I. ASAS-ASAS
HUKUM TANAH
Menurut
Satjipto Rahardjo, asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena asas hukum
merupakan dasar lahirnya peraturan hukum[1]. Asas hukum
merupakan ratio legisnya peraturan
hukum. asas hukum (rechtsbeginsel) adalah
pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan
yang konkret (hukum positif) dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat
umum dalam peraturan konkret[2].
Didalam
Hukum Tanah Melayu Jambi dikenal asas-asas Hukum Tanah Melayu Jambi. Asas-asas
ini diatur didalam UU No. 5 tahun 1960
(UUPA) dan ditemukan baik didalam
melihat seloko yang mengatur tentang Hukum Tanah Melayu Jambi maupun dalam
praktek-praktek yang dilakukan.
Asas Pengakuan Hak
Asas
ini mengakui terhadap hak komunal yang didapatkan melalui prosesi hukum Tanah
Melayu Jambi. Didalam Pasal 3 UUPA disebutkan “Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi.
Asas
ini berangkat dari penghormatan prosesi mendapatkan tanah dan penanda tanah.
Prosesi
mendapatkan tanah dikenal “pamit ke penghulu. Prosesi dikenal seperti Setawar dingin[3] seperti “rembug”, “nasi putih air jernih”, “betahun bersamo, Rapat kenduri, Melambas,
Belukar tuo, Empang krenggong, Nasi putih air jernih, Kelapp Sekok, Selemak
Semanis, “harta berat ditinggal, harta ringan dibawa. Selain penanda tanah
seperti “takuk pohon”, “tuki”, “sak Sangkut”
, “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”. Ada juga
menyebutkan “Lambas”, Lambas berbanjar
didaerah ulu Batanghari.
Di
Marga Batang Asai Tengah dikenal pegang pakai[4]. Di
Desa Paniban
Baru[5]
dikenal tatacara membuka hutan yang dimulai dari “Betaun bersamo, Rapat kenduri,
melambas, Nasi putih Air jernih, Kelapa sekok, selemak semanis. Di
Marga Serampas dikenal tanah ajun dan tanah arah[6]
Bagi masyarakat desa Renah Pelaan (Merangin), untuk
membuka lahan pertanian baru, biasanya mereka meminta izin terlebih dahulu yang
dikenal “puji
perago”[7]. Di Marga Sumay[8]
dikenal “Maro ladang/Maro Banjara”, “Behumo rimbo”, “behumo Ronah”. Prosesi
yang dijalani berupa “lambas”, sak sangkut”, “Banjar bertindih galang”, “Bidang’,
“pemarasan hutan”, “ Manugal-beselang”, Menanami”, “nyisip”, dan “beumo”.
Di Marga Batin II Ulu, Masyarakat menyebutkan istilah “kebun” untuk
tanah yang sudah dibuka dan ditanami. Utamanya karet. Sedangkan terhadap tanah
yang telah dibuka namun belum ditanami dikenal dengan istilah “sesap” atau
“belukar”[9].
Di
Marga Pelepat dikenal membuka hutan
yang disebutkan didalam “mati tanah. buat tanaman”[10].
Di Desa Baru Pelepat,
Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau dikenal “tando kayu batakuk lopang, tando kulik
kaliki aka”, “harus sompak, kompak, setumpak”, “umpang boleh disisip”, “bak
napuh diujung tanjung, ilang sikuk baganti sikuk, lapuk ali baganti ali”, “lapuk pua jalipung tumbuh”, “kadarek babungo
kayu, kayak babungo pasir”, “tanah lombang, umput layu”[11].
Di Marga Pemayung Ilir terhadap
“buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman”[12].
Didaerah hilir seperti Di Desa Sungai Bungur[13], Desa Sponjen[14], Desa Sogo[15], Desa Sungai Beras[16]dikenal istilah “pancung alas”. “Pancung alas” atau dengan
penamaan lain adalah setiap
kepala keluarga yang hendak membuka hutan harus seizin dari Kepala Desa.
Diluar
dari prosesi diatas maka dikenal “beumo jauh
betalang suluk, beadat dewek pusako mencil”. Terhadap kesalahan kemudian
dijatuhi sanksi. Sedangkan apabila dijatuhi sanksi namun tidak dipatuhi dikenal
“Plali”. Ditandai dengan Seloko ”Bapak pado harimau, Berinduk pada gajah, Berkambing pada kijang,
Berayam pada kuawo.
Selain itu pengakuan
hak dikenal “empang krenggo”, “mengepang”,”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”,
“sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati
tanah. Buat tanaman”. Atau sejarah pembukaan lahan yang umumnya diketahui oleh
masyarakat (cencang latih) dan jambu keloko (tanaman yang ada dilahan tersebut) atau bedah nang
berantai (saluran air persawahan) merupakan bukti legalitas klaim[17].
Selain itu juga dikenal Dendang kayu betakuk baris. Kayu belepang,
takuk kayu, atau Dendang hutan besawa
sulo.
Di Marga Pemayung Ilir
terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman
Di
daerah hilir dikenal “Larangan krenggo”,
“mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” maka Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian
tidak ditanami dan tidak dirawat maka akan dijatuhi sanksi adat. Bahkan hak
milik terhadap tanah kemudian hapus.
