31 Oktober 2018

opini musri nauli : BAB V - MODEL PENGELOLAAN





I.               HUKUM RIMBO

Didalam hukum Tanah Jambi dikenal Hukum mengatur tentang perorangan. Yaitu Hukum Paanak Panakan, Paikatan, Pakawinan, Pawarisan dan Patanahan dan Hutan Rimbo[1].  

Prinsip dalam hukum patanahan dan hutan rimba diutamakan untuk kesejahteraan penduduknya[2]. Hukum Rimbo mengatur tentang milik bersama masyarakat yang ditandai dengan Seloko “Keayek samo diperikan, kedarat sama di perotan.

Hukum Rimbo mengatur Pantang larang yang mengatur tentang daerah yang tidak boleh dibuka, pengaturan tentang hewan dan tumbuhan, mengatur tentang adab dan perilaku di hutan.  

Daerah yang tidak boleh tidak boleh dibuka atau diganggu (Pantang larang) seperti “Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo,[3], Hulu Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/RImbo Keramat, Bukit Seruling/Bukit Tandus[4], “Imbo Pseko[5], “rimbo bulian”, “Bukit tepanggang” [6], “Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo[7], hutan adat 
Pengulu Laleh, hutan adat Rio Peniti, hutan adat 
Pengulu Patwa, hutan adat Pengulu Sati, hutan adat 
Rimbo Larangan, hutan adat Bhatin Batuah, hutan adat 
Paduka Rajo, hutan adat Datuk Menti Sati, hutan adat 
Datuk Menti, hutan adat Imbo Pseko, hutan adat 
Imbo Lembago, “Rimbo batuah[8]”, Hutan lindung batu Kerbau, Hutan lindung Belukar Panjang[9], “Rimbo sunyi, Rimbo Berpenghulu, Ulu Sungai/Rimbo Ganuh[10], hutan keramat, Tanah Penggal, Bulian Bedarah, Bukit Selasih, Pasir Embun”[11], hutan larangan, sialang pendulangan, lupak pendanauan, beduangan dan tunggul pemarasan[12] dan Desa Semambu[13], “Pantang padang, Bukit Siguntang, Gulun, Tepi Sungai, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan dan beduangan[14], “Daerah Sungai Menggatal, Kedemitan yang terletak didalam bukit 30, Sungai Sako, Talang Betung, Sungai Semerantihan, Sungai Kupang yang terletak di Pemandian gajah, Lubuk Laweh, Sungai Beringin, Pengian Hilir, Sungai Pauh, Pangian Ulu, Kemumu, Bukit Tambun Tulang, Hutan Keramat, Lupak Pendanauan, Pinang Belaian, Mendelang, Rimbo Siaga, Rimbo Lampau-lampau.[15], “Bukit Bakar”[16], Tano Peranakon,, Tano Pasoron, Tano Terban, Sentubung Budak, Balo Balai, Balo Gajah, Inum-inuman, Tempelanai, Hutan hantu pirau. “Payo” atau “payo dalam”, Suak[17], Lopak, Lubuk, Danau, rongkat,[18]”, masyarakat juga mengenal hewan dan tumbuhan yang tidak boleh dipanjat atau ditebang.

Tanaman yang tidak boleh ditebang seperti durian, petai, cempedak hutan, kayu sengkawang, kabau, enau, landor rambai, tampui, mampaung, tayas, manggis, jering (jengkol), dan baungan. Dan hewan yang tidak boleh diburu seperti Harimau, macan, beruang, anjing hutan, tapir (tenok), kucing hutan, ungko, siamang, burung gading (termasuk seluruh burung-burung yang dilarang)[19] atau “Pohon Durian, pohon embacang tidak boleh dipanjat. Ikan tidak boleh diracun. Burung gagak tidak boleh diambil[20].

Di Marga Jujuhan dilkenal pantang larang yang disebut kesalahan “memanjat langsat larangan”. Langsat adalah istilah lain dari tanaman duku. Tanaman duku dan durian sama sekali tidak boleh dipanjat. Namun duku boleh “dijuluk”, diambil dengan menggunakan kayu yang panjang[21].

Di Marga Sungai Tenang dikenal Nutuh Kepayang Nubo Tepian artinya dilarang menebang kayu dihutan yang bermanfaat bagi orang banyak dan mahkluk lain seperti Kayu yang berbuah (embacang, pauh, petai, kepayang) dan kayu yang berbuah yang buahnya dimakan oleh burung-burung. Atau dilarang menebang kayu tempat bersarangya swowalang. Seloko seperti Petai dak boleh ditutuh, durian dak boleh dipanjat artinya mengambil buah petai dilarang memotong dahannya, mengambil buah durian dilarang memanjatnya dan menggugurkan buah yang belum masak. Dilarang menubo (meracun) dan menyentrum ikan di sungai.

Di Marga Sumay istilah “Membuka pebalaian”. Dilarang menebang Sialang[22]. Sanksinya cukup keras dengan hukuman “Kain putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam segaram dan ditambah denda Rp. 30 juta, kayu diserahkan kepada Desa[23].

Sebagai masyarakat yang menjunjung dan menghormati hutan, masyarakat juga mengenal tatacara didalam mengelola sumber daya alam. Di Talang Mamak Istilah seperti Langsat-durandan, Manggis-Manggupo[24], Durian-Kepayang, Sialang-Pendulangan, Sesap-Belukar, Suak-Sungai, Lupai Pendanauan[25].

Selain itu dikenal istilah Titak Tikal Embang. Titak adalah pohon yang sekali ditebang langsung putus. Tikal adalah pohon yang direbahkan. Sedangkan Embang adalah bekas belukar. Belukar adalah tanah yang sudah dibuka namun kemudian ditinggalkan.

Di Marga Kumpeh Ulu dikenal Pudak. Pudak adalah sebangsa tumbuh-tumbuhan yaitu sebangsa Pandan yang berduri tapam pada pinggir kiri dan kanan daunnya. Pandan berduri kemudian disebutkan Pudak. Pudak dibutuhkan masyarakat untuk membuat barang ke humo. Daunnya berguna. Duri daun untuk penangkal berang-berang dan tikus di sawah[26].

Di Desa Sungai Beras tanaman yang dilindungi adalah Punak, Meranti, Simpur, Balam, Medang, Rengas, Jelutung, Pulai, Parak, Ramin, Geronggang, Kelat, Kempas, Malas. Sedangkan Hewan Yang Dilindungi Beruang, Harimau, Tempalo, Landak, Teringgiling, Burung Rangkok, Monyet, uwak-uwak , Ular, Burung cicak hijau, Ayam hutan.[27]

Selain mengatur pantang larang terhadap daerah-daerah yang tidak boleh dibuka seperti “Teluk sakti. Rantau Betuah, Gunung Bedewo”, “rimbo sunyi”, “hutan keramat, “hutan Puyang”, “Hutan betuah”, “Hutan hantu pirau” dan pantang larang terhadap hewan dan tumbuhan tertentu, pantang larang terhadap perilaku terhadap alam juga dikenal.

‘Tidak dibenarkan menyebut nama “harimau”. Harimau adalah salah satu hewan yang dihormati dan disebutkan dengan penamaan “nenek” atau “datuk”.

Setiap memasuki hutan (rimbo puyang), selalu menyebutkan dan mohon izin. “Oi, Tuk/nek, cucung nak masuk rimbo. Izin, yo. Jangan diganggu. Ini cucung, tuk/nek”.

Selain itu tidak dibenarkan membangun pondok/tenda apabila ditemukan jejak Harimau atau jejak hewan lainnya. Daerah ini dikenal sebagai tempat “peminuman”. Tempat yang menjadi tempat berkumpul dan meminum air dari hewan-hewan yang berada di hutan.

Apabila hendak membuang hajat (baik hajat kecil maupun hajat besar) dianjurkan mengucapkan “permisi tuk/nek. Cucung mau buang hajat”. Selain itu yang membuang hajat harus berada di hilir sungai dan tepi sungai. Sehingga tidak mengganggu yang sedang mandi.

Di beberapa tempat tidak dibenarkan membawa telur. Dikhawatirkan akan memancing bau yang tajam dan menarik perhatian dari penghuni hutan.

Tidak dibenarkan mandi tanpa menggunakan “kain basahan”. Mandi hanya menggunakan celana dalam dikhawatirkan akan tidak sopan. Di Marga Sungai Tenang dapat dijatuhi sanksi apabila mandi tanpa menggunakan “kain basahan”.

Tidak dibenarkan “tertawa terbahak-bahak” atau ngomong yang tidak pantas. Sikap ini akan justru akan menimbulkan “bala” yang akan mengganggu perjalanan.

Tidak dibenarkan “takabbur” dan teriak yang tidak pantas. Cara ini akan menyebabkan “Rajo” akan marah dan akan menimbulkan masalah.

Adab, sikap bahkan perilaku harus menempatkan hutan sebagai tempat “berkuasanya Rajo”. Pendatang harus menghormati dengan sikap, adab dan perilaku yang harus dijaga.

Kesalahan dan sikap takabur akan menyebabkan korban dan akan mengganggu perjalanan dihutan.

Pantang larang selalu diingatkan oleh “tetua kampong” baik sebelum perjalanan maupun selama perjalanan. Peringatan dari Tetua kampong” mengingatkan wilayah kekuasaan Rajo.

Sebagai “rajo” maka dia akan menunjukkan kekuasaannya untuk mengamankan wilayahnya. Sehingga setiap peristiwa konflik satwa dengan manusia, “tetua kampong” akan mudah mencari penyebab terjadinya konflik. Sehingga “ingatan, teguran” dari Rajo akan selalu menjadi peringatan kepada yang lain. Supaya dapat menempatkan “Rajo” yang berkuasa di hutan.

Terhadap hasil hutan maupun hasil pertanian dan perkebunan dikenal sebagai cukai. Cukai dikenal ditengah masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesai “cukai diartikan sebagai pajak atau bea yang dikenakan pada barang impor dan barang konsumsi. Atau “sebagian dari hasil tanah seperti sawah, ladang yang wajid disetorkan kepada tuan atau pemilik tanah sebagai ongkos tanah”.

Ditengah masyarakat Melayu Jambi dikenal seloko seperti “ke aek bebungo pasir. Ke darat bebungo kayu”. Di Marga Pangkalan Jambi dikenal “ke aek bebungo pasir. Ke darat bebungo Kayu. Ke tambang bebungo emas” [28]. Di Marga Sungai Tenang Desa Tanjung Benuang dikenal Ke aek Bebungo Pasir, kedarat bebungo kayu. Adat samo diisi, Tembago Sama  dituang. Berat sama di pikul, ringan sama dijinjing. Sedangkan di Desa Muara Madras dikenal “uang padang” [29].  

Bungo emping, merupakan pungutan pajak untuk setiap hasil panen. Misalnya seperti pada saat kenduri dilakukan pungutan terhadap hasil panen untuk nenek mamak. Pada saat itu juga dikumpulkan zakat padi. Bungo “Emeh” merupakan pungutan pajak yang dilakukan untuk setiap pungutan hasil tambang emas (mendulang).

Tatacara penarikan cukai berbeda-beda nilainya. Di Desa Tanjung Mudo ditarik setahun sekali setelah panen[30].. Di Desa Gedang dilakukan setahun sekali hasil panen baik hasil nilam, kopi, kayu manis[31]. Di Desa Tanjung Benuang[32]“ dikenal dengna penghitungan “kiding beras”. Begitu juga di Desa Tanjung Alam[33].

Selain itu juga dikenal menarik “cukai” atau “penyerahan hasil buruan”. Hewan buruan yang diperoleh penduduk maka  diberikan 5 canting dagingnya diberikan untuk kepala adat, kalau mendapatkan Rusa diberikan 1 gantang dagingya untuk kepala adat. Demikian juga mendapatkan ikan, burung, kancil dan sebagainya. Sedangkan penduduk luar dusun, kalau penduduk dari luar dusun yang mendapatkan kijang atau rusa maka daging paneh untuk nenek mamak setempat[34].

Dengan penyerahan “hasil buruan”, maka apabila pemburu tersesat dihutan maka penghulu adat dapat mengumpulkan warga agar bersama-sama mencarinya.

Di Timur Jambi daerah Hilir Marga Kumpeh, “pancung alas” selain diartikan sebagai “pamit ke penghulu” juga sebagai “cukai” kepada pemangku adat.

Setelah dilakukan penentuan wilayah yang tidak boleh dibuka (pantang larang) (daerah yang tidak boleh dibuka atau diganggu)”, maka kemudian dikenal daerah untuk pertanian (cencang latih[35]  atau peumoan[36]), untuk perkebunan (jambu keloko[37], petanang[38]) dan untuk pemukiman (plabo umah atau sepenegak rumah). 

Pengaturan tentang “jambu keloko atau petanang” dikategorikan sebagai “
belukar lasah’. Plabo umah atau “sepenegak rumah” juga dikenal sebagai “Tanah dusun” sesuai dengna seloko sesak padang dirancah, sesak koto diumba

Orang Rimba kemudian menetapkan diluar dari tempat-tempat seperti Tano Peranakon, Tano Pasoron, Tano Terban, Sentubung Budak, Balo Balaii, Balo Gajah, Inum-inuman, Tempelanai, kuburan penguasa hutan (Sialang, Jernang, Tenggiris, Jemban Budak, Bendungan atau Tebat, Tanah Bersejarah, Payo labor, maka dibuka untuk berladang dan berkebun[39].  

Di Marga Serampas dikenal “Tanah ajun” dan “tanah arah”. Tanah Ajun dan Tanah Arah adalah tata cara pemanfaatan tanah yang ditunjuk  dan berdasarkan hukm adat ssuai dengan pembagian, peruntukan dan pemanfaatan tanah untuk produksi, lindung dan konservasi[40]

Tanah ajum, tanah yang bisa dimanfaatkan untuk peningkatan perekonomian masyarakat dengan menanam tanaman muda dan semusim. Sedangkan tanah arah, yaitu wilayah buat pemukiman.

“Tanah arah ini hanya untuk keluarga baru dan penerima harus sudah bisa mengumpulkan bahan bangunan untuk membuat rumah. Kami memberikan tempo atau tenggat disebut timpo ramu dan timpo tegak.” “Maksimalnya dua tahun, jika pembangunan tak terlaksana, penerima tanah arah akan didenda atau kena sanksi adat,”

Ada lagi aturan pemanfaatan tanah ngarai. Tanah ngarai biasa di kawasan terjal dan topografi curam. Dalam adat, kawasan ini tak boleh diolah sama sekali baik perkebunan maupun penebangan kayu[41].

Di Marga Sungai Tenang Desa Muara Madras dibagi menjadi lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman. Areal persawahan masyarakat terletak disepanjang 3 sungai besar yaitu sungai mentenang, sungai madras dan sungai belula. Kelompok huma (areal persawahan) disebut dengan ‘talong”. Areal persawahan tersebar di : talong bajilo, talong mentenang (di sepanjang sungai mentenang), talong mandras (disepanjang sungai madras), talong belula mudik dan talong belula ili (sepanjang sungai belula.). Selain itu juga areal pertanian dan perkebunan masyarakat berada disekitar pemukiman dan daerah persawahan yaitu di daerah : eks arena MTQ, sungai rebung (sekitar kantor camat), belukar tengah, hulu mentenang, sungai ningin, belula, sungai kancil dan renah panjang. Kecendrungan pengembangan areal pertanian dan perkebunan masyarakat ke arah sungai ningin, bukit padang dan hulu mentenang.

Daerah pemukiman diantaranya Pemukiman masyarakat sepanjang jalan aspal (jalan utama) mulai dari areal perkantoran kantor camat hingga ke ujung dusun di lubuk temiang. Pemukiman masyarakat tebagi 6 dusun. Kecendrungan perkembangan pemukiman dimana rumah-rumah baru didirikan yaitu di daerah kantor camat (Dusun Tanjung Harapan), belukar tengah (Tanjung Aman dan Lubuk Temiang), eks Arena MTQ (Kampung Lereng dan Kampung Baru).[42]

Di Desa Tanjung Dalam dikenal “dataran tinggi” dan “renah[43].  Dataran tinggi menjadi tempat pertanian. Sedangkan “renah” adalah pemukiman.

Pertanian terletak diatas dataran tinggi yang berlokasi di sekitar bukit sedingin, bukit tongkat, hulu sungai terap dan hulu sungai jumat, potensi hutannya terdapat dibukit sedingin dan sekitar bukit. Sedangkan Permukiman penduduk berada didataran perbukitan yang ditengah permukiman terdapat sebuah sungai yang mengalir ke tempat masyarakat mengambil air, mandi dan mencuci.

Di Koto Tapus (Jangkat) dikenal daerah pertanian terletak sungai mentenang, sungai lirik, sungai duo dan sungai lintang) [44]. Areal perkebunan masyarakat berada di daerah sungai duo, sungai beringin, sungai panjang, ladang batu gajah, ladang gunung krakatau, ladang tebat gedang, tanjung benuang tinggal, renah dusun baru, sungai lirik, sungai mentenang, sungai bangko dan sungai lintang.

Pemukiman masyarakat berada sepanjang jalan as (jalan kecamatan) dan sepanjang jalan setapak di desa. Pemukiman terbagi menjadi dua Dusun Kampung Masjid dan Dusun Kampung Madrasah.

Arah perkembangan pemukiman masyarakat untuk pembangunan rumah baru berada di ujung desa di sepanjang jalan kecamatan dan di belakang desa di daerah kampung lereng.

Di Desa  Beringin Tinggi[45] Areal pertanian dan perkebunan terdapat di tiga tempat yang terpisah, yaitu ladang panjang,  Renah sungai baru dan Sepanjang sungai lirik krolang dan mentemu.  Areal persawahan masyarakat berada di sekitar daerah sungai lirik, sungai mayas, sungai krolang, dan sungai nyangun, sekaligus tempat ini menjadi tempat pusat pertanian. Dan pengembangan areal pertanian dan perkebunan mayoritas ke sungai lirik. 

Pemukiman masyarakat di pinggir kiri dan kanan jalan, Akses untuk menuju ke desa ini ada 2 jalan masuk dari desa tetangga yaitu Desa Pematang Pauh dan Desa Jangkat, mulai masuk desa melalui sungai mayas yang sekaligus sungai ini dimamfaatkan masyarakat untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, seperti tempat pemandian umum dan tempat masyarakat mengambil air untuk masak nasi dan minum. Dari sungai mayas kemudian mendaki sedikit dan lansung masuk ke areal pemukiman. Desa ini terdiri dari dua dusun, yaitu Dusun Maleko dan dusun sungai seluang.  Dan kecendrungan arah pengembangan pemukiman masyarakat berada ke arah areal ladang panjang Simpang jalan ke Desa Jangkat pematang pauh, Dusun Koto Malelo.

Di Desa Pematang Pauh[46], Areal Pertanian dan perkebunan Masyarakat mengarah ke Sungai Seluang ke arah daerah lubuk bunta yang mengarah ke Desa Talang Tembago dan arah ke sungai tembesi di daerah lubuk temiang. Areal persawahan masyarakat yang berada di Dusun Pematang Pauh I dan Dusun Koto Petani berada di sepanjang sungai Empayang. Daerah persawahan masyarakat yang berada di Dusun Kabu dan Dusun Renah Tebat di sepanjang sungai mampiul. Kecendrungan arah pengembangan areal pertanian dan perkebunan mengarah ke sungai lirik, sungai mampayang, sungai mampiul dan sungai tembesi.

Daerah pemukiman masyarakat terbagi menjadi yang berkelompok dalam beberapa dusun. Pemukiman berada di sektar jalan, menuju Desa Pematang Pauh mulai dari pemukiman di Dusun Renah Tebat terus ke pemukiman di Dusun Durian Balai terus ke Dusun Koto Rayo dan Dusun Kabu, terus memutar ke pemukiman di Dusun Pematang Pauh I dan Dusun Koto Petai.

Kecendrungan pengembangan pemukiman masyarakat mengarah ke dusun renah tebat, durian balai, dusun koto rayo dan dusun kabu sepanjang jalan di daerah dusun tersebut.

Di Desa Gedang[47] Areal persawahan masyarakat berada di sekitar sungai tangkal, sungai salak, sungai durian, sungai sudung dan sungai dingin. Areal pertanian dan perkebunan berada di daerah sungai aro, sungai dingin, arah bukit serik dan sungai sudung. Pengembangan areal pertanian dan perkebunan masyarakat umumnya mengarak ke arah gunung sedingin.

Pemukiman masyarakat terbagi dua kelompok pemukiman yaitu di Dusun Simpang Harapan dan Dusun Bawah. Pemukiman masyarakat di Dusun Simpang Harapan berada di sepanjang jalan kecamatan, sedangkan pemukiman di Dusun Bawah masuk kedalam sekitar 1 km dari jalan kecamatan pemukiman masyarakat berkelompok di sekitar jalan desa.

Kecendrungan arah pengembangan pemukiman masyarakat berada di sekitar jalan kecamatan di dusun Simpang Harapan.

Desa Kotobaru[48]. Areal persawahan masyarakat berada di sekitar sungai maram. Areal pertanian dan perkebunan masyarakat berada di sekitar talang bukit, srip, pondok licin hingga kearah bukit sedingin. Perkembangan areal pertanian dan perkebunan masyarkat ke arah bukit sedingin dan ke arah Gunung Masurai.

Hamparan areal pertanian masyarakat disebut dengan “Talang / Talong”. Kelompok talang berada di : talang bukit, pondok cincin, talang renah, talang sungai gaung dan talang rimbo jauh.

Pemukiman masyarakat berada sepanjang jalan kecamatan dan jalan desa (masuk dari simpang tiga di Dusun Simpang Tiga). Rumah masyarakat umumnya berada di sepanjang jalan. Pemukiman dibagi menjadi dua dusun yaitu Dusun Simpang Tigo dan Dusun Induk Koto Baru yang pemukimannya tergabung menjadi satu (tidak terpisah).

Pengembangan pemukiman berada di sepanjang jalan kecamatan, umumnya masyarakat mendirikan rumah baru di kiri kanan jalan sepanjang jalan kecamatan di ujung dan hilir desa.

Desa Tanjung Benuang[49] Areal persawahan berada di sungai aro, sungai gelap dan sugai kandis namun sudah ditinggalkan sejak tahun 1973 karena hasil padinya kurang baik.

Areal pertanian dan perkebunan masyarakat berada di pematang batu orang, sawo bekisa, dusun parit, pematang sungai kandis, pematang bukit serik hingga belakang dusun tanjung beringin.

Perkembangan areal pertanian dan perkebunan masyarakat didaerah belukar belakang dusun gedang dan ujung dusun sepanjang jalan arah ke Desa Jangkatt.

Pemukiman masyarakat berada sepanjang jalan berbanjar hingga beberapa rumah kebelakang. Pemukiman di bagi menjadi dua dusun yaitu Dusun Tanjung Beringin dan Dusun Batu Balai.

Pengembangan pemukiman ke arah seberang sungai aro dan ujung dusun sepanjang jalan kearah Desa Gedang dan Desa Jangkat.

Desa Tanjung Alam[50], Areal pertanian dan perkebunan sebagian besar di daerah dataran ke arah gunung masurai daerah pertanian ini disebut daerah sri renah, ada juga di daerah ke arah rantau suli disebut daerah sawah tinggal dan daerah pauh belepang di perbatasan dengan Desa Rantau Suli.

Areal persawahan masyarakat berada di sebelah mudik dusun (pemukiman masyarakat) yaitu di sepanjang Sungai Matang dan Sungai Mengkuyung serta sebagian di daerah sawah tinggal.

Kecendrungan arah pengembangan areal pertanian ke arah Bukit Muncung, sungai matang, sungai menteng I dan sungai menteng II.

Daerah pemukiman masyarakat di Desa Tanjung Alam berada di dataran yang berada di bawah kaki gunung masurai. Pemukiman berada di sepanjang jalan desa yang bisa dimaskui dari dua arah yaitu dari Desa Tanjung Mudo atau Dari Desa Rantau Suli.

Kecendrungan arah pengembangan pemukiman masyarakat kearah sawah tinggal sebagian kecil ke mengarah ke sungai krobun pauh belepang.

Desa Tanjung Mudo[51],  Areal pertanian berada di daerah pematang kubaning, pematang sri atas betung, inum yang semuanya berada di lereng gunung masurai.

Areal persawahan berada di daerah timur dan barat desa mengarah ke arah perbatasan dengan Desa Baru dan Desa Tanjung Alam. Pengairan sawah berasal dari sungai masrud dan sungai melulo. Pengembangan areal pertanian mengarah ke arah pematang betung. Kawasan perkebunan mengarah ke pematang kubaning, sri atas betung dan inum.

Pemukiman masyarakat terdiri dari 1 dusun yaitu Dusun Tanjung Mudo. Masuk dari Desa Koto teguh ada beberapa rumah yang terpencar di sepanjang jalan desa kemudian melewati sungai sengga baru masuk ke kelompok pemukiman di pusat desa. Sebagian pemukiman berada di daerah dataran sebagian kecil di dareah yang agak miring. Ditengah pemukiman ada saluran irigasi untuk persawahan masyarakat yang berasal dari sungai masrud.

Pengembangan pemukiman masyarakat ke arah jalan desa menuju keluar ke arah Desa Koto Teguh dan daerah pematang kubaning.

Di desa Rantau Bidaro, terdapat lahan pertanian berupa sawah, luasnya mencapai 30 hektar tetapi yang dikelola masyarakat sekarang ini sekitar 15 Hektar dan yang berhak menanam di lahan tersebut adalah keturunan nenek 4, yaitu kalbu Rendah, kalbu Solok, kalbu Cabul dan kalbu Talang, yang kesemuanya sudah dibedakan lokasi masing-masing. Kalbu Rendah sebelah ilir, kalbu solok sebelah tengah, kalbu cabul sebelah atas dan kalbu talang sebelah atas juga[52].

Di Marga Peratin Tuo Desa Tanjung Berugo[53], Areal persawahan berada di sungai siau kecil yang berada sekitar 2 km dari pemukiman desa.

Areal pertanian dan perkebunan masyarakat di hampir merata sekitar pemukiman desa, renah durian kuning dekat sungai duku atau disebut juga talang duku, bukit breng di arah gunung masurai di samping bukit sedingin dekat sungai siau, talang kabah di mudik dusun dekat sungai siau tengah, daerah sepanjang jalan ke tanjung berugo dan ilir dusun daerah sungai ulun anak sungai siau tengah.

Kecendrungan pengembangan areal pertanian dan perkebunan umumnya adalah lahan yang berupa “perimbun” baik berupa belukar muda maupun belukar tua ditinggal lebih 5 tahun yang berada banyak di siau kecil dan jalan renah durian kuning.

Pemukiman masyarakat berkelompok-kelompok yang terbagi dalam dua wilayah dusun yaitu dusun I dan dusun II, setiap dusun terdiri dari 3 RT. Rumah masyarakat berada sepanjang jalan desa.

Kecendrungan perkembangan pemukiman kearah sepanjang jalan masuk desa tanjung berugo dari dusun tuo dan daerah lapangan sepak bola.

Di Desa Nilo Dingin [54],  Areal pertanian dan perkebunan masyarakat di daerah Nilo Sensang, sungai inum, hulu sungai nilo dingin dan kiri kanan jalan aspal. Disebelah timur desa umunya perkebunan kopi dan kulit manis dan disebelah barat umumnya tanaman kopi, kayu manis dan hortikultura, sebelah utara pada umumnya perkebunan kopi dan sebelah selatan umumnya tanaman kopi dan hortikultura.
Kecendrungan pengembangan areal pertanian dan perkebunan ke arah daerah nilo sensang.
Pemukiman masyarakat terbagi dua satu di sungai tebal dan satu di Dusun Nilo Dingin. Pemukiman berada di sepanjang jalan kecamatan dan jalan desa (beberapa baris rumah di kosentrasi pemukiman). Kecendrungan perkembangan pemukiman ke arah sungai lalang sepanjang jalan.

Di Desa Sungai Lalang[55] lahan Pertanian  Sepanjang anak Sungai Lalang Dan di Belakang Dusun. Perkebunan kopi dikaki Gunung Masurai dan di pinggir anak Sungai Lalang.

