungai Tenang. Atau “tunggul pemarasan” di Marga Sumay.
Di Desa
Baru Pelepat, Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau dikenal prinsip-prinsip “tando kayu batakuk
lopang, tando kulik kaliki aka”, “harus sompak, kompak, setumpak”, “umpang
boleh disisip”, “bak napuh diujung tanjung, ilang sikuk baganti sikuk, lapuk
ali baganti ali”, “lapuk pua jalipung
tumbuh”, “kadarek babungo kayu, kayak babungo pasir”, “tanah lombang, umput
layu”[125].
Tando kayu batakuk
lopang, tando kulik kaliki aka maksudnya setiap hak kepemilikan lahan maupun
tanaman harus diberi tanda.
Dalam hal berladang,
harus sompak, kompak, setumpak maksudnya dilakukan bersama. Jika tidak
dilakukan sanksinya berikan teguran oleh Ninik Mamak berdasarkan jumlah jiwa
dalam keluarga.
Umpang boleh
disisip, kerap boleh dianggu maksudnya dalam hal pengambilan sumberdaya alam
harus memperhatikan pontensi yang ada, bila potensinya baik boleh diambil, yang
rusak harus diperbaiki
Bak napuh diujung
tanjung, ilang sikuk baganti sikuk, lapuk ali baganti ali, maksudnya
sumberdaya alam harus tetap dipertahankan kelestariannya.
Lapuk pua jalipung
tumbuh
maksudnya terhadap lahan kritis harus dilakukan penghijauan kembali.
Kadarek babungo
kayu, ka ayik babungo pasir maksudnya setiap pemanfaatan sumberdaya alam
dikenakan sumbangan untuk pembangunan desa.
Tanah lombang,
umput layu maksudnya setiap orang yang membunuh binatang liar yang halal
dimakan maka sebagian harus diberikan kepada pimpinan adat.
Di
Marga Pemayung Ilir terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman” [126].
Didaerah hilir seperti Di Desa Sungai Bungur[127], Desa Sponjen[128], Desa Sogo[129], Desa Sungai Beras[130]dikenal istilah “pancung alas”. “Pancung alas” atau dengan
penamaan lain adalah setiap
kepala keluarga yang hendak membuka hutan harus seizin dari Kepala Desa.
Selain itu dikenal
“Bidang”, “mentaro”, Prenggan”, “larangan Krenggo”, ”pawah”, “Depo”, Pawah”,
Cerak parit atau dengna penamaan lain”. Selain
itu juga dikenal “peumoan” dan “petanang”.
Peumoan yaitu tanah yang dipersiapkan khusus untuk tanaman padi. Pawah
merupakan sebutan bagi hasil dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan
Mawah sebutan bagi pekerja yang melakukan Pawah. Sedangkan petanang adalah Tempat
perkebunan tanaman khas gambut (biodiversity) seperti kelapa atau pinang.
Tanah yang telah dibuka maka harus ditanami selambat-lambatnya 3 (tiga)
tahun. Terhadap tanah yang
telah dibuka namun kemudian tidak ditanami maka akan dijatuhi sanksi adat.
Setiap Kepala Keluarga hanya dibenarkan untuk membuka sebanyak 32 depo x
200 depo. Setiap tanah yang telah dibuka disebut satu bidang.
Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda berupa tanaman seperti
Pinang, jelutung atau tanaman lain sebagai pembatas antara satu dengan yang
lain. Dengan cara menanam tanaman pinang berjejer (mentaro) atau dengan
penanaman lebih rapat daripada tanaman yang lain (Prenggan). Atau dengan
memberikan tanda yang dikenal dengan penamaan Pasak mati” atau “Patok mati”.
Depo adalah pengukuran tanah dengan menggunakan rentang
tangan orange dewasa. Satu depo sama dengan 1,7 meter. Setiap tanah yang telah dibuka disebut
satu bidang.
Larangan Krenggo atau
dengan penamaan lain adalah proses terhadap Tanah yang telah dibuka kemudian diberi
tanda berupa tanaman seperti Pinang, jelutung atau tanaman lain sebagai
pembatas (mentaro), maka tanah tidak boleh dibuka oleh orang lain.
Bubur putih yaitu makanan berupa bubur putih sebagai tanda pembayaran
sanksi adat karena tanah yang dibuka selama 3 tahun tidak ditanami.
Diluar
dari prosesi diatas maka dikenal “beumo jauh
betalang suluk, beadat dewek pusako mencil”. Terhadap kesalahan kemudian
dijatuhi sanksi. Sedangkan apabila dijatuhi sanksi namun tidak dipatuhi dikenal
“Plali”. Ditandai dengan Seloko ”Bapak pado harimau, Berinduk pada gajah, Berkambing pada kijang,
Berayam pada kuawo.
Di Desa Danau Lamo[131]
dikenal “pancung alas”. Permintaan izin kepada penghulu atau kepala desa. Pemakaian
sistem pancung alas. Selamatan sebelum pembukaan rimbo(potong ayam). Pembukaan
rimbo dilakukan dengan cara gotong royong. Pembukaan rimbo dilakukan antak
kemarau (sebelum musim kemarau). Waktu yang digunakan untuk gotong royong
pembukaan rimbo lebih kurang 4-5 bulan
Setelah rimbo dibuka
dibersihkan dengan cara Merun(membakar) kayu-kayu dan sampah-sampah bekas
tebangan.Pembukaan rimbo dengan cara berkelompok. Batas jarak satu kelompok
dengan kelompok lainnya ditandai dengan tunggul kayu,tanaman atau baluran(parit
kecil). Batas satu kelompok dengan kelompok lain juga berjarak 100 depo. Batas-batas
tanah juga ditanami dengan pohon-pohon buah antara lain pohon
durian,duku,jering, petai. Lahan yang sudah dimiliki boleh dijual,tapi juga
harus sepengetahuan kepala desa. Juga di pungut pajak atas kepemilikan suatu
lahan.
Di Kerinci dikenal
prosesi membuka hutan. Menurut Rio Perang dan Tanang punya Rumah Gadang “Asal usul desa Tanjung Pauah Mudik adalah
berawal dari Sanggaran Agung. Pada awalnya di dataran rendah berdekatan dengan
danau Kerinci yaitu Sanggaran Agung hidup lah sekelompok kecil manusia. Situasi
dan kondisi di sana tidak bersahabat, karena kehidupan di sana rentan terhadap
penyakit, “lintah segedang iduk
dan nyamok segedang kucek”. Kecil kemungkinan untuk berlangsungnya kehidupan
di sana (Sanggaran Agung). Muncullah ide dan gagasan membuat iduk (perahu) untuk menuju daratan yang tinggi yaitu “di talang Anggo” (talang/taratak) sekitar kawasan
tanjung dengan menyeberangi danau Kerinci dengan menggunakan perahu/ sampan
sederhana ketika itu. Di kawasan tanjung tersebut terdapat rumpun Pauh (pohon
sejenis Mangga berbiji satu) yang tumbuh tinggi dan berbatang lebar juga besar
yang terdapat di sekitar kawasan tanjung. Maka oleh sebab itu, masyarakat
setempat menyebutkan kawasan tersebut adalah Tanjung Pauh. Seiring berjalannya
waktu, dari kelompok kecil yang kehidupan sederhana berburu dan mengumpulkan
makanan dengan bercocok tanam membuka lading dan sawa (buka imbo),...... Singkat cerita, akhirnya kelompok
kecil tersebut berkembangbiak hingga sekarang dinamakan desa Tanjung Pauh
Mudik. Pewarisan adat itu dilakukan dengan cara dituturkan dari generasi ke
generasi secara lisan. Tumbi di
sekitar Sungai Batang Meraho (lubuk asai) kemudian menebang hutan untuk
dijadikan lahan persawahan tempat tinggalnya pertama di Koto Tuwo (dusun tua),
proses perluasan pemukiman penduduk selanjutnya mulai menyebar ke larik Udik,
terus ke larik Solok, terus ke larik Panjang (Anja), terus ke larik Lindung
(Indong) adalah wilayah atau kawasan tanah ajun arah atau tanah milik adat (harto pusako) tidak boleh dibuat sartifikat
tanah pada kawasan tersebut, karena bukan tanah dari hasil jual beli (idak tanah melaiy). Dan adapula harto pusako baru
kemudian meluas hingga ke Dusun Baru Rendah dan Dusun Baru Tinggi. Total ada
dua dusun yaitu: Pertama, Usung
Dalam; keuda, Usung Baru. Terdapat 15 Depati
Nenek Mamak (ajun arah): (1) Depati Muko; (2) Sutan Alam; (3) Depati Padan;
Datuk; (4) Rio Malin dan (6) Rio Indah. Ada Mangku Depati (Intelijen) “Subok, samba, dan talingok kubumoiy” . Rio
Perang dan Tanang punya Rumah Gadang[132].
Setelah
pamit ke penghulu maka dikenal tatacara membuka rimbo. Di Marga Batin
Pengambang dimulai dari prosesi upacara adat yang dikenal “betaun
besamo”[133].
Diimulai dari rapat di Desa pada seminggu sesudah lebaran haji. Rapat dihadiri
oleh tuo tengganai, nenek mamak dan pemangku Desa. Yang biasa dikenal dengan
istilah “rapat kenduri”.
IV.
Penanda
tanah
Ditengah
masyarakat Melayu Jambi, penanda tanda atau batas tanah dikenal yang
menunjukkan sebagai pemilik tanah.
Di
daerah uluan Batanghari dikenal “takuk pohon”. “tuki”, “sak Sangkut” sebagai
penanda batas tanah. Yang ditandai dengan pohon sebagai batas antara satu tanah
dengan yang lain. Atau “ranting pohon” dipatahkan (tuki), atau pohon ditebang
setengah (takuk pohon).
Ada
juga menyebutkan “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”.
Ada juga menyebutkan “Lambas”. Di daerah
ilir Jambi dikenal “mentaro”,
“Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati”.
Di Marga Batin Pengambang, Desa Sungai Keradak[134]
dikenal Melambas. Rimbo yang akan dibuka diberi tanda “kayu pengait. Kemudian
ditanami seperti kleko, durian. Waktu melambas selama 3 bulan. Apabila selama 3
bulan tidak ditanami, maka tanah kembali ke desa.
Istilah
melambas di juga dikenal di Desa Tambak Ratu[135].
Setelah dilakukan pengecekan tempat yang mau dibuka, maka ditandai dengan cara
sistem tuki (Pohon kayu silang). Atau pohon dikupang-kupang sebagai tanda telah
membuka rimbo.
Sedangkan Melambas di Desa Paniban Baru ditandai
dengan Rimbo yang akan dibuka diberi tanda “kayu pengaikit. Kemudian ditanami
seperti kleko, durian. Waktu melambas selama 3 bulan. Apabila selama 3 bulan
tidak ditanami, maka tanah kembali ke desa[136]. Boleh dijual tapi
hanya untuk masyarakat DESA PANIBAN BARU dan dalam Komunitas Marga Batin
Pengambang.
Sedangkan di Rantau
Panjang[137], makna Lambas yaitu Rimbo yang akan dibuka
diberi tanda “kayu pengaikit. Kemudian
ditanami seperti kleko, durian. Waktu melambas selama 3 bulan. Apabila
selama 3 bulan tidak ditanami, maka
tanah kembali ke desa
5. Belukor Tuo. Rimbo yang sudah dibuka
ternyata tidak ditanami, maka akan
kembali ke desa.
Di Desa Gedang Marga
Sungai Tenang, LAMBAS berarti setiap
Ketua Keluarga kemudian membuat tanda dengan cara membuat pagar bambu dan harus
membuka selama 6 bulan[138].
Di Desa Muara Sekalo[139],
istilah Lambas
adalah prosesi Sebelum membuka tanah,
dibagi berkelompok. Diadakan upacara dengan memohon izin mambang jori.
Sedangkan penanda dikenal Sak sangkut. Memberikan tanda dengan “takuk
pohon”. Dilakukan dengan Banjar bertindih galang. Kemudian Bidang.
Setiap tanah yang dibuka dan ditandai dinamakan bidang. Selanjutnya Pemarasan
hutan atau Penebangan.
Di Desa Semambu[140],
Lambas berbanjar. Tanah yang telah dibuka harus diberi tanda berupa tanaman
seperti durian. Setiap banjar ditentukan 10 KK. Setiap tanah yang dibuka dan
ditandai dinamakan bidang. Kemudian “menugal” artinya mulai menanam tanah yang
telah dibuka.
Di Desa Suo-suo[141],
Lambas dilakukanSebelum Beumo, harus
diadakan upacara adat. Lambas berbanjar. Tanah
yang telah dibuka harus diberi tanda takuk pohon.
Di Marga Sungai Tenang,
Desa Tanjung Mudo dikenal Cacak Tanam,
Jambu Kleko. Tanah yang telah dibuka diberi tanda dengan menanam pohon
seperti jeluang[142]. Desa Kota baru juga mengenal “Jeluang”. setiap Ketua
Keluarga kemudian membuat tanda dengan cara menanam phon jeluang dan harus
membuka selama 3 bulan[143]
Di daerah hilir dikenal
Mentaro, “Prenggan”. “Pasak mati” atau “Patok mati”, “larangan Krenggo”, ”pawah”, “Depo”, Pawah”,
Cerak parit” adalah tanda terhadap tanah yang
telah dibuka. Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda berupa tanaman
seperti Pinang, jelutung atau tanaman lain sebagai pembatas antara satu dengan
yang lain.
Terhadap tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda berupa tanaman
seperti Pinang, jelutung atau tanaman lain sebagai pembatas (mentaro), maka
tanah tidak boleh dibuka oleh orang lain (larangan krenggo).
Terhadap tanah mentaro, kemudian ditanyakan kepada pemilik tanah,
tetangga tanah atau saksi disekitar tanah. Terhadap tanah untuk ditanami atau
tidak sanggup untuk dikelola melalui prosesi adat yang berlaku ditempat.
Apabila tidak dikelola maka hak terhadap tanah menjadi hapus dan akan diberikan
kepada masyarakat Desa.
Sedangkan
Mentaro. Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda
berupa tanaman Pinang. Sedangkan menanam tanaman lebih rapat mengeliling tanah
dikenal dengan istilah prenggan.
Dapat
juga menanam tanda yang ujungnya dilapisi plastic yang kemudian dimasukkan ke
tanah. Cara ini dikenal sebagai “pasak
mati atau patok mati.
Istilah
“hilang celak. Jambu Kleko”, “Cacak Tanam. Jambu Kleko”, “Lambas”, “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau
“Patok mati” dengan cara menanam pohon sebagai tanda (hilang celak. Jambu Kleko”, “Cacak Tanam. Jambu
Kleko).
“Takuk
pohon”, “tuki”, “sak Sangkut”, “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam.
Jambu Kleko”, “Lambas”, “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” adalah bentuk pengakuan sebagai batas tanah dan
bukti untuk menyelesaikan perselisihan tanah.
Berbeda
dengan Hukum Tanah yang diatur didalam KUHPer (kitab Undang-undang Hukum
Perdata) yang mengatur lepasnya hak milik benda tidak bergerak selama 30 tahun
sebagaimana diatur didalam pasal 1963 BW, di masyarakat Melayu Jambi dikenal
“empang krenggo”, “mengepang”,”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah
jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat
tanaman”. Di daerah hilir dikenal “Larangan krenggo”.
Selain
penanda tanah seperti “takuk pohon”,
“tuki”, “sak Sangkut” , “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam.
Jambu Kleko”. Ada juga menyebutkan “Lambas”,
Lambas
berbanjar didaerah ulu Batanghari
Atau Di daerah ilir Jambi dikenal “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau
“Patok mati” maka Terhadap tanah yang
telah dibuka namun kemudian tidak ditanami dan tidak dirawat maka akan dijatuhi
sanksi adat. Bahkan hak milik terhadap tanah kemudian hapus.
Terhadap tanah yang telah ditentukan
maka tanah harus dikelola. Dan hak terhadap
tanah (ontginningsrecht) akan hilang apabila tidak dikelola ataupun
dikerjakan.
Istilah
tanah terlantar ditandai dengan seloko. Di Marga Batin Pengambang dikenal “empang krenggo”. Di Desa Tambak Ratu dikenal “mengepang” [144] atau ”Belukar
tuo” atau “belukar Lasah”.
Di
Marga Tenang dikenal “sesap rendah jerami
tinggi”. Sedangkan di Marga Sumay dikenal “sesap rendah tunggul
pemarasan”. Di Marga Pratin Tuo dikenal istilah “perimbun[145]. Di Marga Pelepat dikenal istilah “Mati tanah. Buat tanaman”.
Di Marga Batang Asai Tengah dikenal “umbo rimbo”,
“umo belukar tuo”, “uma belukar mudo dan “umo sesap”. “Umo rimbo” adalah
“pembukaan tanah”. Umo belukar tuo adalah tanah yang telah dibuka namun
kemudian ditinggalkan. Sedangkan “umo belukar mudo” adalah tanah yang telah
ditinggalkan namun masih terdapat tanaman mudo. Sedangkan “umo sesap” kebun
yang telah ditinggalkan pemiliknya atau tidak dirawat[146].
Sedangkan
di Ilir Jambi dikenal “Larangan krenggo”
“
“Empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo”
atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul
pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo”
adalah Seloko yang menunjukkan tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3
tahun. Dan kemudian harus dirawat.
Seloko empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo” atau
“belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul
pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” menunjukkan pemilik tanah tidak merawat
tanahnya. Istilah “Belukar tuo” atau
“belukar Lasa”, atau sudah menunjukkan “jerami
tinggi” sudah lama tidak dirawat.
Belukar
Tuo. Walaupun sudah dikerjakan dengan cara membuat tanda kayu berkait, ditebas
dan ditumbangkan, apabila tidak dikerjakan selama 3 tahun, maka haknya menjadi
hilang. Tanah kembali ke Desa.
“Perimbun” adalah lahan yang berupa belukar yang
sudah lama ditinggal/tidak digarap. Baik berupa belukar muda (ditinggal sekitar
1-2 tahung) maupun belukar tua (ditinggal lebih 5 tahun).
Sedangkan Belukar Lasah merupakan areal yang
bervegetasi semak atau belukar yang dulunya berupa hutan tapi tidak jelas lagi
siapa yang membukanya yang kemudian ditetapkan melalui mufakat desa untuk
dijadikan areal pertanian semusim yang boleh dikelola secara bersama oleh
masyarakat dusun setempat.