Asas
Tanah Terlantar
Apabila tanah yang kemudian tidak dirawat maka
dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar. Kategori tanah terlantar kemudian
dikenal seperti (1) Apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan
sesuai dengan keadaannya atau sifatnya. (2).Apabila tanah tersebut tidak
dipergunakan sesuai dengan tujuan pemberian haknya. (3)
Tanah tersebut tidak dipelihara dengan baik. (Pasal 3 dan pasal 4 PP No. 36
Tahun 1998 junto PP No. 11 Tahun 2010).
Dengan demikian apabila tanah kemudian tidak
dirawat maka terhadap tanahnya menjadi hilang. Belukar tuo” atau “belukar Lasa”,
“sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”,
“Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah Seloko yang menunjukkan tanah yang telah dibuka maka
harus ditanami paling lama 3 tahun. Dan kemudian harus dirawat.
Di
Marga Tenang dikenal “sesap rendah jerami
tinggi”. Sedangkan di Marga Sumay dikenal “sesap rendah tunggul
pemarasan”. Di Marga Pratin Tuo dikenal istilah “perimbun[18]. Di Marga Pelepat dikenal istilah “Mati tanah. Buat tanaman”. Di Marga Batang Asai Tengah dikenal “umbo
rimbo”, “umo belukar tuo”, “uma belukar mudo dan “umo sesap.
Mahkamah Agung berdasarkan Yurisprudensi No. 329
K/Sip/1957 tanggal 24 September 1958 kemudian menyebutkan “di Tapanuli Selatan apabila sebidang tanah yang diperoleh secara
merimba, maka hak atas tanah dapat dianggap dilepaskan dan tanah itu oleh
Kepala Persekutuan kampong dapat diberikan kepada orang lain.
Begitu juga Yurusprudensi Mahkamah Agung Nomor 59
K/Sip/1958 tanggal 7 Februari 1959 kemudian menyebutkan
“menurut adat Karo sebidang tanah “kesian” yaitu sebidang tanah kosong yang
letaknya dalam kampong bisa menjadi hak milik perseorangan setelah tanah itu
diusahai secara intensif oleh seorang penduduk kampong itu.
Putusan Mahkamah Agung No. 1192 K/Sip/1973 Tanggal
27 Maret 1975 menyebutkan “Menurut peraturan adat
setempat, hak semula dari seseorang atas tanah usahanya gugur apabiia ia telah
cukup lama belum/tidak mengerjakan lagi tanahnya, kemudian ia diberi teguran
oleh Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung untuk mengerjakannya,
tetapi teguran itu tidak diindahkannya; dalam hal ini bolehlah tanah itu oleh
Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung diberikan kepada orang lain yang
memerlukannya.
Putusan Mahkamah Agung No. 590 K/Sip/1974 tanggal 3
Desember 1975 menyebutkan “Menurut hukum,
baik hukum adat maupun ketentuan-ketentuan U.U.P.A. tahun 1960 hapusnya hak
atas tanah adalah antara lain karena diterlantarkan.
Asas
Landreform
Asas Landreform dapat ditemukan didalam pasal 7,
pasal 10 UUPA. Pada prinsipnya, kepemilikan dan penguasaan tanah tidak boleh
melampaui batas.
Pengaturan terhadap kepemilikan dan penguasaan
tanah dapat dilihat baik yang berhak memiliki tanah maupun luasnya.
Di Marga Batin pengambang, Luas tanah yang
diberikan 2 hektar. Tanah harus ditanami. Selama 4 tahun tidak dibenarkan
membuka rimbo.
Selain itu dikenal prosesi nasi putih. Air Jernih.
Pemberian tanah kepada masyarakat yang berasal dari luar desa kemudian bermukim
didesa. Seluas 2 hektar. Model yang lain adalah pemberian dari nenek mamak desa sesudah
pernikahan yang disebut rimbo along
kumpalan paku[19].
Di
Marga Batang Asai Tengah[20],
tanah didapatkan yang dikenal Membuka hutan atau rimbo atau tanah untuk
Pertanian sawah yang dikenal Umo dan Talang. Prosesi yang dilalui seperti Betaun bersamo[21],
Rapat Kenduri[22],
Melambas[23], Lemah
Paradun[24].
Masing-masing mendapatkan 2 hektar.
Di
Marga Simpang Tigo Pauh dikenal Seloko “Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimano
tamilang dicacak disitu tanaman tumbuh”[25]. Luasnya sesuai untuk kebutuhan
membuat rumah dan membuka lahan untuk berkebun[26]
Di
Marga Air Hitam dikenal “tanah bejenang”. Tanah diberikan untuk kebutuhan rumah
dan “umo” [27].
Di
Marga Sungai Tenang dikenal berbagai model pengelolaan. Di Desa Tanjung Mudo[28],
Prosesi dimulai dari “Alam sekato Rajo, Negeri sekato batin”, dibuka
berkelompok, Setiap Kepala Keluarga hanya boleh membuka 1 ha. Selain itu dikenal “sepenegak rumah’. Dimana luas tanah yang dberikan untuk perumahan[29].