Pemukiman terdiri dari beberapa baris rumah yang berada di sepanjang jalan dari Rantau Macang – Sepantai Renah yang terbagi dalam 7 RT. yang mana pemukiman penduduk terletak di arah batang sungai tiaro dan sungai kundi.  Kecendrungan perkembangan pemukiman disepanjang jalan ujung desa kearah sepantai renah dan rantau macang

Desa Sungai Pinang terletak didataran tinggi dan berbukit-bukit dari permukiman masyarakat berada dipinggiran sungai, dan mata pencarian masyarakat bergerak dibidang pertanian padi, berkebun karet dan sawah, mendulang emas dan lain seperti menjaga Gua serta sumber alam lainnya[56].

Di Marga Senggrahan Desa Lubuk Beringin[57]. daerah Pertanian    Sekitar Sungai Renah, sungai Legan, sungai jambun, sungai langkap, sungai Tanjung Batu, dan sungai tekalak.

Kebun Karet Sekitar  sungai Langkap, Sungai Jambun, sungai Buang, Sungai renah. Pemukiman Kanan jalan poros Dari Muara Siau Lubuk Birah, dan seberang Batang Nilo kiri  kanan jalan Desa.

Di Desa Durian Rambun Areal Pertanian dan Perkebunan masyarakat di daerah sungai msa dan di dusun tinggal seberang nilo, arah sungai dedap dan sungai jatah. Kecendrungan perkembangan areal pertanian dan perkebunan arah sungai msa laju ke sungai bilah[58].

Pemukiman Desa Durian Rambun terletak di ujung jalan ke nilo (masuk pasar siau). Kecendrungan perkembangan pemukiman arah barat desa di sebelah mudik SD dan Masjid.

Di Marga Pangkalan Jambu Desa Birun[59] Areal persawahan masyarakat berada di sepadan Sungai Birun Kecik, Sungai Birun Gedang, Sungai Liat, Sungai, Bintang, Sungai Langeh. Perkebunan dan areal pertanian masyarakat berada di sekitar Sungai Birun Kecik, Sungai Birun Gedang, Sungai Liat, Sungai Bintang, Sungai Langeh, Pinggir Sungai Merangin.

Pemukiman masyarakat berada di Sepanjang Jalan Lintas Bangko- Keriinci, Pinggir Sungai Birun Kecik dan   Sungai Birun Gedang. Kecendrungan perkembangan pemukiman sepanjang Jalan Lintas Bangko- Keriinci Arah  Sungai Langeh

Di Marga Sumay Desa Pemayungan[60] dikenal “Behumo Ronah” sebagai areal pertanian. Ditanami di daerah ronah Sungai Bulan dan Sungai Sumay.

Di Desa Semambu[61] dikenal Lambas Berbanjar[62]. Di Dusun  Simirantihan[63], Perkampungan Suku Talang Mamak bermukim di Tepi menggatal kemudian pindah ke Kemumu. Nama Tempat Kemumu menjadi pemukiman yang dihuni hingga sekarang[64].

Di Marga Sebo Ulu Desa Kembang Seri[65], Wilayah persawahan masyarakat Desa Kembang Seri terletak di belakang Dusun Kembang Seri lamo dan juga Dusun Kembang Sekaki, Tanah cengal, Aek Melancur, Talang Tebat, Rantau Danau, Lubuk Tampang, dan Lebak Padang.

Di Marga Petajin Ilir Desa Lubuk Mandarsyah dikenal daerah Bukit Bakar”[66].  Sedangkan untuk areal pertanian dan perkebunan harus berada di belakang permukiman penduduk. Dalam penguasaan tanah dan pembukaan hutan, setiap keluraga diberikan dengan membuka lebar 25 meter dan panjang 100 meter atau istilah dikampung dinamakan dengan “tapak” [67].

Di Marga Kumpeh dikenal Peumoan[68], petanang dan pemukiman. Desa Sponjen[69]  “tanah peumoan” di Peumoan buluran bugis, Peumoan rimbo, Peumoan rimbo piatu, Peumoan buluran labu kayu, Peumoan buluran lanjang, Peumoan sungai kumpeh, Peumoan Sungai selat, Peumoan tali gawe, Peumoan Sungai lais. Sedangkan petanang terletak  Pematang lebar, Pematang kapas, Penguloan panjang, Pematang marajel, Pematang pune.

Desa Sogo[70] “tanah peumoan”, di Peumoan Sunge Biak , Peumoan Sunge Sogo, Peumoan Pantai, Peumoan Talang, Peumoan Awa Simpang Medang, Peumoan Selat, Peumoan Dano, Peumoan Sunge Biak, Peumoan Sunge Sogo, Peumoan Pantai, Peumoan Talang, Peumoan Awa Simpang Medang, Peumoan Selat, Peumoan Dano. Sedangkan petanang terletak di Pematang Talang Belubang, Pematang Talang Tanjung, Pematang Talang Bebeko, Pematang Talang Buluran Jeruk Tipis, Pematang Talang Sunge Bemban, Pematang Talang Parit Putus, Pematang Darat Sogo, Talang Pematang Kapas.

Desa Sungai Bungur[71]., daerah “peumoan” di Peumoan Sungai Kerupuk, Peumoan Sungai Nawar, Peumoan Sungai Tejo, Peumoan Sungai Bungur, Peumoan Sungai Batu, Peumoan Teluk Sungai Duo, Peumoan Lebung Ipuk-Ipuk, Peumoan Pematang Tepulo, Peumoan Pematang Sirih, Pematang Tepus.

Petanang terletak di Sungai Kerupuk, Peumoan Sungai Nawar, Peumoan Sungai Tejo, Peumoan Sungai Bungur, Peumoan Sungai Batu, Peumoan Lebung Ipuk-Ipuk, Peumoan Pematang Sirih, Pematang Tepus, Pematang Tapulo, Pematang Sirih, Pematang Petar, Pematang Lebar

Di Marga Tungkal Ilir Desa Sungai Rambai[72],  Parit banol yang dekat dengan pemukin masyarakat merupakan tempat persawahan di antara jenisnya padi serai, kudo, karang dukun, pulut  garu, banjar[73].

Desa Makmur Jaya[74] pertanian di sungai Betara. Sedangkan tanaman tua dikenal ditanami Pinang, Kopi, dan  kelapa. Sedangkan Areal yang terletak di Dusun Parit Panjang RT 12 digunakan lokasi ekowisata oleh desa dan ditanami tanaman holtikultura seperti sayur sayuran. Selain itu juga dipergunakan untuk dijadikan area pesawahan.

Desa Lumahan[75] di Dusun Rantau Panjang  tempat bermukim dan berladang berada di sepanjang tepi sungai Pangabuan yang bentuknya memanjang.

Desa  Suak Samin[76] Masyarakat membuka lahan atas izin dari datuk amit (Penghulu). Pembukaan lahan dilakukan per kelompok, apabila kelompok masyarakat ± 20 orang merekalah yang akan membuka lahan dan seberapa sanggup masyarakat dalam membuka lahan[77].

Di Desa Serdang Jaya di Dusun Sri Menanti[78]. Wilayah HLG akan ditanami dengan tanaman yang cocok dengan ekosistem gambut.

Di Desa Sungai Landak dikenal kepala keluarga sajalah yang tetap membuka lahan tersebut dijadikan perkebunan kelapa dan pinang, sebagian lagi tidak mengolah lahan tersebut pada masa itu, akan tetapi sudah membuat tanda batas lahan yang mereka buka dengan “BREJEL” / parit kecil[79]

Di Marga Sabak di Desa Bukit Tempurung Dusun Suka Damai, Dusun Suka Mulya dan Dusun Pinang Mas serta diberikan satu lembar sketsa (peta) wilayah pemukiman Desa Bukit Tempurung.

Di Desa Mencolok Daerah pematang yang cukup luas dibagian hulu Sungai Simpang Kanan ini yang cocok untuk bertani maka dijadikanlah daerah tersebut sebagai ladang pertanian dan sekaligus daerah tempat tinggal. 

II.              Hukum Patanahan

Setelah kita membahas tentang hukum Rimbo maka dapat melihat bagaimana masyarakat tentang hukum patanahan atau yang biasa dikenal sebagai Hukum Tanah.

Tanah masyarakat Melayu Jambi tidak dapat dipisahkan dari  berbagai pendekatan didalam model pengelolaan. Dimulai dari proses pantang larang[80], tatacara membuka hutan, pemberian tanda, luas areal yang diberikan, siapa saja yang berhak mendapatkan, cara menyelesaikan masalah, sanksi dan hingga hilangnya hak terhadap tanah.

Model pengelolaan ini masih dihormati dan menjadi pengetahuan bersama didalam masyarakat. Model pengelolaan inilah yang menjadi pengetahuan didalam menyelesaikan persoalan. Mengenai pantang larang telah dijelaskan didalam bab sebelumnya.

Sebelum dimulai tatacara membuka rimbo dikenal Tanah pemberian. Sebagai masyarakat Melayu, Masyarakat Melayu Jambi terbuka terhadap kedatangan penduduk dari luar dusun[81].

Seloko terhadap kedatangan penduduk dari luar dusun ditandai dengan Seloko seperti “Tanjung Paku batang belimbing. Tempurung dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang lain dipatenggangkan  adalah perumpaan keterbukaan masyarakat dengan pendatang[82].

Sebagai bentuk keterbukaan dengan masyarakat pendatang maka dikenal “tanah pemberian”.

Di Marga Sungai Tenang dikenal “tanah irung. Tanah gunting”. Yang ditandai untuk masyarakat Desa Tanjung Alam dengan istilah “tanah Koto 10, belalang pungguk 9”. Atau “Belalang Pungguk 9. Padang Koto 10.

Dusun Tanjung Mudo merupakan tanah pemberian dari Koto 10 namun penduduknya berasal dari Pungguk 6 yaitu berasal dari Dusun Baru dan Dusun Kototeguh. Mereka kemudian “beladang jauh” di wilayah Koto 10. Di masyarakat dikenal dengan istilah “Tanah Koto 10, belalang Pungguk 6”. Ada juga menyebutkan “Belalang Pungguk 6. Padang Koto 10.

Sedangkan Tanjung Alam merupakan tanah dari  Koto 10 namun penduduknya berasal dari Pungguk 9. Dikenal dengna istilah “tanah Koto 10, belalang pungguk 9”. Atau “Belalang Pungguk 9. Padang Koto 10.

Sedangkan Koto Rawang penduduknya berasal dari Lubuk Pungguk yang termasuk kedalam Pungguk 9. Sedangkan wilayah diberikan oleh Pungguk 6. Dikenal dengan istilah  Tanah Pungguk 6, Belalang Lubuk Pungguk.  Lubuk Pungguk termasuk kedalam Pungguk 9.

Istilah “tanah Irung, Tanah gunting”. Atau  dengan istilah mengirung dan mengunting tanah Koto Sepuluh”. Masyarakat Pungguk Sembilan Tanahnya merupakan pemberian Koto Sepuluh yang kemudian disebut dengan Belalang Pungguk Sembilan Padang Koto Sepuluh”.
Tanah Irung Tanah Gunting berdasarkan tembo : “muaro sungai titian teras di sungai sirih (sungai tembesi sekarang), peradun limau keling (mudik tanjung alam), terus ketanah genting, pauh belepang, dusun talang lengis, laju ke muaro sungai matang di sungai sirih mudik ke sungai sirih” [83].
Terhadap masyarakat diluar Marga Sungai Tenang dikenal ujung batin. Penduduknya berasal dari Marga Batangasai dan Marga Batin Pengambang namun wilayah kemudian diberikan dari Marga Sungai Tenang. Biasa dikenal dengan istilah “tanah ujung Batin”. Ditandai dengan Seloko “Belalang Batin Pengambang. Tanah Koto 10.

Begitu juga dengan Desa Renah Alai. Renah Alai merupakan masyarakat yang berasal dari dusun yang termasuk kedalam Marga Serampei. Kemudian pindah ke Inum Pendum yang termasuk kedalam Marga Sungai Tenang. Dusun Inum Pendum kemudian menggunakan nama Renah Alai. Renah Alai kemudian masuk kedalam Marga Serampas.

Sedangkan Sungai Lisai merupakan ujung dari wilayah Pungguk 9 yang terletak di Dusun Muara Madras. Sungai Lisai kemudian masuk kedalam wilayah Sungai Lisai Kecamatan Pinang Belapis, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Lokasi desa yang berada di tengah-tengah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Jarak Desa Sungai Lisai ke Desa Seblat Ulu yang merupakan desa terdekat, hanya 9,5 kilometer.

Tanah Pembarap

Dalam himbauan dari Raja Jambi, melihat pemukiman di sekitar bawah Gunung Masurai yang masih sepi, maka Penduduk dari Serampas kemudian turun untuk menghuni kawasan di bawah Marga Serampas. Biasa dikenal dengan istilah Tanah Pembarap.

Dusun-dusun yang termasuk kedalam Tanah Pembarap seperti Tanjung Asal, Dusun Durian Mukut, Peraduan Temeras, Air Lago, Badak Terkurung, Rantau Pangi, Pulau Raman, Sekancing, Dusun Baru Padang lalang, Rantau Limau Kapas, Muara Inum,

Dusun Rantau Limau Kapas, Dusun Sekancing termasuk kedalam Marga Tiang Pumpung dan menjadi kecamatan Tiang Pumpung.  Desa Muara Pangi, Rantau Jering kemudian masuk kedalam Kecamatan Lembah Masurai.

Sedangkan Air Lago, Badak Terkurung, Peraduan Temeras, Pulau raman masuk ke Marga Tiang Pumpung kemudian masuk ke kecamatan Muara Siau.

Di Marga Pelepat dikenal Pemberian tanah yang disebut didalam seloko “Sejalar Peringgi. Sekokok Ayam”. Seloko ini melambangkan wilayah yang hendak diberikan[84]. Begitu juga wilayah Ujung Tanjung yang diberi gelar Rio Bagindo merupakan wilayah “Sebiduk luncur. Sekokok ayam.

Marga IX Koto dikenal “koto yang ramai”. Daerah ini kemudian dikenal sebagai daerah Transmigrasi di Rimbo Bujang[85].

Marga Jebus di Desa Rukam dikenal “jejawi berbaris dan tali gawe’.

Hanya Marga Air Hitam dikenal sebagai Tanah Bejenang.  Istilah Jenang adalah penamaan dari “orang yang dipercaya” dari Tumenggung[86].

Tanah nan berjenang adalah wilayah sembilan yang berada di bawah pemerintahan jenang. Lembaga jenang adalah jalan lain yang digunakan Sultan untuk mengingatkan para pimpinan daerah daerah di pedalaman akan keberadaan otoritas sentral. Daerah tersebut meliputi beberapa daerah di dataran tinggi Jambi di luar area Batanghari. Penduduk Tanah nan berjenang ini bermukim migran dari Minangkabau yang disebut sebagai orang Batin dan orang Penghulu, dan yang berasal dari Palembang, yaitu orang Rawas[87].

Penamaan Tanah bejenang kemudian dipadankan seperti “tuo kampung, tanah bejenang, rajo bepenghulu, negeri bebatin.

Di daerah hilir dikenal “pancung alas seperti di Marga Kumpeh seperti di Desa Sponjen[88], Desa Sogo[89], Desa Sungai Bungur[90]., Dusun Pulau Tigo[91]  dan Desa Sungai Beras. Pancung alas adalah tanah  Pemberian dari Pemangku adat.

Pengaturan Hukum Tanah diutamakan terhadap penduduk dusun. Sedangkan penduduk diluar dusun dapat diberikan tanah sebagai hak pakai sesuai dengna seloko “beladang jauh”. Tidak dapat hak milik sebagaimana seloko “harto berat ditinggal, harto ringan boleh dibawa.

III.            Tatacara membuka Rimbo

Tatacara membuka rimbo dimulai dari prosesi seperti “pamit ke penghulu, tatacara membuka rimbo, pemberian tanda, pengaturan, luas yang diberikan dan hak yang melekatnya.

“Pamit ke penghulu” adalah Seloko terhadap kegiatan yang dilakukan diwilayah kekuasaan Dusun harus sepengetahuan pemangku Adat. Sebagai pemangku adat, ditandai dengan “Alam sekato Rajo. Negeri sekato Batin. Atau “Alam Berajo, Rantau Berjenang, Negeri Bebatin, Luhak Berpenghulu, Kampung betuo, Rumah betengganai” atau  Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak. Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang. Seloko ini melambangkan alam kosmos Rakyat Melayu Jambi untuk menempatkan dan menghormati pemimpin.

Seloko seperti ”Bejalan dulu selangkah, Bekato dulu sepatah, netak mutus, Makan ngabisi” adalah melambangkan sikap yang bijaksana. Seloko seperti Tempat Betanyo, artinya pergi tempat betanyo, Balik tempat beberito” adalah menempatkan keteladanan kepemimpinan yang kemudian menjadi tempat berteduh dan menjadi saluran dari semua persoalan masyarakat.

Tata cara membuka hutan dikenal diberbagai tempat. Di Marga Batin Pengambang dikenal Setawar dingin[92]. Ditentukan didalam rapat kemudian ditentukan siapa saja yang berhak untuk membuka rimbo.

Datang nampak muko. Pegi nampak punggung. Masyarakat diluar Desa apabila hendak membuka rimbo, maka harus tinggal selama 3 tahun setelah itu harus melaporkan kepada tuo tengganai dan nenek mamak.

Nasi Putih Air jernih. Setelah tinggal selama 3 tahun dan melaporkan kepada tuo tengganai dan nenek mamak, maka diadakan rapat untuk menyampaikan maksud untuk membuko rimbo.

Di Desa Batu Empang Marga Batin Pengambang[93], dimulai prosesi seperti “rembug”, “nasi putih air jernih”, . Rembug. Tata cara membuka rimbo dimulai dengan mengadakan rapat adat. Waktunya setelah Hari raya Idul Fitri). Anggota yang ingin mengelola hutan harus memberitahukan kepada ninik mamak.

Setelah ditentukan anggota yang ingin mengelola hutan, maka dilakukan pengecekkan tempatnya. Luas tanah yang diberikan 2 hektar. Tanah harus ditanami. Selama 4 tahun tidak dibenarkan membuka rimbo. Tanah tidak boleh dijual kepada siapapun. Sedangkan tanaman hanya boleh dijual kepada masyarakat Desa Muara Air Duo.

Sedangkan Nasi Putih Air Jernih. Setelah tinggal  selama 1 tahun, maka melapor kepada ninik mamak. Ninik mamak kemudian mengundang rapat untuk memberitahukan kepada masyarakat. Setelah mendapatkan persetujuan, maka barulah mendapatkan hak untuk membuka rimbo.

Di Desa Sungai Keradak (Marga Batin Pengambang) dikenal dengan “betahun bersamo, Rapat kenduri, Melambas, Belukar tuo, Empang krenggong, Nasi putih air jernih, Kelapp Sekok, Selemak Semanis, “harta berat ditinggal, harta ringan dibawa.

Untuk Masyarakat Desa Sungai Keradak[94] dimulai dari prosesi “Betaun bersamo”. Betahun bersamo adalah  Waktu ditentukan. Yaitu habis lebaran haji atau habis lebaran besar.

Kemudian dikenal Rapat Kenduri. Diadakan didalam rapat kenduri yang akan membuka rimbo. Dengan cara gotong royong.

Belukor Tuo. Rimbo yang sudah dibuka ternyata tidak ditanami, maka akan kembali ke desa. Belukor Tuo Waktunya selama 5 tahun

Empang Krenggo. Rimbo yang telah dibuka, ditanami tanaman mudo (padi dan sayur-sayuran) namun ternyata tidak lagi ditanami selama 5 tahun, maka kembali ke Desa. Boleh dijual tapi hanya untuk masyarakat Desa Sungai Keradak.

Sedangkan untuk Masyarakat Desa Sungai Keradak dimulai dari Orang luar yang hendak tinggal di Desa Sungai Keradak, maka minimal 6 bulan tinggal di Desa Sungai Keradak. Setelah 6 bulan, barulah menghadap ke nenek mamak dan tuo tengganai untuk meminta izin membuka rimbo.

Tradisi ini kemudian dikenal dengan “Nasi Putih Air Jernih, Kelapo Sekok, selemak semanis. Setelah menghadap nenek mamak dan tuo tengganai, maka diadakan rapat kenduri. Didalam rapat kenduri, maka barulah dapat diizinkan untuk membuka rimbo. Rimbo yang telah dibuka, menjadi haknya.

Namun dikenal Harta Berat ditinggal, harta ringan dibawa”. Apabila meninggalkan Desa Sungai Keradak, maka tanahnya kembali ke Desa Sungai keradak.

Di Desa Tambak Ratu (Marga Batin Pengambang) [95] dikenal tatacara seperti “Teluk Sakti, Rantau Betuah, Gunung Bedewo”, Setawar dingin”, “Lambas, Datang Nampak muko, pegi Nampak punggung”, “nasi putih air jernih.

Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo. Setiap membuka rimbo (hutan) dimulai dari rapat di Desa pada seminggu sesudah lebaran haji. Rapat dihadiri oleh tuo tengganai, nenek mamak dan pemangku Desa

Setawar dingin. Didalam rapat kemudian ditentukan siapa saja yang berhak untuk membuka rimbo.Diutamakan yang baru keluarga.

Datang nampak muko. Pegi nampak punggung. Masyarakat diluar Desa apabila hendak membuka rimbo, maka harus tinggal selama 3 tahun setelah itu harus melaporkan kepada tuo tengganai dan nenek mamak.

Nasi Putih Air jernih. Setelah tinggal selama 3 tahun dan melaporkan kepada tuo tengganai dan nenek mamak, maka diadakan rapat untuk menyampaikan maksud untuk membuko rimbo. .

Di Marga Batang Asai Tengah dikenal pegang pakai[96].  “Idak membawo cupak dengan gantang dari kampung, Idak membawo tajuk dengan neraco dari rumah, Mendapat cupak gantang yang lah ado, Memakai tajuk neraco yang lah tersedio. Dimano bumi ditijak disitu langit dijunjung, Dimano tembilang dicacak, disitu tanaman tumbuh, Dimano ranting dipatah disitu aiknyo disauk, dimano negeri dihuni, disitu adatnyo dipakai dan lembago diisi”

“Adat di desa ini yaitu tapuek tatiang-tiang panjang yang talukiek ka bendo jati, diasak layu diangguk mati. Itu akar adat sepucuk Jambi Sembilan lurah dan itulah yang dinamakan adat Jambi dan pemakaiannya itu berbeda-beda.

Membuka rimbo gedang bagi setiap warga di Batang Asai haruslah meminta izin dari nenek mamak, dalam konteks sekarang adalah Kepala Desa. Hutan yang masih tersisa boleh saja digarap menjadi ladang umo atau kebun karet jika ada izin dari Kepala Desa sebagai pemimpin tertinggi. Model yang lain adalah pemberian dari nenek mamak desa sesudah pernikahan yang disebut rimbo along kumpalan paku.

Di Desa Sungai Baung dikenal pegang pakai[97]. Membuka rimbo gedang bagi setiap warga di Batang Asai haruslah meminta izin dari nenek mamak, dalam konteks sekarang adalah Kepala Desa. Hutan yang masih tersisa boleh saja digarap menjadi ladang umo atau kebun karet jika ada izin dari Kepala Desa sebagai pemimpin tertinggi. Model yang lain adalah pemberian dari nenek mamak desa sesudah pernikahan yang disebut rimbo along kumpalan paku[98].

Membuka umo dulu dilakukan secara bergotong royong atau dipanggil beselang. Namun sekarang sistem sudah mulai berubah menjadi pengupahan. Dalam sistem lama beselang, jika seorang peneroka telah memilih lokasi untuk dijadikan umo maka keluarga terdekatnya akan membantu penebasan[99]..

Di Desa Paniban Baru[100] dikenal tatacara membuka hutan yang dimulai dari “Betaun bersamo, Rapat kenduri, melambas, Nasi putih Air jernih, Kelapa sekok, selemak semanis.

Untuk masyarakat didalam Desa Paniban Baru dikenal Betaun bersamo. Waktu ditentukan. Yaitu habis lebaran haji atau habis lebaran besar.

Kemudian Rapat Kenduri. Diadakan didalam rapat kenduri yang akan membuka rimbo.Tata cara bergotong royong.

Sedangkan untuk masyarakat diluar Desa Paniban Baru dikenal prosesi “Nasi putih air jernih. Orang luar yang hendak tinggal di DESA PANIBAN BARU, maka minimal 8 bulan tinggal di DESA PANIBAN BARU. Setelah 6 bulan, barulah menghadap ke nenek mamak dan tuo. Kemudian prosesi Nasi Putih Air Jernih, Kelapo Sekok, selemak semanis. Setelah menghadap nenek mamak dan tuo tengganai, maka diadakan rapat kenduri. Didalam rapat kenduri, maka barulah dapat diizinkan untuk membuka rimbo. Rimbo yang telah dibuka, menjadi haknya
.

Di masyarakat Orang Rimba di Taman Nasional Bukit 12 dikenal langkah-langkah pembukaan ladang seperti memilih lokasi; meminta pendapat dari dukun; penebasan; pembakaran; pembersihan; penugalan; nenanaman; pemeliharaan, dan pemanenan[101]
.
Setelah lokasi ditetapkan, adalah wajib hukumnya untuk bertanya kepada Dukun. Sang Dukun akan memberi restu apabila menurut pandangan batinnya, lokasi tersebut cocok untuk dijadikan ladang. Tapi sebaliknya Sang Dukun akan melarang Orang Rimba membuka ladang apabila menurut pandangan batinnya lokasi tersebut tidak cocok untuk dijadikan ladang. Apabila Sang Dukun memberi restu untuk membuka ladang baru, Orang Rimba akan segera melakukan penebasan atau dalam bahasa kami “mancah”.

Langkah berikutnya adalah “nobong” (penebangan). Setelah pohon-pohon besar ditebang, setelah batang-batang yang besar dibersihkan, Orang Rimba membiarkan lokasi tersebut terbakar sinar matahari selama satu bulan. Penjemuran tersebut dimaksudkan mengeringkan batang-batang kayu yang masih basah supaya dalam proses pembakaran, batang-batang itu mudah dilalap api.

Sedangkan proses pembakaran diawali dengan membuat parit-parit pembatas. Orang Rimba tidak ingin hutan di sekitar mereka ikut terbakar. Selain sanksinya berat, kebakaran hutan juga akan sangat merugikan Orang Rimba karena sebagian besar kebutuhan hidup mereka dipenuhi oleh hutan.

Pembakaran itu biasanya dilakukan pada saat letak matahari persis berada di atas kepala, sekitar jam satu siang. Untuk menghindari kebakaran hutan, harus diperhatikan juga arah mata angin dan kecepatan angin yang berhembus pada saat itu. Apabila anginnya terlalu besar dan mengarah pada hutan, kami harus menunda dulu pembakaran sampai anginnya tenang. Pembakarannya sendiri tidak berlangsung lama, paling lama hanya sekitar dua jam.

Setelah ladang bersih dari batang-batang yang berserakan, kaum laki-laki Orang Rimba mulai membuat lubang-lubang untuk menanam biji biji padi ataupun biji-biji jagung. Untuk tugas menaburkan biji, baik padi atau pun jagung, kaum  perempuan lebih dipercaya. Mereka dianggap lebih sabar dan teliti dibanding kaum laki-laki. Biji-biji ditaburkan kemudian ditutup dengan tanah.

Selain itu, orang Rimba tidak punya tradisi memelihara ternak seperti Orang Desa. Ada ungkapan yang terkenal di lingkungan Orang Rimba, “Adat kami adalah rimba yaitu berkambing kijang, berkerbau ruso, berhayom kua, berhatop serdang, berdinding kulit”. Dengan tidak diperbolehkannya memelihara ternak, Orang Rimba mendidik  dirinya sendiri untuk menjadi pemburu handal. Tak syak, berburu merupakan keterampilan yang wajib dimiliki oleh setiap laki-laki dewasa Orang Rimba.

Di Marga Serampas dikenal tanah ajun dan tanah arah. Tanah Ajun dan Tanah Arah adalah tata cara pemanfaatan tanah yang ditunjuk  dan berdasarkan hukm adat ssuai dengan pembagian, peruntukan dan pemanfaatan tanah untuk produksi, lindung dan konservasi[102]

Di Marga Sungai Tenang dikenal berbagai model pengelolaan. Di Desa Tanjung Mudo[103], Prosesi dimulai dari “Alam sekato Rajo, Negeri sekato batin”, dibuka berkelompok, Setiap Kepala Keluarga hanya boleh membuka 1 ha dan harus ditanami selama 2 tahun. Apabila tidak ditanami, maka kembali kepada Penghulu, Tanah yang dibuka tidak boleh dijual kepada orang luar, Dalam waktu 5 tahun hanya boleh dibuka 2 hektar, Harta berat ditinggal, harta ringan dibawa pergi, Cacak Tanam, Jambu Kleko.