Di Aceh dikenal “hak dong tanoh” (hak menandai
tanah/hutan). Dan apabila
tanda-tandanya kemudian hilang maka hak terhadap tanah kemudian menjadi hapus.
Sebagaimana ungkapan adat disebutkan “asai bak
rimba jiwou keu rimba” (berasal dari hutan kembali menjadi hutan)[147].
A.P. Parlindungan didalam bukunya
Konversi Hak-Hak Atas Tanah[148]
menyebutkan “Di Jambi dijumpai aturan bahwa sawah yang ditinggalkan selama 5 tahun, jajaran 3 tahun dan talang 3
tabun akan nienyebabkan gugumya hak atas itu.
S.R Nur didalam bukunya “Beberapa permasalahan
Agraria”[149]
menyebutkan “Pada lingkungan masyarakat Aceh, seseorang kehilangan hak menduduki atas tanah ("woestheid"), Jika ladangnya di pegunungan, maka dengan meninggalkannya selarna 3
tahun dan telah menjadi tanah liar menyebabkan hilangnya hak
menduduki, lalu tanah kembali kepada hak ulayat masyarakat.
Di Enrengkang dan Bantaeng tanah yang ditinggalkan
selarna 3 tahun dan menjadi belukar kembali, maka pemiliknya
kehilangan hak atas tanah itu. (Yurisprudensi No. 1226 K/Sip/1976
tanggal 15 April
1976)
Mahkamah Agung berdasarkan Yurisprudensi No. 329
K/Sip/1957 tanggal 24 September 1958 kemudian menyebutkan “di Tapanuli Selatan apabila sebidang tanah yang diperoleh secara
merimba, maka hak atas tanah dapat dianggap dilepaskan dan tanah itu oleh
Kepala Persekutuan kampong dapat diberikan kepada orang lain.
Begitu juga Yurusprudensi Mahkamah Agung Nomor 59
K/Sip/1958 tanggal 7 Februari 1959 kemudian menyebutkan
“menurut adat Karo sebidang tanah “kesian” yaitu sebidang tanah kosong yang
letaknya dalam kampong bisa menjadi hak milik perseorangan setelah tanah itu
diusahai secara intensif oleh seorang penduduk kampong itu.
Putusan Mahkamah Agung No. 1192 K/Sip/1973 Tanggal
27 Maret 1975 menyebutkan “Menurut peraturan adat
setempat, hak semula dari seseorang atas tanah usahanya gugur apabiia ia telah
cukup lama belum/tidak mengerjakan lagi tanahnya, kemudian ia diberi teguran
oleh Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung untuk mengerjakannya,
tetapi teguran itu tidak diindahkannya; dalam hal ini bolehlah tanah itu oleh
Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung diberikan kepada orang lain yang
memerlukannya.
Putusan Mahkamah Agung No. 590 K/Sip/1974 tanggal 3
Desember 1975 menyebutkan “Menurut hukum,
baik hukum adat maupun ketentuan-ketentuan U.U.P.A. tahun 1960 hapusnya hak
atas tanah adalah antara lain karena diterlantarkan.
Dengan demikian maka “empang krenggo”, “mengepang”,
”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap
rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan
krenggo” adalah tanah terlantar.
Kategori tanah terlantar kemudian dikenal seperti
(1) Apabila
tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau
sifatnya. (2).Apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan tujuan pemberian haknya. (3)
Tanah tersebut tidak dipelihara dengan baik. (Pasal 3 dan pasal 4 PP No. 36
Tahun 1998 junto PP No. 11 Tahun 2010).
Dengan demikian maka tanah tidak dibenarkan
ditelantarkan.
V.
Tanah Pemberian
Sebagai
masyarakat Melayu, Masyarakat Melayu Jambi terbuka terhadap kedatangan penduduk
dari luar dusun. Pengaruh Minangkabau dapat dilihat di Marga Sungai Tenang,
Marga Pangkalan Jambu, Marga Air hitam, Marga Pelawan, Marga Batin Pengambang,
Marga Bukit Bulan, Marga Datuk nan Tigo, Marga VII Koto, Marga IX Koto, Marga
Jujuhan, Marga Sumay, Marga Serampas. Seloko seperti “Jika
mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja
ke Pagaruyung atau Tegak Tajur, Ilir ke
Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau[150] membuktikan hubungan kekerabatan yang kuat antara
masyarakat di hulu Sungai Batanghari dengan Pagaruyung.
Atau berasal
dari Jawa Mataram[151]. Cerita ini begitu kuat di Marga Sungai
Tenang, Marga Batin Pengambang dan Di Marga Maro Sebo Ulu. Cerita tentang dari
Mataram juga dikenal di Marga Serampas.
Kisah
Turki dapat ditemukan di masyarakat pesisir Pantai Timur Sumatera. Seperti di
Senyerang (Marga Tungkal Ilir) )[152],
Marga Kumpeh[153],
Marga Jebus dan masyarakat di pantai timur Sumatera[154].
Bahkan cerita tentang Sulthan Thaha Saifuddin tidak dapat dilepaskan dari kisah
“vassal” Turki[155].
Jejak Kerajaan Jambi kemudian
dikenal kisah Dara Petak dan Dara Jingga[156].
Sejarah kedatangan dan pesiar Raja Jambi dikenal di beberapa perjalanan. Di
Marga Pemayung Ulu, Marga Pemayung Ilir, Marga VII Koto dan Marga IX Koto,
Marga Sumay dan Marga Renah Pembarap.
Seloko
terhadap kedatangan penduduk dari luar dusun ditandai dengan Seloko seperti “Tanjung Paku batang belimbing. Tempurung
dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang lain dipatenggangkan
adalah perumpaan keterbukaan
masyarakat dengan pendatang[157].
Sebagai
bentuk keterbukaan dengan masyarakat pendatang maka dikenal “tanah pemberian”.
Di
Marga Batin Pengambang dikenal Setawar dingin[158]. Ditentukan
didalam rapat kemudian ditentukan siapa saja yang berhak untuk membuka rimbo.
Di
Marga Sungai Tenang dikenal “tanah irung.
Tanah gunting”. Yang ditandai untuk masyarakat Desa Tanjung Alam dengan
istilah “tanah Koto 10, belalang pungguk
9”. Atau “Belalang Pungguk 9. Padang
Koto 10.
Dusun
Tanjung Mudo merupakan tanah pemberian dari Koto 10 namun penduduknya berasal
dari Pungguk 6[159]
yaitu berasal dari Dusun Baru dan Dusun Kototeguh. Mereka kemudian “beladang jauh” di wilayah Koto 10[160].
Di masyarakat dikenal dengan istilah “Tanah
Koto 10, belalang Pungguk 6”. Ada juga menyebutkan “Belalang Pungguk 6. Padang Koto 10.
Sedangkan
Tanjung Alam merupakan tanah dari Koto
10 namun penduduknya berasal dari Pungguk 9. Dikenal dengna istilah “tanah Koto 10, belalang pungguk 9”. Atau
“Belalang Pungguk 9. Padang Koto 10.
Sedangkan
Koto Rawang penduduknya berasal dari Lubuk Pungguk yang termasuk kedalam
Pungguk 9[161].
Sedangkan wilayah diberikan oleh Pungguk 6. Dikenal dengan istilah “Tanah
Pungguk 6, Belalang Lubuk Pungguk.
Lubuk Pungguk termasuk kedalam Pungguk 9.
Istilah “tanah Irung, Tanah gunting”. Atau dengan istilah “mengirung
dan mengunting tanah Koto Sepuluh”. Masyarakat Pungguk
Sembilan Tanahnya merupakan pemberian Koto Sepuluh yang kemudian disebut dengan
“Belalang
Pungguk Sembilan Padang Koto Sepuluh”.
Tanah Irung Tanah Gunting berdasarkan
tembo : “muaro sungai titian teras di sungai sirih
(sungai tembesi sekarang), peradun limau keling (mudik tanjung alam), terus
ketanah genting, pauh belepang, dusun talang lengis, laju ke muaro sungai
matang di sungai sirih mudik ke sungai sirih” [162]”.
Begitu
juga dusun Beringin Tinggi. Terhadap masyarakat diluar Marga Sungai Tenang
dikenal ujung batin. Penduduknya berasal dari Marga Batangasai dan Marga Batin
Pengambang namun wilayah kemudian diberikan dari Marga Sungai Tenang. Biasa
dikenal dengan istilah “tanah ujung
Batin”. Ditandai dengan Seloko “Belalang Batin Pengambang. Tanah Koto 10.
Begitu
juga dengan Desa Renah Alai. Renah Alai merupakan masyarakat yang berasal dari
dusun yang termasuk kedalam Marga Serampei. Kemudian pindah ke Inum Pendum yang
termasuk kedalam Marga Sungai Tenang. Dusun Inum Pendum kemudian menggunakan
nama Renah Alai. Renah Alai kemudian masuk kedalam Marga Serampas.
Sedangkan
Sungai Lisai merupakan ujung dari wilayah Pungguk 9 yang terletak di Dusun
Muara Madras. Sungai Lisai kemudian masuk kedalam wilayah Sungai Lisai Kecamatan
Pinang Belapis, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Lokasi desa yang berada di tengah-tengah Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Jarak Desa Sungai Lisai ke Desa Seblat Ulu yang
merupakan desa terdekat, hanya 9,5 kilometer.
Selain
itu dikenal istilah “4 Tanah lembak”.
Yaitu Dusun dibawah dalam Marga Sungai Tenang. Yaitu Dusun Tanjung Dalam, Dusun
Muara Pangi, Dusun Muara Langayo Dan dusun Rantau Jering.
Dalam
perkembangannya, berbagai dusun didalam Marga Sungai Tenang kemudian dimasukkan
kedalam Kecamatan Sungai Tenang (kemudian berubah menjadi Kecamatan jangkat
Timur), Kecamatan Jangkat, Kecamatan Lembah Masurai dan Kecamatan Muara Siau.
Tanah
Pembarap
Dalam
himbauan dari Raja Jambi, melihat pemukiman di sekitar bawah Gunung Masurai
yang masih sepi, maka Penduduk dari Serampas kemudian turun untuk menghuni
kawasan di bawah Marga Serampas. Biasa dikenal dengan istilah Tanah Pembarap.
Dusun-dusun
yang termasuk kedalam Tanah Pembarap seperti Tanjung Asal, Dusun Durian Mukut,
Peraduan Temeras, Air Lago, Badak Terkurung, Rantau Pangi, Pulau Raman,
Sekancing, Dusun Baru Padang lalang, Rantau Limau Kapas, Muara Inum,
Dusun
Rantau Limau Kapas, Dusun Sekancing termasuk kedalam Marga Tiang Pumpung dan
menjadi kecamatan Tiang Pumpung. Desa
Muara Pangi, Rantau Jering kemudian masuk kedalam Kecamatan Lembah Masurai.
Sedangkan
Air Lago, Badak Terkurung, Peraduan Temeras, Pulau raman masuk ke Marga Tiang
Pumpung kemudian masuk ke kecamatan Muara Siau.
Di
Marga Pelepat dikenal Pemberian tanah yang disebut didalam seloko “Sejalar Peringgi. Sekokok Ayam”. Seloko
ini melambangkan wilayah yang hendak diberikan[163].
Begitu juga wilayah Ujung Tanjung yang diberi gelar Rio Bagindo merupakan
wilayah “Sebiduk luncur. Sekokok ayam.
Marga
IX Koto dikenal “koto yang ramai”. Daerah ini kemudian dikenal sebagai daerah
Transmigrasi di Rimbo Bujang[164].
Marga
Jebus di Desa Rukam dikenal “jejawi
berbaris dan tali gawe’.
Hanya
Marga Air Hitam dikenal sebagai Tanah Bejenang.
Istilah Jenang adalah penamaan dari “orang
yang dipercaya” dari Tumenggung[165].
Tanah nan berjenang adalah wilayah sembilan yang berada di bawah pemerintahan jenang. Lembaga
jenang adalah jalan lain yang digunakan Sultan untuk mengingatkan para pimpinan
daerah daerah di pedalaman akan keberadaan otoritas sentral. Daerah tersebut
meliputi beberapa daerah di dataran tinggi Jambi di luar area Batanghari.
Penduduk Tanah nan berjenang ini bermukim migran dari Minangkabau yang disebut
sebagai orang Batin dan orang Penghulu, dan yang berasal dari Palembang, yaitu
orang Rawas[166].
Penamaan Tanah bejenang kemudian dipadankan
seperti “tuo kampung, tanah bejenang, rajo bepenghulu, negeri bebatin.
Di daerah hilir dikenal
“pancung alas”. Pemberian tanah dari
Pemangku adat.
VI.
Luas areal
yang diberikan
Sebagai
bentuk keterbukaan dengan masyarakat pendatang maka dikenal “tanah pemberian”.
Di Marga Batin Pengambang setelah melalui prosesi “setawar dingin” dan “lambas”[167]
maka kemudian diberikan tanah seluas 2 hektar.
Di
Marga Batang Asai Tengah[168],
tanah didapatkan yang dikenal Membuka hutan atau rimbo atau tanah untuk
Pertanian sawah yang dikenal Umo dan Talang. Prosesi yang dilalui seperti Betaun bersamo[169],
Rapat Kenduri[170],
Melambas[171], Lemah
Paradun[172].
Masing-masing mendapatkan 2 hektar.
Di
Marga Simpang Tigo Pauh dikenal Seloko “Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimano
tamilang dicacak disitu tanaman tumbuh”[173]. Luasnya sesuai untuk kebutuhan
membuat rumah dan membuka lahan untuk berkebun[174]
Di Marga Air Hitam dikenal “tanah bejenang”. Tanah diberikan untuk
kebutuhan rumah dan “umo” [175].
Di Marga Serampas dikenal “tanah arah’. Tanah arah ini hanya untuk keluarga baru dan penerima harus sudah
bisa mengumpulkan bahan bangunan untuk membuat rumah[176].
Di Marga Sungai Tenang pemberian tanah juga kepada
perkampungan/pemukiman terhadap masyarakat. Dikenal “tanah irung. Tanah
Gunting” dan “ujung batin”. Tanah Irung dan Tanah gunting kemudian dikenal Desa
Tanjung Alam dan Desa Tanjung Mudo. Sedangkan Tanah Ujung batin dikenal
terhadap wilayah Desa Beringin Tinggi. Selain itu juga diberikan Sungai Lisai kemudian masuk kedalam wilayah
Sungai Lisai Kecamatan Pinang Belapis, Kabupaten Lebong, Provinsi
Bengkulu. Lokasi desa yang berada di
tengah-tengah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Jarak Desa Sungai Lisai ke
Desa Seblat Ulu yang merupakan desa terdekat, hanya 9,5 kilometer.
Selain itu juga dikenal Inum Pendum yang sekarang dikenal Renah Alai[177].
Di Desa Renah Pelaan tanah diberikan setelah melalui prosesi yang
dikenal dengan istilah “puji perago” [178].
Di Desa Gedang[179]. setelah melalui prosesi “Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri
bernenek mamak”[180], “Turun
pangkal tahun”[181],
“Lambas”[182], maka Setiap Kepala Keluarga hanya boleh membuka
1 ha dan harus ditanami selama 3 tahun. Apabila tidak ditanami, maka tidak
boleh membuka rimbo lagi. Begitu juga Desa Kotobaru[183], setelah melalui prosesi “Alam berajo, rantau
bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak”, “rapat besar”, “Bismilah Ke
humo”, “jeluang”, maka mendapatkan 1 hektar. Begitu juga Desa Tanjung Benuang[184], Desa Tanjung Alam[185], Desa Tanjung Mudo[186].
Selain itu di Marga Sungai Tenang dikenal “sepenegak rumah’. Dimana luas tanah yang dberikan untuk perumahan[187].
Di Desa Rantau Bedaro terdapat 15 Hektar dan yang berhak menanam di
lahan tersebut adalah keturunan nenek 4, yaitu kalbu Rendah, kalbu Solok, kalbu
Cabul dan kalbu Talang, yang kesemuanya sudah dibedakan lokasi masing-masing.
Kalbu Rendah sebelah ilir, kalbu solok sebelah tengah, kalbu cabul sebelah atas
dan kalbu talang sebelah atas juga[188].
Di
Marga Pelepat dikenal Pemberian tanah yang disebut didalam seloko “Sejalar Peringgi. Sekokok Ayam”. Seloko
ini melambangkan wilayah yang hendak diberikan[189].
Begitu juga wilayah Ujung Tanjung yang diberi gelar Rio Bagindo merupakan
wilayah “Sebiduk luncur. Sekokok ayam.
Marga
IX Koto dikenal “koto yang ramai”. Daerah ini kemudian dikenal sebagai daerah
Transmigrasi di Rimbo Bujang[190].
Di Lubuk Mandarsyah setiap keluarga
diberikan dengan membuka lebar 25 meter dan panjang 100 meter atau istilah
dikampung dinamakan dengan “tapak”[191]. Sedangkan di Marga
Kumpeh Ilir dikenal dengan istilah “Bidang” setelah melalui prosesi “Pancung
alas”.
Marga
Jebus di Desa Rukam dikenal “jejawi
berbaris dan tali gawe’. Di Marga Berbak
dikenal “umo Genah’.
Sedangkan di Marga Kumpeh dikenal sebidang. 30 depo
kali 50 depo.
VII.
Tata cara
menyelesaikan masalah
Ditengah masyarakat Melayu Jambi, tatacara penyelesaian
dimulai dengan seloko “Keruh air dihilir balek kemudik”, “Mencari bungkul dengan pangkal. Mencari usul dengan asal“, atau “Dak tentu ujung dengan pangkal. Bak tebu
digunggung musang” atau “Kalau anak
tahu di bungkul. Lihatlah Dio dari pangkal. Kalau anak tahu dengan usul.
Lihatlah pulo dari asal”.
Di Marga Sumay dikenal “tumbuh diatas tumbuh”[192].
Di Desa Semambu selain menggunakan nilai “tumbuh
diatas tumbuh” dikenal juga “Pulai berpangkat naik. Tinjau ruas dengan
bukunya”. Berjenjang naik bertangga turun”[193]. Di Marga Pelepat dikenal “Seloko “Nengok tumbuh”[194].
Ungkapan
adat didalam menyelesaikan perselisihan “Apabila
duduk didalam musyawarah dan mufakat. Disitu
kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu
kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama
ditarah”, ”Adat duduk bermusyawarah. Bertampan hendak lebar. Bersambang hendak panjang.