Di Marga Sumay setelah
prosesi Maro Ladang/Maro Banjar, “Behumo rimbo”,
“behumo Ronah” Ditentukan setiap orang mendapatkan 2
hektar.Sempadan tanah (setelah ditentukan dibuat batas ladang[30].
Di Desa
Rantau Bedaro terdapat 15 Hektar dan yang berhak menanam di lahan tersebut
adalah keturunan nenek 4, yaitu kalbu Rendah, kalbu Solok, kalbu Cabul dan
kalbu Talang, yang kesemuanya sudah dibedakan lokasi masing-masing. Kalbu
Rendah sebelah ilir, kalbu solok sebelah tengah, kalbu cabul sebelah atas dan
kalbu talang sebelah atas juga[31].
Di
Lubuk Mandarsyah setiap keluarga diberikan dengan membuka lebar 25 meter dan panjang 100
meter atau istilah dikampung dinamakan dengan “tapak”[32]. Sedangkan di Marga
Kumpeh Ilir dikenal dengan istilah “Bidang” setelah melalui prosesi “Pancung
alas”. 30
depo kali 50 depo.
Marga
Jebus di Desa Rukam dikenal “jejawi
berbaris dan tali gawe’. Di Marga Berbak
dikenal “umo Genah’.
Asas Terang dan Tunai
Asas
terang dan tunai dapat dilihat didalam berbagai ketentuan. Pasal 1868, Pasal
1870 dan pasal 1873 KUHPer (kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW). Pasal 37
ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 kemudian menegaskan.
Yurisprudensi
Mahkamah Agung kemudian menyebutkan asas Terang dan tunai “Sifat terang atau riil
artinya jual beli tersebut dilakukan dihadapan Pejabat Umum yang berwenang
dengan dibuatkan akta jual beli yang ditandatangani penjual dan pembeli. Tunai
artinya harga jual belinya dan penyerahan obyek langsung atau serentak
dilakukan pada waktu bersamaan (lunas/kontan) (Putusan M.A Nomor
271/K/Sip/1956 dan Putusan M.A Nomor 840/K/ Sip/1971).
Sedangkan
asas Terang
karena dilakukan dihadapan kepala adat, agar diketahui oleh umum.
Dalam
hukum adat Melayu Jambi maka setiap prosesi terhadap pemindahan hak terhadap
tanah dihadapan Pemangku adat. Dengan pemangku adat maka terhadap tanah dapat
ditentukan. Apakah dapat beralih atau tidak.
Terhadap
hak atas tanah dimana salah satu warganya kemudian meninggalkan Desa, maka
tanah kembali ke penghulu. Sesuai dengan Seloko “Harta berat ditinggal. Harta
ringan dibawa. Seloko ini mirip prinsip “siliah jariah” sesuai dengan Tembo di Minangkabau “kabau pai. Kubangan tinggal”.
Asas Ius
Curia Novit
Asas
ini menyebutkan dimana hakim selalu dianggap tahu hukumnya. Dalam seloko Jambi, pemangku adat
diibaratkan “Tempat orang bertanyo. Tempat orang bercerito”.
“Seorang pemimpin “didahulukan selangkah”. Dilebihkan sekata'. “Yang
berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan
jangan berentak, diduri jangan menginjek. Kata-kata “Yang memakan habis,
memancung putus” dimaknai sebagai “kata-kata pemimpin didalam mengambil
keputusan dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya.
Kata-katanya didengar dan merupakan solusi yang disampaikannya.
Pemangku adat adalah tempat “Disitu
kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas.
Disitu bongkol sama ditarah.
Fungsi
Pemangku adat (volksrechter) didalam menyelesaikan
perselisihan tanah Melayu Jambi dilakukan secara berjenjang yang ditandai
dengan “jenjang adat”. Betangkap naik. Bertangga turun.
II.
PERKEMBANGAN
HUKUM TANAH MELAYU JAMBI
Penghormatan dan pengakuan yang
mengatur hukum tanah kemudian diatur didalam hutan adat atau hutan Desa
kemudian sudah tersebar diberbagai peraturan. Baik yang termaktub dalam bentuk
hutan adat, hutan desa maupun pengukuhan oleh negara.
Tahun 2016, Presiden Jokowi kemudian
menganugerahkan hutan adat yaitu : (1) Hutan Adat Desa Rantau Kermas (130 Ha)
Kabupaten Merangin Provinsi Jambi (MHA Marga Serampas), (2). Hutan Adat Ammatoa
Kajang (313 Ha) Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan (MHA Ammatoa
Kajang), (3). Hutan Adat Wana Posangke (6.212 Ha) Kabupaten Morowali Utara
Provinsi Sulawesi Tengah (MHA Lipu Wana Posangke), (4) Hutan Adat Kasepuhan Karang
(486 Ha) Kabupaten Lebak Provinsi Banten (MHA Kasepuhan Karang), (5). Hutan
Adat Bukit Sembahyang (39 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Air Terjun),
(6). Hutan Adat Bukit Tinggi (41 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Sungai
Deras), (7). Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam (252 Ha) Kabupaten
Kerinci Provinsi Jambi (MHA Tigo Luhah Permenti), (8). Hutan Adat Tigo Luhah
Kemantan (452 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Tigo Luhah Kemantan)
dan (9). Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta (5.172 Ha) Kabupaten Humbang Hasudutan
Provinsi Sumatera Utara (MHA Pandumaan Sipituhuta).