Selain itu dikenal Penanda tanah berdasarkan sejarah pembukaan lahan yang umumnya diketahui oleh masyarakat (cencang latih) dan jambu keloko (tanaman yang ada dilahan tersebut) atau bedah nang berantai (saluran air persawahan) merupakan bukti legalitas klaim[104].

Dendang kayu betakuk baris, artinya memberi tanda pada kayu sebagai tanda bahwa kayu tersebut akan diambil untuk bahan bangunan. Kayu yang diberi tanda silang desebut Kayu belepang, kayu yang telah dilepang menjadi hak milik penduduk dusun yang membuat tanda tersebut untuk dijadikan bahan bangunan, jika takuk kayu sudah taup (menyatu) kembali maka hilanglah tanda tersebut. Maka bisa dimiliki orang lain.

Dendang hutan besawa sulo, artinya memberi tanda denga sulo saw sebagai tanda bahwa hutan tersebut sudahkan dibuka untuk areal pertanian, ada juga yang diberi tanda dengan dilambeh maka membuat Sulo sawa dan yang melambeh adalah yang menjadi hak atas hutan yang akan dibuka tersebut. Jika dalam waktu seumur jagung (+ 3 bulan) tidak dibuka, diperkirakan juga sulo sawanya sudah rusak, semak yang dilambeh telah tinggi kembali maka tanda tersebut hilang dan dapat dibuka oleh orang lain[105].

Di Desa Gedang[106], Desa Kotobaru[107], Desa Tanjung Benuang[108] ditandai  Seloko “Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak, Hutan yang dibuka harus sepengetahuan Penghulu dalam rapat Adat. Sedangkan di Desa Tanjung Alam[109]  Ditandai dengan Seloko “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang.

Bagi masyarakat desa Renah Pelaan (Merangin) misalnya, memiliki keyakinan bahwa di dalam hutan terdapat makhluk sebangsa jin. Untuk membuka lahan pertanian baru, biasanya mereka meminta izin terlebih dahulu. Permohonan izin ini disebut dengan istilah “puji perago”[110].   

Dahulu dikenal Datuk Padeh. Ia merobohkan rimbo maka rimbo itu adalah hak masyarakat Batin. Jadi, jika ada orang lain ingin berkebun di tanah itu maka haruslah meminta izin. Ibarat jika berkunjung ke rumah kawan, itu haruslah memberi salam, dan dalam hal izin tanah ini misalnya dengan mengatakan “saya ingin berkebun di tanah ini”, jika diizinkan maka ibarat orang yang memberi salam tapi haruslah masuk dengan adat sopan santun. Dalam hal ini adat yang dimaksud adalah 1 ekor ayam, 1 gantang beras, dan 2 buah kelapa, dan pembayaran itu ditujukan pada Rio/ pimpinan kampung. Jika tidak begitu, maka kita berkebun dengan berhutang dengan nenek mamak. Jika masuk dengan adat maka lahan itu jadi miliknya. Jika tidak maka lahan itu bukan miliknya dan bahkan dia masih berhutang[111]”.

Begitu juga Di Dusun Tuo[112], Desa Tanjung Berugo[113], Desa Nilo Dingin[114], Desa Sungai Lalang[115], Desa Kotorami[116] terhadap proses “membuka “rimbo”. Dengan pengaturan maka  Hutan Adat terletak di kaki gunung masurai, daerah bukit sedingin dan gunung masurai yang termasuk kedalam kawasan HP Batang Nilo-Nilo Dingin dan TNKS. Dengan pengaturan itulah maka kayu hanya diperkenankan untuk Betegak rumah.

Di desa Rantau Bidaro juga menerapkan lahan pemukiman sebagai hak pakai dan bisa diwariskan kepada anak cucu dan tidak bisa diperjualbelikan seperti pepatah adat mengatakan “sempit padang diumba” maksudnya adalah walaupun sedikit dapat bagian tetap sama bagiannya [117]

Di desa Rantau Bidaro, terdapat lahan pertanian berupa sawah, luasnya mencapai 30 hektar tetapi yang dikelola masyarakat sekarang ini sekitar 15 Hektar dan yang berhak menanam di lahan tersebut adalah keturunan nenek 4, yaitu kalbu Rendah, kalbu Solok, kalbu Cabul dan kalbu Talang, yang kesemuanya sudah dibedakan lokasi masing-masing. Kalbu Rendah sebelah ilir, kalbu solok sebelah tengah, kalbu cabul sebelah atas dan kalbu talang sebelah atas juga.

Di Marga Sumay di Desa Pemayungan[118] dikenal “Maro ladang/Maro Banjara”, “Behumo rimbo”, “behumo Ronah”.

Maro Ladang/Maro Banjar mengatur tentang  Hutan yang ada dijaga dan dikelola untuk anak cucu.

Hutan dibuka dengan tata cara “Behumo rimbo”, “Behumo di pangkal tahun, berlayar di pangkal musin”.  Seluruh masyarakat berkumpul setiap awal tahun. Ditentukan waktunya di bulan Rabiul Awal. Dibagi kelompok. Ditentukan setiap orang mendapatkan 2 hektar.Sempadan tanah (setelah ditentukan dibuat batas ladang).

Behumo Ronah. Ditanami di daerah ronah Sungai Bulan dan Sungai Sumay. Tidak boleh menebang hutan keramat (Tanah penggal, Bulian berdarah, Bukit Selasih, Pasir embun). Sanksinya kain putih 300 kayu, kerbau tiga, beras 300 gantang, kelapa 300, selemak semanis seasam segaram, kayu dikembalikan ke desa, diusir dari kampung dan dilaporkan kepada Polisi.

Di Desa Muara Sekalo, Maret 2013[119], tata acara membuka hutan dimulai dengan Seloko “Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah. Setiap orang yang hendak beumo harus diberitahukan kepada penghulu.

Masyarakat yang hendak “Beumo” harus sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Waktu yang ditentukan biasa dikenal dengan istilah “4 bulan pertama”, 4 bulan kedua”, dan 4 bulan ketiga. 4 bulan pertama adalah masa menjalani tanah. 4 bulan kedua “Penebangan” dan 4 bulan ketiga menanami padi.

Kemudian Menjalani tanah berupa “lambas”, sak sangkut”, “Banjar bertindih galang”, “Bidang’, “pemarasan hutan”, “ Manugal-beselang”, Menanami”, “nyisip”, dan “beumo”.

Menugal berselang (gotong royong) artinya mulai menanam tanah yang telah dibuka. Menanami. Ditanami padi.

Sesap jerami, tunggul pemarasan. Tanah yang kemudian digarap maka telah menjadi haknya. Harus ditanami tuo seperti “karet”.  

Nyisip. Tidak boleh Beumo diluar waktu. Apabila mau beumo maka dikenal dengna “peridinan”

Yang tidak boleh “Beumo” adalah anak kampang, junjung nyiru, godak batang, narik rotan di tengah hutan dan maling.

Di Desa Semambu[120], dikenal Pseko adat, Larang penghulung dan gamal. Artinya setiap perbuatan yang menyangkut membuka hutan, “beumo” harus sepengetahuan Penghulu.

Masyarakat yang hendak “Beumo” harus sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Rapat Adat yang dihadiri nenek mamak, Mangku, Tuo Kampung menentukan hari “beumo”.

Sebelum Beumo, harus diadakan upacara adat. Dengan menyiapkan ayam dan bubur kuning dan bubur putih.

Sesap jerami, Tunggul Pemarasan. Tanah yang kemudian tidak digarap, maka yang membuka tanah, tidak mempunyai hak lagi

Di Desa Suo-suo[121] dikenal Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah. Setiap orang yang hendak beumo harus diberitahukan kepada penghulu. Masyarakat yang hendak “Beumo” harus sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Waktu yang ditentukan biasa dikenal dengan istilah “4 bulan pertama”, 4 bulan kedua”, dan 4 bulan ketiga. 4 bulan pertama adalah masa “mancah”.  4 bulan kedua “Numbang” dan 4 bulan ketiga Manggang. Dan terakhir “nugal.   

Kemudian Mancah. Rapat Adat yang dihadiri nenek mamak, Mangku, Tuo Kampung menentukan hari “beumo”.

Numbang. Tanah yang telah ditakuk pohon kemudian ditumbangkan. Manggang. Kemudian manggang pohon agar tanah dapat dibersihkan. Tidak boleh “manggang' sendirian. Ketua Kelompok yang memberitahukan kapan dilakukan “manggang

Nugal. Kemudian “menugal” artinya mulai menanam tanah yang telah dibuka.  Menanami tanamana seperti padi dan kemudian karet.

Sesap jerami, Tunggul Pemarasan. Selain itu juga menanami pohon seperti durian, duku dan lainnya sebagai tanda miliknya.  Tanah yang kemudian tidak digarap, maka yang membuka tanah, tetap mempunya hak

Menurut ketentuan adat Rantau Gedang dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan hutan, diperbolehkan bagi setiap warga, baik warga asli maupun warga pendatang yang merantau ke Desa Rantau Gedang kemudian menjadi bagian dari rakyat Rantau Gedang, sepanjang untuk kebutuhan membuat rumah dan membuka lahan untuk berkebun. Ketentuan adat ini berdasarkan Seloko adat yang berbunyi “Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimano biduk ditarik disitu galang diletakkan, dimano akar ditetak disitulah aiknyo menetes[122]”.

Di Marga Batin II Ulu,  Masyarakat menyebutkan istilah “kebun” untuk tanah yang sudah dibuka dan ditanami. Utamanya karet. Sedangkan terhadap tanah yang telah dibuka namun belum ditanami dikenal dengan istilah “sesap” atau “belukar”[123].

Di Marga Pelepat dikenal membuka hutan yang disebutkan didalam “mati tanah. buat tanaman”[124]. Seloko ini mirip dengan seloko “sesap rendah. jerami tinggi’ di Marga Sungai Tenang. Atau “tunggul pemarasan” di Marga Sumay.

Di Desa Baru Pelepat, Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau dikenal prinsip-prinsip “tando kayu batakuk lopang, tando kulik kaliki aka”, “harus sompak, kompak, setumpak”, “umpang boleh disisip”, “bak napuh diujung tanjung, ilang sikuk baganti sikuk, lapuk ali baganti ali”,  “lapuk pua jalipung tumbuh”, “kadarek babungo kayu, kayak babungo pasir”, “tanah lombang, umput layu”[125].

Tando kayu batakuk lopang, tando kulik kaliki aka maksudnya setiap hak kepemilikan lahan maupun tanaman harus diberi tanda. 

Dalam hal berladang, harus sompak, kompak, setumpak maksudnya dilakukan bersama. Jika tidak dilakukan sanksinya berikan teguran oleh Ninik Mamak berdasarkan jumlah jiwa dalam keluarga.

Umpang boleh disisip, kerap boleh dianggu maksudnya dalam hal pengambilan sumberdaya alam harus memperhatikan pontensi yang ada, bila potensinya baik boleh diambil, yang rusak harus diperbaiki

Bak napuh diujung tanjung, ilang sikuk baganti sikuk, lapuk ali baganti ali, maksudnya sumberdaya alam harus tetap dipertahankan kelestariannya.

Lapuk pua jalipung tumbuh maksudnya terhadap lahan kritis harus dilakukan penghijauan kembali.

Kadarek babungo kayu, ka ayik babungo pasir maksudnya setiap pemanfaatan sumberdaya alam dikenakan sumbangan untuk pembangunan desa.

Tanah lombang, umput layu maksudnya setiap orang yang membunuh binatang liar yang halal dimakan maka sebagian harus diberikan kepada pimpinan adat.

Di Marga Pemayung Ilir terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman” [126].

Didaerah hilir  seperti Di Desa Sungai Bungur[127], Desa Sponjen[128], Desa Sogo[129], Desa Sungai Beras[130]dikenal istilah “pancung alas”. Pancung alas” atau dengan penamaan lain adalah  setiap kepala keluarga yang hendak membuka hutan harus seizin dari Kepala Desa.

Selain itu dikenal “Bidang”, “mentaro”, Prenggan”, “larangan Krenggo”, ”pawah”, “Depo”, Pawah”, Cerak parit atau dengna penamaan lain”. Selain itu juga dikenal “peumoan” dan “petanang”.

Peumoan yaitu tanah yang dipersiapkan khusus untuk tanaman padi. Pawah merupakan sebutan bagi hasil dengan kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan Mawah sebutan bagi pekerja yang melakukan Pawah. Sedangkan petanang adalah Tempat perkebunan tanaman khas gambut (biodiversity) seperti kelapa atau pinang.

Tanah yang telah dibuka maka harus ditanami selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun. Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami maka akan dijatuhi sanksi adat.


Setiap Kepala Keluarga hanya dibenarkan untuk membuka sebanyak 32 depo x 200 depo. Setiap tanah yang telah dibuka disebut satu bidang.

Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda berupa tanaman seperti Pinang, jelutung atau tanaman lain sebagai pembatas antara satu dengan yang lain. Dengan cara menanam tanaman pinang berjejer (mentaro) atau dengan penanaman lebih rapat daripada tanaman yang lain (Prenggan). Atau dengan memberikan tanda yang dikenal dengan penamaan Pasak mati” atau “Patok mati”.


Depo adalah pengukuran tanah dengan menggunakan rentang tangan orange dewasa. Satu depo sama dengan 1,7 meter. Setiap tanah yang telah dibuka disebut satu bidang.

Larangan Krenggo atau dengan penamaan lain adalah proses terhadap Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda berupa tanaman seperti Pinang, jelutung atau tanaman lain sebagai pembatas (mentaro), maka tanah tidak boleh dibuka oleh orang lain.

Bubur putih yaitu makanan berupa bubur putih sebagai tanda pembayaran sanksi adat karena tanah yang dibuka selama 3 tahun tidak ditanami.

Diluar dari prosesi diatas maka dikenal beumo jauh betalang suluk, beadat dewek pusako mencil”. Terhadap kesalahan kemudian dijatuhi sanksi. Sedangkan apabila dijatuhi sanksi namun tidak dipatuhi dikenal “Plali”. Ditandai dengan Seloko ”Bapak pado harimau, Berinduk pada gajah, Berkambing pada kijang, Berayam pada kuawo.

Di Desa Danau Lamo[131] dikenal “pancung alas”. Permintaan izin kepada penghulu atau kepala desa. Pemakaian sistem pancung alas. Selamatan sebelum pembukaan rimbo(potong ayam). Pembukaan rimbo dilakukan dengan cara gotong royong. Pembukaan rimbo dilakukan antak kemarau (sebelum musim kemarau). Waktu yang digunakan untuk gotong royong pembukaan rimbo lebih kurang 4-5 bulan

Setelah rimbo dibuka dibersihkan dengan cara Merun(membakar) kayu-kayu dan sampah-sampah bekas tebangan.Pembukaan rimbo dengan cara berkelompok. Batas jarak satu kelompok dengan kelompok lainnya ditandai dengan tunggul kayu,tanaman atau baluran(parit kecil). Batas satu kelompok dengan kelompok lain juga berjarak 100 depo. Batas-batas tanah juga ditanami dengan pohon-pohon buah antara lain pohon durian,duku,jering, petai. Lahan yang sudah dimiliki boleh dijual,tapi juga harus sepengetahuan kepala desa. Juga di pungut pajak atas kepemilikan suatu lahan.

Di Kerinci dikenal prosesi membuka hutan. Menurut Rio Perang dan Tanang punya Rumah Gadang “Asal usul desa Tanjung Pauah Mudik adalah berawal dari Sanggaran Agung. Pada awalnya di dataran rendah berdekatan dengan danau Kerinci yaitu Sanggaran Agung hidup lah sekelompok kecil manusia. Situasi dan kondisi di sana tidak bersahabat, karena kehidupan di sana rentan terhadap penyakit, “lintah segedang iduk dan nyamok segedang kucek”. Kecil kemungkinan untuk berlangsungnya kehidupan di sana (Sanggaran Agung). Muncullah ide dan gagasan membuat iduk (perahu) untuk menuju daratan yang tinggi yaitu “di talang Anggo” (talang/taratak) sekitar kawasan tanjung dengan menyeberangi danau Kerinci dengan menggunakan perahu/ sampan sederhana ketika itu. Di kawasan tanjung tersebut terdapat rumpun Pauh (pohon sejenis Mangga berbiji satu) yang tumbuh tinggi dan berbatang lebar juga besar yang terdapat di sekitar kawasan tanjung. Maka oleh sebab itu, masyarakat setempat menyebutkan kawasan tersebut adalah Tanjung Pauh. Seiring berjalannya waktu, dari kelompok kecil yang kehidupan sederhana berburu dan mengumpulkan makanan dengan bercocok tanam membuka lading dan sawa (buka imbo),...... Singkat cerita, akhirnya kelompok kecil tersebut berkembangbiak hingga sekarang dinamakan desa Tanjung Pauh Mudik. Pewarisan adat itu dilakukan dengan cara dituturkan dari generasi ke generasi secara lisan. Tumbi di sekitar Sungai Batang Meraho (lubuk asai) kemudian menebang hutan untuk dijadikan lahan persawahan tempat tinggalnya pertama di Koto Tuwo (dusun tua), proses perluasan pemukiman penduduk selanjutnya mulai menyebar ke larik Udik, terus ke larik Solok, terus ke larik Panjang (Anja), terus ke larik Lindung (Indong) adalah wilayah atau kawasan tanah ajun arah atau tanah milik adat (harto pusako) tidak boleh dibuat sartifikat tanah pada kawasan tersebut, karena bukan tanah dari hasil jual beli (idak tanah melaiy). Dan adapula harto pusako baru kemudian meluas hingga ke Dusun Baru Rendah dan Dusun Baru Tinggi. Total ada dua dusun yaitu: Pertama, Usung Dalam; keuda, Usung Baru. Terdapat 15 Depati Nenek Mamak (ajun arah): (1) Depati Muko; (2) Sutan Alam; (3) Depati Padan; Datuk; (4) Rio Malin dan (6) Rio Indah. Ada Mangku Depati (Intelijen) “Subok, samba, dan talingok kubumoiy” . Rio Perang dan Tanang punya Rumah Gadang[132].

Setelah pamit ke penghulu maka dikenal tatacara membuka rimbo. Di Marga Batin Pengambang dimulai dari prosesi upacara adat yang dikenal “betaun besamo”[133]. Diimulai dari rapat di Desa pada seminggu sesudah lebaran haji. Rapat dihadiri oleh tuo tengganai, nenek mamak dan pemangku Desa. Yang biasa dikenal dengan istilah “rapat kenduri”.


IV.           Penanda tanah

Ditengah masyarakat Melayu Jambi, penanda tanda atau batas tanah dikenal yang menunjukkan sebagai pemilik tanah.

Di daerah uluan Batanghari dikenal “takuk pohon”. “tuki”, “sak Sangkut” sebagai penanda batas tanah. Yang ditandai dengan pohon sebagai batas antara satu tanah dengan yang lain. Atau “ranting pohon” dipatahkan (tuki), atau pohon ditebang setengah (takuk pohon).

Ada juga menyebutkan “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”. Ada juga menyebutkan “Lambas”.  Di daerah ilir Jambi dikenal  “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati”. 

Di Marga Batin Pengambang, Desa Sungai Keradak[134] dikenal Melambas. Rimbo yang akan dibuka diberi tanda “kayu pengait. Kemudian ditanami seperti kleko, durian. Waktu melambas selama 3 bulan. Apabila selama 3 bulan tidak ditanami, maka tanah kembali ke desa.

Istilah melambas di juga dikenal di Desa Tambak Ratu[135]. Setelah dilakukan pengecekan tempat yang mau dibuka, maka ditandai dengan cara sistem tuki (Pohon kayu silang). Atau pohon dikupang-kupang sebagai tanda telah membuka rimbo.

Sedangkan Melambas di Desa Paniban Baru ditandai dengan Rimbo yang akan dibuka diberi tanda “kayu pengaikit. Kemudian ditanami seperti kleko, durian. Waktu melambas selama 3 bulan. Apabila selama 3 bulan tidak ditanami, maka tanah kembali ke desa[136]. Boleh dijual tapi hanya untuk masyarakat DESA PANIBAN BARU dan dalam Komunitas Marga Batin Pengambang.

Sedangkan di Rantau Panjang[137], makna Lambas yaitu Rimbo yang akan dibuka diberi tanda “kayu pengaikit. Kemudian  ditanami seperti kleko, durian. Waktu melambas selama 3 bulan. Apabila selama 3  bulan tidak ditanami, maka tanah kembali ke desa5. Belukor Tuo. Rimbo yang sudah dibuka ternyata tidak ditanami, maka akan  kembali ke desa.

Di Desa Gedang Marga Sungai Tenang, LAMBAS berarti setiap Ketua Keluarga kemudian membuat tanda dengan cara membuat pagar bambu dan harus membuka selama 6 bulan[138].

Di Desa Muara Sekalo[139], istilah Lambas adalah prosesi  Sebelum membuka tanah, dibagi berkelompok. Diadakan upacara dengan memohon izin mambang jori.

Sedangkan penanda dikenal Sak sangkut. Memberikan tanda dengan “takuk pohon”. Dilakukan dengan Banjar bertindih galang. Kemudian Bidang. Setiap tanah yang dibuka dan ditandai dinamakan bidang. Selanjutnya Pemarasan hutan atau Penebangan. 

Di Desa Semambu[140], Lambas berbanjar. Tanah yang telah dibuka harus diberi tanda berupa tanaman seperti durian. Setiap banjar ditentukan 10 KK. Setiap tanah yang dibuka dan ditandai dinamakan bidang. Kemudian “menugal” artinya mulai menanam tanah yang telah dibuka.

Di Desa Suo-suo[141], Lambas dilakukanSebelum Beumo, harus diadakan upacara adat. Lambas berbanjar. Tanah yang telah dibuka harus diberi tanda takuk pohon. 

Di Marga Sungai Tenang, Desa Tanjung Mudo dikenal Cacak Tanam, Jambu Kleko. Tanah yang telah dibuka diberi tanda dengan menanam pohon seperti jeluang[142].  Desa Kota baru juga mengenal “Jeluang”. setiap Ketua Keluarga kemudian membuat tanda dengan cara menanam phon jeluang dan harus membuka selama 3 bulan[143]

Di daerah hilir dikenal Mentaro, “Prenggan”. “Pasak mati” atau “Patok mati”, “larangan Krenggo”, ”pawah”, “Depo”, Pawah”, Cerak parit”  adalah tanda terhadap tanah yang telah dibuka. Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda berupa tanaman seperti Pinang, jelutung atau tanaman lain sebagai pembatas antara satu dengan yang lain.

Terhadap tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda berupa tanaman seperti Pinang, jelutung atau tanaman lain sebagai pembatas (mentaro), maka tanah tidak boleh dibuka oleh orang lain (larangan krenggo).

Terhadap tanah mentaro, kemudian ditanyakan kepada pemilik tanah, tetangga tanah atau saksi disekitar tanah. Terhadap tanah untuk ditanami atau tidak sanggup untuk dikelola melalui prosesi adat yang berlaku ditempat. Apabila tidak dikelola maka hak terhadap tanah menjadi hapus dan akan diberikan kepada masyarakat Desa.

Sedangkan Mentaro. Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda berupa tanaman Pinang. Sedangkan menanam tanaman lebih rapat mengeliling tanah dikenal dengan istilah prenggan.

Dapat juga menanam tanda yang ujungnya dilapisi plastic yang kemudian dimasukkan ke tanah. Cara ini dikenal  sebagai “pasak mati atau patok mati.

Istilah “hilang celak. Jambu Kleko”, “Cacak Tanam. Jambu Kleko”, “Lambas”,   “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” dengan cara menanam pohon sebagai tanda (hilang celak. Jambu Kleko”, “Cacak Tanam. Jambu Kleko).

“Takuk pohon”, “tuki”, “sak Sangkut”, “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”, “Lambas”, “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” adalah bentuk pengakuan sebagai batas tanah dan bukti untuk menyelesaikan perselisihan tanah. 

Berbeda dengan Hukum Tanah yang diatur didalam KUHPer (kitab Undang-undang Hukum Perdata) yang mengatur lepasnya hak milik benda tidak bergerak selama 30 tahun sebagaimana diatur didalam pasal 1963 BW, di masyarakat Melayu Jambi dikenal “empang krenggo”, “mengepang”,”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat tanaman”. Di daerah hilir dikenal “Larangan krenggo”.

Selain penanda tanah seperti “takuk pohon”,  “tuki”, “sak Sangkut” , “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”. Ada juga menyebutkan “Lambas”,  Lambas berbanjar didaerah ulu Batanghari

Atau  Di daerah ilir Jambi dikenal  “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” maka Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami dan tidak dirawat maka akan dijatuhi sanksi adat. Bahkan hak milik terhadap tanah kemudian hapus.

Terhadap tanah yang telah ditentukan maka tanah harus dikelola. Dan hak terhadap  tanah (ontginningsrecht) akan hilang apabila tidak dikelola ataupun dikerjakan.

Istilah tanah terlantar ditandai dengan seloko. Di Marga Batin Pengambang dikenal “empang krenggo”.  Di Desa Tambak Ratu dikenal “mengepang” [144]  atau ”Belukar tuo” atau “belukar Lasah”.

Di Marga Tenang dikenal “sesap rendah jerami tinggi”. Sedangkan di Marga Sumay dikenal  “sesap rendah tunggul pemarasan”. Di Marga Pratin Tuo dikenal istilah “perimbun[145]. Di Marga Pelepat dikenal istilah “Mati tanah. Buat tanaman”.

Di Marga Batang Asai Tengah dikenal “umbo rimbo”, “umo belukar tuo”, “uma belukar mudo dan “umo sesap”. “Umo rimbo” adalah “pembukaan tanah”. Umo belukar tuo adalah tanah yang telah dibuka namun kemudian ditinggalkan. Sedangkan “umo belukar mudo” adalah tanah yang telah ditinggalkan namun masih terdapat tanaman mudo. Sedangkan “umo sesap” kebun yang telah ditinggalkan pemiliknya atau tidak dirawat[146].

Sedangkan di Ilir Jambi dikenal  “Larangan krenggo
“Empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah Seloko yang menunjukkan tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun. Dan kemudian harus dirawat.

Seloko empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” menunjukkan pemilik tanah tidak merawat tanahnya. Istilah “Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, atau sudah menunjukkan “jerami tinggi” sudah lama tidak dirawat.

Belukar Tuo. Walaupun sudah dikerjakan dengan cara membuat tanda kayu berkait, ditebas dan ditumbangkan, apabila tidak dikerjakan selama 3 tahun, maka haknya menjadi hilang. Tanah kembali ke Desa.

 “Perimbun” adalah lahan yang berupa belukar yang sudah lama ditinggal/tidak digarap. Baik berupa belukar muda (ditinggal sekitar 1-2 tahung) maupun belukar tua (ditinggal lebih 5 tahun).

Sedangkan Belukar Lasah merupakan areal yang bervegetasi semak atau belukar yang dulunya berupa hutan tapi tidak jelas lagi siapa yang membukanya yang kemudian ditetapkan melalui mufakat desa untuk dijadikan areal pertanian semusim yang boleh dikelola secara bersama oleh masyarakat dusun setempat.

Di Aceh dikenal “hak dong tanoh” (hak menandai tanah/hutan). Dan apabila tanda-tandanya kemudian hilang maka hak terhadap tanah kemudian menjadi hapus. Sebagaimana ungkapan adat disebutkan asai bak rimba jiwou keu rimba” (berasal dari hutan kembali menjadi hutan)[147].

A.P. Parlindungan didalam bukunya Konversi Hak-Hak Atas Tanah[148] menyebutkan “Di Jambi dijumpai aturan bahwa sawah yang ditinggalkan selama 5 tahun, jajaran 3 tahun dan talang 3 tabun akan nienyebabkan gugumya hak atas itu.

S.R Nur didalam bukunya “Beberapa permasalahan Agraria”[149] menyebutkan “Pada lingkungan masyarakat Aceh, seseorang kehilangan hak menduduki atas tanah ("woestheid"), Jika ladangnya di pegunungan, maka dengan meninggalkannya selarna 3 tahun dan telah menjadi tanah liar menyebabkan hilangnya hak menduduki, lalu tanah kembali kepada hak ulayat masyarakat.