Supaya yang genting tidak putus. Supaya yang biang tidak tembuk’,
Tiung
bak tiung bunyinyo ungko. Sambil melompat menggendong anak. Singgah
memakan si buah pauh. Minta ampun pado nan tuo. Minta maaf pada nan banyak. Padamu bathin kami menyimpuh
“Jiko
tumbuh silang selisih dalam kampung, diantara anak dengna penakan, ada yang
bertukar pendapat, selisih paham. Urus dengan segera. Jangan dengar bak hujan
ditengah malam. Dibiarkan bak jando ditumbuk biduk. Bilo lah aur tumbuh
matonyo. Kita tidak boleh duduk bepangku tangan. Tidak dibenarkan betelingo
pekak. Bemato buto. Tapi, kalau orang dak ngadu, jangan pulo merujak labing.
Serenteh bumbun.
Bilo
urusan sampai sampai ketangan. Jangan pulo ayik idak beilir. Kalam tidak
bejalan. Hilang berito bak kijang lepeh kesemak. Beriak idak, bedetikpun idak.
Bak batu jatuh ke lubuk. Bak pasir tambak ke buluh. Hilang dipicik bak angin.
Hitam betungkus bak arang. Habis digenggam bak air, tegenang sesayak ayik,
dinteh di ateh dak tentu pemancungnyo. Dibawah dak tentu mutusnya[195].
Cara dimulai dari Seloko “Sirih
senampan. Keris nan sebilah. Kok tinggi pusako rajo dijuluk dengan yang
sebatang. Kok rendah pusako rendah kok
dengan keris nan sebilah. Kusut minta
diusaikan. Keruh minta dijernihkan[196].
Di
Marga Batin Pengambang Desa Sungai Keradak[197], Seloko dimulai “Bilo
tepijak di Gunung Arang hitamlah tapak. Bilo tesuruk di Gunung Kapur putihlah
punggung. Bilo Tetempuh dipintu salah,
tetap betang. Bilo telangkah di agamo tetaplah beduso.
Karena
itu, salah dikaku benar diantarkan. Salah sesamo. Hamba minta maaf. Salah
kepada Tuhan betubat. Utang bebaye, piutang diterimo. Tahu diutang kecik
diutang. Dak tahu diutang, utang gedang. Utang kecik dibayar lunas, utang
gedang nan diangsur. Adat utang nan bek gudam-bekhugguh. Besikhi-bealamat.
Bejanji besamayo. Janji nan didepat. Semayo nan ditunggu. Ikrar di uni.
Cara menyelesaikan Tata Cara menyelesaikan persoalan yang
biasa dikenal dengan istilah “jenjang
adat”. “Berjenjang naik bertangga turun. Atau Bertangkap naik, Berjenjang turun. Setiap proses dimulai dari Tuo Tengganai.
Barulah diselesaikan di tingkat Desa.
Di Marga Batin Pengambang dikenal Tegur Sapo.
Tegur Ajar dan Guling Batang. Tiga Tali Sepilin. Merupakan mekanisme dan tahap “betangkap
naik, bertangga turun didalam upaya menyelesaikan perselisihan, dimana
adanya pemangku Desa, pegawai syara' dan lembaga adat. Di Margo Sungai Tenang
dikenal “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis,
memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek,
menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku
Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga adat.
Di Desa Lubuk Mandarsyah, Prosesinya
dimulai dari Pihak “tuo tengganai” kemudian mendatangi lembaga adat untuk
menyampaikan “habibul hajat (maksud dari pengundang) meminta maaf kepada
keluarga korban dan masyarakat yang terganggu dengan “kesalahan dari anak
kemenakan”.
Setelah mendengarkan “habibul hajat
(maksud dari pengundang), lembaga adat kemudian menerima permohonan maaf dari
“tuo tengganai” anak kemenakan yang bersalah.
Lembaga adat kemudian menetapkan
sanksi adat berupa “kerbo sekok, serba seratus”. (Kerbau satu ekor, 1 keris,
100 gantang beras, seratus kain, selemak semanis)
Kemudian ditanyakan kepada “tuo
tengganai” apakah mampu membayar sanksi adat. Setelah “tuo tengganai”
menyatakan mampu untuk membayar sanksi adat, maka sanksi adat kemudian
“diserahkan” kepada lembaga adat. Lembaga adat kemudian menerima dan
menyampaikan kepada “orang rame”, sanksi adat telah dijatuhkan. Dan “tuo
tengganai telah mampu membayar sanksi adat”[198].
Di Talang Mamak Dusun
Simarantihan, prosesi pelanggaran adat, maka proses ini didahului dengan Sirih
Gambir sebagai tanda persetujuan untuk disidangkan dan mengikuti sanksi adat[199].
Ikrar Sirih gambir
mengingatkan berbagai prosesi penyelesaian dan penghormatan hukum adat di Jambi
sesuai dengan seloko “sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang.
Dengan demikian maka para pihak yang
Jiko tumbuh silang selisih dalam kampung, diantara anak
dengna penakan, ada yang bertukar pendapat, selisih paham” dapat
menyelesaikan dengan baik. “
Jangan hendaknya rumah sudah paek
bedengkang. Api padam puntung berasap. Runding Sudah ciak bebunyi. Jalo teambur
tali tesangkut. Hari siang bulan mungko tumbuh.
Didalam
menyelesaikan perselisihan kemudian dikenal “jenjang adat. Bertangkap naik.
Bertangga turun”.
Di
Marga Batin Pengambang dikenal Bertangkap naik, Berjenjang turun. Setiap
proses dimulai dari Tuo Tengganai. Barulah diselesaikan di tingkat Desa. Atau
juga dikenal Tegur Sapo. Tegur Ajar dan Guling Batang. Tiga Tali Sepilin.
Didalam menyelesaikan perselisihan, maka adanya pemangku Desa, pegawai syara'
dan lembaga adat. Bebapak Kijang.
Berinduk Kuaw. Apabila putusan telah dijatuhkan, maka tidak bisa dilaksanakan,
maka tidak perlu diurus didalam pemerintahan desa[200].
Di Marga Batang Asai
Tengah juga dikenal dengan JENJANG ADAT Setiap persoalan yang timbul, maka
diselesaikan dengna hukum adat. Dimulai dari tuo tengganai dan apabila tidak
diselesaikan maka diselesaikan nenek Mamak. Terhadap kesalahan maka
diselesaikan setiap jenjang adat. Dimulai dari Tegur
sapo berupa ayam satu ekor dan beras segantang. Kemudian Tegur pengajar berupa kambing 10 ekor dan
beras 20 gantang. Guling batang berupa denda satu ekor kerbau dan beras seratus
gantang[201]
Marga Datuk Nan Tiga[202], dikenal Datuk Demang. Datuk Temenggung berpusat
di Dusun Mengkadai. Datuk Ranggo berpusat di Dusun Muara Mansao. Sedangkan
Datuk Demang berpusat di Kampung Pondok
Datuk yang menguasai masing-masing
wilayah kemudian dipilih oleh para Kepala Kampung. Sedangkan Datuk Petinggi
kemudian dipilih oleh ketiga Datuk yaitu Datuk Temenggung, Datuk Ranggo Dan Datuk
Demang.
Setelah
masyarakat kemudian bermukim tetap, maka untuk menjamin kerukunan, ketertiban,
perdamaian dan kesejahteraan maka dibentuk struktur social. Dimulai dari
pemimpin “tengganai” yang disebut “tuo tengganai”. Sebagaimana ujaran “Rumah
Betengganai”.
Kemudian
dibentuk kampong yang biasa disebut Kepala Kampung sebagaimana ujaran “tuo
bekampung”. Barulah kemudian Kepala Kampung memilih atau menunjuk Kepala Dusun
yang kemudian disebut Datuk. Sebagaimana ujaran “Negeri bebatin”.
Di
Marga Air Hitam[203], hanya Marga Air Hitam dikenal sebagai Tanah
Bejenang. Istilah Jenang adalah penamaan
dari “orang yang dipercaya” dari Tumenggung yang Orang Rimba yang terdapat di
Taman Nasional Bukit Dua Belas.
Sehingga Tanah bejenang diartikan sebagai
tempat yang dipercaya orang Rimba dari Bukit Dua Belas untuk bertemu, berdagang
hingga mengadakan berbagai aktivitas sosial lainnya.
Penamaan
Tanah bejenang kemudian dipadankan seperti “tuo kampung, tanah bejenang,
rajo bepenghulu, negeri bebatin.
Sedangkan didalam Struktur sosial di komunitas Orang Rimba Bukit Dua Belas Depati,
Mangku dan Menti dikenal di dalam berbagai struktur sosial Marga/Batin di
Jambi. Hanya Tumenggung yang tidak terdapat di dalam struktur Marga/Batin di
Jambi.
Seorang
Depati bertugas menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan hukum. Pembantu
lainnya adalah Mangku. Tugas Mangku hampir sama dengan Depati yaitu mengurus
masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Bedanya kasus-kasus hukum yang
ditangani oleh Mangku biasanya lebih kecil bobotnya apabila dibandingkan dengan
kasus-kasus hukum yang ditangani oleh seorang Depati.
Debalang
Batin bertugas menjaga dan menegakkan keamanan apabila terjadi situasi tak
menentu, seperti konflik dengan orang/warga Desa. Menti adalah orang yang
bertugas memanggil seorang warga apabila diperlukan oleh Tumenggung atau oleh
tokoh Orang Rimba lainnya. Dalam bertugas seorang menti bisa meminta bantuan
kepada Anak Dalam.
Jabatan
lain yang juga cukup penting adalah dukun, tengganai dan penghulu. Dukun
dipercaya dapat menyembuhkan penyakit dan berhubungan dengan mahluk halus.
Petunjuk seorang Dukun, juga diperlukan oleh warga yang akan membuka ladang.
Tengganai bertugas sebagai penasehat warga dalam urusan rumah tangga dan
masalah hubungan antar anggota kelompok rombong. Seorang tengganai pada saat
tertentu bisa memberi nasehat atau masukan pada Tumenggung di saat Tumenggung
harus menghadapi tugas yang sangat berat. Penghulu bertugas memimpin
upacara-upacara keagamaan seperti upacara perkawinan, kematian, kelahiran bayi
dan lain sebagainya.
Didalam
Marga Batin VI Mandiangin[204],
Setiap Dusun dipimpin oleh Seorang pemangku Dusun yang disebut Depati. Di bawah
Depati adalah Punggawa
Di
Marga Serampas, masing-masing Dusun kemudian diserahkan kepada Depati Seri Bumi
Puti Pemuncak Alam Serampas, Depati Pulang Jawa, Depati Singo Negoro, Depati
Karti Mudo Menggalo, Depati Seniudo, Depati Payung, Depati Kertau, Depati Siba[205].
Di
Marga Sungai Tenang dapat dilihat struktur dalam Marga Sungai Tenang. Marga
Sungai Tenang terdiri dari Pungguk 6, Pungguk 9, Koto 10. Pungguk 6 berpusat di
Pulau Tengah, Pungguk 9 berpusat di Muara Mandaras. Koto 10 berpusat di Gedang.
Di
Desa Gedang JENJANG ADAT ditandai
dengan Seloko “Yang berhak untuk memutih menghitamkan. Yang memakan habis,
memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan
dengan cara Jenjang Adat. Betakap naik, berjenjang turun. Dari Suku membawa ke
nenek mamak . Apabila tidak dapat
diselesaikan, maka memberitahu kepada kepala
Dusun.
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Dusun memberitahu
kepada kepala Desa[206].
Di Desa Kotobaru JENJANG ADAT. Kepala Desa
“Yang berhak untuk memutih menghitamkan
Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek,
menyelesaikan dengan cara Jenjang
Adat. Betakah naik, berjenjang turun. Dari Suku membawa ke tuo tengganai
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada Kepala Dusun. Apabila
tidak dapat diselesaikan, maka Dkepala Dusun memberitahu kepada Kepala Dusun.
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Desa dapat melaporkannya sesuai
dengan hukum yang berlaku[207].
Di Desa Tanjung Benuang JENJANG ADAT “Yang berhak untuk
memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak,
diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Betakap naik,
berjenjang turun. Dari Suku membawa ke
nenek mamak.
Apabila tidak dapat
diselesaikan, maka memberitahu kepada Debalang.
Apabila tidak
dapat diselesaikan, maka Debalang memberitahu kepada
Kepala Dusun.
Apabila tidak
dapat diselesaikan, maka kepala Dusun memberitahu
kepada kepala Desa[208].
Di Desa Tanjung Alam JENJANG ADAT “Yang berhak untuk
memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak,
diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Hidup bersuku, Mati
Baindu, Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga
adat. Saksi melapor kepada Menti,
2. Menti Melapor ke Kepala Dusun. Kepala Dusun memerintahkan
Menti menghubungi/memberitahu Kepala Suku.
Apabila
Pelaku tidak mau melaksanakan putusan denda adat, Kepala Dusun melapor kepada
Kepala Desa, Kepala Desa mengadakan rapat adat[209] .
Di Desa
Tanjung Mudo Kepala Desa “Yang
berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan
jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang
Adat. Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala
Desa/Kepala Adat, Lembaga adat[210].
Di Marga Peratin Tuo, Masyarakat kemudian menyebutkan Depati
Pemuncak Alam, tempatnyo di dusun Tuo.
Depati Karto Yudo, tempatnyo di dusun Tanjung Berugo, Nilo Dingin dan
Sungai Lalang. Depati Penganggun Besungut Emeh, tempatnyo di dusun Koto Rami
dan dusun Rancan dan Depati Purbo Nyato, tempatnyo di dusun Tiaro[211]
Di Marga Tiang Pumpung Didalam Marga
Tiang Pumpung sebagaimana disampaikan oleh Sargawi didalam bukunya “Lintasan
Sejarah Depati Sembilan Tiang Pumpung menyebutkan “Depati Manjuang di Muara
Siau, Depati Agung di Pulau Raman, Rio Depati di Sekancing, Depati Purbo Alam
di Dusun Baru, Renah Jelmu, Muara Sakai, Beringin Sanggul dan Renah Manggis.
Depati Permai Yudo di Pulau Bayur, Depati Suko Berajo di Selango.
Di Marga Renah Pembarap, Hubungan kekerabatan dengan Marga Tiang Pumpung,
Marga Senggrahan ditandai dengan seloko “Gedung
di tiang pumpung, Pasak di Pembarap. Dan kunci di Senggrahan. Mereka mengaku keturunan dari Sri Saidi Malin
Samad. Sri Saidi Malin Samad mempunyai saudara Siti Baiti dan Syech Raja. Syech
Raja diakui sebagai “puyang” Renah Pembarap. Sedangkan Siti Baiti “puyang”
Marga Tiang Pumpung.[212]
Di Marga Senggrahan[213],
Hubungan kekerabatan dengan Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap ditandai
dengan seloko “Gedung di tiang pumpung,
Pasak di Pembarap. Dan kunci di Senggrahan[214]. Mereka mengaku keturunan dari Sri Saidi Malin
Samad. Sri Saidi Malin Samad mempunyai saudara Siti Baiti dan Syech Raja. Syech
Raja diakui sebagai “puyang” Renah Pembarap. Sedangkan Siti Baiti “puyang”
Marga Tiang Pumpung.
Didalam sejarah yang
disebut secara turun menurun sebelum menjadi desa Lubuk Beringin, wilayah desa ini berada dalam wilayah
Pesangggrahan yang di atur oleh Nenek Tigo Silo yang kemudian disebut dengan
nama Tigo Pemangku Margo Pesanggrahan, mereka itu adalah :
·
Depati Surau
Kembalo Hakim
·
Depati
Manggalo
·
Depati
Keramo
Ketiga
pemangku Depati di atas berada di dusun
lubuk beringin dan desa kandang. Dan untuk Lubuk Birah pemangkunya adalh Depati
Annggo, serta untuk Durian Rambun pemangkunya Adalah Depati Riyo Kemuyang[215].
Di Marga Pangkalan Jambu, Sebagai pemegang mandate dan kemudian bergelar
“Datuk Raja Nan Putih. Didalam struktur adat, maka Datuk Raja Nan Putih dibantu oleh Datuk Monti
Raja dan Datuk Pado Garang. Selain Datuk Raja Nan Putih yang dibantu oleh Datuk
Monti Raja dan Datuk Pado Garang, mereka juga mengenal “Datuk berempat dan
Menti nan Tigo”.
Datuk
Berempat yaitu Datuk Penghulu Mudo, Datuk Penghulu Kayo, Datuk Bendaro Kayo dan
Datuk Raja Tantan. Sedangkan “Menti nan Tigo yaitu Rio Niti di Dusun Baru, Rio
Gemalo di Dusun Nangko dan Rio Sari di Dusun Sungai Jering)
Didalam
struktur adat, mereka mengenal “Tiga Tali sepilin. Tungku Sejarangan”. Ikatan
yang kuat antara struktur adat yaitu hukum Negara, hukum agama dan hukum adat
kemudian diputuskan oleh Rio sebagai “pemutus akhir” dan pelaksana keputusan
adat.
Marga
Batin IX Ulu[216] Masing-masing
dipimpin seorang Rio. Dibawah Rio dikenal sebagai Mangku. Rio adalah pemimpin
setingkat Desa. Sedangkan Mangku adalah pemimpin setingkat dusun.
Berpusat di Pulau Rengas, Batin IX
Ulu dipimpin 5 orang Datuk. Yaitu Datuk Melako, Depati, Penghulu Makin,
Penghulu dan Sumono. Sumono adalah kekuasaan Tertinggi. Selain Mangku dikenal juga patih. Mangku dan
Patih adalah perangkat di Pemerintahan Dusun.
Marga
Pelepat mempunyai cara didalam menyelesaikan. Seloko “Nengok tumbuh” adalah
proses “pengaduan” dari salah satu terhadap setiap perselisihan[217].
Didalam masyarakat Hukum Adat Datuk
Senaro Putih, Struktur Kelembagaan
Adat
Pasal 5
Kelembagaan
Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro
Putih, terdiri dari : Pimpinan Adat dan
perangkatnya; TuoNegeri;
Pegawai Syara’;
Tuo Tengganai;
Dubalang;
Monti Rajo;
Manggung/Jonang;
Rumah GodangTigoTaipah.