Hutan Adat Rantau Kermas telah
diatur didalam Perda Kabupaten
Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat Marga Serampas. Kemudian dikukuhkan SK Menterie Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor SK.6745/Menlhk-PSKL/KUM.1/2016 Tentang Penetapan Hutan Adat
Marga Serampas seluas 24 hektar Di Desa Rantau Kermas Kecamatan Jangkat,
Kabupaten Merangin Provinsi Jambi tanggal 26 Desember 2016.
Sedangkan
tahun 2017 hutan adat yang diberikan oleh Presiden Jokowi yaitu (1) Hutan
Adat Marena (Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah) seluas 1.161 hektare, (2) Hutan
Adat Tapang Semadak, (Sekadau, Kalimantan Barat) seluas 41 hektare, (3) Hutan
Adat untuk Dua komunitas di Desa Batu Kerbau (Bungo, Jambi) masing-masing 323
dan 326 hektare, (4) Hutan Adat Senamat Ulu (Bungo, Jambi) 223 hektare, (5) Hutan
Adat Baru Pelepat, (Bungo, Jambi) seluas 1.066 hektare, (6) Hutan Adat Juaq
Asa, (Kutai Barat, Kalimantan Timur) seluas 49 hektare, (7) Hutan Adat Ngaol,
Merangin, (Jambi) 278 hektare, (8)Hutan Adat Merangin, Merangin, (Jambi) luas
525 hektare.
Di
Kerinci terdapat Hutan Adat sesuai SK Bupati Kerinci No. 226 Tahun 1993 Tentang
Nenek Limo Hiang Tinggi Nenek Empat Betung Kuning Muara Air Dua, Hutan Adat sesuai SK Bupati Kerinci No. 176
Tahun 1992 Tentang Hutan Temedak, Desa Keluru, Kecamatan Keliling Danau,
Kabupaten Kerinci dan Hutan Adat sesuai SK Bupati Kerinci No. 96 Tahun 1994
Desa Lempur Mudik, Desa Lempur Hilir, Desa Dusun Baru Kelurahan Tengah, Gunung
Raya, Kabupaten Kerinci. Belum lagi hutan adat yang berada di 24 Desa sekitar
TNKS.
Di
Kabupaten Sarolangun Bangko, Kabupaten sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten
Sarolangun dan Kabupaten Merangin, telah
lahir Surat Keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko
No. 225 Tahun 1993 tentang Penetapan Lokasi Hutan Adat Desa Pangkalan
Jambu. Kabupaten Merangin kemudian juga
telah menghasilkan SK Bupati Merangin No. 95 Tahun 2002 tentang pengukuhan
Hutan Adat Rimbo penghulu Depati, SK Bupayi Merangin No. 287 Tahun 2003 tentang
Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai hutan adat Desa Guguk kec. Sungai
Manau, SK Bupati Merangin No. 95 Tahun 2002 Tentang Pengukuhan hutan adat Rimbo
Penghulu Depati Gento Rajo Desa Pulau tengah Kec. Jangkat.
Sementara
itu Sarolangun sendiri sudah menetapkan, kawasan tersebut tercatat adat
sebelas hutan adat
yang sudah diakui pemerintah, yakni hutan adat
Pengulu Laleh (128 ha), hutan adat
Rio Peniti (313 ha), hutan adat
Pengulu Patwa (295 ha), hutan adat Pengulu Sati
(100 ha), hutan adat
Rimbo Larangan (18 ha), hutan adat Bhatin Batuah (98 ha), hutan adat
Paduka Rajo (80 ha), hutan adat Datuk Menti Sati
(78 ha), hutan adat
Datuk Menti (48 ha), hutan adat Imbo Pseko (140 ha), dan hutan ada t
Imbo Lembago (70 ha).
Belum lagi SK BUPATI Sarolangun Nomor 206 Tahun 2010 Tentang Pengukuhan Kawasan
Hutan Adat Bukit Bulan “Batin Jo Penghulu
Hutan Adat Bukit Bulan Batin Jo Panghuku seluas 1.368 ha meliputi 5
Desa. Dan Peraturan Desa Napal Melintang
Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Adat. Hutan adat yang mengatur di
Desa Napal Melintang seluas 210 Ha yang terdiri dari Hutan Adat Imbo Pseko terletak di Dusun Napal
Melitang dengan luas 140 Ha dan Hutan Adat Imbo Lembago terletak di Dusun Napal
Melintang dengan luas 70 Ha.
Selain itu juga dikenal
SK BUPATI Sarolangun Nomor 206 Tahun 2010Tentang Pengukuhan Kawasan Hutan Adat
Bukit Bulan “Batin Jo Penghulu, Hutan Adat Bukit Bulan Batin Jo Panghuku seluas
1.368 ha meliputi 5 DesaLubuk Bedorong (441 ha), ang terdiri dari Hutan Adat
Rio Peniti di Dusun Lubuk Bedorong seluas 313 ha, Hutan adat Pengulu Lareh di
Dusun Temalang 128 ha.