Di Enrengkang dan Bantaeng tanah yang ditinggalkan selarna 3 tahun dan menjadi belukar kembali, maka pemiliknya kehilangan hak atas tanah itu. (Yurisprudensi No. 1226 K/Sip/1976 tanggal 15 April 1976)

Mahkamah Agung berdasarkan Yurisprudensi No. 329 K/Sip/1957 tanggal 24 September 1958 kemudian menyebutkan “di Tapanuli Selatan apabila sebidang tanah yang diperoleh secara merimba, maka hak atas tanah dapat dianggap dilepaskan dan tanah itu oleh Kepala Persekutuan kampong dapat diberikan kepada orang lain.

Begitu juga Yurusprudensi Mahkamah Agung Nomor 59 K/Sip/1958 tanggal 7 Februari 1959 kemudian menyebutkan “menurut adat Karo sebidang tanah “kesian” yaitu sebidang tanah kosong yang letaknya dalam kampong bisa menjadi hak milik perseorangan setelah tanah itu diusahai secara intensif oleh seorang penduduk kampong itu.

Putusan Mahkamah Agung No. 1192 K/Sip/1973 Tanggal 27 Maret 1975 menyebutkan “Menurut peraturan adat setempat, hak semula dari seseorang atas tanah usahanya gugur apabiia ia telah cukup lama belum/tidak mengerjakan lagi tanahnya, kemudian ia diberi teguran oleh Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung untuk mengerjakannya, tetapi teguran itu tidak diindahkannya; dalam hal ini bolehlah tanah itu oleh Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung diberikan kepada orang lain yang memerlukannya.

Putusan Mahkamah Agung No. 590 K/Sip/1974 tanggal 3 Desember 1975 menyebutkan “Menurut hukum, baik hukum adat maupun ketentuan-ketentuan U.U.P.A. tahun 1960 hapusnya hak atas tanah adalah antara lain karena diterlantarkan.

Dengan demikian maka empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah tanah terlantar.

Kategori tanah terlantar kemudian dikenal seperti (1) Apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifatnya. (2).Apabila tanah tersebut tidak dipergunakan  sesuai  dengan tujuan pemberian haknya. (3) Tanah tersebut tidak dipelihara dengan baik. (Pasal 3 dan pasal 4 PP No. 36 Tahun 1998 junto PP No. 11 Tahun 2010).

Dengan demikian maka tanah tidak dibenarkan ditelantarkan.

V.             Tanah Pemberian

Sebagai masyarakat Melayu, Masyarakat Melayu Jambi terbuka terhadap kedatangan penduduk dari luar dusun. Pengaruh Minangkabau dapat dilihat di Marga Sungai Tenang, Marga Pangkalan Jambu, Marga Air hitam, Marga Pelawan, Marga Batin Pengambang, Marga Bukit Bulan, Marga Datuk nan Tigo, Marga VII Koto, Marga IX Koto, Marga Jujuhan, Marga Sumay, Marga Serampas. Seloko seperti  Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung atau Tegak Tajur, Ilir ke Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau[150] membuktikan hubungan kekerabatan yang kuat antara masyarakat di hulu Sungai Batanghari dengan Pagaruyung.

Atau berasal dari Jawa Mataram[151].  Cerita ini begitu kuat di Marga Sungai Tenang, Marga Batin Pengambang dan Di Marga Maro Sebo Ulu. Cerita tentang dari Mataram juga dikenal di Marga Serampas.

Kisah Turki dapat ditemukan di masyarakat pesisir Pantai Timur Sumatera. Seperti di Senyerang (Marga Tungkal Ilir) )[152], Marga Kumpeh[153], Marga Jebus dan masyarakat di pantai timur Sumatera[154]. Bahkan cerita tentang Sulthan Thaha Saifuddin tidak dapat dilepaskan dari kisah “vassal” Turki[155].

Jejak Kerajaan Jambi kemudian dikenal kisah Dara Petak dan Dara Jingga[156]. Sejarah kedatangan dan pesiar Raja Jambi dikenal di beberapa perjalanan. Di Marga Pemayung Ulu, Marga Pemayung Ilir, Marga VII Koto dan Marga IX Koto, Marga Sumay dan Marga Renah Pembarap.

Seloko terhadap kedatangan penduduk dari luar dusun ditandai dengan Seloko seperti “Tanjung Paku batang belimbing. Tempurung dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang lain dipatenggangkan  adalah perumpaan keterbukaan masyarakat dengan pendatang[157].

Sebagai bentuk keterbukaan dengan masyarakat pendatang maka dikenal “tanah pemberian”.

Di Marga Batin Pengambang dikenal Setawar dingin[158]. Ditentukan didalam rapat kemudian ditentukan siapa saja yang berhak untuk membuka rimbo.

Di Marga Sungai Tenang dikenal “tanah irung. Tanah gunting”. Yang ditandai untuk masyarakat Desa Tanjung Alam dengan istilah “tanah Koto 10, belalang pungguk 9”. Atau “Belalang Pungguk 9. Padang Koto 10.

Dusun Tanjung Mudo merupakan tanah pemberian dari Koto 10 namun penduduknya berasal dari Pungguk 6[159] yaitu berasal dari Dusun Baru dan Dusun Kototeguh. Mereka kemudian “beladang jauh” di wilayah Koto 10[160]. Di masyarakat dikenal dengan istilah “Tanah Koto 10, belalang Pungguk 6”. Ada juga menyebutkan “Belalang Pungguk 6. Padang Koto 10.

Sedangkan Tanjung Alam merupakan tanah dari  Koto 10 namun penduduknya berasal dari Pungguk 9. Dikenal dengna istilah “tanah Koto 10, belalang pungguk 9”. Atau “Belalang Pungguk 9. Padang Koto 10.

Sedangkan Koto Rawang penduduknya berasal dari Lubuk Pungguk yang termasuk kedalam Pungguk 9[161]. Sedangkan wilayah diberikan oleh Pungguk 6. Dikenal dengan istilah  Tanah Pungguk 6, Belalang Lubuk Pungguk.  Lubuk Pungguk termasuk kedalam Pungguk 9.

Istilah “tanah Irung, Tanah gunting”. Atau  dengan istilah mengirung dan mengunting tanah Koto Sepuluh”. Masyarakat Pungguk Sembilan Tanahnya merupakan pemberian Koto Sepuluh yang kemudian disebut dengan Belalang Pungguk Sembilan Padang Koto Sepuluh”.
Tanah Irung Tanah Gunting berdasarkan tembo : “muaro sungai titian teras di sungai sirih (sungai tembesi sekarang), peradun limau keling (mudik tanjung alam), terus ketanah genting, pauh belepang, dusun talang lengis, laju ke muaro sungai matang di sungai sirih mudik ke sungai sirih” [162].
Begitu juga dusun Beringin Tinggi. Terhadap masyarakat diluar Marga Sungai Tenang dikenal ujung batin. Penduduknya berasal dari Marga Batangasai dan Marga Batin Pengambang namun wilayah kemudian diberikan dari Marga Sungai Tenang. Biasa dikenal dengan istilah “tanah ujung Batin”. Ditandai dengan Seloko “Belalang Batin Pengambang. Tanah Koto 10.

Begitu juga dengan Desa Renah Alai. Renah Alai merupakan masyarakat yang berasal dari dusun yang termasuk kedalam Marga Serampei. Kemudian pindah ke Inum Pendum yang termasuk kedalam Marga Sungai Tenang. Dusun Inum Pendum kemudian menggunakan nama Renah Alai. Renah Alai kemudian masuk kedalam Marga Serampas.

Sedangkan Sungai Lisai merupakan ujung dari wilayah Pungguk 9 yang terletak di Dusun Muara Madras. Sungai Lisai kemudian masuk kedalam wilayah Sungai Lisai Kecamatan Pinang Belapis, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Lokasi desa yang berada di tengah-tengah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Jarak Desa Sungai Lisai ke Desa Seblat Ulu yang merupakan desa terdekat, hanya 9,5 kilometer.

Selain itu dikenal istilah “4 Tanah lembak”. Yaitu Dusun dibawah dalam Marga Sungai Tenang. Yaitu Dusun Tanjung Dalam, Dusun Muara Pangi, Dusun Muara Langayo Dan dusun Rantau Jering.

Dalam perkembangannya, berbagai dusun didalam Marga Sungai Tenang kemudian dimasukkan kedalam Kecamatan Sungai Tenang (kemudian berubah menjadi Kecamatan jangkat Timur), Kecamatan Jangkat, Kecamatan Lembah Masurai dan Kecamatan Muara Siau.

Tanah Pembarap

Dalam himbauan dari Raja Jambi, melihat pemukiman di sekitar bawah Gunung Masurai yang masih sepi, maka Penduduk dari Serampas kemudian turun untuk menghuni kawasan di bawah Marga Serampas. Biasa dikenal dengan istilah Tanah Pembarap.

Dusun-dusun yang termasuk kedalam Tanah Pembarap seperti Tanjung Asal, Dusun Durian Mukut, Peraduan Temeras, Air Lago, Badak Terkurung, Rantau Pangi, Pulau Raman, Sekancing, Dusun Baru Padang lalang, Rantau Limau Kapas, Muara Inum,

Dusun Rantau Limau Kapas, Dusun Sekancing termasuk kedalam Marga Tiang Pumpung dan menjadi kecamatan Tiang Pumpung.  Desa Muara Pangi, Rantau Jering kemudian masuk kedalam Kecamatan Lembah Masurai.

Sedangkan Air Lago, Badak Terkurung, Peraduan Temeras, Pulau raman masuk ke Marga Tiang Pumpung kemudian masuk ke kecamatan Muara Siau.

Di Marga Pelepat dikenal Pemberian tanah yang disebut didalam seloko “Sejalar Peringgi. Sekokok Ayam”. Seloko ini melambangkan wilayah yang hendak diberikan[163]. Begitu juga wilayah Ujung Tanjung yang diberi gelar Rio Bagindo merupakan wilayah “Sebiduk luncur. Sekokok ayam.

Marga IX Koto dikenal “koto yang ramai”. Daerah ini kemudian dikenal sebagai daerah Transmigrasi di Rimbo Bujang[164].

Marga Jebus di Desa Rukam dikenal “jejawi berbaris dan tali gawe’.

Hanya Marga Air Hitam dikenal sebagai Tanah Bejenang.  Istilah Jenang adalah penamaan dari “orang yang dipercaya” dari Tumenggung[165].

Tanah nan berjenang adalah wilayah sembilan yang berada di bawah pemerintahan jenang. Lembaga jenang adalah jalan lain yang digunakan Sultan untuk mengingatkan para pimpinan daerah daerah di pedalaman akan keberadaan otoritas sentral. Daerah tersebut meliputi beberapa daerah di dataran tinggi Jambi di luar area Batanghari. Penduduk Tanah nan berjenang ini bermukim migran dari Minangkabau yang disebut sebagai orang Batin dan orang Penghulu, dan yang berasal dari Palembang, yaitu orang Rawas[166].

Penamaan Tanah bejenang kemudian dipadankan seperti “tuo kampung, tanah bejenang, rajo bepenghulu, negeri bebatin.

Di daerah hilir dikenal “pancung alas”. Pemberian tanah  dari Pemangku adat.

VI.           Luas areal yang diberikan

Sebagai bentuk keterbukaan dengan masyarakat pendatang maka dikenal “tanah pemberian”. Di Marga Batin Pengambang setelah melalui prosesi “setawar dingin” dan “lambas”[167] maka kemudian diberikan tanah seluas 2 hektar.

Di Marga Batang Asai Tengah[168], tanah didapatkan yang dikenal Membuka hutan atau rimbo atau tanah untuk Pertanian sawah yang dikenal Umo dan Talang. Prosesi yang dilalui seperti Betaun bersamo[169], Rapat Kenduri[170], Melambas[171], Lemah Paradun[172]. Masing-masing mendapatkan 2 hektar.

Di Marga Simpang Tigo Pauh dikenal Seloko “Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimano tamilang dicacak disitu tanaman tumbuh[173]. Luasnya sesuai untuk kebutuhan membuat rumah dan membuka lahan untuk berkebun[174]

Di Marga Air Hitam dikenal “tanah bejenang”. Tanah diberikan untuk kebutuhan rumah dan “umo” [175].

Di Marga Serampas dikenal “tanah arah’. Tanah arah ini hanya untuk keluarga baru dan penerima harus sudah bisa mengumpulkan bahan bangunan untuk membuat rumah[176].

Di Marga Sungai Tenang pemberian tanah juga kepada perkampungan/pemukiman terhadap masyarakat. Dikenal “tanah irung. Tanah Gunting” dan “ujung batin”. Tanah Irung dan Tanah gunting kemudian dikenal Desa Tanjung Alam dan Desa Tanjung Mudo. Sedangkan Tanah Ujung batin dikenal terhadap wilayah Desa Beringin Tinggi. Selain itu juga diberikan Sungai Lisai kemudian masuk kedalam wilayah Sungai Lisai Kecamatan Pinang Belapis, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Lokasi desa yang berada di tengah-tengah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Jarak Desa Sungai Lisai ke Desa Seblat Ulu yang merupakan desa terdekat, hanya 9,5 kilometer.

Selain itu juga dikenal Inum Pendum yang sekarang dikenal Renah Alai[177].

Di Desa Renah Pelaan tanah diberikan setelah melalui prosesi yang dikenal dengan istilah “puji perago” [178].

Di Desa Gedang[179]. setelah melalui prosesi “Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak”[180], “Turun pangkal tahun”[181], “Lambas”[182], maka Setiap Kepala Keluarga hanya boleh membuka 1 ha dan harus ditanami selama 3 tahun. Apabila tidak ditanami, maka tidak boleh membuka rimbo lagi. Begitu juga Desa Kotobaru[183], setelah melalui prosesi “Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak”, “rapat besar”, “Bismilah Ke humo”, “jeluang”, maka mendapatkan 1 hektar. Begitu juga Desa Tanjung Benuang[184], Desa Tanjung Alam[185], Desa Tanjung Mudo[186].

Selain itu di Marga Sungai Tenang dikenal “sepenegak rumah’. Dimana luas tanah yang dberikan untuk perumahan[187].

Di Desa Rantau Bedaro terdapat 15 Hektar dan yang berhak menanam di lahan tersebut adalah keturunan nenek 4, yaitu kalbu Rendah, kalbu Solok, kalbu Cabul dan kalbu Talang, yang kesemuanya sudah dibedakan lokasi masing-masing. Kalbu Rendah sebelah ilir, kalbu solok sebelah tengah, kalbu cabul sebelah atas dan kalbu talang sebelah atas juga[188].

Di Marga Pelepat dikenal Pemberian tanah yang disebut didalam seloko “Sejalar Peringgi. Sekokok Ayam”. Seloko ini melambangkan wilayah yang hendak diberikan[189]. Begitu juga wilayah Ujung Tanjung yang diberi gelar Rio Bagindo merupakan wilayah “Sebiduk luncur. Sekokok ayam.

Marga IX Koto dikenal “koto yang ramai”. Daerah ini kemudian dikenal sebagai daerah Transmigrasi di Rimbo Bujang[190].

Di Lubuk Mandarsyah setiap keluarga diberikan dengan membuka lebar 25 meter dan panjang 100 meter atau istilah dikampung dinamakan dengan “tapak”[191]. Sedangkan di Marga Kumpeh Ilir dikenal dengan istilah “Bidang” setelah melalui prosesi “Pancung alas”.

Marga Jebus di Desa Rukam dikenal “jejawi berbaris dan tali gawe’.  Di Marga Berbak dikenal “umo Genah’.

Sedangkan di Marga Kumpeh dikenal sebidang. 30 depo kali 50 depo.

VII.          Tata cara menyelesaikan masalah

Ditengah masyarakat Melayu Jambi, tatacara penyelesaian dimulai dengan seloko “Keruh air dihilir balek kemudik”, “Mencari bungkul dengan pangkal. Mencari usul dengan asal“, atau “Dak tentu ujung dengan pangkal. Bak tebu digunggung musang” atau “Kalau anak tahu di bungkul. Lihatlah Dio dari pangkal. Kalau anak tahu dengan usul. Lihatlah pulo dari asal”.

Di Marga Sumay dikenal “tumbuh diatas tumbuh”[192]. Di Desa Semambu selain menggunakan nilai “tumbuh diatas tumbuh” dikenal juga “Pulai berpangkat naik. Tinjau ruas dengan bukunya”. Berjenjang naik bertangga turun[193]. Di Marga Pelepat dikenal “Seloko “Nengok tumbuh”[194].

Ungkapan adat didalam menyelesaikan perselisihan “Apabila duduk didalam musyawarah dan mufakat. Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah”, ”Adat duduk bermusyawarah. Bertampan  hendak lebar. Bersambang hendak panjang. Supaya yang genting tidak putus. Supaya yang biang tidak tembuk’,

Tiung bak tiung bunyinyo ungko. Sambil melompat menggendong anak. Singgah memakan si buah pauh. Minta ampun pado nan tuo. Minta maaf pada nan banyak. Padamu bathin kami menyimpuh

“Jiko tumbuh silang selisih dalam kampung, diantara anak dengna penakan, ada yang bertukar pendapat, selisih paham. Urus dengan segera. Jangan dengar bak hujan ditengah malam. Dibiarkan bak jando ditumbuk biduk. Bilo lah aur tumbuh matonyo. Kita tidak boleh duduk bepangku tangan. Tidak dibenarkan betelingo pekak. Bemato buto. Tapi, kalau orang dak ngadu, jangan pulo merujak labing. Serenteh bumbun.

Bilo urusan sampai sampai ketangan. Jangan pulo ayik idak beilir. Kalam tidak bejalan. Hilang berito bak kijang lepeh kesemak. Beriak idak, bedetikpun idak. Bak batu jatuh ke lubuk. Bak pasir tambak ke buluh. Hilang dipicik bak angin. Hitam betungkus bak arang. Habis digenggam bak air, tegenang sesayak ayik, dinteh di ateh dak tentu pemancungnyo. Dibawah dak tentu mutusnya[195]. 

Cara dimulai dari Seloko “Sirih senampan. Keris nan sebilah. Kok tinggi pusako rajo dijuluk dengan yang sebatang. Kok rendah pusako rendah kok dengan keris nan sebilah. Kusut minta diusaikan. Keruh minta dijernihkan[196].

Di Marga Batin Pengambang Desa Sungai Keradak[197], Seloko dimulai “Bilo tepijak di Gunung Arang hitamlah tapak. Bilo tesuruk di Gunung Kapur putihlah punggung. Bilo Tetempuh  dipintu salah, tetap betang. Bilo telangkah di agamo tetaplah beduso.

Karena itu, salah dikaku benar diantarkan. Salah sesamo. Hamba minta maaf. Salah kepada Tuhan betubat. Utang bebaye, piutang diterimo. Tahu diutang kecik diutang. Dak tahu diutang, utang gedang. Utang kecik dibayar lunas, utang gedang nan diangsur. Adat utang nan bek gudam-bekhugguh. Besikhi-bealamat. Bejanji besamayo. Janji nan didepat. Semayo nan ditunggu. Ikrar di uni.

Cara menyelesaikan Tata Cara menyelesaikan persoalan yang biasa dikenal dengan istilah jenjang adat”. “Berjenjang naik bertangga turun. Atau Bertangkap naik, Berjenjang turun. Setiap proses dimulai dari Tuo Tengganai. Barulah diselesaikan di tingkat Desa.

Di Marga Batin Pengambang dikenal Tegur Sapo. Tegur Ajar dan Guling Batang. Tiga Tali Sepilin. Merupakan mekanisme dan tahap “betangkap naik, bertangga turun didalam upaya menyelesaikan perselisihan, dimana adanya pemangku Desa, pegawai syara' dan lembaga adat. Di Margo Sungai Tenang dikenal “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga adat.

Di Desa Lubuk Mandarsyah, Prosesinya dimulai dari Pihak “tuo tengganai” kemudian mendatangi lembaga adat untuk menyampaikan “habibul hajat (maksud dari pengundang) meminta maaf kepada keluarga korban dan masyarakat yang terganggu dengan “kesalahan dari anak kemenakan”.

Setelah mendengarkan “habibul hajat (maksud dari pengundang), lembaga adat kemudian menerima permohonan maaf dari “tuo tengganai” anak kemenakan yang bersalah.

Lembaga adat kemudian menetapkan sanksi adat berupa “kerbo sekok, serba seratus”. (Kerbau satu ekor, 1 keris, 100 gantang beras, seratus kain, selemak semanis)

Kemudian ditanyakan kepada “tuo tengganai” apakah mampu membayar sanksi adat. Setelah “tuo tengganai” menyatakan mampu untuk membayar sanksi adat, maka sanksi adat kemudian “diserahkan” kepada lembaga adat. Lembaga adat kemudian menerima dan menyampaikan kepada “orang rame”, sanksi adat telah dijatuhkan. Dan “tuo tengganai telah mampu membayar sanksi adat”[198].

Di Talang Mamak Dusun Simarantihan, prosesi pelanggaran adat, maka proses ini didahului dengan Sirih Gambir sebagai tanda persetujuan untuk disidangkan dan mengikuti sanksi adat[199].

Ikrar Sirih gambir mengingatkan berbagai prosesi penyelesaian dan penghormatan hukum adat di Jambi sesuai dengan seloko “sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang.

Dengan demikian maka para pihak yang Jiko tumbuh silang selisih dalam kampung, diantara anak dengna penakan, ada yang bertukar pendapat, selisih paham” dapat menyelesaikan dengan baik. “

Jangan hendaknya rumah sudah paek bedengkang. Api padam puntung berasap. Runding Sudah ciak bebunyi. Jalo teambur tali tesangkut. Hari siang bulan mungko tumbuh.

Didalam menyelesaikan perselisihan kemudian dikenal “jenjang adat. Bertangkap naik. Bertangga turun”.

Di Marga Batin Pengambang dikenal Bertangkap naik, Berjenjang turun. Setiap proses dimulai dari Tuo Tengganai. Barulah diselesaikan di tingkat Desa. Atau juga dikenal Tegur Sapo. Tegur Ajar dan Guling Batang. Tiga Tali Sepilin. Didalam menyelesaikan perselisihan, maka adanya pemangku Desa, pegawai syara' dan lembaga adat.  Bebapak Kijang. Berinduk Kuaw. Apabila putusan telah dijatuhkan, maka tidak bisa dilaksanakan, maka tidak perlu diurus didalam pemerintahan desa[200].

Di Marga Batang Asai Tengah juga dikenal dengan JENJANG ADAT Setiap persoalan yang timbul, maka diselesaikan dengna hukum adat. Dimulai dari tuo tengganai dan apabila tidak diselesaikan maka diselesaikan nenek Mamak. Terhadap kesalahan maka diselesaikan setiap jenjang adat.  Dimulai dari Tegur sapo berupa ayam satu ekor dan beras segantang. Kemudian  Tegur pengajar berupa kambing 10 ekor dan beras 20 gantang. Guling batang berupa denda satu ekor kerbau dan beras seratus gantang[201]

Marga Datuk Nan Tiga[202], dikenal Datuk Demang. Datuk Temenggung berpusat di Dusun Mengkadai. Datuk Ranggo berpusat di Dusun Muara Mansao. Sedangkan Datuk Demang berpusat di Kampung Pondok

Datuk yang menguasai masing-masing wilayah kemudian dipilih oleh para Kepala Kampung. Sedangkan Datuk Petinggi kemudian dipilih oleh ketiga Datuk yaitu Datuk Temenggung, Datuk Ranggo Dan Datuk Demang.

Setelah masyarakat kemudian bermukim tetap, maka untuk menjamin kerukunan, ketertiban, perdamaian dan kesejahteraan maka dibentuk struktur social. Dimulai dari pemimpin “tengganai” yang disebut “tuo tengganai”. Sebagaimana ujaran “Rumah Betengganai”.

Kemudian dibentuk kampong yang biasa disebut Kepala Kampung sebagaimana ujaran “tuo bekampung”. Barulah kemudian Kepala Kampung memilih atau menunjuk Kepala Dusun yang kemudian disebut Datuk. Sebagaimana ujaran “Negeri bebatin”.

Di Marga Air Hitam[203], hanya Marga Air Hitam dikenal sebagai Tanah Bejenang.  Istilah Jenang adalah penamaan dari “orang yang dipercaya” dari Tumenggung yang Orang Rimba yang terdapat di Taman Nasional Bukit Dua Belas.

Sehingga Tanah bejenang diartikan sebagai tempat yang dipercaya orang Rimba dari Bukit Dua Belas untuk bertemu, berdagang hingga mengadakan berbagai aktivitas sosial lainnya.

Penamaan Tanah bejenang kemudian dipadankan seperti “tuo kampung, tanah bejenang, rajo bepenghulu, negeri bebatin.

Sedangkan didalam Struktur sosial di komunitas Orang Rimba Bukit Dua Belas Depati, Mangku dan Menti dikenal di dalam berbagai struktur sosial Marga/Batin di Jambi. Hanya Tumenggung yang tidak terdapat di dalam struktur Marga/Batin di Jambi.

Seorang Depati bertugas menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan hukum. Pembantu lainnya adalah Mangku. Tugas Mangku hampir sama dengan Depati yaitu mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Bedanya kasus-kasus hukum yang ditangani oleh Mangku biasanya lebih kecil bobotnya apabila dibandingkan dengan kasus-kasus hukum yang ditangani oleh seorang Depati.

Debalang Batin bertugas menjaga dan menegakkan keamanan apabila terjadi situasi tak menentu, seperti konflik dengan orang/warga Desa. Menti adalah orang yang bertugas memanggil seorang warga apabila diperlukan oleh Tumenggung atau oleh tokoh Orang Rimba lainnya. Dalam bertugas seorang menti bisa meminta bantuan kepada Anak Dalam.

Jabatan lain yang juga cukup penting adalah dukun, tengganai dan penghulu. Dukun dipercaya dapat menyembuhkan penyakit dan berhubungan dengan mahluk halus. Petunjuk seorang Dukun, juga diperlukan oleh warga yang akan membuka ladang. Tengganai bertugas sebagai penasehat warga dalam urusan rumah tangga dan masalah hubungan antar anggota kelompok rombong. Seorang tengganai pada saat tertentu bisa memberi nasehat atau masukan pada Tumenggung di saat Tumenggung harus menghadapi tugas yang sangat berat. Penghulu bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan seperti upacara perkawinan, kematian, kelahiran bayi dan lain sebagainya.

Didalam Marga Batin VI Mandiangin[204], Setiap Dusun dipimpin oleh Seorang pemangku Dusun yang disebut Depati. Di bawah Depati adalah Punggawa

Di Marga Serampas, masing-masing Dusun kemudian diserahkan kepada Depati Seri Bumi Puti Pemuncak Alam Serampas, Depati Pulang Jawa, Depati Singo Negoro, Depati Karti Mudo Menggalo, Depati Seniudo, Depati Payung, Depati Kertau, Depati Siba[205].

Di Marga Sungai Tenang dapat dilihat struktur dalam Marga Sungai Tenang. Marga Sungai Tenang terdiri dari Pungguk 6, Pungguk 9, Koto 10. Pungguk 6 berpusat di Pulau Tengah, Pungguk 9 berpusat di Muara Mandaras. Koto 10 berpusat di Gedang.

Di Desa Gedang JENJANG ADAT ditandai dengan Seloko “Yang berhak untuk memutih menghitamkan. Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Betakap naik, berjenjang turun. Dari Suku membawa ke nenek mamak . Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada kepala Dusun. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Dusun memberitahu kepada kepala Desa[206].

Di Desa Kotobaru JENJANG ADAT. Kepala Desa “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek,  menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Betakah naik, berjenjang turun. Dari Suku membawa ke tuo tengganai Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada Kepala Dusun. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka Dkepala Dusun memberitahu kepada Kepala Dusun. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Desa dapat melaporkannya sesuai dengan hukum yang berlaku[207].

Di Desa Tanjung Benuang JENJANG ADAT “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Betakap naik, berjenjang turun.  Dari Suku membawa ke nenek mamak. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada Debalang. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka Debalang memberitahu kepada Kepala Dusun. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Dusun memberitahu kepada kepala Desa[208].

Di Desa Tanjung Alam JENJANG ADAT “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga adat.  Saksi melapor kepada Menti,2. Menti Melapor ke Kepala Dusun. Kepala Dusun memerintahkan Menti menghubungi/memberitahu Kepala Suku. Apabila Pelaku tidak mau melaksanakan putusan denda adat, Kepala Dusun melapor kepada Kepala Desa, Kepala Desa mengadakan rapat adat[209] .