Perangkat pimpinan adat adalah Datuk Rangkayo Mulio
dibantu oleh Sutan Marajo Lelo, Sutan Marajo Indo dan Rumah Gedang Tigo Taipah;
Tiang Panjang dibantu oleh Datuk Rabun, Pangulu
Alam dan Monti Rajo.
Datuk Sinaro Putih sebagai pimpinan tertinggi yang meliputi masyarakat
adat Desa Baru Pelepat dan Desa Batu Kerbau serta Dusun Lubuk Telau yang
membawahi Datuk Rangkayo Mulio dan Tiang Panjang[218].
Di Marga Jujuhan, Tempat untuk menyelesaikan persoalan yang disebut Balairung. Struktur
adat ditandai dengan Banjar. Istilah
Banjar menunjuk kepada berbarisnya rumah-rumah yang terdiri dari 2 rumah atau 3
rumah. Kemudian
diikuti kampong, Batin dan Negeri. Di berbagai tempat biasa disebut “kampong betuo,
datuk bebatin dan Raja negeri”. Maknanya adalah setiap putusan baik putusan tuo
kampong, datuk batin dan Raja negeri” harus diikuti oleh masyarakat berdasarkan
tingkatannya[219].
Di
Marga VII Koto, Untuk menyelesaikan persoalan rumit maka dapat menggunakan
kiasan “fajarlah menyingsing. Murailah
bekicau. Kilat beliung lah kekaki. Kilat cermin lah kemuko.
Didalam
menyelesaikan persoalan adat maka harus bijaksana seperti ujaran “anak buayo tegontang-gontang. Anak cigak
dalam perahu. Nak beiyo takut tehutang. Nak beidak oranglah tahu”.
Didalam
struktur masyarakat dikenal “Depati” Diatas Depati disebut Temenggung.
Sedangkan Temenggung dibantu Penghulu Mudo.
Sedangkan
tiga Dusun (Dusun Tuo, Dusun Sukarame dan
Dusun Sogo) dibawah oleh Datuk Temenggung Suto Yudho.
Namun
yang unik. Dusun Tanjung, Dusun Kuamang dan Dusun Cermin Alam mempunyai
struktur di keluarga Ibu. Mereka mempunyai “datuk seibu”. Datuk seibu kemudian
disebut “Mamak”, kemudian “datuk Suku”
Didalam
menyelesaian persoalan dimulai dari berjenjang naik betangkap turun. Dimulai
dari “mamak”. Apabila tidak diselesaikan maka diselesaikan “datuk Suku”.
Sedangkan tidak bisa diselesaikan juga maka diserahkan kepada “Mangku”. Namun
apabila tidak bisa diselesaikan maka kemudian diserahkan kepada negeri”. Proses
ini dapat dilihat dari seloko “tua betengganai, negeri bebatin”
Mangku
terdiri dari “ninik mamak, tuo kampong, cerdik pandai, pegawai syara’.
Didalam
menyelesaian persoalan dimulai dari berjenjang naik betangkap turun. Dimulai
dari “mamak”. Apabila tidak diselesaikan maka diselesaikan “datuk Suku”.
Sedangkan tidak bisa diselesaikan juga maka diserahkan kepada “Mangku”. Namun
apabila tidak bisa diselesaikan maka kemudian diserahkan kepada negeri”. Proses
ini dapat dilihat dari seloko “tua betengganai, negeri bebatin”
Mangku
terdiri dari “ninik mamak, tuo kampong, cerdik pandai, pegawai syara’[220].
Melihat
persoalan yang timbul, maka menggunakan seloko “tumbuh diatas tumbuh. Tegak
kedalam”. Tumbuh diatas tumbuh juga dikenal di Marga Sumay. Sedangkan di Marga
IX Koto disebut “nengok tumbuh”. Sebagaimana seloko “Belum gajah lalu, belum
rumput rendah. Belum enggang lalu, belumlah rantinglah patah”
Pelanggaran
adat dijatuhi denda berdasarkan kesalahannya. Tingkatannya “ayam sekok. Beras
segantang, selemak-semanis, kemudian “kambing sekok, beras sepuluh,
selemak-semanis”, dan yang terberat “kerbau sekok, beras seratus,
selemak-semanis”.
Untuk
menyelesaikan persoalan rumit maka dapat menggunakan kiasan “fajarlah
menyingsing. Murailah bekicau. Kilat beliung lah kekaki. Kilat cermin lah
kemuko.
Didalam
menyelesaikan persoalan adat maka harus bijaksana seperti ujaran “anak buayo
tegontang-gontang. Anak cigak dalam perahu. Nak beiyo takut tehutang. Nak
beidak oranglah tahu”.
Marga
IX Koto[221],
Struktur social di Marga IX Koto terdapat “ninik mamak”. Ninik mamak merupakan
struktur social yang ditunjuk oleh masyarakat.
Dalam
kerapatan adat, ninik mamak terdiri dari Kepala Dusun, orang tua yang bijaksana
yang kemudian disebut “tuo tau”, pemangku agama yang terdiri dari Imam, Khatib
dan bilal. Selain itu terdapat “Debalang Batin”. Debalang Batin merupakan tokoh
Pemuda yang bisa bersifat bijaksana mengikuti pertemuan di Ninik Mamak
sekaligus sebagai “orang yang lincah” untuk mengurusi urusan Dusun.
Debalang
Batin berbeda dengan “kepak rambai hulubalang”. Apabila “kepak Rambai
hulubalang bertugas “memanggil rapat”, menjemput ninik mamak atau pembesar negeri
yang belum datang namun tidak bisa menjadi bagian dari rapat pemangku adat.
Namun
Debalang Batin memang mempunyai fungsi khusus. Selain memastikan seluruh
pemangku adat telah hadir, Debalang Batin juga menjadi bagian dari rapat
pemangku adat. Posisinya sama dengan pemangku adat yang lain.
Begitu
pentingnya posisi Debalang Batin, selain akan melaksanakan putusan rapat adat
juga sebagai “orang kuat gawe” untuk melaksanakan pekerjaan yang membutuhkan
tenaga orang mudo. Debalang Batin bisa menggerakkan untuk meringankan pekerjaan
di dusun.
Selain
itu, Debalang Batin juga bisa berfikir bijaksana didalam rapat pemangku adat.
Dengan
mengikuti sistem kekerabatan matrilineal, maka “urusan keluarga besar”
diserahkan kepada Mamak. Mamak adalah “saudara lelaki dari Ibu” yang kemudian
mengurusi urusan keluarga besar.
Pemangku
keluarga atau “kepala keluarga “sedatuk” dikenal sebagai Tengganai. “Urusan
sedatuk” ini biasa dikenal Di
daerah hulu, kaum biasa disebut juga “kalbu”. Sedangkan di sebagian daerah hilir
Jambi, biasa disebut juga “guguk”.. Sebuah komunitas dari keturunan Ibu.
Sebagaimana menjadi seloko “Anak sekato Bapak. Kemenakan sekato Mamak”.
Setiap
perselisihan di dusun, maka diselesaikan dahulu antara Tengganai. Fungsi
Tengganai sering disebut didalam seloko “rumah betengganai”.
Setelah
itu, maka antara masing-masing pihak yang berselisih kemudian mempertemukan
“mamak” yang kemudian diselesaikan dengan cara “ninik mamak’.
Hubungan
struktur social antara ninik mamak yang didalamnya terdapat “tuo Tau”,
Tengganai, pegawai syarak dengan Debalang batin begitu erat.
Di Marga Sumay,
Di Desa Pemayungan[222],
JENJANG ADAT[223]. Setiap
perselisihan diselesaikan dengan berjenjang naik berjenjang turun (Jenjang
adat) dengan cara seperti Saksi melaporkan Kepada Kelapa Dusun. Kepala Dusun
melaporkan kepada Lembaga adat.Lembaga adat mengumpulkan anggota Lembaga adat
termasuk tuo tengganai, ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai. Lembaga adat
mengadakan sidang adat dengan menghadirkan saksi dan memanggil orang yang
dituduh. Lembaga adat menjatuhkan sanksi.
Bila tidak dilaksanakan sanksi putusan lembaga
adat, lembaga adat melaporkan kepada Kepala Desa.
Di
Desa Muara SekaloCARA MENYELESAIKAN (JENJANG ADAT)[224]Tumbuh
diatas tumbuh. Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang
berjalan dengan air. Setiap persoalan
harus dilihat sebab dan akibat.
Berjenjang naik, bertangga turun. Setiap persoalan
maka disampaikan ke ninik mamak. Ninik kemudian mengundang untuk
menyelesaikannya.
Ayam berpindes, beras segantang, kelapa sejinjing,
selemak semanis. Didalam rapat ditentukan yang bersalah dan dijatuhi sanksi.
Di
Desa Semambu, CARA MENYELESAIKAN[225], Tumbuh diatas tumbuh. Setiap persoalan harus
dilihat sebab dan akibat. Hukum Mendaki, hukum
mendatar dan hukum menurun. Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya.
Setiap persoalan harus dibicarakan dan diberitahukan kepada orang ramai. Berjenjang naik,
bertangga turun. Setiap persoalan maka disampaikan ke ninik mamak. Ninik mamak
kemudian Mangku. Mangku kemudian ke Depati. Depati kemudian mengundang didalam
rapat adat. Didalam rapat adat kemudian ditentukan yang bersalah dan dijatuhi
sanksi. Depati kemudian
melaksanakan putusan adat dan menyampaikan kepada yang bersalah untuk
menjalankan sanksi.
Raja Melangkah maju, Rakyat bersimpuh Kebul.
Apabila sanksi diberikan tidak dapat dipikul untuk membayarnya, maka dapat
diberikan keringanan sesuai dengan kemampuannya.
Di Desa Suo-suo,
Jenjang Adat[226]
Tumbuh diatas Tumbuh. Setiap persoalan harus
dilihat sebab dan akibat. Berjenjang Naik. Bertangga Turun. Setiap
persoalan dilaporkan kepada ninik mamak. Dan hak ninik mamak untuk
menyelesaikannya.
Di Dusun Talang Mamak[227],, Menurut
jenjang adat, Bertangkap naik bertangga turun, proses penyelesaian dimulai dari
keterangan dari masyarakat kepada Menti. Menti kemudian memberitahukan kepada
Mangku. Kemudian Mangku memberitahukan kepada Patih dan Kepala Dusun. Ketiganya
yaitu Patih, Mangku dan Kepala Dusun memanggil Debalang kepada yang dilaporkan
menghadiri sidang adat. Didalam sidang adat kemudian dibicarakan pelanggaran
terhadap masyarakat yang dituduhkan.
Dalam prosesi
pelanggaran adat, maka proses ini didahului dengan Sirih Gambir sebagai tanda
persetujuan untuk disidangkan dan mengikuti sanksi adat.
Ikrar Sirih gambir
mengingatkan berbagai prosesi penyelesaian dan penghormatan hukum adat di Jambi
sesuai dengan seloko “sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang.
Setiap
pelanggaran dimulai dari ayam sekok beras segantang selemak semanis, kambing
sekok beras sepuluh gantang, selemak semanis hingga kerbau sekok, beras seratus
gantang selemak semanis diselesaikan di Dusun Simarantihan. Namun apabila tidak
dapat diselesaikan maka kemudian diserahkan kepada Batin. Batin kemudian
diartikan diserahkan kepada proses hukum.
Tata
cara untuk menyelesaikan perselisihan adat seperti Berjenjang naik,
bertangga turun. Atau “Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya”.
Atau “Tumbuh diatas Tumbuh”
Pranata-pranata
adat seperti Posisi tuo kampung, kepala
Dusun, ninik mamak, Tuo Tengganai, alim ulama, cerdik pandai dan pegawai syara'
merupakan proses yang dilalui untuk menyelesaikan perselisihan adat.
Untuk
membuktikan hubungan antara masyarakat dengan hutan dapat ditandai dengan
ujaran seperti “ke aek bebungo pasir, ke darat bebungo kayu. Ujaran ini
maka dapat membuktikan “masih adanya pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari”.
Dengan
melihat rumusan berdasarkan UU Kehutanan, maka Margo Sumay dapat
mengidentifikasikan sebagai persekutuan masyarakat adat (rechsgemeenschap).
Penyelesaian
perselisihan
Kata-kata
“Tumbuh diatas tumbuh”, “Yang berjalan dengan
air”, atau “Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya”
merupakan nilai-nilai filosofis yang agung.
Tanpa
dipengaruhi oleh hikayat, mitos ataupun cerita yang diterima dari nenek moyang,
harus diakui, didalam melihat segala sesuatu dilatar belakang dengna pemikiran
mistis dan rasional. Dikatakan mistis karena ada beberapa jawaban yang masih
memerlukan kajian yang mendalam. Sedangkan apabila dikatakan rasional apabila
jawaban diberikan, dapat diterima dengan akal pikiran yang rasional.
“Tumbuh diatas tumbuh”, “Yang berjalan dengan air”, atau “Pulai berpangkat
naik. Tinjau Ruas dengan bukunya
adalah nilai filosofis yang fundamental. Dalam bacaan modern, nilai ini
merupakan nilai fundamental (ground norm) dalam pemikiran Hans Kelsen[228]
yang kemudian dapat ditarik menjadi norma-norma yang dapat diterapkan secara
praktis.
Menurut
teori ini, hukum yang lebih rendah dilarang bertentangan dengan hukum yang
lebih tinggi. Azas yang sering digunakan adalah lex superiori derogate lex
inferiori, dan semua hukum yang berada dibawahnya selalu bersumber dan
mengacu pada hukum yang lebih tinggi kedudukannya hingga yang tertinggi yang
disebut Grundnorm. Teori ini telah
menjadi semacam ajaran hukum sehingga disebut lehre (ajaran) yaitu
Rechtsreinelehre. Oleh karena itu, metode yang tepat adalah metode hukum
normative dengan pendekatan undang-undang. Paradigma ini demikian kuat
pengaruhnya hingga bertahan hingga kini dimanapun di dunia ini dan telah
menjadi mainstream.
“Tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai
berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya apabila dilihat dari makna harfiahnya berarti “setiap persoalan
harus dilihat dari sebab perbuatan itu terjadi”.
Sebagai
contoh, sebuah perkelahian yang terjadi, tentu saja harus didengarkan dari
keterangan dua pihak. Mengapa perkelahian itu terjadi. Sebelum dijatuhkan
pidana adat (delik adat)[229]
seperti “menguak daging. Merencong tulang”, harus dipastikan mengapa
peristiwa itu terjadi.
Hukum
adat delik, sebagaimana hukum adat umumnya sebagian besar tidak tertulis. Oleh
karena sebagian besar tidak tertulis, maka cara untuk mensosialisasikan nilai-
nilai dalam hukum adat sebagai landasan filosofisnya digunakan simbol-simbol.
Simbol bukan tujuan melainkan cara untuk mencapai tujuan. Simbol dapat
berbentuk tulisan, ukiran, lukisan, pahatan, patung, arah, gerak,
nyanyian/tembang, drama, atau sendratari. Ada pula simbol itu dalam bentuk
mitos, legenda, atau sage yang menggambarkan tentang perang antara kebaikan –
kejahatan, kepahlawanan – pengkhianatan, atau antara kebenaran – kefasikan.
Tumbuh diatas tumbuh, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai
berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya, sebenarnya berangkat dari teori yang disampaikan oleh von Buri yang
kemudian dikenal Teori hubungan sebab akibat yang biasa dikenal dengan istilah
teori kausalitas (Teori conditio sine qua non). Teori ini pertama kali
dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau
mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak
dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang
menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat).
Tiap
faktor tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor
penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat yang timbul. Tiap factor
diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht) dari
rangkaian faktor-faktor penyebab serta memiliki hubungan kausal dengan
timbulnya akibat.
Teori
conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent
theorie), karena tiap factor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama
dan sederajat. Maka teori Von Buri ini menerima beberapa sebab (meervoudige
causa)
Sebutan
lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” (teori syarat).
Disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan
sebab (causa) tidak ada perbedaan.
Dengan
melihat teori yang disampaikan oleh Von Buri, maka nilai filosofi dari “tumbuh
diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan
bukunya, berangkat dari setiap perbuatan yang
ditimbulkan merupakan akibat dari sebab sebuah peristiwa.
Tumbuh diatas tumbuh, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai
berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya merupakan salah satu nilai fundamental penting yang masih tetap
kukuh dipertahankan masyarakat. Berangkat dari Tumbuh diatas tumbuh, mereka
dapat menyelesaikan masalah yang timbul tanpa harus menghakimi dan memberikan
putusan yang keliru.
Pesan
dari pemberi tanda (sign) yang dimuat
dari rumusan teks merupakan tanda-tanda atau proses “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air”
merupakan tanda (sign) dari perumus
teks.
Teks
didalam peraturan yang disampaikan dalam pertemuan merupakan cara memahami (versterhen) para perumus teks untuk
memberikan tanda sebagai proses tatacara pembukaan hutan.
“tumbuh
diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” merupakan isyarat yang harus dapat diamati
melalui pancaindera. Isyarat yang diberikan merupakan pemahaman kolektif
masing-masing dusun untuk mendukung sistem hukum adat yang sudah berlangsung
lama.
Isyarat
ini telah memenuhi syarat seperti (1) interest yang benar-benar murni, (2)
wujud dari isyarat yang telah baku dan tetap yang telah berlangsung lama (3)
telah dihasilkan sesuai dengan aturan mengadakan interpretasi yang sudah baku
untuk menyampaikan pesan.
Dengan
demikian, maka pesan seperti “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air”,
sebagai interpretasi obyektif dan pemahaman yang kuat[230].
Isyarat
“tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, telah memenuhi proses yang panjang baik
ditinjau dari filologi[231],
kritik[232],
psikologi[233]
dan morfologi-teknis[234].
Isyarat
“tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, pada hakekatnya bersifat normatif yaitu
mengenai keadaan sebagaimana mestinya. Artinya mengaitkan apa spesifik dan
kongkret dengan sesuatu yang bersifat lebih menyeluruh dan abstrak.
Isyarat
“tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” harus diartikan keseluruhan (gestalt/gestaltwithch). Isyarat “tumbuh
diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” tidak boleh ditafsirkan bermakna ganda.
Isyarat
“tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” harus ditafsirkan dapat memenuhi rasa keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan (zweckmagheit). Rumusan isyarat ini
tercapainya kepastian hukum (rechtssicherheit)
bagi semua orang yang membaca isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air”
dalam teks.