Di
samping itu terdapat kebijakan yang mengatur kepentingan masyarakat hukum adat
di Jambi seperti Perda Kab. Merangin No. 22 tahun 2002 tentang pengurusan hutan
dan retribusi hasil hutan yang dalam beberapa pasalnya mengatur mengenai hutan
adat, Perda Kab. Bungo No. 9 Tahun 2007 tentang Penyebutan kepala Desa menjadi
Rio, Desa menjadi Dusun dan Dusun menjadi kampung yang memberlakukan sistem
pemerintahan lokal berdasarkan budaya setempat. Perda Kabupaten Bungo No 30
tahun 2000. Dan SK Bupati Merangin Nomor 287 Tahun 2013 Tentang Pengukuhan
Kawasan Bukit Tapanggang Sebagai hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk
Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin.
Di
Kabupaten Bungo telah lahir Perda Kab. Bungo No. 3 Tahun 2006 tentang
masyarakat hukum Adat Datuk Sinaro Putih. Dan SK Bupati Bungo No. 1249 tahun
2002 tentang pengukuhan Hutan adat Desa batu kerbau Kec. Pelepat.
Di Batu Kerbau dikenal Hutan
lindung batu Kerbau 776 ha, Hutan lindung Belukar Panjang 361 ha, Hutan Adat
Batu Kerbau 330 ha, Hutan Adat Belukar Panjang 472 ha, Hutan Adat Lubuk Tebat
360 ha sebagai kawasan yang dilindungi.
Selain itu dikenal
berbagai Peraturan Desa. Seperti Peraturan Desa Tanjung Mudo No 7 Tahun 2011
Tentang Piagam Rio Pengangun Jago Bayo, Peraturan Desa No Tahun 2014 Tentang Keputusan Depati Suko
Derajo, Peraturan Desa Tanjung Benuang Nomor 9 Tahun 2011 Keputusan Depati Suko Menggalo, Peraturan Desa Tanjung Alam No. 3 Tahun 2011 Tentang Piagam Depati Duo Menggalo, Peraturan Desa
Durian Rambun Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Kelembagaan dan Pengelolaan Hutan Desa
Rio Kemunyang Desa Durian Rambun.
Di Marga Sumay dikenal Peraturan Desa Pemayungan Nomor 2 Tahun 2012
Tentang Keputusan Adat Keturunan Datuk Domang Muncak Komarhusin.
Di daerah hilir dikenal
Peraturan Desa Sungai Bungur No 2
Tahun 2018 Tentang Piagam Tumenggung Bujang Pejantan, Peraturan Desa Sponjen
Nomor 10/SPJ/1/2018 Tentang Buyut Dayut.
Selain itu juga
terdapat 17 hutan desa di Kabupaten Merangin (1) Desa Talang Tembago Nomor SK 126/Menhut-II/2011 Tanggal 21 Maret
2011 seluas 2.707 ha, (2) Desa Pematang Pauh Nomor SK 440/Menhut-II/2011
Tanggal 1 Agustus 2011 seluas 2.957 ha, (3) Desa Koto Baru Nomor SK
443/Menhut-II/2011 tanggal 1 Agustus 2011 Seluas 762 ha, (4) Desa Gedang Nomor
SK 442/Menhut-II/2011 Tanggal 1 Agustus 20111 seluas 1.766 ha, (5) Desa Jangkat
Nomor SK 125/Menhut-II/2011 Tanggal 21 Maret 2011 seluas 4.467 ha, (6) Desa
Beringin Tinggi Nomor SK 445/Menhut-II?2011 Tangga 21 Maret 2011 seluas 2.038 ha,
(7) Desa Tanjung Mudo Nomor SK 444/Menhut-II/2011 tanggal 1 Agustus 2011 seluas
1.058 ha, (8) Desa Tanjung Alam Nomor SK 42/Menhut-II/2011 Tanggal 17 Februari
2011 seluas 912 ha, (9) Desa Tanjung Benuang Nomor SK 441/Menhut-II/2011
tanggal 1 Agustus 2011 seluas 1.245 ha, (10) Desa Muara Madras Nomor SK
439/Menhut-II/2011 tanggal 1 Agustus 2011 seluas 5.330 ha, (11) Desa Tanjung
Dalam Nomor SK 437/Menhut-II/2011 Tanggal 1 Agustus 2011 seluas 2.160 ha, (12)
Desa Tuo Nomor SK 438/Menhut-II/2011 Tanggal 1 Agustus 2011 seluas 2.235 ha,
(13) Desa Koto Rami Nomor SK 436/Menhut-II/2011 Tanggal 1 Agustus 2011 seluas,
1.855 ha, (14) Desa Lubuk Beringin Nomor SK 128/Menhut-II/2011 Tanggal 21 Maret
2011 seluas 2.712 ha, (15) Desa Lubuk Birah Nomor SK 359/Menhut-II/2011 Tanggal 7 Juli 2011