Di Desa Tanjung Mudo  Kepala Desa “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga adat[210].

Di Marga Peratin Tuo, Masyarakat kemudian menyebutkan Depati Pemuncak Alam, tempatnyo di dusun Tuo.  Depati Karto Yudo, tempatnyo di dusun Tanjung Berugo, Nilo Dingin dan Sungai Lalang. Depati Penganggun Besungut Emeh, tempatnyo di dusun Koto Rami dan dusun Rancan dan Depati Purbo Nyato, tempatnyo di dusun Tiaro[211]

Di Marga Tiang Pumpung Didalam Marga Tiang Pumpung sebagaimana disampaikan oleh Sargawi didalam bukunya “Lintasan Sejarah Depati Sembilan Tiang Pumpung menyebutkan “Depati Manjuang di Muara Siau, Depati Agung di Pulau Raman, Rio Depati di Sekancing, Depati Purbo Alam di Dusun Baru, Renah Jelmu, Muara Sakai, Beringin Sanggul dan Renah Manggis. Depati Permai Yudo di Pulau Bayur, Depati Suko Berajo di Selango.

Di Marga Renah Pembarap, Hubungan kekerabatan dengan Marga Tiang Pumpung, Marga Senggrahan ditandai dengan seloko “Gedung di tiang pumpung, Pasak di Pembarap. Dan kunci di Senggrahan.  Mereka mengaku keturunan dari Sri Saidi Malin Samad. Sri Saidi Malin Samad mempunyai saudara Siti Baiti dan Syech Raja. Syech Raja diakui sebagai “puyang” Renah Pembarap. Sedangkan Siti Baiti “puyang” Marga Tiang Pumpung.[212]

Di Marga Senggrahan[213], Hubungan kekerabatan dengan Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap ditandai dengan seloko “Gedung di tiang pumpung, Pasak di Pembarap. Dan kunci di Senggrahan[214].  Mereka mengaku keturunan dari Sri Saidi Malin Samad. Sri Saidi Malin Samad mempunyai saudara Siti Baiti dan Syech Raja. Syech Raja diakui sebagai “puyang” Renah Pembarap. Sedangkan Siti Baiti “puyang” Marga Tiang Pumpung. 

Didalam sejarah yang disebut secara turun menurun sebelum menjadi desa Lubuk Beringin,  wilayah desa ini berada dalam wilayah Pesangggrahan yang di atur oleh Nenek Tigo Silo yang kemudian disebut dengan nama Tigo Pemangku Margo Pesanggrahan, mereka itu adalah :
·      Depati Surau Kembalo Hakim
·      Depati Manggalo
·      Depati Keramo
Ketiga pemangku Depati di  atas berada di dusun lubuk beringin dan desa kandang. Dan untuk Lubuk Birah pemangkunya adalh Depati Annggo, serta untuk Durian Rambun pemangkunya Adalah Depati Riyo Kemuyang[215].

Di Marga Pangkalan Jambu, Sebagai pemegang mandate dan kemudian bergelar “Datuk Raja Nan Putih.  Didalam struktur adat, maka  Datuk Raja Nan Putih dibantu oleh Datuk Monti Raja dan Datuk Pado Garang. Selain Datuk Raja Nan Putih yang dibantu oleh Datuk Monti Raja dan Datuk Pado Garang, mereka juga mengenal “Datuk berempat dan Menti nan Tigo”.

Datuk Berempat yaitu Datuk Penghulu Mudo, Datuk Penghulu Kayo, Datuk Bendaro Kayo dan Datuk Raja Tantan. Sedangkan “Menti nan Tigo yaitu Rio Niti di Dusun Baru, Rio Gemalo di Dusun Nangko dan Rio Sari di Dusun Sungai Jering)

Didalam struktur adat, mereka mengenal “Tiga Tali sepilin. Tungku Sejarangan”. Ikatan yang kuat antara struktur adat yaitu hukum Negara, hukum agama dan hukum adat kemudian diputuskan oleh Rio sebagai “pemutus akhir” dan pelaksana keputusan adat.

Marga Batin IX Ulu[216] Masing-masing dipimpin seorang Rio. Dibawah Rio dikenal sebagai Mangku. Rio adalah pemimpin setingkat Desa. Sedangkan Mangku adalah pemimpin setingkat dusun.

Berpusat di Pulau Rengas, Batin IX Ulu dipimpin 5 orang Datuk. Yaitu Datuk Melako, Depati, Penghulu Makin, Penghulu dan Sumono. Sumono adalah kekuasaan Tertinggi.  Selain Mangku dikenal juga patih. Mangku dan Patih adalah perangkat di Pemerintahan Dusun.

Marga Pelepat mempunyai cara didalam menyelesaikan. Seloko “Nengok tumbuh” adalah proses “pengaduan” dari salah satu terhadap setiap perselisihan[217].

Didalam masyarakat Hukum Adat Datuk Senaro Putih,  Struktur Kelembagaan Adat Pasal 5 Kelembagaan Masyarakat  Hukum Adat Datuk Sinaro Putih, terdiri dari :  Pimpinan Adat dan perangkatnya;  TuoNegeri; Pegawai Syara’; Tuo Tengganai; Dubalang; Monti Rajo; Manggung/Jonang; Rumah GodangTigoTaipah.

Perangkat pimpinan adat adalah Datuk Rangkayo Mulio dibantu oleh Sutan Marajo Lelo, Sutan Marajo Indo dan Rumah Gedang Tigo Taipah; Tiang Panjang dibantu oleh Datuk Rabun, Pangulu Alam dan Monti Rajo. Datuk Sinaro Putih sebagai pimpinan tertinggi yang meliputi masyarakat adat Desa Baru Pelepat dan Desa Batu Kerbau serta Dusun Lubuk Telau yang membawahi Datuk Rangkayo Mulio dan Tiang Panjang[218].

Di Marga Jujuhan, Tempat untuk menyelesaikan persoalan yang disebut Balairung.  Struktur adat ditandai dengan Banjar.  Istilah Banjar menunjuk kepada berbarisnya rumah-rumah yang terdiri dari 2 rumah atau 3 rumah.  Kemudian diikuti kampong, Batin dan Negeri.  Di berbagai tempat biasa disebut “kampong betuo, datuk bebatin dan Raja negeri”. Maknanya adalah setiap putusan baik putusan tuo kampong, datuk batin dan Raja negeri” harus diikuti oleh masyarakat berdasarkan tingkatannya[219].

Di Marga VII Koto, Untuk menyelesaikan persoalan rumit maka dapat menggunakan kiasan “fajarlah menyingsing. Murailah bekicau. Kilat beliung lah kekaki. Kilat cermin lah kemuko.

Didalam menyelesaikan persoalan adat maka harus bijaksana seperti ujaran “anak buayo tegontang-gontang. Anak cigak dalam perahu. Nak beiyo takut tehutang. Nak beidak oranglah tahu”.

Didalam struktur masyarakat dikenal “Depati” Diatas Depati disebut Temenggung. Sedangkan Temenggung dibantu Penghulu Mudo.

Sedangkan tiga Dusun (Dusun Tuo, Dusun Sukarame dan Dusun Sogo) dibawah oleh Datuk Temenggung Suto Yudho.

Namun yang unik. Dusun Tanjung, Dusun Kuamang dan Dusun Cermin Alam mempunyai struktur di keluarga Ibu. Mereka mempunyai “datuk seibu”. Datuk seibu kemudian disebut  “Mamak”, kemudian “datuk Suku”

Didalam menyelesaian persoalan dimulai dari berjenjang naik betangkap turun. Dimulai dari “mamak”. Apabila tidak diselesaikan maka diselesaikan “datuk Suku”. Sedangkan tidak bisa diselesaikan juga maka diserahkan kepada “Mangku”. Namun apabila tidak bisa diselesaikan maka kemudian diserahkan kepada negeri”. Proses ini dapat dilihat dari seloko “tua betengganai, negeri bebatin”

Mangku terdiri dari “ninik mamak, tuo kampong, cerdik pandai, pegawai syara’.

Didalam menyelesaian persoalan dimulai dari berjenjang naik betangkap turun. Dimulai dari “mamak”. Apabila tidak diselesaikan maka diselesaikan “datuk Suku”. Sedangkan tidak bisa diselesaikan juga maka diserahkan kepada “Mangku”. Namun apabila tidak bisa diselesaikan maka kemudian diserahkan kepada negeri”. Proses ini dapat dilihat dari seloko “tua betengganai, negeri bebatin”

Mangku terdiri dari “ninik mamak, tuo kampong, cerdik pandai, pegawai syara’[220].

Melihat persoalan yang timbul, maka menggunakan seloko “tumbuh diatas tumbuh. Tegak kedalam”. Tumbuh diatas tumbuh juga dikenal di Marga Sumay. Sedangkan di Marga IX Koto disebut “nengok tumbuh”. Sebagaimana seloko “Belum gajah lalu, belum rumput rendah. Belum enggang lalu, belumlah rantinglah patah”

Pelanggaran adat dijatuhi denda berdasarkan kesalahannya. Tingkatannya “ayam sekok. Beras segantang, selemak-semanis, kemudian “kambing sekok, beras sepuluh, selemak-semanis”, dan yang terberat “kerbau sekok, beras seratus, selemak-semanis”.

Untuk menyelesaikan persoalan rumit maka dapat menggunakan kiasan “fajarlah menyingsing. Murailah bekicau. Kilat beliung lah kekaki. Kilat cermin lah kemuko.

Didalam menyelesaikan persoalan adat maka harus bijaksana seperti ujaran “anak buayo tegontang-gontang. Anak cigak dalam perahu. Nak beiyo takut tehutang. Nak beidak oranglah tahu”.

Marga IX Koto[221], Struktur social di Marga IX Koto terdapat “ninik mamak”. Ninik mamak merupakan struktur social yang ditunjuk oleh masyarakat.

Dalam kerapatan adat, ninik mamak terdiri dari Kepala Dusun, orang tua yang bijaksana yang kemudian disebut “tuo tau”, pemangku agama yang terdiri dari Imam, Khatib dan bilal. Selain itu terdapat “Debalang Batin”. Debalang Batin merupakan tokoh Pemuda yang bisa bersifat bijaksana mengikuti pertemuan di Ninik Mamak sekaligus sebagai “orang yang lincah” untuk mengurusi urusan Dusun.

Debalang Batin berbeda dengan “kepak rambai hulubalang”. Apabila “kepak Rambai hulubalang bertugas “memanggil rapat”, menjemput ninik mamak atau pembesar negeri yang belum datang namun tidak bisa menjadi bagian dari rapat pemangku adat.

Namun Debalang Batin memang mempunyai fungsi khusus. Selain memastikan seluruh pemangku adat telah hadir, Debalang Batin juga menjadi bagian dari rapat pemangku adat. Posisinya sama dengan pemangku adat yang lain.

Begitu pentingnya posisi Debalang Batin, selain akan melaksanakan putusan rapat adat juga sebagai “orang kuat gawe” untuk melaksanakan pekerjaan yang membutuhkan tenaga orang mudo. Debalang Batin bisa menggerakkan untuk meringankan pekerjaan di dusun.

Selain itu, Debalang Batin juga bisa berfikir bijaksana didalam rapat pemangku adat.

Dengan mengikuti sistem kekerabatan matrilineal, maka “urusan keluarga besar” diserahkan kepada Mamak. Mamak adalah “saudara lelaki dari Ibu” yang kemudian mengurusi urusan keluarga besar.

Pemangku keluarga atau “kepala keluarga “sedatuk” dikenal sebagai Tengganai. “Urusan sedatuk” ini biasa dikenal  Di daerah hulu, kaum biasa disebut juga “kalbu”. Sedangkan di sebagian daerah hilir Jambi, biasa disebut juga “guguk”.. Sebuah komunitas dari keturunan Ibu. Sebagaimana menjadi seloko “Anak sekato Bapak. Kemenakan sekato Mamak”.

Setiap perselisihan di dusun, maka diselesaikan dahulu antara Tengganai. Fungsi Tengganai sering disebut didalam seloko “rumah betengganai”.

Setelah itu, maka antara masing-masing pihak yang berselisih kemudian mempertemukan “mamak” yang kemudian diselesaikan dengan cara “ninik mamak’.

Hubungan struktur social antara ninik mamak yang didalamnya terdapat “tuo Tau”, Tengganai, pegawai syarak dengan Debalang batin begitu erat.

Di Marga Sumay,  Di Desa Pemayungan[222], JENJANG ADAT[223].  Setiap perselisihan diselesaikan dengan berjenjang naik berjenjang turun (Jenjang adat) dengan cara seperti Saksi melaporkan Kepada Kelapa Dusun. Kepala Dusun melaporkan kepada Lembaga adat.Lembaga adat mengumpulkan anggota Lembaga adat termasuk tuo tengganai, ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai. Lembaga adat mengadakan sidang adat dengan menghadirkan saksi dan memanggil orang yang dituduh. Lembaga adat menjatuhkan sanksi. Bila tidak dilaksanakan sanksi putusan lembaga adat, lembaga adat melaporkan kepada Kepala Desa.

Di Desa Muara SekaloCARA MENYELESAIKAN (JENJANG ADAT)[224]Tumbuh diatas tumbuh. Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air.  Setiap persoalan harus dilihat sebab dan akibat.

Berjenjang naik, bertangga turun. Setiap persoalan maka disampaikan ke ninik mamak. Ninik kemudian mengundang untuk menyelesaikannya.

Ayam berpindes, beras segantang, kelapa sejinjing, selemak semanis. Didalam rapat ditentukan yang bersalah dan dijatuhi sanksi.  

Di Desa Semambu, CARA MENYELESAIKAN[225], Tumbuh diatas tumbuh. Setiap persoalan harus dilihat sebab dan akibat. Hukum Mendaki, hukum mendatar dan hukum menurun.  Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya. Setiap persoalan harus dibicarakan dan diberitahukan kepada orang ramai.  Berjenjang naik, bertangga turun. Setiap persoalan maka disampaikan ke ninik mamak. Ninik mamak kemudian Mangku. Mangku kemudian ke Depati. Depati kemudian mengundang didalam rapat adat. Didalam rapat adat kemudian ditentukan yang bersalah dan dijatuhi sanksi.   Depati kemudian melaksanakan putusan adat dan menyampaikan kepada yang bersalah untuk menjalankan sanksi.

Raja Melangkah maju, Rakyat bersimpuh Kebul. Apabila sanksi diberikan tidak dapat dipikul untuk membayarnya, maka dapat diberikan keringanan sesuai dengan kemampuannya.

Di Desa Suo-suo,  Jenjang Adat[226] Tumbuh diatas Tumbuh. Setiap persoalan harus dilihat sebab dan akibat.  Berjenjang Naik. Bertangga Turun. Setiap persoalan dilaporkan kepada ninik mamak. Dan hak ninik mamak untuk menyelesaikannya.

Di Dusun Talang Mamak[227],, Menurut jenjang adat, Bertangkap naik bertangga turun, proses penyelesaian dimulai dari keterangan dari masyarakat kepada Menti. Menti kemudian memberitahukan kepada Mangku. Kemudian Mangku memberitahukan kepada Patih dan Kepala Dusun. Ketiganya yaitu Patih, Mangku dan Kepala Dusun memanggil Debalang kepada yang dilaporkan menghadiri sidang adat. Didalam sidang adat kemudian dibicarakan pelanggaran terhadap masyarakat yang dituduhkan.

Dalam prosesi pelanggaran adat, maka proses ini didahului dengan Sirih Gambir sebagai tanda persetujuan untuk disidangkan dan mengikuti sanksi adat.

Ikrar Sirih gambir mengingatkan berbagai prosesi penyelesaian dan penghormatan hukum adat di Jambi sesuai dengan seloko “sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang.

Setiap pelanggaran dimulai dari ayam sekok beras segantang selemak semanis, kambing sekok beras sepuluh gantang, selemak semanis hingga kerbau sekok, beras seratus gantang selemak semanis diselesaikan di Dusun Simarantihan. Namun apabila tidak dapat diselesaikan maka kemudian diserahkan kepada Batin. Batin kemudian diartikan diserahkan kepada proses hukum.

Tata cara untuk menyelesaikan perselisihan adat seperti Berjenjang naik, bertangga turun. Atau “Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya”. Atau “Tumbuh diatas Tumbuh

Pranata-pranata adat seperti Posisi tuo kampung, kepala Dusun, ninik mamak, Tuo Tengganai, alim ulama, cerdik pandai dan pegawai syara' merupakan proses yang dilalui untuk menyelesaikan perselisihan adat.

Untuk membuktikan hubungan antara masyarakat dengan hutan dapat ditandai dengan ujaran seperti “ke aek bebungo pasir, ke darat bebungo kayu. Ujaran ini maka dapat membuktikan “masih adanya pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari”.

Dengan melihat rumusan berdasarkan UU Kehutanan, maka Margo Sumay dapat mengidentifikasikan sebagai persekutuan masyarakat adat (rechsgemeenschap).

Penyelesaian perselisihan

Kata-kata “Tumbuh diatas tumbuh”, “Yang berjalan dengan air”, atau “Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya merupakan nilai-nilai filosofis yang agung. 

Tanpa dipengaruhi oleh hikayat, mitos ataupun cerita yang diterima dari nenek moyang, harus diakui, didalam melihat segala sesuatu dilatar belakang dengna pemikiran mistis dan rasional. Dikatakan mistis karena ada beberapa jawaban yang masih memerlukan kajian yang mendalam. Sedangkan apabila dikatakan rasional apabila jawaban diberikan, dapat diterima dengan akal pikiran yang rasional.

“Tumbuh diatas tumbuh”, “Yang berjalan dengan air”, atau “Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya adalah nilai filosofis yang fundamental. Dalam bacaan modern, nilai ini merupakan nilai fundamental (ground norm) dalam pemikiran Hans Kelsen[228] yang kemudian dapat ditarik menjadi norma-norma yang dapat diterapkan secara praktis.

Menurut teori ini, hukum yang lebih rendah dilarang bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Azas yang sering digunakan adalah lex superiori derogate lex inferiori, dan semua hukum yang berada dibawahnya selalu bersumber dan mengacu pada hukum yang lebih tinggi kedudukannya hingga yang tertinggi yang disebut Grundnorm. Teori ini telah menjadi semacam ajaran hukum sehingga disebut lehre (ajaran) yaitu Rechtsreinelehre. Oleh karena itu, metode yang tepat adalah metode hukum normative dengan pendekatan undang-undang. Paradigma ini demikian kuat pengaruhnya hingga bertahan hingga kini dimanapun di dunia ini dan telah menjadi mainstream.

“Tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya apabila dilihat dari makna harfiahnya berarti “setiap persoalan harus dilihat dari sebab perbuatan itu terjadi”.

Sebagai contoh, sebuah perkelahian yang terjadi, tentu saja harus didengarkan dari keterangan dua pihak. Mengapa perkelahian itu terjadi. Sebelum dijatuhkan pidana adat (delik adat)[229] seperti “menguak daging. Merencong tulang”, harus dipastikan mengapa peristiwa itu terjadi.

Hukum adat delik, sebagaimana hukum adat umumnya sebagian besar tidak tertulis. Oleh karena sebagian besar tidak tertulis, maka cara untuk mensosialisasikan nilai- nilai dalam hukum adat sebagai landasan filosofisnya digunakan simbol-simbol. Simbol bukan tujuan melainkan cara untuk mencapai tujuan. Simbol dapat berbentuk tulisan, ukiran, lukisan, pahatan, patung, arah, gerak, nyanyian/tembang, drama, atau sendratari. Ada pula simbol itu dalam bentuk mitos, legenda, atau sage yang menggambarkan tentang perang antara kebaikan – kejahatan, kepahlawanan – pengkhianatan, atau antara kebenaran – kefasikan.

Tumbuh diatas tumbuh, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya, sebenarnya berangkat dari teori yang disampaikan oleh von Buri yang kemudian dikenal Teori hubungan sebab akibat yang biasa dikenal dengan istilah teori kausalitas (Teori conditio sine qua non). Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat).

Tiap faktor tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat yang timbul. Tiap factor diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta memiliki hubungan kausal dengan timbulnya akibat.

Teori conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent theorie), karena tiap factor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama dan sederajat. Maka teori Von Buri ini menerima beberapa sebab (meervoudige causa)

Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” (teori syarat). Disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan sebab (causa) tidak ada perbedaan.

Dengan melihat teori yang disampaikan oleh Von Buri, maka nilai filosofi dari “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya,  berangkat dari setiap perbuatan yang ditimbulkan merupakan akibat dari sebab sebuah peristiwa.

Tumbuh diatas tumbuh, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya merupakan salah satu nilai fundamental penting yang masih tetap kukuh dipertahankan masyarakat. Berangkat dari Tumbuh diatas tumbuh, mereka dapat menyelesaikan masalah yang timbul tanpa harus menghakimi dan memberikan putusan yang keliru.

Pesan dari pemberi tanda (sign) yang dimuat dari rumusan teks merupakan tanda-tanda atau proses “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” merupakan tanda (sign) dari perumus teks.

Teks didalam peraturan yang disampaikan dalam pertemuan merupakan cara memahami (versterhen) para perumus teks untuk memberikan tanda sebagai proses tatacara pembukaan hutan.

tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” merupakan isyarat yang harus dapat diamati melalui pancaindera. Isyarat yang diberikan merupakan pemahaman kolektif masing-masing dusun untuk mendukung sistem hukum adat yang sudah berlangsung lama.

Isyarat ini telah memenuhi syarat seperti (1) interest yang benar-benar murni, (2) wujud dari isyarat yang telah baku dan tetap yang telah berlangsung lama (3) telah dihasilkan sesuai dengan aturan mengadakan interpretasi yang sudah baku untuk menyampaikan pesan.

Dengan demikian, maka pesan seperti “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, sebagai interpretasi obyektif dan pemahaman yang kuat[230].

Isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, telah memenuhi proses yang panjang baik ditinjau dari filologi[231], kritik[232], psikologi[233] dan morfologi-teknis[234].

Isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, pada hakekatnya bersifat normatif yaitu mengenai keadaan sebagaimana mestinya. Artinya mengaitkan apa spesifik dan kongkret dengan sesuatu yang bersifat lebih menyeluruh dan abstrak.

Isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” harus diartikan keseluruhan (gestalt/gestaltwithch). Isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” tidak boleh ditafsirkan bermakna ganda.

Isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” harus ditafsirkan dapat memenuhi rasa keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan (zweckmagheit). Rumusan isyarat ini tercapainya kepastian hukum (rechtssicherheit) bagi semua orang yang membaca isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” dalam teks.

tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air  tidak hanya mengatur yang berkaitan dengan tertib sosial (social order) mengenai tata cara pengelolaan sumber daya alam, tapi juga penyelesaian sengketa (dispute settlement). “Tumbuh diatas tumbuh” dapat digunakan sebagai nilai-nilai yang disepakati didalam melihat dan menyelesaikan persoalan. Tata cara “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” dapat digunakan sebagai pemberian sanksi didalam penyelesaian konflik yang terjadi.

Dalam hal inilah “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, hukum berperan sebagai penetralisasi penyimpangan-penyimpangan[235]. Hukum diberlakukan melalui proses pelembagaan nilai-nilai yang dianut bersama. Masyarakatpun kemudian kembali berperilaku menurut pola-pola yang telah terlembagakan dengan isyarat “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”.

tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” dapat dibaca sebagai materi yang dikonstruksikan yang dapat diterima sebagai pandangan yang sejalan dengan ajaran yang masih diakui sebagai masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap) yang tetap mengikuti perkembangan jaman, diterima sebagai sistem hukum adat yang logis dan memperhatikan segi-segi kesederhanaan[236]

Dalam “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” dapat dibaca sebagai aliran hukum kodrat[237]. “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan airyang merupakan simbol yang ditafsirkan sebagai muatan hukum alam (law of nature).

Mengapa digunakan “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” sebagai simbol (sign), penulis tidak menemukan jawaban yang memuaskan. “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” merupakan ajaran yang diwariskan turun temurun. Tidak ada penjelasan mengapa “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” digunakan.

Namun ketika “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” dijadikan nilai-nilai yang dirumuskan dan menjadi pengetahuan kolektif masyarakat, maka “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air” telah menjadi norma yang berlaku (asas aliran positivisme)[238].

Tumbuh diatas tumbuh”, “Lambas, sak sangkut, takuk pohon” merupakan grundnorm[239] didalam melihat nilai-nilai terhadap tata cara pengelolaan sumber daya alam.

tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”adalah simbol (sign) yang ditangkap sebagai grundnorm untuk “membaca” teks-teks yang memuat aturan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan.

Dalam penjelasan yang lain juga disebutkan[240], metode untuk mengambil cara mempertentangkan dalam teksnya (binary oppositions), seperti laki-laki/ perempuan, bermakna/tanpa makna, jelas/kabur, dan sebagainya.

Penelitian ini membaca kritis komunitas masyarakat adat tanpa pengakuan negara, sejauh mana perlindungan yang diberikan oleh negara dan bagaimana efektifitasnya di lapangan. Selain itu, diperlukan logika melalui suatu pengujian jejak,  apa yang terlihat dan apa yang tersembunyi. Suplemen dan membuka tabir teks itu sendiri. Hal ini diperlukan dalam penelitian untuk melihat koherensi dan inkoherensi pengakuan hukum hak masyarakat adat.

Hal ini dipengaruhi oleh cara berfikir ala Jacques Derrida[241], yang menegaskan bahwa dekonstruksi (pembongkaran) dilakukan sebagai upaya untuk membuka teks untuk memahami batasan pengertian dan penafsiran.

Dengan membaca teks dan kontek dilihat dari simbol (sign), maka “tumbuh diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air”, merupakan hubungan masyarakat adat dengan sumber daya alam, lingkungan atau wilayah kehidupannya lebih tepat dikategorikan sebagai hubungan kewajiban daripada hak

Padahal Hak atas tanah dan sumber daya alam merupakan salah satu hak paling penting bagi masyarakat adat sebab keberadaan hak tersebut menjadi salah satu ukuran keberadaan suatu komunitas masyarakat adat.

Dalam pandangan E Sumaryono menyebutkan asas-asas kebenaran dan keadilan bersifat kodrati dan berlaku universal. Kebenaran disebutkan sebagai “Validitas hukum”. Manusia diperbolehkan membuat hukumnya sendiri (lex humana atau human law). Hukum harus sah, mengikat dan mempunyai kewajiban sepanjang dapat menunjukkan konsistensi dengan moralitas[242].

Hukum adalah aturan perilaku (rule of conduct) yang mengikat. Dalam arti ini, hukum dikaitkan dengan tindakan manusia yang diatur dan dikontrol secara formal oleh suatu otoritas dalam masyarakat

Sehingga teori von Buri ternyata merupakan teori yang universal, rasional dan dapat digunakan masyarakat didalam menyelesaikan berbagai persoalan.

Dalam masyarakat Desa Semambu dikenal dengan hukum mendaki, hukum menurun dan hukum mendatar.  Hukum mendaki contohnya “mencecak telur, menikam bumi”.

Di Desa Pemayungan dimulai dari saksi melaporkan kepada Kepala Dusun dan kemudian melaporkan ke Lembaga Adat. Lembaga adat yang mengumpulkan anggota lembaga adat seperti tuo tengganai, ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai. Lembaga adat menjatuhkan sanksi dan Kepala Desa melaksanakan putusan adat.

Di Desa Semambu selain menggunakan nilai “tumbuh diatas tumbuh” dikenal juga “Pulai berpangkat naik. Tinjau ruas dengan bukunya”. Berjenjang naik bertangga turun”. Dimulai dari ninik mamak kemudian ke Mangku[243]. Mangku kemudian ke Depati. Depati kemudian mengundang  dalam rapat adat dan ditentukan siapa yang bersalah dan sanksi diberikan. Depati yang melaksanakan putusan adat dan menyampaikannya.

Ninik mamak diselesaikan. Setelah putus runding, maka hasil rindungan kemudian Barulah keputusan diserahkan kepada Kepala Desa.

Namun di Desa Suo-suo setiap persoalan dapat diputuskan dalam tingkatan ninik mamak.

Dalam penjelasan lain disebutkan, bahwa hukum mendaki adalah hukum yang putusannya harus diselesaikan oleh Depati. Terhadap hukum yang harus diselesaikan oleh Depati termasuk kesalahan “mencecak telur. Menikam bumi.

Dengan demikian, maka hukum mendaki sebenarnya adalah hukum yang dijatuhkan oleh Depati. Bukan kategori dari “mencecak telur. Menikam bumi.