“tumbuh
diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” tidak
hanya mengatur yang berkaitan dengan tertib sosial (social order) mengenai tata cara pengelolaan sumber daya alam, tapi
juga penyelesaian sengketa (dispute
settlement). “Tumbuh diatas tumbuh”
dapat digunakan sebagai nilai-nilai yang disepakati didalam melihat dan
menyelesaikan persoalan. Tata cara “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air”
dapat digunakan sebagai pemberian sanksi didalam penyelesaian konflik yang
terjadi.
Dalam
hal inilah “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu
terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, hukum berperan sebagai penetralisasi
penyimpangan-penyimpangan[235].
Hukum diberlakukan melalui proses pelembagaan nilai-nilai yang dianut bersama.
Masyarakatpun kemudian kembali berperilaku menurut pola-pola yang telah
terlembagakan dengan isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air”.
“tumbuh
diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” dapat dibaca sebagai materi yang
dikonstruksikan yang dapat diterima sebagai pandangan yang sejalan dengan
ajaran yang masih diakui sebagai masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap) yang
tetap mengikuti perkembangan jaman, diterima sebagai sistem hukum adat yang
logis dan memperhatikan segi-segi kesederhanaan[236]
Dalam
“tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” dapat dibaca sebagai aliran hukum kodrat[237].
“tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” yang
merupakan simbol yang ditafsirkan sebagai muatan hukum alam (law of nature).
Mengapa
digunakan “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu
terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” sebagai simbol (sign), penulis tidak menemukan jawaban yang memuaskan. “tumbuh
diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” merupakan ajaran yang diwariskan turun temurun.
Tidak ada penjelasan mengapa “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air”
digunakan.
Namun
ketika “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu
terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” dijadikan nilai-nilai yang dirumuskan dan
menjadi pengetahuan kolektif masyarakat, maka “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air”
telah menjadi norma yang berlaku (asas
aliran positivisme)[238].
“Tumbuh diatas tumbuh”, “Lambas, sak sangkut,
takuk pohon” merupakan grundnorm[239]
didalam melihat nilai-nilai terhadap tata cara pengelolaan sumber daya alam.
“tumbuh
diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”adalah
simbol (sign) yang ditangkap
sebagai grundnorm untuk “membaca” teks-teks yang memuat aturan yang berkaitan
dengan pengelolaan hutan.
Dalam
penjelasan yang lain juga disebutkan[240],
metode untuk mengambil cara mempertentangkan dalam teksnya (binary
oppositions), seperti laki-laki/ perempuan, bermakna/tanpa makna, jelas/kabur,
dan sebagainya.
Penelitian
ini membaca kritis komunitas masyarakat adat tanpa pengakuan negara, sejauh
mana perlindungan yang diberikan oleh negara dan bagaimana efektifitasnya di
lapangan. Selain itu, diperlukan logika melalui suatu pengujian jejak, apa yang terlihat dan apa yang tersembunyi.
Suplemen dan membuka tabir teks itu sendiri. Hal ini diperlukan dalam
penelitian untuk melihat koherensi dan inkoherensi pengakuan hukum hak
masyarakat adat.
Hal
ini dipengaruhi oleh cara berfikir ala Jacques Derrida[241],
yang menegaskan bahwa dekonstruksi (pembongkaran) dilakukan sebagai upaya untuk
membuka teks untuk memahami batasan pengertian dan penafsiran.
Dengan
membaca teks dan kontek dilihat dari simbol (sign), maka “tumbuh diatas
tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, merupakan hubungan masyarakat adat dengan
sumber daya alam, lingkungan atau wilayah kehidupannya lebih tepat
dikategorikan sebagai hubungan kewajiban daripada hak
Padahal
Hak atas tanah dan sumber daya alam merupakan salah satu hak paling penting
bagi masyarakat adat sebab keberadaan hak tersebut menjadi salah satu ukuran
keberadaan suatu komunitas masyarakat adat.
Dalam
pandangan E Sumaryono menyebutkan asas-asas kebenaran dan keadilan bersifat
kodrati dan berlaku universal. Kebenaran disebutkan sebagai “Validitas hukum”. Manusia diperbolehkan
membuat hukumnya sendiri (lex humana atau
human law). Hukum harus sah, mengikat dan mempunyai kewajiban sepanjang
dapat menunjukkan konsistensi dengan moralitas[242].
Hukum
adalah aturan perilaku (rule of conduct)
yang mengikat. Dalam arti ini, hukum dikaitkan dengan tindakan manusia yang
diatur dan dikontrol secara formal oleh suatu otoritas dalam masyarakat
Sehingga
teori von Buri ternyata merupakan teori yang universal, rasional dan dapat
digunakan masyarakat didalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Dalam
masyarakat Desa Semambu dikenal dengan hukum mendaki, hukum menurun dan hukum
mendatar. Hukum mendaki contohnya “mencecak
telur, menikam bumi”.
Di
Desa Pemayungan dimulai dari saksi melaporkan kepada Kepala Dusun dan kemudian
melaporkan ke Lembaga Adat. Lembaga adat yang mengumpulkan anggota lembaga adat
seperti tuo tengganai, ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai. Lembaga adat
menjatuhkan sanksi dan Kepala Desa melaksanakan putusan adat.
Di
Desa Semambu selain menggunakan nilai “tumbuh diatas tumbuh” dikenal juga
“Pulai berpangkat naik. Tinjau ruas dengan bukunya”. Berjenjang naik bertangga
turun”. Dimulai dari ninik mamak kemudian ke Mangku[243].
Mangku kemudian ke Depati. Depati kemudian mengundang dalam rapat adat dan ditentukan siapa yang
bersalah dan sanksi diberikan. Depati yang melaksanakan putusan adat dan
menyampaikannya.
Ninik
mamak diselesaikan. Setelah putus runding, maka hasil rindungan kemudian
Barulah keputusan diserahkan kepada Kepala Desa.
Namun
di Desa Suo-suo setiap persoalan dapat diputuskan dalam tingkatan ninik mamak.
Dalam
penjelasan lain disebutkan, bahwa hukum mendaki adalah hukum yang putusannya
harus diselesaikan oleh Depati. Terhadap hukum yang harus diselesaikan oleh
Depati termasuk kesalahan “mencecak telur. Menikam bumi.
Dengan
demikian, maka hukum mendaki sebenarnya adalah hukum yang dijatuhkan oleh
Depati. Bukan kategori dari “mencecak telur. Menikam bumi.
Sedangkan
hukum mendatar adalah hukum yang diputuskan oleh ninik mamak. Hukum ini adalah
sengketa para pihak dimana, tidak dapat diselesaikan di tingkat keluarga.
Sedangkan
hukum menurun adalah hukum yang diputuskan cukup kedua belah pihak semata. Para
pihak yang berselisih dapat menyelesaikan sendiri. Seperti dalam ujaran “Ular
tau dibiso. Rimau tau di belang”[244].
Apabila
dapat diselesaikan oleh kedua belah, maka tidak dapat dimajukan ke ninik mamak
atau kepada Depati. Sebagaimana didalam ujarannya “Berunding sudah tetap.
Kato pertamo ditepati. Kato kedua dicari-cari”.
Terhadap
tanah “sesap jerami, tanaman tunggul”[245],
maka tetap menggunakan nilai filosofi “tumbuh diatas tumbuh”. Hubungan
sebab akibat (causaliteitsleer). Dilihat apakah terhadap pemilik
sebelumnya ada tanaman bekas yang menunjukkan status kepemilikan atau tidak. Tidak
boleh seseorang mengaku-mengaku telah membuka hutan.
Dengan
perumpamaan yang telah disampaikan, maka terhadap laporan terhadap sebuah
peristiwa berangkat dari sebab mengapa perbuatan itu terjadi. Pendekatan inilah
yang kemudian digunakan didalam melihat sebuah persoalan.
Cara
ini menarik. Selain memang ajaran kausalitas
sering digunakan dalam praktek pengadilan, ternyata hukum adat juga menggunakan
pendekatan ajaran kausalitas. Sehingga teori ini selain digunakan dalam praktek
pengadilan yang cenderung positivisme,
teori ini ternyata effektif digunakan dalam konsepsi hukum adat.
Terhadap
sanksi adat, Desa Pemayungan memberikan sanksi cukup berat terhadap pohon
sialang dengan istilah “membuka pebalaian”
yaitu kain putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir,
selemak semanis seasam segaram dan ditambah denda Rp 30 juta.
Muara
Sekalo memberikan istilah “ayam berpindes, beras segantang, kelapa
sejinjing, selemak semanis”. Begitu juga Desa Suo-suo memberikan sanksi
adat “ayam sekok, beras segantang dan selemak semanis”.
Istilah
sanksi adat seperti “membuka pebalaian” yaitu kain putih 100 kayu,
kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam
segaram dan ditambah denda Rp 30 juta merupakan
sanksi adat. Sanksi adat telah mendapatkan perhatian dari berbagai
kalangan.
Fungsi
sanksi adat merupakan salah satu bentuk mengembalikan sengketa baik kepada
pelaku, korban dan kepada alam. Dengan mengembalikan fungsi sanksi adat, maka
alam diharapkan dapat kembali kedalam fungsinya dan melindungi masyarakat.
Dominikus
Rato menyebutkan sebagai “mengembalikan
keseimbangan kosmis”[246].
‘Mengembalikan keseimbangan kosmis’ atau ‘mengembalikan ketentraman
magis’ yaitu: penggantian kerugian-kerugian immaterial dalam berbagai
bentuk seperti paksaan kepada seorang laki-laki untuk menikahi gadis yang telah
dicemari/dihamili; membayar uang adat kepada yang terkena berupa benda sakti (keris,
tombak pusaka, pedang pusaka, dan sebagainya) sebagai pengganti kerugian
rohani; selamatan (ritual) bersih desa; membayar denda penutup malu; hukuman
badan mulai dari pecut hingga hukuman mati; dan pengasingan.
Dalam
uraian yang lain, Prof. Dr. H. Kaelani, MS menjelaskan[247]
“Dalam kosmologis-ekologis ini menunjukkan
kehidupan manusia senantiasa dalam kondisi lingkungan yang tidak terpisahkan
satu dengan yang lain. Manusia haruslah ditempatkan dalam konteks real dan
kongkrit. Unsur dimensi materialis merupakan perspektif manusia yang bersifat
real dan alamiah.
Memahami
manusia berarti menempatkannya dalam konteks kehidupan yang nyata. Dalam
kaitannya dengan alam lingkungannya. Dalam pengertian inilah maka manusia harus
senantiasa membudayakan dirinya dan menyosialisasikan dirinya demi kehidupan
dan meningkatkan harkat dan martabatnya.
Desa
Lubuk Mandarsyah[248],
Kedudukan “induk semang” adalah sebagai “tuo tengganai”
dari anak kemenakan. Kesalahan “anak kemenakan” kemudian harus
diselesaikan oleh “tuo tengganai”. Kesalahan harus dipertanggungjawabkan
baik melalui hukum adat maupun sosial.
Di
Marga Pemayung Ulu[249],
Setiap
dusun dipimpin oleh Penghulu. Penghulu kemudian dibantu oleh Mangku yang
menguasai Kampung[250]. Di
Marga Pemayung Ilir[251],
Sebagai
kekuasaan kerajaan Tanah Pilih, maka Rajo kemudian menyusuri Sungai Batanghari
untuk melihat wilayah Kerajaan Tanah Pilih. Menggunakan perahu yang dikenal
dengan cara “mengayuh mencalang”. Setiap pemberhentian maka diperlukan “kermit”
untuk mengabarkan kampong sebelumnya. Biasa dikenal “kemit”. Di Marga Pemayung
Ulu di Kuap maka telah menunggu pula “kemit” untuk mengayuh perahu (ngayuh
mencalang). Dengan demikian maka Kermit selain bertugas mengayuh perahu (ngayuh
mencalang), kermit juga “pemayung Rajo”.
Kermit
bertugas “disuruh pergi. Dipanggil datang’. Melihat tugasnya maka “Kermit” juga
dikenal sebagai “kepak rambai hululang”. “Menjemput yang tinggal. Mengangkat
yang berat.
Selain
itu dikenal “Debalang rajo’ yang berkedudukan di Dusun Kuap. Orang Kuap
terkenal dengan omongan yang tegas dan keras. Sebagai keturunan “debalang
Rajo”. Debalang Rajo juga bertugas kepada rakyat Jambi “agar bersatu padu.
Untuk masyarakat sejahtera” [252]..
Struktur
Pemerintahan Margo memiliki jenjang sebagai berikut:
- Tengganai sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok yang ada dalam wilayah.
- Punggawo pemimpin wilayah setingkat Kepala Dusun.
- Depati pemimpin wilayah setingkat Kepala Desa.
Pesirah
pemimpin wilayah margo sekarang setingkat Camat.
Batin
IX Ilir (Marga Telik Kamisan Batin 9 Ilir) Struktur Pemerintahan Margo memiliki
jenjang. Tengganai sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok yang ada dalam
wilayah. Punggawo pemimpin wilayah setingkat
Kepala Dusun. Depati pemimpin wilayah setingkat Kepala Desa. Pesirah
pemimpin wilayah margo sekarang setingkat Camat[253].
Desa
Soko Besar[254],
Tata cara proses sidang adat desa sebagai berikut : Tata Cara Sidang Adat : (1)
Pembukaan dilaksanakan oleh Sekretaris Desa, (2) Pembacaan kronologis oleh
Kepala Desa, (3) Kepala Desa memanggil pelapor dan pelapor dipersilakan duduk
dan menyampaikan laporan dan kronologisnya setelah itu dipersilakan untuk keluar,
(4) Kepala Desa menyerahkan kepada Ketua Adat untuk mencari kejelasan tentang
kronologis kejadian, (5) Kepala Desa memanggil terlapor dan terlapor
dipersilakan duduk dan menyampaikan laporan dan kronologisnya setelah itu
dipersilakan untuk keluar,(6) Kemudian dipanggil beberapa saksi yang
disampaikan oleh pelapor dan terlapor untuk diperiksa satu persatu, (7)
Pelapor, terlapor dan para saksi semuanya dipersilakan duduk dalam ruangan
tersebut, (8) Setelah semuanya diperiksa Kepala Desa membacakan pengajuan dan
tuntutan dan uraian yang disampaikan para saksi-saksi tersebut, (9)
Dilaksanakan Tanya jawab bersama peserta sidang baik kepada pelapor maupun
terlapor dan saksi-saksi, (10) Peserta sidang (Ketua Adat, Kepala Desa dan
Pengawai Sya’ra) musyawarah dan mufakat untuk mengambil keputusan tanpa
dihadiri oleh pihak yang bersengketa, (11) Setelah ditemukan kesepakatan baru
disampaikan oleh Kepala Desa dalam sidang tentang hasil keputusan termasuk
penyampaian sanksi dan denda, (12) Setelah keputusan disampaikan baru
dikembalikan kepada Sekretaris Desa. Selanjutnya, makan bersama, dan kedua
belah pihak yang bertikai angkat dulur
(saudara).
Marga
Kumpeh Ilir, Desa Sungai Bungur[255], Setiap perselisihan
yang timbul akibat terlanggarnya “pantang larang” maka diselesaikan dengan
berjenjang (jenjang adat). Bertangkap naik bertangga turun[256].
Dimulai dari laporan Ketua Rukun Tetangg (RT)
kemudian dibawa ke Kepala Dusun. Dari Kepala Dusun kemudian disampaikan ke
Ketua Adat. Dari Ketua Adat kemudian dibawa ke Kepala Desa.
Didalam rapat adat kemudian ditentukan ganti rugi
siapapun yang melanggar pantang larang.
Kepala Desa kemudian melaksanakan putusan rapat
adat. Kepala Desa “Yang berhak untuk
memutih menghitamkan. Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan
berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat.
Di Desa Sogo CARA
MENYELESAIKAN PERSELISIHAN (JENJANG ADAT), Setiap perselisihan yang timbul
akibat terlanggarnya “pantang larang” maka diselesaikan dengan berjenjang
(jenjang adat). Berjenjang naik bertangga turun[257].
Di
Desa Sponjen, Setiap perselisihan yang timbul akibat terlanggarnya “pantang larang”
maka diselesaikan dengan berjenjang (jenjang adat). Berjenjang naik bertangga turun.
Dimulai dari laporan Ketua Rukun Tetangg (RT)
kemudian dibawa ke Kepala Dusun. Dari Kepala Dusun kemudian disampaikan ke
Ketua Adat. Dari Ketua Adat kemudian dibawa ke Kepala Desa.Didalam rapat adat
kemudian ditentukan ganti rugi siapapun yang
melanggar pantang larang.
Kepala Desa kemudian melaksanakan putusan rapat
adat. Kepala Desa “Yang berhak untuk
memutih menghitamkan. Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan
berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat[258].
Di Marga Maro Sebo Desa Rukam Tata
cara menyelesaikan sengketa, Musywarah adat yang di hadiri oleh Ketua adat,
Pemuka agama, Pemerintahan desa, Yang bersengketa, Saksi ahli waris kedua belah
pihak[259].
Marga
Tungkal Ulu[260],
Setiap dusun dipimpin oleh seorang Penghulu atau Demang.
Didalam
menyelesaikan setiap perselisihan, maka diselesaikan oleh pemangku adat yang
disebut Waris nan Delapan. Waris Nan delapan yaitu Waris Aur Duri, Waris Kebun
Tengah, Waris Pulau Ringan, Waris Kuburan Panjang, Waris Gemuruh, Waris
Langkat, Waris Bukit Telang dan Waris Teluk.
Setiap
pemangku Waris dipilih oleh kaumnya sendiri. Di daerah hulu, kaum biasa disebut
juga “kalbu”. Sedangkan di sebagian daerah hilir Jambi, biasa disebut juga
“guguk”.. Sebuah komunitas dari keturunan Ibu. Sebagaimana menjadi seloko “Anak
sekato Bapak. Kemenakan sekato Mamak”.
Di
berbagai tempat, susunan struktur ini biasa disebut “tengganai” sebagaimana
sering disampaikan “rumah betengganai, rantau bejenang, kampong bepenghulu dan
negeri bebatin.
Sebagai
pemangku adat, posisinya begitu penting dan dihormati sebagaimana seloko
“memakan habis. Memancung putus”. Di tangan merekalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan hukum adat dapat diselesaikan.