seluas 4.638 ha, (16) Desa Durian Rambun Nomor SK 361/Menhut-II/2011 Tanggal 7
Juli 2011 seluas 4.484 ha, (17) Desa Birun Nomor SK 127/Menhut-II/2011 tanggal
21 Maret 2011 seluas 2.788 ha.
Hutan Desa Lubuk
Beringin kemudian diatur lebih lanjut berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6566//MENLHK/PSKL/PSL.0/12/2017 Tentang
Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa Kepada Lembaga Hutan Desa Lubuk Beringin
Seluas 2.712 ha 638 ha pada Kawasan Hutan Produksi Tetap di Desa Lubuk Beringin
kecamatan Muara Siau Kabupaten Merangin Provinsi Jambi tanggal 4 Desember 2017
Hutan Desa Lubuk Birah
kemudian diatur lebih lanjut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor SK 6575/MENLHK/PSKL/PSL.0/12/2017 Tentang Pemberian
Hak Pengelolaan Hutan Desa Kepada Lembaga Hutan Desa Lubuk Birah seluas 4.638
ha pada Kawasan Hutan Produksi Tetap di Desa Lubuk Birah kecamatan Muara Siau
Kabupaten Merangin Provinsi Jambi tanggal 4 Desember 2017
Hutan Desa Birun
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
SK/6574/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2017 Tanggal 4 Desember 2017.
III.
HUKUM TANAH
DALAM YURISPRUDENSI
Dalam
pembahasan ini dilihat bagaimana Hukum tanah dalam praktek peradilan.
Sebelumnya
dalam konflik di PT. WKS dengan masyarakat dusun Bukit Rinting mengakibatkan
tewasnya Indra Pelani. Indra Pelani tewas tanggal 27 Februari 2015 di Lubuk
Mandarsyah, Tebo Tengah Ilir, Tebo.
Namun perusahaan “dianggap”
bertanggungjawab'. Perusahaan sebagai “induk semang” harus menjaga “anak
asuhnya”. Kesalahan anak asuh merupakan tanggungjawab “induk semang”.
Kedudukan “induk semang” adalah
sebagai “tuo tengganai” dari anak kemenakan. Kesalahan “anak kemenakan”
kemudian harus diselesaikan oleh “tuo tengganai”. Kesalahan harus
dipertanggungjawabkan baik melalui hukum adat maupun sosial.
Di Tebo, Negeri “seentak galah
serengkuh dayung”, dalam “Anak Undang Nan Dua Belas”, “peristiwa pembunuhan”
pelanggaran ini dikenal dengna istilah “luka lakih di pampas. Mati dibangun”. Luka
lukih di pampas adalah orang yang melukai badan orang lain dihukum membayar
pampas. Terhadap luka dilihat “Luka rendah pampasnya sekor ayam, segantang
beras, kelapo betali”. Luka tinggi pampasnya seekor kambing, 20 gantang beras.Luka
parah pampasnya se lengan separuh bangun”.
Sedangkan “Mati di bangun”
adalah membunuh orang lain di hukum membayar bangun berupa satu ekor kerbau, seratus gantang beras, sekayu kain
putih.
Prosesinya dimulai dari Pihak “tuo
tengganai” kemudian mendatangi lembaga adat untuk menyampaikan “habibul hajat
(maksud dari pengundang) meminta maaf kepada keluarga korban dan masyarakat
yang terganggu dengan “kesalahan dari anak kemenakan”.
Setelah mendengarkan “habibul hajat
(maksud dari pengundang), lembaga adat kemudian menerima permohonan maaf dari
“tuo tengganai” anak kemenakan yang bersalah.
Lembaga adat kemudian menetapkan
sanksi adat berupa “kerbo sekok, serba seratus”. (Kerbau satu ekor, 1 keris,
100 gantang beras, seratus kain, selemak semanis)
Kemudian ditanyakan kepada “tuo
tengganai” apakah mampu membayar sanksi adat. Setelah “tuo tengganai”
menyatakan mampu untuk membayar sanksi adat, maka sanksi adat kemudian
“diserahkan” kepada lembaga adat. Lembaga adat kemudian menerima dan
menyampaikan kepada “orang rame”, sanksi adat telah dijatuhkan. Dan “tuo
tengganai telah mampu membayar sanksi adat”.
Pemberian “sanksi adat” dan
dipenuhinya sanksi adat merupakan peristiwa penting. Dalam hukum adat, sanksi
adat merupakan manifestasi dari “penyelesaian rasa aman yang terganggu dengan
peristiwa pembunuhan”. Dalam sistem hukum adat, rasa aman merupakan bentuk
dasar untuk menghilangkan rasa “syak wasangka” dan menghilangkan dari niat
buruk dari siapapun yang mengganggu masyarakat.
Hukum adat merupakan katup sengketa
diluar hukum dan merupakan bentuk kontrol terhadap setiap perbuatan manusia
agar tertib. Dengan adanya hukum adat maka keadilan telah tercapai. Hukum harus
memenuhi unsur keadilan. Tidak semata-mata “kepastian hukum yang menciptakan
ketertiban hukum atau ketertiban sosial (law and order/social order)”.
Namun juga harus mencapai “ketentraman”.