Sedangkan hukum mendatar adalah hukum yang diputuskan oleh ninik mamak. Hukum ini adalah sengketa para pihak dimana, tidak dapat diselesaikan di tingkat keluarga.

Sedangkan hukum menurun adalah hukum yang diputuskan cukup kedua belah pihak semata. Para pihak yang berselisih dapat menyelesaikan sendiri. Seperti dalam ujaran “Ular tau dibiso. Rimau tau di belang[244].

Apabila dapat diselesaikan oleh kedua belah, maka tidak dapat dimajukan ke ninik mamak atau kepada Depati. Sebagaimana didalam ujarannya “Berunding sudah tetap. Kato pertamo ditepati. Kato kedua dicari-cari”.

Terhadap tanah “sesap jerami, tanaman tunggul[245], maka tetap menggunakan nilai filosofi “tumbuh diatas tumbuh”. Hubungan sebab akibat (causaliteitsleer). Dilihat apakah terhadap pemilik sebelumnya ada tanaman bekas yang menunjukkan status kepemilikan atau tidak. Tidak boleh seseorang mengaku-mengaku telah membuka hutan.

Dengan perumpamaan yang telah disampaikan, maka terhadap laporan terhadap sebuah peristiwa berangkat dari sebab mengapa perbuatan itu terjadi. Pendekatan inilah yang kemudian digunakan didalam melihat sebuah persoalan.

Cara ini menarik. Selain memang ajaran kausalitas sering digunakan dalam praktek pengadilan, ternyata hukum adat juga menggunakan pendekatan ajaran kausalitas. Sehingga teori ini selain digunakan dalam praktek pengadilan yang cenderung positivisme, teori ini ternyata effektif digunakan dalam konsepsi hukum adat.

Terhadap sanksi adat, Desa Pemayungan memberikan sanksi cukup berat terhadap pohon sialang dengan istilah “membuka pebalaian” yaitu kain putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam segaram dan ditambah denda Rp 30 juta.

Muara Sekalo memberikan istilah “ayam berpindes, beras segantang, kelapa sejinjing, selemak semanis”. Begitu juga Desa Suo-suo memberikan sanksi adat “ayam sekok, beras segantang dan selemak semanis”.

Istilah sanksi adat seperti “membuka pebalaian” yaitu kain putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam segaram dan ditambah denda Rp 30 juta merupakan  sanksi adat. Sanksi adat telah mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan.

Fungsi sanksi adat merupakan salah satu bentuk mengembalikan sengketa baik kepada pelaku, korban dan kepada alam. Dengan mengembalikan fungsi sanksi adat, maka alam diharapkan dapat kembali kedalam fungsinya dan melindungi masyarakat.

Dominikus Rato  menyebutkan sebagai “mengembalikan keseimbangan kosmis[246]. ‘Mengembalikan keseimbangan kosmis’ atau ‘mengembalikan ketentraman magis’ yaitu: penggantian kerugian-kerugian immaterial dalam berbagai bentuk seperti paksaan kepada seorang laki-laki untuk menikahi gadis yang telah dicemari/dihamili; membayar uang adat kepada yang terkena berupa benda sakti (keris, tombak pusaka, pedang pusaka, dan sebagainya) sebagai pengganti kerugian rohani; selamatan (ritual) bersih desa; membayar denda penutup malu; hukuman badan mulai dari pecut hingga hukuman mati; dan pengasingan.

Dalam uraian yang lain, Prof. Dr. H. Kaelani, MS menjelaskan[247]
Dalam kosmologis-ekologis ini menunjukkan kehidupan manusia senantiasa dalam kondisi lingkungan yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Manusia haruslah ditempatkan dalam konteks real dan kongkrit. Unsur dimensi materialis merupakan perspektif manusia yang bersifat real dan alamiah.

Memahami manusia berarti menempatkannya dalam konteks kehidupan yang nyata. Dalam kaitannya dengan alam lingkungannya. Dalam pengertian inilah maka manusia harus senantiasa membudayakan dirinya dan menyosialisasikan dirinya demi kehidupan dan meningkatkan harkat dan martabatnya.

Desa Lubuk Mandarsyah[248],  Kedudukan “induk semang” adalah sebagai “tuo tengganai” dari anak kemenakan. Kesalahan “anak kemenakan” kemudian harus diselesaikan oleh “tuo tengganai”. Kesalahan harus dipertanggungjawabkan baik melalui hukum adat maupun sosial.

Di Marga Pemayung Ulu[249], Setiap dusun dipimpin oleh Penghulu. Penghulu kemudian dibantu oleh Mangku yang menguasai Kampung[250]. Di Marga Pemayung Ilir[251],

Sebagai kekuasaan kerajaan Tanah Pilih, maka Rajo kemudian menyusuri Sungai Batanghari untuk melihat wilayah Kerajaan Tanah Pilih. Menggunakan perahu yang dikenal dengan cara “mengayuh mencalang”. Setiap pemberhentian maka diperlukan “kermit” untuk mengabarkan kampong sebelumnya. Biasa dikenal “kemit”. Di Marga Pemayung Ulu di Kuap maka telah menunggu pula “kemit” untuk mengayuh perahu (ngayuh mencalang). Dengan demikian maka Kermit selain bertugas mengayuh perahu (ngayuh mencalang), kermit juga “pemayung Rajo”.

Kermit bertugas “disuruh pergi. Dipanggil datang’. Melihat tugasnya maka “Kermit” juga dikenal sebagai “kepak rambai hululang”. “Menjemput yang tinggal. Mengangkat yang berat.

Selain itu dikenal “Debalang rajo’ yang berkedudukan di Dusun Kuap. Orang Kuap terkenal dengan omongan yang tegas dan keras. Sebagai keturunan “debalang Rajo”. Debalang Rajo juga bertugas kepada rakyat Jambi “agar bersatu padu. Untuk masyarakat sejahtera” [252]..
Struktur Pemerintahan Margo memiliki jenjang sebagai berikut:
  1. Tengganai sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok yang ada dalam wilayah.
  2. Punggawo pemimpin wilayah setingkat  Kepala Dusun.
  3. Depati pemimpin wilayah setingkat Kepala Desa.
Pesirah pemimpin wilayah margo sekarang setingkat Camat.

Batin IX Ilir (Marga Telik Kamisan Batin 9 Ilir) Struktur Pemerintahan Margo memiliki jenjang. Tengganai sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok yang ada dalam wilayah. Punggawo pemimpin wilayah setingkat  Kepala Dusun. Depati pemimpin wilayah setingkat Kepala Desa. Pesirah pemimpin wilayah margo sekarang setingkat Camat[253].

Desa Soko Besar[254], Tata cara proses sidang adat desa sebagai berikut : Tata Cara Sidang Adat : (1) Pembukaan dilaksanakan oleh Sekretaris Desa, (2) Pembacaan kronologis oleh Kepala Desa, (3) Kepala Desa memanggil pelapor dan pelapor dipersilakan duduk dan menyampaikan laporan dan kronologisnya setelah itu dipersilakan untuk keluar, (4) Kepala Desa menyerahkan kepada Ketua Adat untuk mencari kejelasan tentang kronologis kejadian, (5) Kepala Desa memanggil terlapor dan terlapor dipersilakan duduk dan menyampaikan laporan dan kronologisnya setelah itu dipersilakan untuk keluar,(6) Kemudian dipanggil beberapa saksi yang disampaikan oleh pelapor dan terlapor untuk diperiksa satu persatu, (7) Pelapor, terlapor dan para saksi semuanya dipersilakan duduk dalam ruangan tersebut, (8) Setelah semuanya diperiksa Kepala Desa membacakan pengajuan dan tuntutan dan uraian yang disampaikan para saksi-saksi tersebut, (9) Dilaksanakan Tanya jawab bersama peserta sidang baik kepada pelapor maupun terlapor dan saksi-saksi, (10) Peserta sidang (Ketua Adat, Kepala Desa dan Pengawai Sya’ra) musyawarah dan mufakat untuk mengambil keputusan tanpa dihadiri oleh pihak yang bersengketa, (11) Setelah ditemukan kesepakatan baru disampaikan oleh Kepala Desa dalam sidang tentang hasil keputusan termasuk penyampaian sanksi dan denda, (12) Setelah keputusan disampaikan baru dikembalikan kepada Sekretaris Desa. Selanjutnya, makan bersama, dan kedua belah pihak yang bertikai angkat dulur (saudara).

Marga Kumpeh Ilir, Desa Sungai Bungur[255], Setiap perselisihan yang timbul akibat terlanggarnya “pantang larang” maka diselesaikan dengan berjenjang (jenjang adat). Bertangkap naik bertangga turun[256].

Dimulai dari laporan Ketua Rukun Tetangg (RT) kemudian dibawa ke Kepala Dusun. Dari Kepala Dusun kemudian disampaikan ke Ketua Adat. Dari Ketua Adat kemudian dibawa ke Kepala Desa.

Didalam rapat adat kemudian ditentukan ganti rugi siapapun yang  melanggar pantang larang.

Kepala Desa kemudian melaksanakan putusan rapat adat. Kepala Desa “Yang berhak untuk memutih menghitamkan. Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat.

Di Desa Sogo CARA MENYELESAIKAN PERSELISIHAN (JENJANG ADAT), Setiap perselisihan yang timbul akibat terlanggarnya “pantang larang” maka diselesaikan dengan berjenjang (jenjang adat). Berjenjang naik bertangga turun[257].

Di Desa Sponjen, Setiap perselisihan yang timbul akibat terlanggarnya “pantang larang” maka diselesaikan dengan berjenjang (jenjang adat). Berjenjang naik bertangga turun.

Dimulai dari laporan Ketua Rukun Tetangg (RT) kemudian dibawa ke Kepala Dusun. Dari Kepala Dusun kemudian disampaikan ke Ketua Adat. Dari Ketua Adat kemudian dibawa ke Kepala Desa.Didalam rapat adat kemudian ditentukan ganti rugi siapapun yang  melanggar pantang larang.

Kepala Desa kemudian melaksanakan putusan rapat adat. Kepala Desa “Yang berhak untuk memutih menghitamkan. Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat[258].

Di Marga Maro Sebo Desa Rukam Tata cara menyelesaikan sengketa,  Musywarah adat yang di hadiri oleh Ketua adat, Pemuka agama, Pemerintahan desa, Yang bersengketa, Saksi ahli waris kedua belah pihak[259].

Marga Tungkal Ulu[260], Setiap dusun dipimpin oleh seorang Penghulu atau Demang.

Didalam menyelesaikan setiap perselisihan, maka diselesaikan oleh pemangku adat yang disebut Waris nan Delapan. Waris Nan delapan yaitu Waris Aur Duri, Waris Kebun Tengah, Waris Pulau Ringan, Waris Kuburan Panjang, Waris Gemuruh, Waris Langkat, Waris Bukit Telang dan Waris Teluk.

Setiap pemangku Waris dipilih oleh kaumnya sendiri. Di daerah hulu, kaum biasa disebut juga “kalbu”. Sedangkan di sebagian daerah hilir Jambi, biasa disebut juga “guguk”.. Sebuah komunitas dari keturunan Ibu. Sebagaimana menjadi seloko “Anak sekato Bapak. Kemenakan sekato Mamak”.

Di berbagai tempat, susunan struktur ini biasa disebut “tengganai” sebagaimana sering disampaikan “rumah betengganai, rantau bejenang, kampong bepenghulu dan negeri bebatin.

Sebagai pemangku adat, posisinya begitu penting dan dihormati sebagaimana seloko “memakan habis. Memancung putus”. Di tangan merekalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum adat dapat diselesaikan.

Dalam proses penyelesaiannya, maka Pesirah sebagai Pemangku adat marga kemudian memanggil para penghulu masing-masing setiap dusun untuk menyelesaikannya. Tata cara memanggil dilakukan oleh Pesirah dengan menyuruh “Kermit”. Kermitlah menggunakan canang (semacam gong kecil) memanggil kabar kepada seluruh negeri. Kermit kemudian menyampaikan maksud dari pertemuan yang akan diadakan oleh Pesirah.

Setelah diputuskan oleh pemangku adat, maka terhadap sanksi haruslah dilaksanakan. Pelanggaran atau pengingkaran terhadap sanksi ataupun perundingan tidak dapat diselesaikan maka diserahkan kepada Pemangku Negeri yang ditandai dengan seloko “alam berajo, negeri bebatin”.

Di Marga Tungkal Ilir Desa Makmur Jaya[261],  Tatacara Penyelesaian, Penyelesaian masalah yang diterapakan di desa Makmur Jaya ini adalah dengan cara musyawarah bertahap. Apabila terdapat permasalahandi desa maka yang melakukan kesalahan akan dibawa ke ketua RT, setelah itu dibawa kepada kepala dusun dan dibawa ke kepala desa dan para petinggi desa untuk dilakukan musyawarah bersama untuk mengambil tindakan lebih lanjut[262].

Di Desa Serdang Jaya, TATA CARA PENYELESAIAN, Pengambilan keputusan untuk penyelesaian masalah, konfik, dan sengketa dilakukan dengan musyawarah melalui forum desa dengan dihadiri oleh perangkat desa, Kadus, ketua RT, tetua desa dan  BPD.  Apabila masalah belum dapat diselesaikan dari forum desa maka dapat dilakukan melalui jalur hukum[263].

Di Marga Dendang/Sabak Desa  Sungai Beras[264],  Penyelesaian masalah yang diterapkan di Sungai Beras adalah dengan cara kekeluargaan, musyawarah berjenjang. Penyelesaian masalah secara berjenjang yang dimaksud adalah penyelesaian hanya melibatkan ketua RT dan beberapa tokoh, apabila tidak putus, maka dinaikan ke Kepala Dusun, selanjutnya Kepala Desa, dan diserahkan kepihak berwajib.

Segala sesuatu diputuskan di Desa, semua potensi dan kekeyaan yang berada di Desa dan hutan desa di gunakan dalam masyarakat. Segala pengaturan dibicarakan. “pegi Nampak muka balik Nampak punggung”

Di Marga Berbak,  Untuk menegakkan hukum adat, masyarakat mengenal “tegur ajar’. Istilah Tegur ajar juga dikenal di Marga Batin Pengambang. Terhadap kesalahan dijatuhi sanksi adat berupa “kambing sekok, berat 20 gantang, selemak-semanis” [265].

VIII.        Sanksi

Terhadap pelanggaran “pantang larang” kemudian dijatuhi sanksi yang dikenal sebagai “denda adat (Sanksi)”. Sanksi diberikan baik terhadap tanah yang ditinggalkan, melanggar terhadap pengaturan tentang hutan dan tanah (hukum rimbo dan hukum patanahan) dan hukuman terhadap ketidakmauan untuk mematuhi sanksi.

Di Marga Batin Pengambang, Desa Tambak Ratu[266], dikenal “mengepang”, “belukar tuo”, datang Nampak muko. Pegi Nampak punggung”, “Nasi putih air jernih”.

Tanah yang telah ditebang kemudian diberikan tanda dengan kayu berkait (Mengepang). Apabila tidak dikerjakan selama 3 bulan, maka haknya menjadi hilang. Tanah kembali ke Desa. Walaupun sudah dikerjakan dengna cara membuat tanda kayu (kayu berkait) namun apabila tidak dikerjakan selama 3 tahun maka haknya menjadi hilang. Tanah kemudian kembali ke desa (Belukar tuo).

Sedangkan terhadap masyarakat diluar desa setelah membuko rimbo melalui prosesi adat “datang Nampak muko. Pegi Nampak punggung”, namun selama 3 tahun kemudian tidak kerjakan maka tanah kemudian menjadi hilang. Begitu juga kemudian meninggalkan Desa maka tanah kemudian ditinggalkan dan menjadi milik desa. Kemudian dikenal Harta berat ditinggal. Harta ringan dibawa”.

Di Masyarakat Datuk Sinaro Putih[267] terhadap pelanggaran seperti tidak memberikan tanda batas, maka pemilik tanah dapat menikmati hasilnya. Sedangkan apabila telah diberikan tanda maka terhadap penggarap kemudian dijatuhi sanksi berupa “ayam sikuk, beras segantang, seasam segaram.

Begitu juga melakukan kegiatan berladang tidak sompak, kompak dan setumpak, diberikan sanksi sesuai dengan keputusan sidang adat.

Pelanggaran semakin berat apabila mengambil sumberdaya alam tanpa memperhatikan kelestarian, merusak sanksinya kambing sikuk boreh duo puluh kain empat kayu dan seasam segaram.

Sedangkan melakukan pemanfaatan sumberdaya alam desa, dan tidak membayar sumbangan untuk desa, yang bersangkutan akan dikucilkan dari pergaulan sehari-hari. Termasuk juga mengambil binatang liar yang boleh dimakan dan tidak membaginya kepada pimpinan adat, maka yang bersangkutan tidak diperbolehkan mengambil kembali dikemudian hari.

Sanksi lebih berat diberikan apabila kemudian merusak. Sanksi berupa kobau sikok[268].

Marga Pemayung Ilir[269], Terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman”. Istilah “cucuk tanaman” biasa dikenal dengan penamaan lain seperti di Marga Sungai Tenang “hilang celak jambu kleko”. Di Marga Sumay dikenal “Lambas’. Di Marga Kumpeh Ilir dikenal “mentaro”.

Sedangkan tanah yang telah dibuka harus dikerjakan. Apabila ternyata tidak dikerjakan maka menurut “pantang larang”, tanah “bebalik ke batin’. Batin kemudian diartikan sebagai “hak tanah” kembali ke dusun.

Di Marga Kumpeh Ilir, terhadap pelanggaran adat Terhadap pelanggaran “pantang larang” dijatuhi sanksi berupa ganti rugi yang besarnya ditetapkan melalui proses adat[270]. Selain itu terhadap tanah yang telah dibuka namun tidak dikerjakan maka dijatuhi sanksi adat. Berupa “bubur putih.

Setelah diberikan denda adat atau sanksi terhadap tanah yang tidak dikerjakan maka kemudian sanksi diberikan terhadap pelanggaran terhadap tanah.

Di Marga Batin Pengambang, Di Desa Sungai Keradak[271], tingkatan sanksi dikenal “Tegur ajar. Guling Batu”. Tegur Ajar diberikan sanksi adat seperti “Membuka lahan kebun orang yang sudah dimiliki. Dan Orang luar yang mengambil hasil hutan tanpa izin kepala Desa. Setelah dijatuhi sanksi adat kemudian dilaporkan ke pihak keamanan.

Sedangkan Guling Batu terdiri darI Membuka tempat yang dilarang, Orang luar membuka hutan tanpa izin dari pihak tuo tengganai, nenek mamak dan membuka hutan tanpa rapat kenduri.

Desa batu Empang[272] dan Desa Simpang Narso[273], tegur sapa berupa teguran pertama denda beras segantang dan ayam 1 ekor. Sedangkan Tegur Pengajar berupa teguran kedua jika masih berbuat juga denda beras 20 dan gantang kambing 1 ekor. Dan Denda Guling Batang, teguran terakhir denda beras 100 gantang dan kerbau 1 ekor.

Di Marga Batang Asai Tengah[274], Tegur Sapo diberikan terhadap pelanggaran seperti Menumbang pohon yang dilarang, memburu hewan yang dilarang dan membuka hutan diluar aturan adat.

Tegur  Sapo diberikan terhadap pelanggaran seperti Membuka lahan kebun orang yang sudah dimiliki. Dan Orang luar yang mengambil hasil hutan tanpa izin kepala Desa. Setelah dijatuhi sanksi adat kemudian dilaporkan ke pihak keamanan. Sedangkan Guling Batu terhadap pelanggaran seperti Membuka tempat yang dilarang., Orang luar membuka hutan tanpa izin dari pihak tuo tengganai, nenek mamak dan membuka hutan tanpa rapat kenduri.

Di Marga Sungai Tenang mengenal denda adat denda adat yaitu beras 20 kambing 1 ekor selemak semanis yang dijatuhi apabila tidak mau mengikuti aturan adat termasuk dalam mengelola sumberdaya alam di wilayahnya, mako biso kawi turun ke bumi, padi ditanam ilalalang tumbuh, kunyit ditanam putih isinyo, harimau maruh sepanjang maso, bahalak turun setiap waktu, air keruh ikannyo liar, rumput kering kerbaunyo kurus, mencari tidak berulih emas, baumo tidak mendapat padi, silang sengketo selalu tumbuh, penyakit taa’un dan layao tidak kunjung henti. Kepala Adat jatuh dipemanjat, hanyut diperenang, disapo oleh pusako maka Kepala Adat diberhentikan dan diajatuhi sanksi berupa denda dua kali lipat dari penduduk biasa.

Di Desa GedangSanksi Adat [275], Denda adat berupa “kambing Sekok, beras 20” dan “kambing Sekok, beras 20, mas 4 tail Separuh.

Kambing Sekok, beras 20,-. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang yang membuka rimbo tanpa sepengetahuan Penghulu. Selanjutnya tidak dibenarkan lagi membuka rimbo. Sedangkan  kambing Sekok, beras 20, mas 4 tail Separuh. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang, mas 4 tail separuh, yang menjual tanah kepada orang luar. Penjualan dibatalkan dan tanah kembali ke penghulu. 
Dan kambing Sekok, beras 20, mas 4 tail Separuh. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang, mas 4 tail separuh, yang menjual tanpa sepengetahuan Penghulu/nenek mamak[276].

Di Desa Kotobaru[277], sanksi adat  dijatuhkan terhadap pelanggaran Peraturan Desa kambing Sekok, beras 20,-, selemak-semanis dan uang Rp 2.500.000,[278].

Di Desa Tanjung Benuang dikenal “kambing sekok, beras 20, email 7 tahil sepaho” dan “beras 2 ayam”.

Kambing Sekok, beras 20,-, emas 7 tail sepaho. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan uang Rp. 750.000,- Tinggi tidak dikadah, rendah tidak dikutung  apabila “yang membuka rimbo tanpa sepengetahuan Penghulu. Selanjutnya tidak dibenarkan lagi membuka rimbo”, atau “Menjual tanah kepada orang luar. Sedangkan tanahnya kembali ke penghulu”, “Membuka hutan padahal tidak ada hak”, “Warga Desa yang sebelumnya berasal dari luar desa yang memiliki tanah apabila menjual tanah, maka jual beli tidak sah. Pembeli dijatuhi hukuman. Sedangkan tanahnya kembali ke desa” dan “Tidak melaksanakan putusan adat”.

Sedangkan “Beras 2 ayam 2. Denda” dijatuhkan senilai Beras dua gantang dan ayam dua ekor apabila KATO DAK SERENTAK, RUNDING DAK SELUKUR”
 dan “Membuka hutan bukan pada waktu yang ditentukan[279].

Di Desa Tanjung Alam  Sanksi Adat berupa 
”kambing Sekok, beras 20, batu Rp 500.000,-“. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan Batu emas senilai Rp 500.00,- Tanah kembali ke penghulu, yang membuka rimbo tanpa sepengetahuan Penghulu dan “kambing Sekok, beras 20, batu Rp 500.000,-. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan Batu emas senilai Rp 500.00,- Selain itu ditambah “TINGGI TIDAK DIKADAH, RENDAH TIDAK DIKUTUNG. yang menjual tanah kepada orang luar,

Sedangkan untuk diluar masyarakat, Diusir dan tanah kembali ke Penghulu[280].

Di Desa Tanjung Mudo Hukuman adat dijatuhi Kambing Sekok, beras 20, batu Rp 500.000,-. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan Batu emas senilai Rp 500.00,- Tanah kembali ke penghulu.

Sedangkan untuk diluar masyarakat, Diusir dan tanah kembali ke Penghulu[281].

Di Marga Senggrahan Desa Durian Rambun, sanksi diberikan seperti “menjual kawasan hutan adat” dengan sanksi yang berat yaitu  denda 1 ekor kerbau, 100 gantang beras, 100 buah kelapa, serta selemak semanis dan lahan penjualan dikembalikan ke masyarakat adat durian rambun”, ”penebangan liar di kawasan hutan adat dengan maksud untuk menjual kayu hasil tebangan tersebut di dalam kawasan Hutan adat”, ”merambah Hutan Adat”. Merambah hutan adat juga ditambah dengan denda uang sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta) per hektar serta kawasan tersebut dikembalikan ke masyarakat adat durian rambun.

Denda kambing, 20 gantang beras, 20 buah kelapa dan selemak semanis terhadap pelanggaran seperti mengambil hasil hutan tanpa izin”, ”mengambil tanaman manau dan menebang tanaman buah-buahan di kawasan hutan adat, ” meracun ikan dan dengan alat lain yang merusak ekosistem ikan pada kawasan hutan adat”, ”menutuh” petai, ” berburu memburu rusa, kijang dan satwa yang dilindungi

Bahkan hasil manau  di kembaikan ke masyarakat adat durian rambun.

Apabila ketentuan sanksi tidak dapat dilaksanakan maka pelaku pelanggaran akan diajukan ke hukum Negara oleh Kepala desa  setelah mendapat laporan dan masukan dari Lembaga adat[282].

Marga VII Koto[283], Pelanggaran adat dijatuhi denda berdasarkan kesalahannya. Tingkatannya “ayam sekok. Beras segantang, selemak-semanis, kemudian “kambing sekok, beras sepuluh, selemak-semanis”, dan yang terberat “kerbau sekok, beras seratus, selemak-semanis[284].

Terhadap pelanggaran yang tidak mau dibayar maka dikenal “keras tidak tertarik. Lembut dak tesidu. Cacah dalam tekurung. Buanglah ke arus yang mendengung. Buanglah ke bungkul nan piawai. Digantung dak betali. Berbantal bane. Bebapak kepada rimau. Beinduk kepada Kuaow. Menyerahkan buntang kepada Langau[285]

Di Marga Sungai Tenang dikenal “Plali”. Seloko Bapak pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo.

Namun apabila kemudian ”sang kena denda” meminta maaf dan mau membayar denda, maka harus dilakukan upacara adat untuk menyelesaikannya.

Karena ”Raja tidak boleh menolak sembah. Teluk dak boleh nolak limpahan kapar

Terhadap pelanggaran yang tidak mau dibayar maka dikenal “keras tidak tertarik. Lembut dak tesidu. Cacah dalam tekurung. Buanglah ke arus yang mendengung. Buanglah ke bungkul nan piawai. Digantung dak betali. Berbantal bane. Bebapak kepada rimau. Beinduk kepada Kuaow. Menyerahkan buntang kepada Langau.

Di Marga Pemayungan Desa Pemayungan[286], “Tidak boleh menebang hutan keramat (Tanah penggal, Bulian berdarah, Bukit Selasih, Pasir embun). Sanksinya kain putih 300 kayu, kerbau tiga, beras 300 gantang, kelapa 300, selemak semanis seasam segaram, kayu dikembalikan ke desa, diusir dari kampung dan dilaporkan kepada Polisi[287].

Muara Sekalo[288], Ayam berpindes, beras segantang, kelapa sejinjing, selemak semanis. Didalam rapat ditentukan yang bersalah dan dijatuhi sanksi. 

Desa Semambu[289], Kerbau sekok, beras 100 gantang, selemak semanis, hukum Depati apabila menebang Pohon sialang.  Hilang mati. Tidak usah diurus apabila membuka hutan tanpa pemberitahuan kepada penghulu.  Raja Melangkah maju, Rakyat bersimpuh Kebul. Apabila sanksi diberikan tidak dapat dipikul untuk membayarnya, maka dapat diberikan keringanan sesuai dengan kemampuannya.

Desa  Desa Suo-suo Sanksi[290] Sanksinya adalah ayam sekok, beras segantang dan selemak semanis.

Di Dusun Talang Mamak Simarantihan[291], Terhadap pelanggaran adat dikenal sanksi berupa ayam sekok beras segantang selemak semanis, kambing sekok beras sepuluh gantang, selemak semanis dan kerbau sekok, beras seratus gantang selemak semanis.

Gantang terdiri dari 4 cupak. Satu cupak terdiri dari 3 canting. Sehingga satu gantang adalah 12 canting. Ganting adalah takaran beras seukuran kaleng susu. Masyarakat mengenal pengukuran kaleng susu sebagai takaran besar. Kaleng susu adalah kaleng sebagai wadah susu kental yang sudah lama dipergunakan di pelosok-pelosok Jambi.

Selain itu dikenal Selendang matahari, timban tasik (piring) dan tongkat bumi (tombak). Setiap pelanggaran harus mencantumkan selendang matahari, timban tasik dan tongkat bumi.