Dalam
proses penyelesaiannya, maka Pesirah sebagai Pemangku adat marga kemudian
memanggil para penghulu masing-masing setiap dusun untuk menyelesaikannya. Tata
cara memanggil dilakukan oleh Pesirah dengan menyuruh “Kermit”. Kermitlah
menggunakan canang (semacam gong kecil) memanggil kabar kepada seluruh negeri.
Kermit kemudian menyampaikan maksud dari pertemuan yang akan diadakan oleh
Pesirah.
Setelah
diputuskan oleh pemangku adat, maka terhadap sanksi haruslah dilaksanakan.
Pelanggaran atau pengingkaran terhadap sanksi ataupun perundingan tidak dapat
diselesaikan maka diserahkan kepada Pemangku Negeri yang ditandai dengan seloko
“alam berajo, negeri bebatin”.
Di Marga Tungkal Ilir Desa Makmur Jaya[261], Tatacara Penyelesaian, Penyelesaian masalah
yang diterapakan di desa Makmur Jaya ini adalah dengan cara musyawarah
bertahap. Apabila terdapat permasalahandi desa maka yang melakukan kesalahan
akan dibawa ke ketua RT, setelah itu dibawa kepada kepala dusun dan dibawa ke
kepala desa dan para petinggi desa untuk dilakukan musyawarah bersama untuk
mengambil tindakan lebih lanjut[262].
Di
Desa Serdang Jaya, TATA CARA PENYELESAIAN, Pengambilan keputusan untuk
penyelesaian masalah, konfik, dan sengketa dilakukan dengan musyawarah melalui
forum desa dengan dihadiri oleh perangkat desa, Kadus, ketua RT, tetua desa
dan BPD.
Apabila masalah belum dapat diselesaikan dari forum desa maka dapat
dilakukan melalui jalur hukum[263].
Di
Marga Dendang/Sabak Desa Sungai Beras[264], Penyelesaian masalah yang diterapkan di
Sungai Beras adalah dengan cara kekeluargaan, musyawarah berjenjang.
Penyelesaian masalah secara berjenjang yang dimaksud adalah penyelesaian hanya
melibatkan ketua RT dan beberapa tokoh, apabila tidak putus, maka dinaikan ke
Kepala Dusun, selanjutnya Kepala Desa, dan diserahkan kepihak berwajib.
Segala sesuatu diputuskan di Desa, semua potensi
dan kekeyaan yang berada di Desa dan hutan desa di gunakan dalam masyarakat.
Segala pengaturan dibicarakan. “pegi Nampak muka balik Nampak punggung”
Di
Marga Berbak, Untuk menegakkan hukum
adat, masyarakat mengenal “tegur ajar’. Istilah Tegur ajar juga dikenal di
Marga Batin Pengambang. Terhadap kesalahan dijatuhi sanksi adat berupa “kambing
sekok, berat 20 gantang, selemak-semanis” [265].
VIII.
Sanksi
Terhadap
pelanggaran “pantang larang” kemudian dijatuhi sanksi yang dikenal sebagai
“denda adat (Sanksi)”. Sanksi diberikan baik terhadap tanah yang ditinggalkan,
melanggar terhadap pengaturan tentang hutan dan tanah (hukum rimbo dan hukum
patanahan) dan hukuman terhadap ketidakmauan untuk mematuhi sanksi.
Di
Marga Batin Pengambang, Desa Tambak Ratu[266],
dikenal “mengepang”, “belukar tuo”, datang Nampak muko. Pegi Nampak punggung”,
“Nasi putih air jernih”.
Tanah
yang telah ditebang kemudian diberikan tanda dengan kayu berkait (Mengepang). Apabila tidak
dikerjakan selama 3 bulan, maka haknya menjadi hilang. Tanah kembali ke Desa.
Walaupun sudah dikerjakan dengna cara membuat tanda kayu (kayu berkait) namun
apabila tidak dikerjakan selama 3 tahun maka haknya menjadi hilang. Tanah
kemudian kembali ke desa (Belukar tuo).
Sedangkan terhadap masyarakat diluar desa setelah
membuko rimbo melalui prosesi adat “datang Nampak muko. Pegi Nampak punggung”,
namun selama 3 tahun kemudian tidak kerjakan maka tanah kemudian menjadi
hilang. Begitu juga kemudian meninggalkan Desa maka tanah kemudian ditinggalkan
dan menjadi milik desa. Kemudian dikenal “Harta berat ditinggal.
Harta ringan dibawa”.
Di Masyarakat Datuk Sinaro Putih[267]
terhadap pelanggaran seperti tidak memberikan tanda batas, maka pemilik tanah
dapat menikmati hasilnya. Sedangkan apabila telah diberikan tanda maka terhadap
penggarap kemudian dijatuhi sanksi berupa “ayam sikuk, beras segantang, seasam
segaram.
Begitu juga melakukan kegiatan berladang tidak
sompak, kompak dan setumpak, diberikan sanksi sesuai dengan keputusan sidang
adat.
Pelanggaran semakin berat apabila mengambil sumberdaya
alam tanpa memperhatikan kelestarian, merusak sanksinya kambing sikuk boreh duo
puluh kain empat kayu dan seasam segaram.
Sedangkan
melakukan
pemanfaatan sumberdaya alam desa, dan tidak membayar sumbangan untuk desa, yang
bersangkutan akan dikucilkan dari pergaulan sehari-hari. Termasuk juga
mengambil binatang liar yang boleh dimakan dan tidak membaginya
kepada pimpinan adat, maka yang bersangkutan tidak diperbolehkan mengambil
kembali dikemudian hari.
Sanksi lebih berat diberikan apabila kemudian
merusak. Sanksi berupa kobau sikok[268].
Marga
Pemayung Ilir[269],
Terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman”. Istilah “cucuk
tanaman” biasa dikenal dengan penamaan lain seperti di Marga Sungai Tenang
“hilang celak jambu kleko”. Di Marga Sumay dikenal “Lambas’. Di Marga Kumpeh
Ilir dikenal “mentaro”.
Sedangkan
tanah yang telah dibuka harus dikerjakan. Apabila ternyata tidak dikerjakan
maka menurut “pantang larang”, tanah “bebalik ke batin’. Batin kemudian
diartikan sebagai “hak tanah” kembali ke dusun.
Di Marga Kumpeh Ilir, terhadap pelanggaran adat Terhadap pelanggaran
“pantang larang” dijatuhi sanksi berupa ganti rugi yang besarnya ditetapkan
melalui proses adat[270].
Selain itu terhadap tanah yang telah dibuka namun tidak dikerjakan maka dijatuhi
sanksi adat. Berupa “bubur putih.
Setelah diberikan denda adat atau sanksi terhadap
tanah yang tidak dikerjakan maka kemudian sanksi diberikan terhadap pelanggaran
terhadap tanah.
Di Marga Batin Pengambang, Di Desa Sungai Keradak[271],
tingkatan sanksi dikenal “Tegur ajar. Guling Batu”. Tegur Ajar diberikan sanksi
adat seperti “Membuka lahan kebun
orang yang sudah dimiliki. Dan Orang luar yang mengambil hasil hutan tanpa izin
kepala Desa. Setelah dijatuhi sanksi adat kemudian dilaporkan ke pihak keamanan.
Sedangkan
Guling Batu terdiri darI Membuka tempat yang dilarang, Orang luar membuka hutan
tanpa izin dari pihak tuo tengganai, nenek mamak dan membuka hutan tanpa rapat
kenduri.
Desa
batu Empang[272]
dan Desa Simpang Narso[273],
tegur sapa berupa teguran pertama denda beras segantang dan ayam 1 ekor.
Sedangkan Tegur Pengajar berupa teguran kedua jika masih berbuat juga denda
beras 20 dan gantang kambing 1 ekor. Dan Denda Guling Batang, teguran terakhir
denda beras 100 gantang dan kerbau 1 ekor.
Di
Marga Batang Asai Tengah[274],
Tegur
Sapo diberikan terhadap pelanggaran seperti Menumbang pohon yang dilarang,
memburu hewan yang dilarang dan membuka hutan diluar aturan adat.
Tegur Sapo
diberikan terhadap pelanggaran seperti Membuka lahan kebun orang yang sudah dimiliki. Dan Orang luar yang mengambil hasil hutan tanpa izin kepala Desa. Setelah
dijatuhi sanksi adat kemudian dilaporkan ke pihak keamanan. Sedangkan Guling
Batu terhadap pelanggaran seperti Membuka tempat yang dilarang., Orang luar membuka hutan tanpa izin dari pihak tuo tengganai, nenek
mamak dan membuka hutan tanpa rapat kenduri.
Di
Marga Sungai Tenang mengenal denda adat denda adat yaitu beras 20 kambing 1 ekor selemak
semanis
yang dijatuhi
apabila tidak mau mengikuti aturan adat termasuk
dalam mengelola sumberdaya alam di wilayahnya, mako biso kawi
turun ke bumi, padi ditanam ilalalang tumbuh, kunyit ditanam putih isinyo,
harimau maruh sepanjang maso, bahalak turun setiap waktu, air keruh ikannyo
liar, rumput kering kerbaunyo kurus, mencari tidak berulih emas, baumo tidak
mendapat padi, silang sengketo selalu tumbuh, penyakit taa’un dan layao tidak
kunjung henti. Kepala Adat jatuh dipemanjat, hanyut diperenang, disapo oleh pusako maka Kepala Adat
diberhentikan dan diajatuhi sanksi berupa denda dua kali lipat dari penduduk
biasa.
Di
Desa GedangSanksi
Adat [275], Denda adat
berupa “kambing Sekok, beras 20” dan “kambing Sekok, beras 20, mas 4 tail
Separuh.
Kambing Sekok, beras 20,-. Denda
dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang yang membuka rimbo tanpa
sepengetahuan Penghulu. Selanjutnya tidak dibenarkan lagi membuka rimbo.
Sedangkan
kambing
Sekok, beras 20, mas 4 tail Separuh. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20
gantang, mas 4 tail separuh, yang menjual tanah kepada orang luar. Penjualan
dibatalkan dan tanah kembali ke penghulu.
Dan kambing
Sekok, beras 20, mas 4 tail Separuh. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20
gantang, mas 4 tail separuh, yang menjual tanpa sepengetahuan Penghulu/nenek
mamak[276].
Di
Desa Kotobaru[277], sanksi
adat dijatuhkan terhadap pelanggaran
Peraturan Desa kambing Sekok, beras 20,-, selemak-semanis dan uang Rp
2.500.000,[278].
Di Desa Tanjung Benuang dikenal “kambing sekok, beras 20, email 7 tahil
sepaho” dan “beras 2 ayam”.
Kambing Sekok, beras 20,-, emas 7 tail
sepaho. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan uang Rp.
750.000,- Tinggi tidak dikadah, rendah tidak dikutung apabila “yang membuka rimbo tanpa
sepengetahuan Penghulu. Selanjutnya tidak dibenarkan lagi membuka rimbo”, atau
“Menjual tanah kepada orang luar. Sedangkan tanahnya kembali ke penghulu”,
“Membuka hutan padahal tidak ada hak”, “Warga Desa yang sebelumnya berasal dari
luar desa yang memiliki
tanah apabila menjual tanah,
maka jual beli tidak sah. Pembeli
dijatuhi
hukuman. Sedangkan tanahnya kembali ke desa” dan “Tidak melaksanakan putusan
adat”.
Sedangkan
“Beras
2 ayam 2. Denda” dijatuhkan senilai Beras dua gantang dan ayam dua ekor apabila
KATO DAK SERENTAK, RUNDING DAK SELUKUR”
dan “Membuka hutan
bukan pada waktu yang ditentukan[279].
Di
Desa Tanjung Alam Sanksi Adat
berupa
”kambing Sekok, beras 20, batu Rp
500.000,-“. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan Batu emas
senilai Rp 500.00,- Tanah kembali ke penghulu, yang membuka rimbo tanpa
sepengetahuan Penghulu dan “kambing Sekok, beras 20, batu Rp 500.000,-. Denda
dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan Batu emas senilai Rp 500.00,-
Selain itu ditambah “TINGGI TIDAK DIKADAH, RENDAH TIDAK DIKUTUNG. yang menjual
tanah kepada orang luar,
Sedangkan untuk diluar masyarakat, Diusir
dan tanah kembali ke Penghulu[280].
Di Desa Tanjung Mudo Hukuman adat dijatuhi
Kambing Sekok, beras 20, batu Rp 500.000,-. Denda dijatuhkan Seekor Kambing,
Beras 20 gantang dan Batu emas senilai Rp 500.00,- Tanah kembali ke penghulu.
Sedangkan untuk diluar masyarakat, Diusir
dan tanah kembali ke Penghulu[281].
Di Marga Senggrahan Desa Durian Rambun,
sanksi diberikan seperti “menjual kawasan hutan adat” dengan sanksi yang berat
yaitu denda
1 ekor kerbau, 100 gantang beras, 100 buah kelapa, serta selemak semanis dan
lahan penjualan dikembalikan ke masyarakat adat durian rambun”, ”penebangan
liar di kawasan hutan adat dengan maksud untuk menjual kayu hasil tebangan
tersebut di dalam kawasan Hutan adat”, ”merambah Hutan Adat”. Merambah hutan
adat juga ditambah dengan denda uang sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta) per
hektar serta kawasan tersebut dikembalikan ke masyarakat adat durian rambun.
Denda kambing, 20
gantang beras, 20 buah kelapa dan selemak semanis terhadap pelanggaran seperti
mengambil hasil hutan tanpa izin”, ”mengambil tanaman manau dan menebang
tanaman buah-buahan di kawasan hutan adat, ” meracun ikan dan dengan alat lain
yang merusak ekosistem ikan pada kawasan hutan adat”, ”menutuh” petai, ” berburu memburu rusa,
kijang dan satwa yang dilindungi
Bahkan hasil manau di kembaikan ke masyarakat adat durian
rambun.
Apabila ketentuan
sanksi tidak dapat dilaksanakan maka pelaku pelanggaran akan diajukan ke hukum
Negara oleh Kepala desa setelah mendapat
laporan dan masukan dari Lembaga adat[282].
Marga
VII Koto[283], Pelanggaran adat dijatuhi
denda berdasarkan kesalahannya. Tingkatannya “ayam sekok. Beras segantang, selemak-semanis, kemudian “kambing sekok, beras sepuluh,
selemak-semanis”, dan yang terberat “kerbau
sekok, beras seratus, selemak-semanis” [284].
Terhadap
pelanggaran yang tidak mau dibayar maka dikenal “keras tidak tertarik. Lembut dak tesidu. Cacah dalam tekurung. Buanglah
ke arus yang mendengung. Buanglah ke bungkul nan piawai. Digantung dak betali. Berbantal bane.
Bebapak kepada rimau. Beinduk kepada Kuaow. Menyerahkan buntang kepada Langau[285]”
Di
Marga Sungai Tenang dikenal “Plali”.
Seloko “Bapak
pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo.
Namun apabila kemudian ”sang kena denda”
meminta maaf dan mau membayar denda, maka harus dilakukan upacara adat untuk
menyelesaikannya.
Karena ”Raja
tidak boleh menolak sembah. Teluk dak boleh nolak limpahan kapar
Terhadap pelanggaran yang tidak mau dibayar maka
dikenal “keras tidak tertarik. Lembut dak tesidu. Cacah dalam tekurung. Buanglah
ke arus yang mendengung. Buanglah ke bungkul nan piawai. Digantung dak betali.
Berbantal bane. Bebapak kepada rimau. Beinduk kepada Kuaow. Menyerahkan buntang
kepada Langau.
Di
Marga Pemayungan Desa Pemayungan[286],
“Tidak boleh menebang hutan keramat (Tanah penggal,
Bulian berdarah, Bukit Selasih, Pasir embun). Sanksinya kain putih 300 kayu,
kerbau tiga, beras 300 gantang, kelapa 300, selemak semanis seasam segaram,
kayu dikembalikan ke desa, diusir dari kampung dan dilaporkan kepada Polisi[287].
Muara
Sekalo[288], Ayam berpindes, beras segantang, kelapa sejinjing,
selemak semanis. Didalam rapat ditentukan yang bersalah dan dijatuhi sanksi.
Desa
Semambu[289], Kerbau sekok, beras 100 gantang, selemak semanis,
hukum Depati apabila menebang Pohon sialang.
Hilang mati. Tidak usah diurus apabila membuka hutan tanpa pemberitahuan
kepada penghulu. Raja Melangkah maju,
Rakyat bersimpuh Kebul. Apabila sanksi diberikan tidak dapat dipikul untuk
membayarnya, maka dapat diberikan keringanan sesuai dengan kemampuannya.
Desa Desa Suo-suo Sanksi[290] Sanksinya
adalah ayam sekok, beras segantang dan selemak semanis.
Di
Dusun Talang Mamak Simarantihan[291],
Terhadap pelanggaran adat dikenal sanksi berupa ayam sekok beras segantang
selemak semanis, kambing sekok beras sepuluh gantang, selemak semanis dan
kerbau sekok, beras seratus gantang selemak semanis.
Gantang terdiri dari 4
cupak. Satu cupak terdiri dari 3 canting. Sehingga satu gantang adalah 12
canting. Ganting adalah takaran beras seukuran kaleng susu. Masyarakat mengenal
pengukuran kaleng susu sebagai takaran besar. Kaleng susu adalah kaleng sebagai
wadah susu kental yang sudah lama dipergunakan di pelosok-pelosok Jambi.
Selain
itu dikenal Selendang matahari, timban tasik (piring) dan tongkat bumi
(tombak). Setiap pelanggaran harus mencantumkan selendang matahari, timban
tasik dan tongkat bumi.
Marga
Pemayung Ilir[292], Terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai
“cucuk tanaman”. Istilah “cucuk tanaman” biasa dikenal dengan penamaan lain
seperti di Marga Sungai Tenang “hilang celak jambu kleko”. Di Marga Sumay
dikenal “Lambas’. Di Marga Kumpeh Ilir dikenal “mentaro”.
Sedangkan
tanah yang telah dibuka harus dikerjakan. Apabila ternyata tidak dikerjakan
maka menurut “pantang larang”, tanah “bebalik ke batin’. Batin kemudian diartikan
sebagai “hak tanah” kembali ke dusun.