Hukum adat mengikat baik kepada
masyarakat adat itu sendiri maupun para pendatang yang berkegiatan, tinggal dan
hidup di tengah masyarakat. Seloko “datang nampak muko, pegi nampak punggung”
merupakan filosofi penghormatan terhadap tatacara “izin kepada” Petuah adat.
Seloko ini masih dihormati.
Begitu juga terhadap sanksi adat
yang telah dijatuhkan. Prosesi ini kemudian harus dihormati.
Sanksi adat yang telah dijatuhkan
namun tidak dilaksanakan, maka “Bebapak pado harimau. Berinduk pada gajah.
Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo. Secara harfiah, orang ini
kemudian dikenal sebagai “orang buangan'. “Sakit tidak diurus. Mati tidak
dikuburkan”. Hidupnya menjadi tidak dihormati orang kampung.
Upacara
adat merupakan akumulasi dari penghormatan hokum adat. Di tengah hokum nasional
yang bercirikan “positivism”, hokum adat mengutamakan keadilan substansi.
Keadilan yang mementingkan “rasa aman”, rasa tentram dari masyarakat.
Upacara
adat merupakan vs to vs dari hokum nasional. Hukum adat merupakan bentuk
penggalian dari nilai-nilai hokum yang masih dihormati. Hukum adat dianggap
sebagai lembaga effektif yang mengutamakan penyelesaian kedua belah pihak (pelaku
dan korban). Hukum adat menitikberatkan kedua belah pihak secara seimbang
sehingga tercapai bandul keadilan kedua belah pihak.
Hukum
adat mengutamakan keselarasan, menghilangkan kesalahan, menghapuskan dendam,
menghapuskan kenangan buruk peristiwa yang lalu. Menghapuskan trauma dan
“kekagetan” atau kemarahan dari peristitwa yang terjadi.
Dengan
upacara adat maka hokum ditempatkan sebagai “tempat menyelesaikan masalah”.
Tempat “betanyo, Tempat suluh di kegelapan. Tempat keadilan ditimbang dan
diberlakukan.
Upacara
adat merupakan proses akulturasi dan daya lenting dan identitas masyarakat di
tengah perubahan. Dengan upacara adat, maka identitas dan pengakuan akan
komunitas (society) merupakan sebuah siklus dari daya bertahan masyarakat dari
gempuran berbagai norma-norma hokum nasional.
Upacara
adat merupakan bentuk dan bagian dari ikrar keberadaan masyarakat (ubi
societies ibi ius). Dengan ikrar dan daya tahan masyarakat, maka komunitas
merupakan sistem social yang masih bertahan[33].
Secara
terpisah, Mahkamah Konstitusi telah mengutip “Didalam seloko adat,
istilah “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek
kumbang” cukup menarik untuk dibahas
Pertimbangan ini menarik penulis
untuk mencari benang merah melihat pandangan MK mengenai Perpu No. 1 tahun
2013.
Didalam seloko adat, istilah “ke
atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang” cukup
serius.
Pandangan MK mengenai Perpu No. 1
Tahun 2013 dengan memberikan perumpamaan dengan seloko adat ke atas tak
berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”, memang terasa
menyakitkan.
Dalam istilah lain, seloko ini biasa
juga dikenal dengan istilah “Bapak pado
harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada
kuawo.
Menggunakan istilah itu apabila
hukuman adat telah dijatuhkan, namun yang bersangkutan tidak mau melaksanakan
putusan hukum adat. Sebagian juga memberikan hukuman plali (di sebagian
masyarakat Luak XVI di Bangko). Sedangkan di sekitar Taman Nasional Bukit
Tigapuluh, mereka menyebutkan “orang buangan”.
Bapak pado harimau. Berinduk pada gajah.
Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo adalah gambaran orang yang
tidak perlu diurus lagi dalam pergaulan sosial di suatu kaum. Mereka kemudian
tidak perlu diurus termasuk ada acara selamatan di kampung, sakit tidak
tengok, mati tidak dikuburkan.
Begitu beratnya hukum plali sehingga
Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo, menggambarkan
orang yang tidak mempunyai keluarga lagi, tidak mempunyai indung semang, tidak
mempunyai ninik mamak.
Dengan pesan yang tegas, MK
memberikan perumpamaan dengan seloko itu menggambarkan, Perpu No. 1 Tahun 2013
adalah “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek
kumbang”.
Apakah MK kemudian menganggap Perpu No.
1 Tahun 2013 merupakan “bentuk kurang ajar” dari pihak eksekutif sehingga Perpu
No. 1 Tahun 2013 kemudian dipandang sebagai “ke atas tak berpucuk. Ke bawah
tak berakar, Di tengah di gerek kumbang” ?
Dengan melihat makna “harfiah”
dari kata-kata pepatah adat ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di
tengah di gerek kumbang, walaupun tidak tepat, penulis bisa memahami
“kemarahan” MK terhadap Perpu No. 1 Tahun 2013.
Memberikan perumpamaan Perpu No. 1
Tahun 2013 dengan ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di
gerek kumbang” adalah bentuk dahsyat dari MK. MK kemudian dapat dilihat
sebagai bentuk “kemarahan” yang luar biasa.