Marga Pemayung Ilir[292],  Terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman”. Istilah “cucuk tanaman” biasa dikenal dengan penamaan lain seperti di Marga Sungai Tenang “hilang celak jambu kleko”. Di Marga Sumay dikenal “Lambas’. Di Marga Kumpeh Ilir dikenal “mentaro”.

Sedangkan tanah yang telah dibuka harus dikerjakan. Apabila ternyata tidak dikerjakan maka menurut “pantang larang”, tanah “bebalik ke batin’. Batin kemudian diartikan sebagai “hak tanah” kembali ke dusun.

Di Marga Kumpeh Ilir, Desa Sungai Bungur Sanksi[293] dijatuhkan Terhadap pelanggaran “pantang larang” dijatuhi sanksi berupa ganti rugi yang besarnya ditetapkan melalui proses adat

Tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun. Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami maka akan dijatuhi sanksi adat berupa bubur putih.

Di Desa Sogo Terhadap pelanggaran “pantang larang” dijatuhi sanksi berupa ganti rugi yang besarnya ditetapkan melalui proses adat[1].

Di Desa Sponjen “Terhadap pelanggaran “pantang larang” dijatuhi sanksi berupa ganti rugi yang besarnya ditetapkan melalui proses adat. Tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun. Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami maka akan dijatuhi sanksi adat berupa bubur putih[294]

Didalam Marga Maro Sebo Desa Rukam “Menempuh yang besawah atau merubah sebuah keputusan mengorak  yang bereboh[295].

Marga Tungkal Ulu[296], Pengingkaran terhadap sanksi ditandai dengan seloko “digantung tinggi, dibuang jauh”. Di tempat lain sering juga disebut didalam seloko “tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung”. Seloko ini dapat dijumpai di Marga Luak XVI di hulu Kabupaten Merangin yang sering disebutkan “Plali” sebagaimana seloko ”Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”. Dalam bahasa sehari-hari sering juga disebut “orang buangan’. Orang yang tidak perlu diurus di kampong karena tidak mau menaati sanksi yang telah dijatuhkan.

Sedangkan Proses yang kemudian diserahkan kepada Rajo atau pemangku Batin sering disebutkan didalam seloko “Gajah yang begading. Rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh”.

Di Marga Tungkal Ilir Desa Serdang Jaya[297]. Sanksi Areal Parit Cabang yang terletak di RT 12 Desa Makmur Jaya tidak boleh diperjual-belikan,  Terhadap penjualan tanah di Parit Cabang RT 12 Desa Makmur Jaya maka tanah dikembalikan kepada Tanah Kas Desa Makmur Jaya, Sedangkan terhadap penjual maupun pembeli dijatuhi sanksi oleh masyarakat. Selain itu akan dilaporkan kepada proses hokum[298].

Desa Makmur Jaya[299]   SANKSI Wilayah Hutan Lindung Gambut (HLG) yang berada di Dusun Sri Menanti Desa Serdang Jaya tidak boleh diperjulan belikan.  Apabila terdapat proses jual beli di wilayah HLG maka hak atas tanah tersebut dikembalikan ke pemerintah Desa Serdang Jaya.  Pembeli maupun penjual tanah di HLG akan diberikan hukuman oleh masyarakat.  Apabila lahan yang telah dibuka namun tidak dikelola selama 5 tahun, lahan tersebut statusnya dikembalikan ke desa[300]..

Di Marga Sabak/Dendang, Desa Sungai Beras, Berdasarkan kesepakatan, zona lindung harus dilindungi dan tidak boleh dirusak, sanksi bagi  pelanggar akan diserahkan kepada pihak berwajib. Bagi lahan yang telah terlanjur digarap oleh masyarakat yang berada pada kawasan hutan tidak diizinkan melakukan perluasan, untuk pemanfaatan tanaman perkebunan seperti  sawit diizinkan satu periode, nantinya diaharuskan mengganti dengan tanaman kehutanan.

Sama halnya dengan satwa dan tanaman yang dilindungi dilarang untuk ditangkap, bagi pelanggarkan akan diserahkan kepada pihak berwajib guna diproses secara hukum dengan acuan undang-undang perlindungan satwa yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Terhadap pelanggar yang memasuki Hutan Desa tanpa izin dapat dikenakan sanksi Undang - Undang Kehutanan. [301]

Dan di Marga Berbak Untuk menegakkan hukum adat, masyarakat mengenal “tegur ajar’. Istilah Tegur ajar juga dikenal di Marga Batin Pengambang. Terhadap kesalahan dijatuhi sanksi adat berupa “kambing sekok, berat 20 gantang, selemak-semanis” [302].

Selain itu terhadap penjatuhan sanksi adat atau denda adat kemudian tidak dipatuhi maka dikenal “plali’. Yang ditandai dengan Seloko seperti Bebapak Kijang. Berinduk Kuaw. Apabila putusan telah dijatuhkan, maka tidak bisa dilaksanakan, maka tidak perlu diurus didalam pemerintahan desa (Marga Batin Pengambang).

Di Marga Sungai Tenang kemudian juga dikenal Pelalo Rendah. Kalau tidak mau tunduk hukuman yang yang dijatuhkan Kepala Adat, maka dijatuhkan hukum pelalo rendah, yaitu : tinggi tidak dikadah, rendah tidak dikutung, bebapak kepado harimau beindok kepado gajah bekambing pado kijang beayam pado kuwao, maka sejak saat itu yang melakukan perbutan dikeluarkan dari tanggung jawab Kepala Adat, tidak boleh penduduk lain berkunjung kerumahnya kalau ado orang yang datang orang tersebut dihukum, kalau sakit tidak boleh dibesuk kalau dibesuk yang membesuk dihukum, kalau kawin tidak ado orang yang mau ngurus, kalau mati pegawai syara‟ yang menyembahyangkan dan dikuburkan sendiri oleh keluarganya.

Pengingkaran terhadap sanksi ditandai dengan seloko “digantung tinggi, dibuang jauh”. Di tempat lain sering juga disebut didalam seloko “tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung”. Seloko ini dapat dijumpai di Marga Luak XVI di hulu Kabupaten Merangin yang sering disebutkan “Plali” sebagaimana seloko ”Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”. Dalam bahasa sehari-hari sering juga disebut “orang buangan’. Orang yang tidak perlu diurus di kampong karena tidak mau menaati sanksi yang telah dijatuhkan[303],.

Sedangkan Proses yang kemudian diserahkan kepada Rajo atau pemangku Batin sering disebutkan didalam seloko “Gajah yang begading. Rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh”.







IX.           Hilangnya hak terhadap tanah.

Di Di Desa Baru Pelepat, Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau[304],  lahan tidak diberi tanda batas dan dikerjakan oleh orang lain, maka tidak ada sanksi bagi yang mengerjakan tersebut.

Di Marga Sungai Tenang, Desa Tanjung Mudo dikenal Setiap Kepala Keluarga hanya boleh membuka 1 ha dan harus ditanami selama 2 tahun. Apabila tidak ditanami, maka kembali kepada Penghulu. Selain itu juga dikenal Harta berat ditinggal, harta ringan dibawa pergi Apabila pemilik tanah pergi meninggalkan Desa dan mencari kehidupan diluar Desa, maka tanah berasal dari Rimbo yang telah dibuka maka menjadi hak milik. Sedangkan sesap jerami kembali ke penghulu[305].





Tanah di Lubuk Mandarsyah

Dalam penguasaan tanah dan pembukaan hutan, setiap keluraga diberikan dengan membuka lebar 25 meter dan panjang 100 meter atau istilah dikampung dinamakan dengan “tapak”. Sedangkan untuk areal pertanian dan perkebunan harus berada di belakang permukiman penduduk[306].

Lubuk Mandarsyah termasuk kedalam Marga Petajin Ilir berpusat di Sungai Bengkal. Marga Petajin Ilir berbatasan dengan Marga Maro Sabo Ulu dan Marga Tungkal Ulu yang ditandai dengan batas alam “bukit bakar’[307]. Marga Petajin Ilir termasuk kedalam Kabupaten Tebo. Marga Tungkal Ulu termasuk kedalam Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Dengan demikian maka terhadap “hak atas tanaman” tidak dapat berlaku untuk tanah. Nilai ini kemudian dikenal “kabau pai. Kubangan tinggal”.

Konsep ini tidak berbeda di Jambi. Di Desa Tanjung Alam[308], Merangin, prosesi diterima “anak nagari” sebagai “baangku mamak” dimulai prosesi dari Seloko seperti “Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah”, “Mencari induk semang”, “Nasi putih air jernih”.

Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah. Setiap pendatang yang masuk ke Tanjung Alam harus Memenuhi persyaratan administrasi kependudukan, mengikuti segala hukum adat dan bersedia melaksanakan hukum adat Desa Tanjung Alam,

Mencari induk semang. Harus Tinggal di tempat Induk Semang selama 6 (enam) bulan, Nasi putih air jernih. Masuk petang, keluar pagi. Kemudian induk semang mengabarkan kepada Kepala Desa dan mengadakan rapat adat dengan membawa nasi putih dan air jernih.

Dengan demikian maka prosesi “baangku mamak” dapat dipadankan “Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah”, “Mencari induk semang”, “Nasi putih air jernih”.

Sehingga “anak nagari” yang membayar uang adat “baangku mamak”’ dipadankan “mencari induk semang”. Maka prosesi “adat diisi. Limbago dituang” dipadankan “nasi putih air jernih”.

Sebagai “anak nagari” atau orang yang “mencari induk semang” maka apabila meninggalkan nagari atau Desa tidak dibenarkan membawa hak atas tanah.

Prinsip ini kemudian dikenal “Kabau Pai. Kubangan tinggal”. Atau “Kabau Tagak. Kubangan tinggal”[309]

Prinsip ini juga dikenal di Desa Tanjung Alam. “Harta berat ditinggal, harta ringan dibawa”.

Harta berat ditinggal, harta ringan dibawa pergi adalah hasil / harta dari pencarian selama hidup (tanah, kebun dan sawah adalah harta berat, pakaian, perhiasan dan perabotan adalah harta ringan).

Dalam materi hukum adat, Tanah ditempatkan sebagai harta pusaka tinggi. Harta yang tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli waris. Hanya boleh dibagikan apabila mayik tabujua di tangah rumah, gadih gadang alun balaki, rumah gadang katirisan, mambangkik batang tarandam.

Penghormatan terhadap tanah dikuatkan berdasarkan Peraturan Daerah Sumatera Barat  No.16 Tahun 2008 (Perda No. 16 Tahun 2008)[310] yang menyebutkan “tanah ulayat”, “tanah ulayat nagari”, “tanah ulayat suku”, “tanah ulayat kaum”, “tanah ulayat Rajo”. “Tanah ulayat nagari”, tanah ulayat suku” dan “tanah ulayat kaum” disebut sebagai “tanah pusako tinggi”.

Bahkan ditegaskan “penyerahan hak ulayat” berkaitan dengan “system bagi hasil’. Dengan berakhirnya “hak atas tanaman” maka “hak ulayat” kembali kepada pihak tanah ulaya semula[311]. 

Dengan demikian maka “anak nagari” yang mendapatkan tanah untuk “ditanami” dengan system “siliah jariah’ adalah berkaitan dengan “hak atas tanaman  tumbuh’. Bukan pembayaran “uang adat’ sebagai “peralihan hak atas tanah’.




X.             Kebendaan

Istilah tanah pemberian dikenal di Desa Rukam, Marga Jebus dan Marga Maro Sebo.



Didalam tutur di tengah masyarakat[312], semula wilayah Dusun Rukam “tali begawe dan jejawi bebaris”. Namun terjadi persengketaan dan perselisihan antara masyarakat Marga Jebus dengan Marga Maro Sebo yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa terhadap masyarakat Marga Maro Sebo yaitu masyarakat dusun Muaro Jambi.

Kejadian ini dapat di selesaikan secara adat di tingkat marga maka dengan membayar secara aturan adat, dengan harus mengembalikan sebagian ujung ulu rukam ke wilayah marga muar sebo “pampas bangun”, yang berbunyi ‘wilayah marga jebus bergeser ke hilir dari jejawi bebaris hingga ke rengas Sembilan sialang danau arahan (kanan mudik). Sedangkan kiri mudik Tali gawe kemudian bergeser Olak Sirih sekapur. Tanah yang diberikan kemudian dikenal sebagai “Tanah Pampas Bangun Dusun Rukam”. Tali Gawe dan jejawi bebaris kemudian dikenal sebagai Ulu Rukam dalam Marga Jebus.

Pemberian tanah kepada masyarakat dari pemangku Marga juga terjadi di berbagai tempat. Di Marga Sungai Tenang dikenal istilah seperti Tanah Pungguk 6. Belalang Lubuk Pungguk. Yaitu tempat menunjukkan Kotorawang[313]. Koto Rawang penduduknya berasal dari Lubuk Pungguk yang termasuk kedalam Pungguk 9. Sedangkan wilayah diberikan oleh Pungguk 6. Dikenal dengan istilah  Tanah Pungguk 6, Belalang Lubuk Pungguk.  Lubuk Pungguk termasuk kedalam Pungguk 9

Sedangkan untuk masyarakat diluar Marga Sungai Tenang dikenal di Dusun Renah Alai merupakan masyarakat yang berasal dari dusun yang termasuk kedalam Marga Serampei. Kemudian pindah ke Inum Pendum yang termasuk kedalam Marga Sungai Tenang. Dusun Inum Pendum kemudian menggunakan nama Renah Alai. Renah Alai kemudian masuk kedalam Marga Serampas.

Sedangkan untuk  Dusun Tanjung Alam dikenal Seloko “dan Dusun Tanjung Mudo yang dikenal dengan istilah “tanah Irung, Tanah gunting[314]. Atau  dengan istilah mengirung dan mengunting tanah Koto Sepuluh”. Masyarakat Pungguk Sembilan Tanahnya merupakan pemberian Koto Sepuluh yang kemudian disebut dengan Belalang Pungguk Sembilan Padang Koto Sepuluh”.

Tanah Irung Tanah Gunting berdasarkan tembo : “muaro sungai titian teras di sungai sirih (sungai tembesi sekarang), peradun limau keling (mudik tanjung alam), terus ketanah genting, pauh belepang, dusun talang lengis, laju ke muaro sungai matang di sungai sirih mudik ke sungai sirih”.

Istilah “tanah 10 Koto” dan “padang Koto 10  atau “Tanah Pungguk 6” mempunyai makna sama. Yaitu tanah sebelumnya punya Koto 10 atau tanah milik Pungguk 6. Tanah itu kemudian diberikan kepada masyarakat yang berasal dari Pungguk 6 (Tanah Koto 10, belalang Pungguk 6” atau “Belalang Pungguk 6. Padang Koto 10) atau pungguk 9 (tanah Koto 10, belalang pungguk 9”. Atau “Belalang Pungguk 9. Padang Koto 10). Begitu juga di Koto Rawang. Tanah Milik pungguk 6 namun masyarakat berasal dari Dusun Lubuk Pungguk yang termasuk kedalam Pungguk 9 (Tanah Pungguk 6, Belalang Lubuk Pungguk). Selain itu juga dikenal istilah ““tanah ujung Batin” dan  “4 tanah lembak.

Dalam himbauan dari Raja Jambi, melihat pemukiman di sekitar bawah Gunung Masurai yang masih sepi, maka Penduduk dari Serampas kemudian turun untuk menghuni kawasan di bawah Marga Serampas. Biasa dikenal dengan istilah Tanah Pembarap.

Dusun-dusun yang termasuk kedalam Tanah Pembarap seperti Tanjung Asal, Dusun Durian Mukut, Peraduan Temeras, Air Lago, Badak Terkurung, Rantau Pangi, Pulau Raman, Sekancing, Dusun Baru Padang lalang, Rantau Limau Kapas, Muara Inum,

Di Marga Pelepat[315] dan Marga IX Koto dikenal “tanah seciap ayam[316].

Menurut Zakaria, Asnawi didalam bukunya Rimbo Bujang Dalam Angka, Di saat program Transmigrasi tahun 1975[317] mulai dibuka, maka membutuhkan areal seluas 100.000 hektar.  Semula ditempatkan di daerah Rantau Ikil. Namun wilayah dibutuhkan tidak mencukupi sehingga dipindahkan ke daerah Rimbo Bujang sekarang. 

Secara spontan maka Marga IX Koto kemudian memberikan wilayahnya yang dikenal daerah “Sungai Alai”. Daerah ini kemudian dikenal sebagai daerah yang terletak Rimbo Bujang Unit 1, Unit 3, Unit 8 dan Unit 13. Kemudian menyusul Marga Tanah Sepenggal memberikan tanahnya yang kemudian dikenal Rimbo Bujang Unit 11, Marga Batin III yang kemudian dikenal daerah Rimbo Bujang Unit 7, Marga Bilangan V Tanah Tumbuh yang dikenal Rimbo Bujang unit 12 dan Marga Batin II Babeko di daerah Sungai Alai dan Alai ilir.

Pertemuan Batas Marga IX Koto dengan Marga II Babeko kemudian ditandai dengan penyebutan “Sungai Alai” di Marga IX Koto dan di Marga II Babeko di daerah “Alai Ilir”. Sungai Alai juga merupakan batas administrasi wilayah Kabupaten Tebo dan Kabupaten Bungo. 

Sumbangan dari Marga IX Koto kemudian diikuti dengan Marga Tanah Sepenggal, Marga Bilangan V, Marga Batin  III, Marga Batin II Babeko memberikan kemajuan di wilayah Rimbo Bujang sehingga memberikan income yang cukup besar terhadap Kabupaten Tebo.


XI.           Hapusnya Tanah

Dalam pendekatan sosiologi, kekerabatan masyarakat Melayu Jambi berangkat dari pendekatan Teritorial. Kekerabatan yang dibangun dalam suatu wilayah.

Seloko seperti “datang Nampak muko. Balek Nampak punggung” membuktikan masyarakat Melayu Jambi terbuka terhadap kedatangan masyarakat (semendo). Sebelumnya sang pendatang harus mencari “induk semang” sebagai tempat tinggal dan kekerabatan sehingga kedatangannya tidak meresahkan.

Prosesi setelah “datang Nampak muko. Balek Nampak punggung” membuktikan prosesi mendatangi pemimpin adat dan “meminta izin” kepada pemangku adat. Setelah melalui proses “datang Nampak muko. Balek Nampak punggung”, maka sang induk semang kemudian memanggil orang sekampung untuk mengabarkan “anak kemenakan” yang datang dan hendak hidup di kampong.

Setelah mengalami prosesi waktu yang ditentukan (biasanya 6 bulan hingga 12 bulan), orang kampong mengetahui “anak kemenakan” sudah pantas “begawe”, maka “induk semang” kemudian mengundang “nasi putih. Air jernih”. Prosesi “nasi putih. Air jernih” adalah prosesi penerimaan orang kampong terhadap kedatangan dari “anak kemenakan”.

Dengan dilalui prosesi “nasi putih. Air jernih” maka sang pendatang kemudian “berhak” mendapatkan hak yang sama dengan seluruh masyarakat di kampong. Termasuk berhak untuk dipilih menjadi pemangku Desa dan terhadap tanah.

Di Bungo, pemangku Desa merupakan putra asli daerah dikenal istilah “Rio. Sedangkan “Depati” adalah Pemangku Desa “urang semendo”.

Dalam seloko kemudian dikenal “belukar tuo”, “belukar lasah”, sesap rendah jerami tinggi”, “mati tanah. Buat tanaman”, “tunggul pemarasan, empang krenggo, atau “larangan krenggo”. Tanah yang kemudian tidak digarap, maka akan hilang.

Atau apabila sang pendatang kemudian meninggalkan kampong, maka hak terhadap tanah kemudian menjadi hilang, Seloko ini biasa dikenal “harta berat ditinggal. Harta berat dibawa’. Dengan demikian maka hak terhadap tanah tidak melekat kepada sang empu yang menggarap tanah.

Tema tentang “daluwarsa” menimbulkan perbedaan pandangan baik didalam teoritis maupun dalam praktek perundang-undangan.





Tema tanah dan surat tanah menimbulkan persoalan di tengah masyarakat. Membicarakan tanah dan surat tanah adalah dimensi terpisah.

Didalam 19 ayat (2) UU Pokok-pokok Agraria (UUPA) “pendaftaran tanah diakhiri dengan pemberian surat-surat tanda bukti hak. Ketentuan ini kemudian diperkuat didalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Menggunakan penafsiran “Penafsiran terbalik (a contrario)” maka terhadap “seseorang” yang tidak mempunyai surat-surat maka tidak mempunyai hak terhadap tanah.

Sesat pikir ini melambangkan asas “domein verklaring”. Negara kemudian menganggap sebagai “tanah liar (woeste grond).

Didalam “agrarische wet” staatblaad 1874 disebutkan sebagai tanah liar adalah pribumi tidak menerapkan hak-hak berasal dari pembukaan lahan (ontginningrecht) sehingga kemudian termasuk tanah negara (staatdomein). Asas ini dikenal asas “domein verklaring”. Tanah liar (woeste grond) berupa tanah hutan, tanah liar, tanah terpakai, tanah tidak dibudidayakan atau tanah kosong.
Padahal tanah mempunyai hak milik komunal (beschikhingrecht). 

Dengan menganggap tanah liar (woeste grond) maka kemudian tempat-tempat dikuasai oleh negara. Asas domein verklaring” kemudian dicabut oleh UUPA.

Namun yang sering dilupakan adalah pasal 5 UUPA. Pasal 5 UUPA menyebutkan “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang- undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatau dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Kalimat “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hokum adat..” menegaskan Hukum agraria (termasuk hokum tanah) adalah “hokum adat”. Saleh Adiwinata kemudian menyebutkan “pemisahan horizontal dalam seluruh bidang hokum mengenai tanah.

Dengan demikian terhadap pemilik tanah walaupun tidak mempunyai sertifikat hak milik tanah tidak dapat dikategorikan tidak mempunyai hak atas tanah. Pendaftaran tanah harus bersifat “stelsel pasif”. Negara harus mengakui hak milik tanah berdasarkan Pasal 5 UUPA.

Selain itu terhadap pemilik tanah harus menanam dan merawat tanah. Dengan waktu tertentu apabila tidak merawat tanah maka hak milik tanah kemudian menjadi hapus.

Hak milik tanah melekat kepada tanah. Tanah harus berfungsi. Tanah tidak dapat mengikuti pemilik tanah. Sebagaimana seloko “harta berat ditinggal. Harta ringan dibawa”.

Putusan MA no. 172 K/Sip/1970 menyebutkan MA tidak mengakui adanya hapusnya tanah (daluarsa). Ter Haar kemudian membantahnya “In verschillende rechtskringen zijn inheemse rechtstemen bekend, die het begrip weergeven van te lang geleden, door tijdsduur verstroebeld  en daarom voorbijk ranan kotor (Karo – Batak), prakara lama (Toha – Batak) Kedaularsa (Javaans)”. Dalam berbagai lingkungna hokum dikenal istilah-istilah hokum adat yang mengandung makna lewat waktu sudah menjadi kabur karena lamanya sudah lampau “ Ranan kotor (Batak – Karo), prakara lama (Batak – Toba), kedauarsa (Jawa).

Bantahan Ter Haar kemudian diperkuat oleh  Van Vollenhoven “hukum adat adalah hukum asli sekelompok penduduk di Indonesia yang terikat karena hubungan geneologis (kesukuan) atau territorial (desa)[318]

Padahal dengan melihat seloko “belukar tuo”, “belukar lasah”, “sesap rendah jerami tinggi”, “mati tanah. Buat tanaman”, “tunggul pemarasan”, “empang krenggo”, “larangan krenggo” membuktikan hak masyarakat terhadap tanah kemudian dikenal daluarsa. Putusan MA justru mengakui tentang daluarsa. Putusan MA No. 348 PK/Pdt/2011, Putusan MA No. 622 K/Pdt/2012 dan Putusan MA No. 410 K/Pdt/2011 dan Putusan MA No. 979/K/Sip/1971.

Lihatlah putusan MA No. 210 K/Sip/1955  Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, oleh karena para Penggugat dengan mendiamkan soalnya sampai 25 tahun harus dianggap menghilangkan haknya (rechtverwerking)”.

Atau Putusan MA No.  329/K/Sip/1957 “Di Tapanuli Selatan, apabila sebidang tanah yang diperoleh secara merimba, selama 5 tahun berturut-turut dibiarkan saja oleh yang berhak, maka hak atas tanah dianggap telah dilepaskan ..

Dengan demikian maka tidak ada kemutlakan hak kepemilikan terhadap tanah.