Di
Marga Kumpeh Ilir, Desa Sungai Bungur Sanksi[293] dijatuhkan Terhadap
pelanggaran “pantang larang” dijatuhi sanksi berupa ganti rugi yang besarnya
ditetapkan melalui proses adat
Tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling
lama 3 tahun. Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami
maka akan dijatuhi sanksi adat berupa bubur putih.
Di Desa Sogo Terhadap pelanggaran “pantang larang”
dijatuhi sanksi berupa ganti rugi yang besarnya ditetapkan melalui proses adat[1].
Di Desa Sponjen “Terhadap pelanggaran “pantang
larang” dijatuhi sanksi berupa ganti rugi yang besarnya ditetapkan melalui
proses adat. Tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun.
Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami maka akan
dijatuhi sanksi adat berupa bubur putih[294]
Didalam
Marga Maro Sebo Desa Rukam “Menempuh yang besawah atau merubah sebuah keputusan
mengorak yang bereboh[295].
Marga
Tungkal Ulu[296],
Pengingkaran terhadap sanksi ditandai dengan seloko “digantung tinggi, dibuang jauh”. Di tempat lain sering juga
disebut didalam seloko “tinggi tidak
dikadah. Rendah Tidak dikutung”. Seloko ini dapat dijumpai di Marga Luak
XVI di hulu Kabupaten Merangin yang sering disebutkan “Plali” sebagaimana seloko ”Bebapak
pado harimau, Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”. Dalam bahasa sehari-hari sering juga disebut
“orang buangan’. Orang yang tidak perlu diurus di kampong karena tidak mau
menaati sanksi yang telah dijatuhkan.
Sedangkan
Proses yang kemudian diserahkan kepada Rajo atau pemangku Batin sering
disebutkan didalam seloko “Gajah yang
begading. Rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh”.
Di
Marga Tungkal Ilir Desa Serdang Jaya[297].
Sanksi Areal Parit Cabang yang terletak di RT 12 Desa Makmur Jaya tidak boleh
diperjual-belikan, Terhadap penjualan
tanah di Parit Cabang RT 12 Desa Makmur Jaya maka tanah dikembalikan kepada
Tanah Kas Desa Makmur Jaya, Sedangkan terhadap penjual maupun pembeli dijatuhi
sanksi oleh masyarakat. Selain itu akan dilaporkan kepada proses hokum[298].
Desa
Makmur Jaya[299] SANKSI Wilayah Hutan Lindung Gambut (HLG)
yang berada di Dusun Sri Menanti Desa Serdang Jaya tidak boleh diperjulan
belikan. Apabila terdapat proses jual
beli di wilayah HLG maka hak atas tanah tersebut dikembalikan ke pemerintah
Desa Serdang Jaya. Pembeli maupun
penjual tanah di HLG akan diberikan hukuman oleh masyarakat. Apabila lahan yang telah dibuka namun tidak
dikelola selama 5 tahun, lahan tersebut statusnya dikembalikan ke desa[300]..
Di
Marga Sabak/Dendang, Desa Sungai Beras, Berdasarkan kesepakatan, zona lindung harus
dilindungi dan tidak boleh dirusak, sanksi bagi
pelanggar akan diserahkan kepada pihak berwajib. Bagi lahan yang telah
terlanjur digarap oleh masyarakat yang berada pada kawasan hutan tidak
diizinkan melakukan perluasan, untuk pemanfaatan tanaman perkebunan
seperti sawit diizinkan satu periode,
nantinya diaharuskan mengganti dengan tanaman kehutanan.
Sama halnya dengan satwa dan tanaman yang
dilindungi dilarang untuk ditangkap, bagi pelanggarkan akan diserahkan kepada
pihak berwajib guna diproses secara hukum dengan acuan undang-undang
perlindungan satwa yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Terhadap pelanggar
yang memasuki Hutan Desa tanpa izin dapat dikenakan sanksi Undang - Undang
Kehutanan. [301]
Dan
di Marga Berbak Untuk menegakkan hukum adat, masyarakat mengenal “tegur ajar’.
Istilah Tegur ajar juga dikenal di Marga Batin Pengambang. Terhadap kesalahan
dijatuhi sanksi adat berupa “kambing sekok, berat 20 gantang, selemak-semanis” [302].
Selain
itu terhadap penjatuhan sanksi adat atau denda adat kemudian tidak dipatuhi
maka dikenal “plali’. Yang ditandai dengan Seloko seperti Bebapak Kijang.
Berinduk Kuaw. Apabila putusan telah dijatuhkan, maka tidak bisa dilaksanakan,
maka tidak perlu diurus didalam pemerintahan desa (Marga Batin Pengambang).
Di
Marga Sungai Tenang kemudian juga dikenal Pelalo Rendah. Kalau tidak mau tunduk
hukuman yang yang dijatuhkan Kepala Adat, maka dijatuhkan hukum pelalo
rendah, yaitu : tinggi tidak dikadah, rendah tidak dikutung, bebapak kepado
harimau beindok kepado gajah bekambing pado kijang beayam pado kuwao, maka sejak saat itu
yang melakukan perbutan dikeluarkan dari tanggung jawab Kepala Adat, tidak
boleh penduduk lain berkunjung kerumahnya kalau ado orang yang datang orang
tersebut dihukum, kalau sakit tidak boleh dibesuk kalau dibesuk yang membesuk
dihukum, kalau kawin tidak ado orang yang mau ngurus, kalau mati pegawai syara‟
yang menyembahyangkan dan dikuburkan sendiri oleh keluarganya.
Pengingkaran
terhadap sanksi ditandai dengan seloko “digantung
tinggi, dibuang jauh”. Di tempat lain sering juga disebut didalam seloko “tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung”.
Seloko ini dapat dijumpai di Marga Luak XVI di hulu Kabupaten Merangin yang
sering disebutkan “Plali” sebagaimana seloko
”Bebapak pado harimau, Berinduk pada
gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”. Dalam bahasa sehari-hari sering juga disebut
“orang buangan’. Orang yang tidak perlu diurus di kampong karena tidak mau
menaati sanksi yang telah dijatuhkan[303],.
Sedangkan
Proses yang kemudian diserahkan kepada Rajo atau pemangku Batin sering
disebutkan didalam seloko “Gajah yang
begading. Rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh”.
IX.
Hilangnya
hak terhadap tanah.
Di Di Desa Baru Pelepat,
Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau[304],
lahan tidak diberi
tanda batas dan dikerjakan oleh orang lain, maka tidak ada sanksi bagi yang
mengerjakan tersebut.
Di Marga Sungai Tenang, Desa Tanjung Mudo dikenal Setiap Kepala Keluarga hanya boleh membuka 1 ha
dan harus ditanami selama 2 tahun. Apabila tidak ditanami, maka kembali kepada
Penghulu. Selain itu juga dikenal Harta
berat ditinggal, harta ringan dibawa pergi Apabila pemilik tanah pergi
meninggalkan Desa dan mencari kehidupan diluar Desa, maka tanah berasal dari
Rimbo yang telah dibuka maka menjadi hak milik. Sedangkan sesap jerami kembali
ke penghulu[305].
Tanah di Lubuk Mandarsyah
Dalam penguasaan tanah dan pembukaan hutan, setiap keluraga diberikan
dengan membuka lebar 25 meter dan panjang 100 meter atau istilah dikampung
dinamakan dengan “tapak”. Sedangkan
untuk areal pertanian dan perkebunan harus berada di belakang permukiman
penduduk[306].
Lubuk
Mandarsyah termasuk kedalam Marga Petajin Ilir berpusat di Sungai Bengkal.
Marga Petajin Ilir berbatasan dengan Marga Maro Sabo Ulu dan Marga Tungkal Ulu
yang ditandai dengan batas alam “bukit bakar’[307].
Marga Petajin Ilir termasuk kedalam Kabupaten Tebo. Marga Tungkal Ulu termasuk
kedalam Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Dengan
demikian maka terhadap “hak atas tanaman” tidak dapat berlaku untuk tanah.
Nilai ini kemudian dikenal “kabau pai.
Kubangan tinggal”.
Konsep
ini tidak berbeda di Jambi. Di Desa Tanjung Alam[308],
Merangin, prosesi diterima “anak nagari” sebagai “baangku mamak” dimulai
prosesi dari Seloko seperti “Dimana bumi dipijak,
disana langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah”, “Mencari induk semang”, “Nasi putih air
jernih”.
Dimana
bumi dipijak, disana langit dijunjung.
Dimana air disauk, disana ranting dipatah. Setiap
pendatang yang masuk ke Tanjung Alam harus Memenuhi persyaratan administrasi
kependudukan, mengikuti segala hukum adat dan bersedia melaksanakan hukum
adat Desa Tanjung Alam,
Mencari
induk semang. Harus Tinggal di tempat Induk Semang
selama 6 (enam) bulan,
Nasi putih air jernih. Masuk petang, keluar
pagi.
Kemudian induk
semang mengabarkan kepada Kepala
Desa dan mengadakan rapat
adat dengan membawa nasi putih
dan air jernih.
Dengan demikian maka prosesi “baangku
mamak” dapat dipadankan “Dimana bumi dipijak,
disana langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah”, “Mencari induk semang”, “Nasi putih air
jernih”.
Sehingga “anak nagari” yang membayar uang
adat “baangku mamak”’ dipadankan
“mencari induk semang”. Maka prosesi “adat diisi. Limbago dituang” dipadankan
“nasi putih air jernih”.
Sebagai “anak nagari” atau orang yang
“mencari induk semang” maka apabila meninggalkan nagari atau Desa tidak
dibenarkan membawa hak atas tanah.
Prinsip ini kemudian dikenal “Kabau Pai. Kubangan tinggal”. Atau
“Kabau Tagak. Kubangan tinggal”[309]
Prinsip ini juga dikenal di Desa Tanjung
Alam. “Harta berat ditinggal, harta
ringan dibawa”.
Harta berat ditinggal, harta ringan dibawa
pergi adalah hasil / harta dari pencarian selama hidup (tanah, kebun dan sawah
adalah harta berat, pakaian, perhiasan dan perabotan adalah harta ringan).
Dalam materi hukum adat, Tanah ditempatkan sebagai harta pusaka tinggi.
Harta yang tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli waris. Hanya boleh dibagikan
apabila mayik
tabujua di tangah rumah, gadih gadang alun balaki, rumah gadang katirisan,
mambangkik batang tarandam.
Penghormatan terhadap
tanah dikuatkan berdasarkan Peraturan Daerah Sumatera Barat No.16 Tahun 2008 (Perda No. 16 Tahun 2008)[310] yang menyebutkan “tanah
ulayat”, “tanah ulayat nagari”, “tanah ulayat suku”, “tanah ulayat kaum”,
“tanah ulayat Rajo”. “Tanah ulayat nagari”, tanah ulayat suku” dan “tanah
ulayat kaum” disebut sebagai “tanah pusako tinggi”.
Bahkan ditegaskan
“penyerahan hak ulayat” berkaitan dengan “system bagi hasil’. Dengan
berakhirnya “hak atas tanaman” maka “hak ulayat” kembali kepada pihak tanah
ulaya semula[311].
Dengan demikian maka “anak nagari” yang
mendapatkan tanah untuk “ditanami” dengan system “siliah jariah’ adalah
berkaitan dengan “hak atas tanaman
tumbuh’. Bukan pembayaran “uang adat’ sebagai “peralihan hak atas
tanah’.
X.
Kebendaan
Istilah tanah pemberian
dikenal di Desa Rukam, Marga Jebus dan Marga Maro Sebo.
Didalam tutur di tengah masyarakat[312],
semula wilayah Dusun Rukam “tali begawe dan jejawi bebaris”. Namun terjadi persengketaan
dan perselisihan antara masyarakat Marga Jebus dengan Marga Maro Sebo yang
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa terhadap masyarakat Marga Maro Sebo yaitu
masyarakat dusun Muaro Jambi.
Kejadian ini dapat di selesaikan
secara adat di tingkat marga maka dengan membayar secara aturan adat, dengan
harus mengembalikan sebagian ujung ulu rukam ke wilayah marga muar sebo “pampas bangun”, yang berbunyi ‘wilayah marga
jebus bergeser ke hilir dari jejawi bebaris hingga ke rengas Sembilan sialang
danau arahan’ (kanan mudik). Sedangkan kiri mudik
Tali gawe kemudian bergeser Olak Sirih sekapur. Tanah yang diberikan kemudian
dikenal sebagai “Tanah Pampas Bangun Dusun Rukam”. Tali Gawe dan jejawi bebaris
kemudian dikenal sebagai Ulu Rukam dalam Marga Jebus.
Pemberian tanah kepada masyarakat
dari pemangku Marga juga terjadi di berbagai tempat. Di Marga Sungai Tenang
dikenal istilah seperti “Tanah
Pungguk 6. Belalang Lubuk Pungguk. Yaitu tempat menunjukkan Kotorawang’[313].
Koto Rawang penduduknya berasal dari Lubuk Pungguk yang termasuk kedalam
Pungguk 9. Sedangkan wilayah diberikan oleh Pungguk 6. Dikenal dengan
istilah “Tanah Pungguk 6, Belalang Lubuk Pungguk. Lubuk Pungguk termasuk kedalam Pungguk 9
Sedangkan untuk masyarakat
diluar Marga Sungai Tenang dikenal di Dusun Renah Alai merupakan masyarakat
yang berasal dari dusun yang termasuk kedalam Marga Serampei. Kemudian pindah
ke Inum Pendum yang termasuk kedalam Marga Sungai Tenang. Dusun Inum Pendum
kemudian menggunakan nama Renah Alai. Renah Alai kemudian masuk kedalam Marga
Serampas.
Sedangkan untuk Dusun Tanjung Alam dikenal Seloko
“dan Dusun Tanjung Mudo yang dikenal dengan istilah “tanah Irung, Tanah gunting[314].
Atau dengan istilah “mengirung dan mengunting tanah Koto Sepuluh”. Masyarakat Pungguk Sembilan Tanahnya merupakan
pemberian Koto Sepuluh yang kemudian disebut dengan “Belalang Pungguk Sembilan Padang Koto Sepuluh”.
Tanah Irung Tanah Gunting
berdasarkan tembo : “muaro sungai titian teras di sungai sirih (sungai
tembesi sekarang), peradun limau keling (mudik tanjung alam), terus ketanah
genting, pauh belepang, dusun talang lengis, laju ke muaro sungai matang di
sungai sirih mudik ke sungai sirih”.
Istilah “tanah 10 Koto”
dan “padang Koto 10” atau “Tanah
Pungguk 6” mempunyai makna sama. Yaitu tanah sebelumnya punya Koto 10 atau
tanah milik Pungguk 6. Tanah itu kemudian diberikan kepada masyarakat yang
berasal dari Pungguk 6 (Tanah Koto 10,
belalang Pungguk 6” atau “Belalang Pungguk 6. Padang Koto 10) atau pungguk
9 (tanah Koto 10, belalang pungguk 9”.
Atau “Belalang Pungguk 9. Padang Koto 10). Begitu juga di Koto Rawang.
Tanah Milik pungguk 6 namun masyarakat berasal dari Dusun Lubuk Pungguk yang
termasuk kedalam Pungguk 9 (Tanah Pungguk
6, Belalang Lubuk Pungguk). Selain itu juga dikenal istilah ““tanah ujung Batin” dan “4
tanah lembak.
Dalam himbauan dari Raja Jambi, melihat pemukiman di sekitar
bawah Gunung Masurai yang masih sepi, maka Penduduk dari Serampas kemudian
turun untuk menghuni kawasan di bawah Marga Serampas. Biasa dikenal dengan
istilah Tanah Pembarap.
Dusun-dusun yang termasuk kedalam
Tanah Pembarap seperti Tanjung Asal, Dusun Durian Mukut, Peraduan Temeras, Air
Lago, Badak Terkurung, Rantau Pangi, Pulau Raman, Sekancing, Dusun Baru Padang
lalang, Rantau Limau Kapas, Muara Inum,
Menurut Zakaria, Asnawi didalam
bukunya Rimbo Bujang Dalam Angka,
Di saat program Transmigrasi tahun 1975[317]
mulai dibuka, maka membutuhkan areal seluas 100.000 hektar. Semula ditempatkan di daerah Rantau Ikil.
Namun wilayah dibutuhkan tidak mencukupi sehingga dipindahkan ke daerah Rimbo
Bujang sekarang.
Secara spontan maka Marga IX
Koto kemudian memberikan wilayahnya yang dikenal daerah “Sungai Alai”. Daerah
ini kemudian dikenal sebagai daerah yang terletak Rimbo Bujang Unit 1, Unit 3,
Unit 8 dan Unit 13. Kemudian menyusul Marga Tanah Sepenggal memberikan tanahnya
yang kemudian dikenal Rimbo Bujang Unit 11, Marga Batin III yang kemudian
dikenal daerah Rimbo Bujang Unit 7, Marga Bilangan V Tanah Tumbuh yang dikenal
Rimbo Bujang unit 12 dan Marga Batin II Babeko di daerah Sungai Alai dan Alai
ilir.
Pertemuan Batas Marga IX Koto
dengan Marga II Babeko kemudian ditandai dengan penyebutan “Sungai Alai” di
Marga IX Koto dan di Marga II Babeko di daerah “Alai Ilir”. Sungai Alai juga
merupakan batas administrasi wilayah Kabupaten Tebo dan Kabupaten Bungo.
Sumbangan dari Marga IX Koto
kemudian diikuti dengan Marga Tanah Sepenggal, Marga Bilangan V, Marga
Batin III, Marga Batin II Babeko
memberikan kemajuan di wilayah Rimbo Bujang sehingga memberikan income yang
cukup besar terhadap Kabupaten Tebo.
XI.
Hapusnya
Tanah
Dalam
pendekatan sosiologi, kekerabatan masyarakat Melayu Jambi berangkat dari
pendekatan Teritorial. Kekerabatan yang dibangun dalam suatu wilayah.
Seloko
seperti “datang Nampak muko. Balek Nampak punggung” membuktikan masyarakat
Melayu Jambi terbuka terhadap kedatangan masyarakat (semendo). Sebelumnya sang
pendatang harus mencari “induk semang” sebagai tempat tinggal dan kekerabatan sehingga
kedatangannya tidak meresahkan.
Prosesi
setelah “datang Nampak muko. Balek Nampak punggung” membuktikan prosesi
mendatangi pemimpin adat dan “meminta izin” kepada pemangku adat. Setelah
melalui proses “datang Nampak muko. Balek Nampak punggung”, maka sang induk
semang kemudian memanggil orang sekampung untuk mengabarkan “anak kemenakan”
yang datang dan hendak hidup di kampong.
Setelah
mengalami prosesi waktu yang ditentukan (biasanya 6 bulan hingga 12 bulan),
orang kampong mengetahui “anak kemenakan” sudah pantas “begawe”, maka “induk
semang” kemudian mengundang “nasi putih. Air jernih”. Prosesi “nasi putih. Air
jernih” adalah prosesi penerimaan orang kampong terhadap kedatangan dari “anak
kemenakan”.
Dengan
dilalui prosesi “nasi putih. Air jernih” maka sang pendatang kemudian “berhak”
mendapatkan hak yang sama dengan seluruh masyarakat di kampong. Termasuk berhak
untuk dipilih menjadi pemangku Desa dan terhadap tanah.
Di
Bungo, pemangku Desa merupakan putra asli daerah dikenal istilah “Rio. Sedangkan
“Depati” adalah Pemangku Desa “urang semendo”.
Dalam seloko kemudian dikenal “belukar tuo”, “belukar lasah”, sesap rendah
jerami tinggi”, “mati tanah. Buat tanaman”, “tunggul pemarasan, empang krenggo,
atau “larangan krenggo”. Tanah yang
kemudian tidak digarap, maka akan hilang.
Atau apabila sang pendatang kemudian
meninggalkan kampong, maka hak terhadap tanah kemudian menjadi hilang, Seloko
ini biasa dikenal “harta berat ditinggal. Harta berat dibawa’. Dengan demikian
maka hak terhadap tanah tidak melekat kepada sang empu yang menggarap tanah.
Tema tentang “daluwarsa” menimbulkan
perbedaan pandangan baik didalam teoritis maupun dalam praktek
perundang-undangan.
Tema
tanah dan surat tanah menimbulkan persoalan di tengah masyarakat. Membicarakan
tanah dan surat tanah adalah dimensi terpisah.
Didalam
19 ayat (2) UU Pokok-pokok Agraria (UUPA) “pendaftaran
tanah diakhiri dengan pemberian surat-surat tanda bukti hak. Ketentuan ini
kemudian diperkuat didalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah.
Menggunakan
penafsiran “Penafsiran terbalik (a
contrario)” maka terhadap “seseorang” yang tidak mempunyai surat-surat maka
tidak mempunyai hak terhadap tanah.
Sesat
pikir ini melambangkan asas “domein verklaring”. Negara kemudian
menganggap sebagai “tanah liar (woeste grond).
Didalam “agrarische wet” staatblaad
1874 disebutkan sebagai tanah liar adalah pribumi tidak menerapkan hak-hak
berasal dari pembukaan lahan (ontginningrecht) sehingga kemudian termasuk tanah
negara (staatdomein). Asas ini dikenal asas “domein verklaring”. Tanah liar (woeste grond) berupa tanah hutan,
tanah liar, tanah terpakai, tanah tidak dibudidayakan atau tanah kosong.
Padahal tanah mempunyai hak milik
komunal (beschikhingrecht).
Dengan menganggap tanah liar (woeste
grond) maka kemudian tempat-tempat dikuasai oleh negara. Asas domein verklaring” kemudian dicabut oleh UUPA.
Namun yang sering dilupakan adalah
pasal 5 UUPA. Pasal 5 UUPA menyebutkan “Hukum
agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang- undang ini dan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya, segala sesuatau dengan mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama.
Kalimat
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hokum
adat..” menegaskan Hukum agraria (termasuk hokum tanah) adalah “hokum adat”.
Saleh Adiwinata kemudian menyebutkan “pemisahan horizontal dalam seluruh bidang
hokum mengenai tanah.
Dengan demikian terhadap pemilik tanah walaupun
tidak mempunyai sertifikat hak milik tanah tidak dapat dikategorikan tidak
mempunyai hak atas tanah. Pendaftaran tanah harus bersifat “stelsel pasif”.
Negara harus mengakui hak milik tanah berdasarkan Pasal 5 UUPA.
Selain itu terhadap pemilik tanah harus menanam dan
merawat tanah. Dengan waktu tertentu apabila tidak merawat tanah maka hak milik
tanah kemudian menjadi hapus.
Hak milik tanah melekat kepada tanah. Tanah harus
berfungsi. Tanah tidak dapat mengikuti pemilik tanah. Sebagaimana seloko “harta
berat ditinggal. Harta ringan dibawa”.
Putusan MA no. 172 K/Sip/1970
menyebutkan MA tidak mengakui adanya hapusnya tanah (daluarsa). Ter Haar
kemudian membantahnya “In verschillende
rechtskringen zijn inheemse rechtstemen bekend, die het begrip weergeven van te
lang geleden, door tijdsduur verstroebeld
en daarom voorbijk ranan kotor (Karo – Batak), prakara lama (Toha –
Batak) Kedaularsa (Javaans)”. Dalam
berbagai lingkungna hokum dikenal istilah-istilah hokum adat yang mengandung
makna lewat waktu sudah menjadi kabur karena lamanya sudah lampau “ Ranan kotor
(Batak – Karo), prakara lama (Batak – Toba), kedauarsa (Jawa).
Bantahan Ter Haar kemudian diperkuat
oleh Van Vollenhoven “hukum adat adalah hukum asli sekelompok
penduduk di Indonesia yang terikat karena hubungan geneologis (kesukuan) atau
territorial (desa)[318]
Padahal dengan melihat seloko “belukar tuo”, “belukar lasah”, “sesap rendah
jerami tinggi”, “mati tanah. Buat tanaman”, “tunggul pemarasan”, “empang
krenggo”, “larangan krenggo” membuktikan
hak masyarakat terhadap tanah kemudian dikenal daluarsa. Putusan MA justru
mengakui tentang daluarsa. Putusan MA No. 348 PK/Pdt/2011, Putusan MA No. 622
K/Pdt/2012 dan Putusan MA No. 410 K/Pdt/2011 dan Putusan MA No. 979/K/Sip/1971.
Lihatlah putusan MA No. 210
K/Sip/1955 “Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima,
oleh karena para Penggugat dengan mendiamkan soalnya sampai 25 tahun harus
dianggap menghilangkan haknya (rechtverwerking)”.
Atau Putusan MA No. 329/K/Sip/1957 “Di Tapanuli Selatan, apabila
sebidang tanah yang diperoleh secara merimba, selama 5 tahun berturut-turut
dibiarkan saja oleh yang berhak, maka hak atas tanah dianggap telah dilepaskan
..
Dengan demikian maka tidak ada
kemutlakan hak kepemilikan terhadap tanah.
[1] Riset Walhi Jambi, 2013, Hal.
31
[2] Riset Walhi Jambi, 2013, Hal.
36
[6] Sebelum dimekarkan menjadi
Kabupaten Sarolangan dan kabupaten Merangin
[17] Suak dikenal sebagai “Sungai
Mati”. Menunjukkan sungai yang tidak mengalir . Desa Sungai Beras, 10 Februari
2018.
[18] Hasil Riset Walhi, 2016
[25]
Lupak merupakan danau yang tercipta dengan sendirinya dari proses alam. Sedangkan pendanauan adalah genangan air
berupa danau. Sesap adalah belukar yang baru ditinggalkan. Sedangkan belukar adalah semak yang sudah lama
ditinggalkan namun masih terdapat tanaman tua seperti durian, macang, jengkol.
Peninggalan dari “puyang’. Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai, Dusun
Semerantihan, 24 September 2016
[28] Zulkifli, Birun, 7 Agustus 2016
[29] Profile Desa Muara Madras
Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
[31] Peraturan Desa Gedang
Nomor 3 tahun 2011 Tentang Keputusan
Adat Istiadat Depati Suko Merajo
[32] Peraturan Desa Tanjung Benuang
Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Keputusan Depati Suka Menggalo
[34] Riset Walhi Jambi, 2013, Hal.
35
[35] Riset Walhi Jambi, 2013. Hal.
25
[37] Riset Walhi Jambi, 2013. Hal.
25
[62] Desa Semambu, 18 Maret 2013
[63] Kepala Dusun Fahmi dan Patih
Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
[64] Menurut Kepala Dusun, Fahmi,
pemukiman dibangun di Kemumu merupakan proyek dari Dinas Sosial tahun 1984
[65] Desa Kembang Seri, Batanghari,
23 Februari 2015
[81] Tentang Puyang orang Jambi
telah dijelaskan di BAB sebelumnya.
[82] Hamzah Raden, Pertemuan di Desa
Teluk Singkawan, 16 Maret 2013.
[83] Riset Walhi Jambi, 2013
[85] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali,
16 Agustus 2016
[90] Perdes Sungai Bungur No 2 Tahun
2018 Tentang Piagam Tumenggung Bujang Pejantan
[102]
Pasal 1 angka 25 Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat
Marga Serampas.
[145] Riset Walhi Jambi, 2013
[150] Kozok,
Uli, & Eric van Reijn. (2010) “Adityawarman: Three Incriptions of the
Sumatran King of All Supreme Kings.” Indonesia and the Malay World 38, hal.
135-158
[151] Versi Jawa Mataram ditemukan di
Pulau Tengah, Renaah Pelaan. Bahkan hingga Marga di Tiang Pumpung, Marga Renah
Pembarap dan Marga Sanggrehan.
[154] A. Mukty Nasruddin, “Jambi
Dalam Sejarah Nusantara 692-1949,” Stensilan, tidak diterbitkan, 1989, h. 64-65
[155] E. Gobee dan C. Adriaanse,
Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerientah
Hindia Belanda 1889 – 1936, INIS VII, Jakarta, 1992.
[156]
Raden Wijaya menikahi putri Melayu (Dara Petak) dan diiringi juga oleh Raja
Mauliwarmadewa menikahi Dara Jingga, yaitu pada tahun 1293 M. Dengan demikian
Kerajaan Melayu yang meliputi Jambi, Tebo, Ulu Batanghari dan Minangkabau di
bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1347 M[156],
Adityawarman dinobatkan sebagai raja Kerajaan Melayu setelah raja Rendra. Pada
masa kekuasaannya, Adityawarman ingin kerajaan Melayu berdiri sendiri dan lepas
dari kerajaan Majapahit.
[157] Hamzah Raden, Pertemuan di Desa
Teluk Singkawan, 16 Maret 2013.
[160]
Koto 10 terdiri dusun asal yaitu Dusun Muara Pangi, Dusun Tanjung Dalam, Dusun
Rantau Jering masuk ke Kecamatan Lembah Masurai, Sedangkan Dusun Koto Tapus,
Dusun Beringin Tinggi, Dusun Pematang pauh, Dusun Gedang, Dusun Kotobaru, Dusun
Tanjung Benuang, Dusun Tanjung Alam , Dusun Tanjung Mudo masuk kedalam
kecamatan Sungai Tenang.
[162] Riset Walhi Jambi, 2013
[164] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali,
16 Agustus 2016
[166]
Lindayanti & Zaiyardam, KONFLIK DAN INTEGRASI DALAM MASYARAKAT
PLURAL: JAMBI 1970-2012, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Andalas, Padang
[174] Yazin, Pauh, 6 Agustus 2016
[176] Ishak
Pendi, Sekretaris Lembaga Adat Serampas, Mongabay.com, 28 Februari 2017
[177] Ali Nahu, Pulau Tengah, 15
Maret 2016
[179] Peraturan Desa Gedang
Nomor 3 tahun 2011 Tentang Keputusan
Adat Istiadat Depati Suko Merajo
[183] Perdes Kotobaru No. Tahun 2014 KEPUTUSAN
DEPATI SUKO DERAJO
[190] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali,
16 Agustus 2016
[196] Kepala Dusun Lubuk Beringin,
Desa Lubuk Beringin 27 Maret 2016
[205]
Pasal 9 ayat (1) Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat
Marga Serampas.
[206] Pasal 9 Peraturan Desa Gedang
Nomor 3 tahun 2011 Tentang Keputusan
Adat Istiadat Depati Suko Merajo
[212] Kepala Dusun Lubuk Beringin,
Desa Lubuk Beringin 27 Maret 2016
[213] Peraturan Desa Nomor 2 Tahun
2012 Tentang Kelembagaan dan Pengelolaan Hutan Desa Rio Kemunyang Desa Durian
Rambun
[214] Seloko ini juga disebutkan oleh
Samsuddin, Lembaga Adat Kecamatan Renah Pembarap, Guguk, 16 Maret 2016
[220] Abdulah TH, Mantan Depati Suko
Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[221] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali,
16 Agustus 2016
[226] Desa Suo-suo, 21 Maret 2013
[227] Kepala Dusun Fahmi dan Patih
Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
[228] Hans Kelsen mengembangkan teori
lain yaitu Teori Anak Tangga (Stuffenbau Theorie) yang dicetus oleh Adolf Merkl
(1836- 1396).
[229] Hukum pidana adat atau delik
adat berbeda dengan hukum pidana yang bersumber dari hukum Eropa. Hukum adat
bersifat holistik karena tidak ada perbedaan antara hukum public – privat,
bidang hukum pidana, perdata, tata Negara, hukum agraria, dan sebagainya. Hukum
Eropa bersifat parsial, sebaliknya hukum adat delik bersifat holistik.
[230] Sidharta, Op. Cit, Hal 114
[231] Aspek Filologi yaitu
rekonstruksi terhadap kohensi suatu ungkapan dari sisi gramatika dan logika.
Aspek ini bernilai efektif dalam usaha memahami secara permanen simbol-simbol
yang sudah pasti.
[232] Aspek kritik kegiatan ini
dihadapkan pada hal-hal yang membutuhkan sikap untuk dipertanyakan, misalnya
mengenai suatu pernyataan yang tidak logis atau adanya jarak (gap) yang muncul
dalam sekumpulan argmen.
[233] Aspek psikologis ini
diberlakukan ketika penafsir meletakkan dirinya dalam diri pengarang, yaitu
memahami dan menciptakan kembali personalitas dan posisi intelektual si
pengarang.
[234] Aspek morfologis-teknis
ditujukan kepada pemahaman isi arti kata yang bersifat mental obyektif dalam
hubungannya dengan logika khusus dan prinsip yang digunakannya.
[235] Emile Durkheim, Perspektif
Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1985, Hal. 54-56
[240] Antara Teks dan Konteks - Dinamika pengakuan hukum terhadap hak
masyarakat adat atas sumber daya alam di Indonesia, HuMa, Jakarta, 2010, Hal. 73
[241] Jacques Derrida menunjukkan
bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Dalam Satu tema
tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna
final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan
untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut
tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis
terhadap teks. Antara Teks dan Konteks -
Dinamika pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya
alam di Indonesia, HuMa, Jakarta, 2010.
Hal. 73
[242] Sidharta, Op.cit, Hal 147
[245] Desa Semambu dan Desa Muara
Sekalo mengenal istilah “Sesap jerami.
Tunggul pemarasan”. Terhadap istilah ini, antara Desa Semambu dan Desa
Muara Sekalo mempunyai penafsiran yang berbeda. Desa Semambu meyakini, “sesap jerami. Tunggul pemarasan”, maka
haknya menjadi hilang apabila tidak ditanami. Sedangkan di Desa Muara Sekalo,
“sesap jerami. Tunggul pemarasan”, haknya miliknya tidak hilang. Walaupun
mempunyai penafsiran yang berbeda-beda, menurut penulis, keduanya mempunyai
pandangan logis. Desa Semambu menganggap bahwa, “sesap jerami, tunggul
pemarasan” yang tidak ditanami, maka menjadi hilang karena dia tidak
mengerjakan tanah. Sedangkan di di Desa Muara Sekalo, walaupun tidak
dikerjakan, namun karena sudah dibuka, diberi tanda lambas dengan takuk pohon,
ada sak sangkut, maka tetap menjadi miliknya. Menurut penulis, keduanya tetap
bisa terima. Sebagaimana keyakinan mereka yang berpandangan. Adat selingkung
Negeri. Artinya, adat mereka berlaku untuk mereka sendiri.
[246] Dominikus Rato, “Memahami
Istilah Keseimbangan Kosmis dalam Hukum Adat Delik”, Konferensi Nasional
Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia di Surabaya, Surabaya, 27-28 Agstus 2013,
[247] H. Kaelani, MS, Negara –
Kebangsaan – Pancasila – Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis dan
Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta, 2013, Hal. 235.
[262] PERATURAN DESA MAKMUR
JAYA NO TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM
GAMBUT
[265] Desa Rantau Rasau, Kecamatan
Berbak, Tanjabtim, 10 Juli 2018
[270] PERATURAN DESA SUNGAI
BUNGUR No. Tahun 2016 TENTANG PIAGAM
TUMENGGUNG BUJANG PEJANTAN
[275] Peraturan Desa Gedang
Nomor 3 tahun 2011 Tentang Keputusan
Adat Istiadat Depati Suko Merajo
[276] Pasal 8 Peraturan Desa Gedang
Nomor 3 tahun 2011 Tentang Keputusan
Adat Istiadat Depati Suko Merajo
[281] Pasal 8 PERATURAN DESA TANJUNG
MUDO NO. 7 TAHUN 2011 TENTANG PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
[283] Abdulah TH, Mantan Depati Suko
Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[284] Abdulah TH, Mantan Depati Suko
Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[285] Langau adalah “lalat hijau”
[291] Kepala Dusun Fahmi dan Patih
Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
[295] Desa Rukam, 22 - 24 Agustus
2017
[296] M. Syafe’I Achmad, mantan
Pesirah dan mantan Kepala Desa Merlung, 14 Agustus 2016
[302] Desa Rantau Rasau, Kecamatan
Berbak, Tanjabtim, 10 Juli 2018
[303] M. Syafe’I Achmad, mantan
Pesirah dan mantan Kepala Desa Merlung, 14 Agustus 2016
[307] Bukit Bakar adalah nama tempat
yang terbakar tahun 2007. Bukit Bakar mempertemukan antara Kabupaten Tebo,
Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
[308] Peraturan Desa Tanjung Alam No.
3 Tahun 2011 Tentang Piagam Depati Duo Menggalo
[309] Nagari Kapa dan Nagari Sasak,
Pasaman Barat, Sumbar, 26 Januari 2018
[310] Peraturan Daerah Sumatera Barat
No. 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya.
[311] Pasal 11 Perda No. 16 Tahun
2008
[318] Van Vollenhoven, Hukum Adat Dan
Modernisasi Hukum, FH UII, Jakarta, 1998, Hal. 169