[1] Riset Walhi Jambi, 2013, Hal. 31
[2] Riset Walhi Jambi, 2013, Hal. 36
            [3] Desa batu Empang, 2 April 2013
            [4] Desa batu Empang, 2 April 2013
            [5] Peraturan Desa Napal Melintang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Adat.
[6] Sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Sarolangan dan kabupaten Merangin
            [7] SK Bupati Merangin No. 95 Tahun 2002 Tentang Pengukuhan hutan adat Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo Desa Pulau tengah Kec. Jangkat.
            [8] Zulkifli, Tokoh adat di Desa Senamat.
            [9] Keputusan Bupati BUngo Nomor 1249 Tahun 2002 Tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo
            [10] Peraturan Desa Gedang No.  Tahun 2011Tentang Keputusan Adat istiadat Depati Suka Merajo
            [11] Pertemuan di Desa Pemayungan, 26 Desember 2012. Lihat juga PERDES  NO 2 TAHUN 2012 Tentang KEPUTUSAN ADAT KETURUNAN DATUK DOMANG MUNCAK KOMARHUSIN
            [12] Muara Sekalo, Maret 2013
            [13] Desa Semambu, 18 Maret 2013
            [14] Desa Suo-suo, 21 Maret 2013
            [15] Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
            [16] Dusun Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsyah, Tebo, 22 Agustus 2016
[17] Suak dikenal sebagai “Sungai Mati”. Menunjukkan sungai yang tidak mengalir . Desa Sungai Beras, 10 Februari 2018.
[18] Hasil Riset Walhi, 2016
            [19] Desa Sungai Keradak, 27 Juli 2013
            [20] Peraturan Desa Tanjung Alam  No. 3 Tahun 2011 Tentang  Piagam Depati Duo Menggalo
            [21] Eson, Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
            [22] Sialang adalah pohon yang terdapat lebah untuk menghasilkan madu. Sedangkan pendulangan, pohon yang terdapat lebah namun pohonnya terdapat di hutan.
            [23] Pertemuan di Desa Pemayungan, 26 Desember 2012. Lihat juga PERDES  NO 2 TAHUN 2012 Tentang KEPUTUSAN ADAT KETURUNAN DATUK DOMANG MUNCAK KOMARHUSIN
            [24] Manggis adalah tanaman yang ditanami. Sedangkan Manggupo adalah tanaman manggis yang tumbuh sendiri di hutan.
            [25] Lupak merupakan danau yang tercipta dengan sendirinya dari proses alam.  Sedangkan pendanauan adalah genangan air berupa danau. Sesap adalah belukar yang baru ditinggalkan. Sedangkan  belukar adalah semak yang sudah lama ditinggalkan namun masih terdapat tanaman tua seperti durian, macang, jengkol. Peninggalan dari “puyang’. Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
            [26] Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan dalam Pemeliharan Lingkungan Hidup daerah Propinsi jambi, Hal. 19
            [27] Desa Sungai Beras, 09 Desember 2017
[28] Zulkifli, Birun, 7 Agustus 2016
[29] Profile Desa Muara Madras Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [30] Pasal 7 Peraturan Desa Tanjung Mudo Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Piagam Rio Penganggun Jago Bayo.
[31] Peraturan Desa Gedang Nomor  3 tahun 2011 Tentang Keputusan Adat Istiadat Depati Suko Merajo
[32] Peraturan Desa Tanjung Benuang Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Keputusan Depati Suka Menggalo
            [33] Peraturan Desa Tanjung Alam No. 3 Tahun 2011 Tentang Piagam Depati Duo Menggalo
[34] Riset Walhi Jambi, 2013, Hal. 35
[35] Riset Walhi Jambi, 2013. Hal. 25
            [36] Walhi, Kelola Rakyat Atas Ekosistem Rawa Gambut : Pelajaran Ragam Potret Dan Argumen Tanding, Walhi, 2016
[37] Riset Walhi Jambi, 2013. Hal. 25
            [38] Walhi, Kelola Rakyat Atas Ekosistem Rawa Gambut : Pelajaran Ragam Potret Dan Argumen Tanding, Walhi, 2016
            [39] JEJAK LANGKAH ORANG RIMBA, Kisah Perjuangan Orang Rimba Dalam Mempertahankan Hak,  Atas Sumber Daya Hutan Di Bukit 12 Jambi, Pengendum dan Koper HAM, 2006
            [40] Pasal 1 angka 25 Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang  Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Marga Serampas.
            [41] Ishak Pendi, Sekretaris Lembaga Adat Serampas, Mongabay.com, 28 Februari 2017
            [42] Profile Desa Muara Madras Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [43] Profile Desa Tanjung Dalam Kecamatan Lembah Masurai, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [44] Profile Desa Jangkat Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [45] Profile Desa Beringin Tinggi Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [46] Profile Desa Pematang Pauh Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [47] Profile Desa Gedang Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [48] Profile Desa Koto Baru Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [49] Profile Desa Tanjung Benuang Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [50] Profile Desa Tanjung Alam Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [51] Profile Desa Tanjung Mudo Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [52] Kusyari, kades Rantau Bedaro, Wawancara, 23 November 2015
,  Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal, Walhi, 2015
            [53] Profile Desa Tanjung Berugo, Kecamatan Lembah Masurai, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [54] Profile Desa Nilo Dingin, Kecamatan Lembah Masurai, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [55] Profile Desa Sungai Lalang, Kecamatan Lembah Masurai, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [56] Profile Desa Sungai Pinang, Kecamatan Sungai Manau, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [57] Profile Desa Lubuk Beringin Kecamatan Muara Siau, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [58] Profile Desa Durian Rambun Kecamatan Muara Siau, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [59] Profile Desa Birun Kecamatan Pangkalan Jambu, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [60] NO   TAHUN 2012 KEPUTUSAN ADAT KETURUNAN DATUK DOMANG MUNCAK
            [61] Desa Semambu, 18 Maret 2013
[62] Desa Semambu, 18 Maret 2013
[63] Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
[64] Menurut Kepala Dusun, Fahmi, pemukiman dibangun di Kemumu merupakan proyek dari Dinas Sosial tahun 1984
[65] Desa Kembang Seri, Batanghari, 23 Februari 2015
            [66] Dusun Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsyah, Tebo, 22 Agustus 2016
       [67] Laporan Riset IMN 2014, PEMETAAN DAN ANALISIS KONFLIK AREAL KONSESI GRUP APP, DI WILAYAH PROVINSI JAMBI STUDI KASUS DI DESA LUBUK MANDARSAH KEC. TENGAH ILIR KAB. TEBO,  Hal. 20
            [68] “tanah peumoan”, yaitu daerah yang dikhususkan untuk penanaman padi tidak boleh ditanami tanaman lain selain padi,
            [69] Desa SPONJEN PERATURAN DESA SEPONJENNo.  10 /SPJ/1/ 2018 TENTANG  BUYUT DAYUT
            [70] Desa Sogo, 4 Februari 2016
            [71] Perdes Sungai Bungur No 2 Tahun 2018 Tentang Piagam Tumenggung Bujang Pejantan
            [72] Desa Sungai Rambai, 20 September 2017
            [73] Desa Sungai Rambai, 20 September 2017
            [74] PERATURAN DESA MAKMUR JAYA NO :       TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT
            [75] Desa Lumahan, 5 - 7 September 2017
            [76] Desa Suak Samin, 24 - 26 September 2017
            [77] Desa Suak Samin, 24 - 26 September 2017
            [78] PERATURAN DESA SERDANG JAYA NO TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT DESA SERDANG JAYA KECAMATAN BETARA KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT
            [79] Sungai Landak, 16 Agustus 2014
            [80] Pantang larang adalah penamaan tempat yang dihormati yang tidak boleh dibuka/diganggu. Daerah-daerah ini kemudian dikenal sebagai daerah konservasi atau kawasan lindung.
[81] Tentang Puyang orang Jambi telah dijelaskan di BAB sebelumnya.
[82] Hamzah Raden, Pertemuan di Desa Teluk Singkawan, 16 Maret 2013.
[83] Riset Walhi Jambi, 2013
            [84] Zulkifli, Tokoh adat di Desa Senamat dan Rio Dusun Senamat Ulu,
[85] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali, 16 Agustus 2016
            [86] Muktar, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, 24 Oktober 2017
            [87] Lindayanti & Zaiyardam, KONFLIK DAN INTEGRASI DALAM MASYARAKAT PLURAL: JAMBI 1970-2012, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang
            [88] PERATURAN DESA SEPONJEN No.  10 /SPJ/1/ 2018 TENTANG  BUYUT DAYUT,
            [89] Desa Sogo, 4 Februari 2016
[90] Perdes Sungai Bungur No 2 Tahun 2018 Tentang Piagam Tumenggung Bujang Pejantan
            [91] Dusun Pulau Tigo, Desa Sponjen, 3 Februari 2016
            [92] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
            [93] Desa batu Empang, 2 April 2013
            [94] Desa Sungai Keradak, 27 Juli 2013
            [95] Desa Tambak Ratu, 28 Juli 2013
            [96] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [97] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [98] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [99] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [100] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [101] JEJAK LANGKAH ORANG RIMBA, Kisah Perjuangan Orang Rimba Dalam Mempertahankan Hak,  Atas Sumber Daya Hutan Di Bukit 12 Jambi, Pengendum dan Koper HAM, 2006
            [102] Pasal 1 angka 25 Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang  Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Marga Serampas.
            [103] PERATURAN DESA TANJUNG MUDO  NO. 7 TAHUN 2011  TENTANG  PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
            [104] Hal. 25
            [105] Hal. 37
            [106]  Peraturan Desa Gedang No.  Tahun 2011 Tentang Keputusan Adat istiadat Depati Suka Merajo
            [107]  Perdes Kotobaru No.  Tahun 2014KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
            [108] PERATURAN DESA TANJUNG BENUANG  No. 09 Tahun 2011Tentang  Keputusan Depati Suko Menggalo
            [109] Peraturan Desa Tanjung Alam  No. 3 Tahun 2011 Tentang  Piagam Depati Duo Menggalo
            [110] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal, Walhi, 2015
            [111] MARGA BATANG ASAI TENGAH, Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [112] Desa Tuo, 21 Agustus 2010
            [113] Profile Desa Tanjung Berugo, Kecamatan Lembah Masurai, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [114] Profile Desa Nilo Dingin, Kecamatan Lembah Masurai, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [115] Profile Desa Sungai Lalang, Kecamatan Lembah Masurai, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [116] Dusun Kotorami, 8 Oktober 2010
            [117] Kusyari, kades Rantau Bedaro, Wawancara, 23 November 2015
,  Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal, Walhi, 2015
            [118] PERDES  NO   TAHUN 2012 KEPUTUSAN ADAT KETURUNAN DATUK DOMANG MUNCAK KOMARHUSIN
            [119] Desa Muara Sekalo, Maret 2013

            [120] Desa Semambu, 18 Maret 2013
            [121] Desa Suo-suo, 21 Maret 2013

            [122] Buku Perjuangan Masyarakat Desa Rantau Gedang, Walhi Jambi, 2011
            [123] Rio Dusun Senamat Ulu, Lubuk Beringin, 2015
            [124] Zulkifli, Tokoh adat di Desa Senamat.
            [125] Pasal 33 Perda Kabupaten Bungo Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Senaro Putih
            [126] M. Yunus Kadir, Desa Lubuk Ruso, 21 Juli 2018
            [127] Perdes Sungai Bungur No 2 Tahun 2018 Tentang Piagam Tumenggung Bujang Pejantan
            [128]  PERATURAN DESA SEPONJEN No.  10 /SPJ/1/ 2018 TENTANG  BUYUT DAYUT
            [129] Desa Sogo, 4 Februari 2016
            [130] Desa Sungai Beras, 4 Februari 2018
            [131] Pertemuan di Desa Danau Lamo, 17 Agustus 2014
            [132] Ali Hamzah, Megi Vornika, Lia Angela, Reka Novalia, PEWARISAN KEBUDAYAAN DALAM “ICO PAKAI” HUKUM ADAT MASYARAKAT TANJUNG PAUH MUDIK KECAMATAN KELILING DANAU KABUPATEN KERINCI,  Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kerinci, Hal. 190
            [133] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
            [134] Desa Sungai Keradak, 27 Juli 2013
            [135] Desa Tambak Ratu, 28 Juli 2013
            [136] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [137] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [138] Peraturan Desa Gedang No.  Tahun 2011 Tentang Keputusan Adat istiadat Depati Suka Merajo
            [139] Desa Muara Sekalo, Maret 2013
            [140] Desa Semambu, 18 Maret 2013
            [141] Desa Suo-suo, 21 Maret 2013
            [142] PERATURAN DESA TANJUNG MUDO  NO. 7 TAHUN 2011  TENTANG  PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
            [143] Perdes Kotobaru No.  Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
            [144] Desa Tambak Ratu, 28 Juli 2013
[145] Riset Walhi Jambi, 2013
            [146] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [147] Ilyas Ismail, Kajian Terhadap Hak Milik Atas Tanah terjadi Berdasarkan Hukum Adat, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Ilyas Ismail No. 56, Th. XIV (April, 2012),
            [148] A.P. Parlindungan didalam bukunya Konversi Hak-Hak Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1990
            [149] S.R. Nur, Beberapa Permasalahan Agraria, Lembaga Penerbitan Unhas, Ujung Pandang, 1986,

[150] Kozok, Uli, & Eric van Reijn. (2010) “Adityawarman: Three Incriptions of the Sumatran King of All Supreme Kings.” Indonesia and the Malay World 38, hal. 135-158
[151] Versi Jawa Mataram ditemukan di Pulau Tengah, Renaah Pelaan. Bahkan hingga Marga di Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap dan Marga Sanggrehan.
                        [152] Pelajaran dari Konflik, Perundingan dan Kesepakatan antara Desa Senyerang dengan PT. WKS, Laporan FPP, Walhi Jambi dan Scale Up, 2014
                        [153] Desa Sponjen, 4 Januari 2016
[154] A. Mukty Nasruddin, “Jambi Dalam Sejarah Nusantara 692-1949,” Stensilan, tidak diterbitkan, 1989, h. 64-65
[155] E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerientah Hindia Belanda 1889 – 1936, INIS VII, Jakarta, 1992.
            [156] Raden Wijaya menikahi putri Melayu (Dara Petak) dan diiringi juga oleh Raja Mauliwarmadewa menikahi Dara Jingga, yaitu pada tahun 1293 M. Dengan demikian Kerajaan Melayu yang meliputi Jambi, Tebo, Ulu Batanghari dan Minangkabau di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1347 M[156], Adityawarman dinobatkan sebagai raja Kerajaan Melayu setelah raja Rendra. Pada masa kekuasaannya, Adityawarman ingin kerajaan Melayu berdiri sendiri dan lepas dari kerajaan Majapahit.
[157] Hamzah Raden, Pertemuan di Desa Teluk Singkawan, 16 Maret 2013.
            [158] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
            [159] Pungguk 6 terdiri dusun asal yaitu  Dusun Pulau Tengah, Dusun Renah Alai (Inum Pendum) masuk ke Kecamatan Jangkat.  Dusun Rantau Suli masuk kedalam Kecamatan Sungai Tenang.
            [160] Koto 10 terdiri dusun asal yaitu Dusun Muara Pangi, Dusun Tanjung Dalam, Dusun Rantau Jering masuk ke Kecamatan Lembah Masurai, Sedangkan Dusun Koto Tapus, Dusun Beringin Tinggi, Dusun Pematang pauh, Dusun Gedang, Dusun Kotobaru, Dusun Tanjung Benuang, Dusun Tanjung Alam , Dusun Tanjung Mudo masuk kedalam kecamatan Sungai Tenang.
            [161] Pungguk 9 terdiri dusun asal yaitu Dusun Renah Pelaan, Dusun Pematang Pauh, Dusun Talang Tembago, Dusun Koto Teguh masuk kedalam Kecamatan Sungai Tenang. Sedangkan Dusun Lubuk Pungguk, Dusun Muara Madras masuk ke Kecamatan Jangkat,
[162] Riset Walhi Jambi, 2013
            [163] Zulkifli, Tokoh adat di Desa Senamat dan Rio Dusun Senamat Ulu,
[164] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali, 16 Agustus 2016
            [165] Muktar, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, 24 Oktober 2017
            [166] Lindayanti & Zaiyardam, KONFLIK DAN INTEGRASI DALAM MASYARAKAT PLURAL: JAMBI 1970-2012, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang

            [167] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
            [168] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [169] Betaun bersamo. Waktu ditentukan. Yaitu habis lebaran haji atau habis lebaran besar
            [170] Rapat Kenduri. Diadakan didalam rapat kenduri yang akan membuka rimbo.
            [171] Melambas. Rimbo yang akan dibuka diberi tanda “kayu pengaikit. Kemudian ditanami seperti kleko, durian. Waktu melambas selama 3 bulan. Apabila selama 3 bulan tidak ditanami, maka tanah kembali ke desa
            [172] Lemah Paradun. Rimbo yang telah dibuka, ditanami tanaman mudo (padi dan sayur- sayuran) namun ternyata tidak lagi ditanami selama = 3 tahun, maka kembali ke Desa.
            [173] BUKU PERJUANGAN MASYARAKAT DESA KARANG MENDAPO DALAM UPAYA MENDAPATKAN HAK ATAS TANAH DAN KEBUN SAWIT, Walhi Jambi, 2009
[174] Yazin, Pauh, 6 Agustus 2016
            [175] Muktar, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, 24 Oktober 2017
[176] Ishak Pendi, Sekretaris Lembaga Adat Serampas, Mongabay.com, 28 Februari 2017
[177] Ali Nahu, Pulau Tengah, 15 Maret 2016
            [178] Nasrun, Ketua Lembaga Adat Desa Renah Pelaan. Wawancara, April 2016
[179] Peraturan Desa Gedang Nomor  3 tahun 2011 Tentang Keputusan Adat Istiadat Depati Suko Merajo
            [180] Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak, Hutan yang dibuka harus sepengetahuan Penghulu dalam rapat Adat.
            [181] Turun pangkal tahun. Lembaga adat mengadakan “rapat pangkal tahun” untuk menentukan pembagian kelompok membuka rimbo.
            [182] LAMBAS. setiap Ketua Keluarga kemudian membuat tanda dengan cara membuat pagar bambu dan harus membuka selama 6 bulan.
[183] Perdes Kotobaru No.  Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
            [184] PERATURAN DESA TANJUNG BENUANG  No. 09 Tahun 2011 Tentang Keputusan Depati Suko Menggalo
            [185] Peraturan Desa Tanjung Alam No. 3 Tahun 2011 Tentang Piagam Depati Duo Menggalo
            [186] Pasal 7 Peraturan Desa Tanjung Mudo Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Piagam Rio Penganggun Jago Bayo.
            [187] RIset Walhi Jambi, 2010
            [188] Kusyari, kades Rantau Bedaro, Wawancara, 23 November 2015
,  Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal, Walhi, 2015
            [189] Zulkifli, Tokoh adat di Desa Senamat dan Rio Dusun Senamat Ulu,
[190] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali, 16 Agustus 2016
            [191] Dusun Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsyah, Tebo, 22 Agustus 2016
            [192] Desa Muara Sekalo, 17 Maret 2013.
            [193] Desa Semambu, 19 Maret 2013
            [194] Zulkifli, Tokoh adat di Desa Senamat, 16 Agustus 2016
            [195] Desa Batu Empang, Sarolangun, 2 April 2013
[196] Kepala Dusun Lubuk Beringin, Desa Lubuk Beringin 27 Maret 2016
            [197] Desa Batu Empang, Sarolangun, 2 April 2013
            [198] Makna Simbolik Upacara di Lubuk Mandarsyah, Jambi Independent, 27 Mei 2015
            [199] Desa Suo-suo, 23 Maret 2013
            [200] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
            [201] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [202] Bustami, Dusun Pulau Pandan, 5 Agustus 2016
            [203] Muktar, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, 24 Oktober 2017
            [204] M. Zen, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Mandiangin, Mandiangin, 24 Oktober 2017
            [205] Pasal 9 ayat (1) Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang  Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Marga Serampas.
[206] Pasal 9 Peraturan Desa Gedang Nomor  3 tahun 2011 Tentang Keputusan Adat Istiadat Depati Suko Merajo
            [207] Perdes Kotobaru No.  Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
            [208] Pasal 9 PERATURAN DESA TANJUNG BENUANG  No. 09 Tahun 2011 Tentang Keputusan Depati Suko Menggalo
            [209] Pasal 9 Peraturan Desa Tanjung Alam No. 3 Tahun 2011 Tentang Piagam Depati Duo Menggalo
            [210] Pasal 9 PERATURAN DESA TANJUNG MUDO NO. 7 TAHUN 2011  TENTANG  PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
            [211] Desa Tuo, 21 Agustus 2010
[212] Kepala Dusun Lubuk Beringin, Desa Lubuk Beringin 27 Maret 2016
[213] Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Kelembagaan dan Pengelolaan Hutan Desa Rio Kemunyang Desa Durian Rambun
[214] Seloko ini juga disebutkan oleh Samsuddin, Lembaga Adat Kecamatan Renah Pembarap, Guguk, 16 Maret 2016
            [215] Profile Desa Lubuk Beringin Kecamatan Muara Siau, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [216] Marzuki, Desa Mudo, 17 Agustus 2017
            [217] Zulkifli, Tokoh adat di Desa Senamat.16 Agustus 2016
            [218] Desa Baru Pelepat, Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau dapat dilihat di Perda Kabupaten Bungo Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Senaro Putih
            [219] Eson, Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
[220] Abdulah TH, Mantan Depati Suko Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[221] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali, 16 Agustus 2016
            [222] Pertemuan di Desa Pemayungan, 26 Desember 2012
            [223] Pertemuan di Desa Pemayungan, 26 Desember 2012
            [224] Muara Sekalo, Maret 2013
            [225] Desa Semambu, 18 Maret 2013
[226] Desa Suo-suo, 21 Maret 2013
[227] Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
[228] Hans Kelsen mengembangkan teori lain yaitu Teori Anak Tangga (Stuffenbau Theorie) yang dicetus oleh Adolf Merkl (1836- 1396).
[229] Hukum pidana adat atau delik adat berbeda dengan hukum pidana yang bersumber dari hukum Eropa. Hukum adat bersifat holistik karena tidak ada perbedaan antara hukum public – privat, bidang hukum pidana, perdata, tata Negara, hukum agraria, dan sebagainya. Hukum Eropa bersifat parsial, sebaliknya hukum adat delik bersifat holistik.
[230] Sidharta, Op. Cit, Hal 114
[231] Aspek Filologi yaitu rekonstruksi terhadap kohensi suatu ungkapan dari sisi gramatika dan logika. Aspek ini bernilai efektif dalam usaha memahami secara permanen simbol-simbol yang sudah pasti.
[232] Aspek kritik kegiatan ini dihadapkan pada hal-hal yang membutuhkan sikap untuk dipertanyakan, misalnya mengenai suatu pernyataan yang tidak logis atau adanya jarak (gap) yang muncul dalam sekumpulan argmen.
[233] Aspek psikologis ini diberlakukan ketika penafsir meletakkan dirinya dalam diri pengarang, yaitu memahami dan menciptakan kembali personalitas dan posisi intelektual si pengarang.
[234] Aspek morfologis-teknis ditujukan kepada pemahaman isi arti kata yang bersifat mental obyektif dalam hubungannya dengan logika khusus dan prinsip yang digunakannya.
[235] Emile Durkheim, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1985, Hal. 54-56
     [236] Paul Scholten, Hal. 65-66
     [237] Aliran Hukum Kodrat
     [238] Sidharta, Op. Cit. Hal. 197
     [239] Sidharta, Ibid, Hal 199
[240] Antara Teks dan Konteks -  Dinamika pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya alam di Indonesia, HuMa, Jakarta,  2010, Hal. 73
[241] Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Dalam Satu tema tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks. Antara Teks dan Konteks -  Dinamika pengakuan hukum terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya alam di Indonesia, HuMa, Jakarta,  2010. Hal. 73
[242] Sidharta, Op.cit, Hal 147
     [243] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938
     [244] Khatib Kharim, Desa Teriti, Kecamatan Sumay, 21 Maret 2013
[245] Desa Semambu dan Desa Muara Sekalo mengenal istilah “Sesap jerami. Tunggul pemarasan”. Terhadap istilah ini, antara Desa Semambu dan Desa Muara Sekalo mempunyai penafsiran yang berbeda. Desa Semambu meyakini, “sesap jerami. Tunggul pemarasan”, maka haknya menjadi hilang apabila tidak ditanami. Sedangkan di Desa Muara Sekalo, “sesap jerami. Tunggul pemarasan”, haknya miliknya tidak hilang. Walaupun mempunyai penafsiran yang berbeda-beda, menurut penulis, keduanya mempunyai pandangan logis. Desa Semambu menganggap bahwa, “sesap jerami, tunggul pemarasan” yang tidak ditanami, maka menjadi hilang karena dia tidak mengerjakan tanah. Sedangkan di di Desa Muara Sekalo, walaupun tidak dikerjakan, namun karena sudah dibuka, diberi tanda lambas dengan takuk pohon, ada sak sangkut, maka tetap menjadi miliknya. Menurut penulis, keduanya tetap bisa terima. Sebagaimana keyakinan mereka yang berpandangan. Adat selingkung Negeri. Artinya, adat mereka berlaku untuk mereka sendiri.
[246] Dominikus Rato, “Memahami Istilah Keseimbangan Kosmis dalam Hukum Adat Delik”, Konferensi Nasional Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia di Surabaya, Surabaya, 27-28 Agstus 2013,
[247] H. Kaelani, MS, Negara – Kebangsaan – Pancasila – Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis dan Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta, 2013, Hal. 235.
            [248] Dusun Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsyah, Tebo, 22 Agustus 2016
            [249] Cikman, Desa Tebing Tinggi, 20 Agustus 2016
            [250] Cikman, Desa Tebing Tinggi, 20 Agustus 2016
            [251] M. Yunus Kadir, Desa Lubuk Ruso, 21 Juli 2018
            [252] M. Yunus Kadir, Desa Lubuk Ruso, 21 Juli 2018
            [253] Laporan AMAN Jambi, 2012
            [254] Laporan AMAN Jambi, 2012
            [255] PERATURAN DESA SUNGAI BUNGUR No.    Tahun 2016 TENTANG PIAGAM TUMENGGUNG BUJANG PEJANTAN
            [256] PERATURAN DESA SUNGAI BUNGUR No.    Tahun 2016 TENTANG PIAGAM TUMENGGUNG BUJANG PEJANTAN
            [257] PERATURAN DESA SOGO NOMOR :    Tahun 2018 TENTANG  PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN KAWASAN DESA SOGO
            [258] Desa SPONJENPERATURAN DESA SEPONJENNo.  10 /SPJ/1/ 2018 TENTANG  BUYUT DAYUT
            [259] Desa Rukam, 22 - 24 Agustus 2017
            [260] M. Syafe’I Achmad, mantan Pesirah dan mantan Kepala Desa Merlung, 14 Agustus 2016
            [261] PERATURAN DESA MAKMUR JAYA NO  TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT
[262] PERATURAN DESA MAKMUR JAYA NO  TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT
            [263] PERATURAN DESA SERDANG JAYA NO TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT DESA SERDANG JAYA KECAMATAN BETARA KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT
            [264] PERATURAN DESA SUNGAI BERAS NO   2018 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT  DESA SUNGAI BERAS
[265] Desa Rantau Rasau, Kecamatan Berbak, Tanjabtim, 10 Juli 2018
            [266] Desa Tambak Ratu, 28 Juli 2013
            [267] Perda Kabupaten BungoNomor 3 Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Senaro Putih
            [269] M. Yunus Kadir, Desa Lubuk Ruso, 21 Juli 2018
[270] PERATURAN DESA SUNGAI BUNGUR No.    Tahun 2016 TENTANG PIAGAM TUMENGGUNG BUJANG PEJANTAN
            [271] Sungai Keradak, 27 Juli 2013
            [272] Desa batu Empang 2 April 2013
            [273] Simpang narso, 2 April 2013
            [274] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
[275] Peraturan Desa Gedang Nomor  3 tahun 2011 Tentang Keputusan Adat Istiadat Depati Suko Merajo
[276] Pasal 8 Peraturan Desa Gedang Nomor  3 tahun 2011 Tentang Keputusan Adat Istiadat Depati Suko Merajo
            [277] Perdes Kotobaru No.  Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
            [278] Perdes Kotobaru No.  Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
            [279] Pasal 8 PERATURAN DESA TANJUNG BENUANG  No. 09 Tahun 2011 Tentang Keputusan Depati Suko Menggalo
            [280] Pasal 8 Peraturan Desa Tanjung Alam No. 3 Tahun 2011 Tentang Piagam Depati Duo Menggalo
[281] Pasal 8 PERATURAN DESA TANJUNG MUDO NO. 7 TAHUN 2011  TENTANG  PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
            [282] Profile Desa Durian Rambun , Kecamatan Muara Siau, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
[283] Abdulah TH, Mantan Depati Suko Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[284] Abdulah TH, Mantan Depati Suko Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[285] Langau adalah “lalat hijau”
            [286] Pertemuan di Desa Pemayungan, 26 Desember 2012
            [287] Pertemuan di Desa Pemayungan, 26 Desember 2012
            [288] Muara Sekalo, Maret 2013
            [289] Desa Semambu, 18 Maret 2013
            [290] Desa Suo-suo, 21 Maret 2013
[291] Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
            [292] M. Yunus Kadir, Desa Lubuk Ruso, 21 Juli 2018
            [293] PERATURAN DESA SUNGAI BUNGUR No.    Tahun 2016 TENTANG PIAGAM TUMENGGUNG BUJANG PEJANTAN
            [294] Desa SPONJENPERATURAN DESA SEPONJENNo.  10 /SPJ/1/ 2018 TENTANG  BUYUT DAYUT
[295] Desa Rukam, 22 - 24 Agustus 2017
[296] M. Syafe’I Achmad, mantan Pesirah dan mantan Kepala Desa Merlung, 14 Agustus 2016
            [297] PERATURAN DESA SERDANG JAYA NO TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT DESA SERDANG JAYA KECAMATAN BETARA KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT
            [298] PERATURAN DESA MAKMUR JAYA NO  TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT
            [299] PERATURAN DESA MAKMUR JAYA NO  TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT
            [300] PERATURAN DESA SERDANG JAYA NO TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT DESA SERDANG JAYA KECAMATAN BETARA KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT
            [301] PERATURAN DESA SUNGAI BERAS NO   2018 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT  DESA SUNGAI BERAS
[302] Desa Rantau Rasau, Kecamatan Berbak, Tanjabtim, 10 Juli 2018
[303] M. Syafe’I Achmad, mantan Pesirah dan mantan Kepala Desa Merlung, 14 Agustus 2016
            [304] Pasal 33 Perda Kabupaten Bungo Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Senaro Putih
            [305] PERATURAN DESA TANJUNG MUDO  NO. 7 TAHUN 2011  TENTANG  PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
       [306] Laporan Riset IMN 2014, PEMETAAN DAN ANALISIS KONFLIK AREAL KONSESI GRUP APP, DI WILAYAH PROVINSI JAMBI STUDI KASUS DI DESA LUBUK MANDARSAH KEC. TENGAH ILIR KAB. TEBO,
[307] Bukit Bakar adalah nama tempat yang terbakar tahun 2007. Bukit Bakar mempertemukan antara Kabupaten Tebo, Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
[308] Peraturan Desa Tanjung Alam No. 3 Tahun 2011 Tentang Piagam Depati Duo Menggalo
[309] Nagari Kapa dan Nagari Sasak, Pasaman Barat, Sumbar, 26 Januari 2018
[310] Peraturan Daerah Sumatera Barat No. 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya.       
[311] Pasal 11 Perda No. 16 Tahun 2008
            [312] Desa Rukam, 4 Maret 2016
            [313] Ali Nahu, Pulau Tengah, 15 Maret 2016
            [314] Riset Walhi, 2012
            [315] Zulkifili, Tokoh Adat Desa Senamat, Kecamatan Pelepat, Bungo, 14 Agustus 2016
            [316] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali, 16 Agustus 2016
            [317] Zakaria, Asnawi. Rimbo Bujang Dalam Angka, Wiroto Agung: BPS, 2005.

[318] Van Vollenhoven, Hukum Adat Dan Modernisasi Hukum, FH UII, Jakarta, 1998, Hal. 169