Namun dalam pertimbangan MK
mengibaratkan Perpu No. 1 Tahun 2013 kurang tepat apabila disepadankan dengan “ke
atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”.
Apakah MK mengetahui makna
“tersurat” dari seloko ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah
di gerek kumbang ?
Surat Pegangan Andil
SURAT PEGANGAN ANDIL, tertanggal 20 (dua puluh)
bulan Rajab tahun 1345 (seribu tiga ratus empat puluh lima) hijriah berbetulan
pada tanggal 23 (dua puluh tiga) Januari 1927 (seribu sembilan ratus dua puluh
tujuh) dalam bahasa arab yang telah diterjemahkan oleh Tuan Doktorandus THOHRI
YASIN, Sekretaris/Panitera Pengadilan Agama Sengeti tertanggal dua puluh tiga
Juni dua ribu tiga (23-06-2003).
Surat
ini menyatakan Menyatakan sebidang tanah seluas 56.000 m2 yang berasal dan warisan yang
menunjukkan terletak dan luasnya[34].
Surat
Kupon Merek TE No. 44
Di Sarolangun dikenal Surat Tua Tahun 10
Sakwal (syawal) 1341 Hijriah[35]. Dalam perkembangannya
kemudian dikenal Surat keterangah Tanah (SKT)[36].
Tanaman Tumbuh
Di Desa Sinar Wajo,
Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Juraid dan Deni Ruli Pane pada tanggal 12
Februari 2012 dilaporkan PT. WKS ke pihak Polres Muara Sabak dengan tuduhan
membuka kawasan hutan yang termasuk kedalam konsensi PT. WKS. Lahan yang
digarap merupakan kawasan hutan produksi di Jalan 220 Dusun Kalimantan.
Tuduhannya melanggar pasal 50 ayat (3) huruf a UU Kehutanan.
Juraid dan Deni Ruli
Pane kemudian disidangkan di Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur. Jaksa
kemudian menuntut 10 bulan penjara.
Di Pengadilan Negeri
Tanjung Timur, Deni Ruli Pane membuktikan menduduki areal seluas 4 hektar
setelah pemberian orang tuanya sejak 1982. Tanah yang dikuasai kemudian
ditanami pohon rambutan dan jengkol. Selain itu juga adanya surat keterangan
serta sporadic.
Didalam
pertimbangannya, Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur menyatakan hak kepemilikan
terhadap Deni Ruli Pane dapat dibuktikan. Sehingga berdasarkan
SK Menteri Kehutanan izin PT. WKS di dalam butir keempat ayat (1) ditegaskan, apabila di dalam areal HPHTI
terdapat lahan yang menjadi hak milik, perkampungan, tegalan, persawahan, yang
telah diduduki pihak ketiga, maka lahan tersebut tidak termasuk dan dikeluarkan
dari areal kerja. Selain itu, penyelesaiannya dengan pihak-pihak yang
bersangkutan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bukti tanaman “pohon
rambutan dan jengkol” adalah pengetahuan masyarakat yang dikenal sebagai
“tanaman tumbuh’. Tanaman tumbuh membuktikan terhadap kepemilikan yang melekat
kepada pemilik tanah. Tanaman seperti rambutan dan jengkol dikenal sebagai
tanaman tua (tanaman tuo). Dengan bukti ini maka kepemilikan tidak menjadi
hilang.
Dengan demikian, maka Deni Ruli Pane dan Juraid dilepaskan
dari segala tuntutan hukum (onslaag van
recht van velvoging) . Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur
diperkuat di Mahkamah Agung berdasarkan putusannya Nomor 1779 K/PID.SUS/2013.
Putusan
ini mengukuhkan dan memberikan pelajaran penting terhadap hukum di Indonesia.
Izin tidak boleh mengalahkan hak. Sebab, merupakan azas yang berlaku di
Indonesia, juga merupakan hak milik telah diatur di dalam konstitusi[37].
Asas
Tunai, riil dan Terang
Sifat tunai artinya dalam jual beli hak atas tanah,
harga yang disetujui bersama harus dianggap dibayar penuh pada saat dilakukan
jual beli yang bersangkutan. Jadi apabila pembayarannya belum lunas, maka
sisanya dianggap utang. Akibatnya jika sisa tersebut tidak dibayar, maka
tanahnya tidak bisa dikembalikan pada yang punya tanah dan sisa tersebut
menjadi utang- piutang;
sifat riil, dalam jual beli hak atas tanah artinya
dengan adanya perbuatan hukum pembayaran harga tersebut, sejak saat itu hak
atas tanah langsung beralih;
Sifat terang, artinya tidak sembunyi sembunyi yaitu
pemindahan hak itu harus dilakukan dihadapan Kepala Desa atau Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT). Meskipun demikian sifat terang tersebut bukanlah bersifat
mutlak, tetapi merupakan sesuatu yang memudahkan pembuktian tentang jual beli
yang bersangkutan adalah sah. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 4/Sip/1958, tanggal 13 Desember 1958, yang pada
pokoknya menyatakan bahwa ikutsertanya kepala desa dalam jual beli tanah
bukanlah syarat mutlak dalam hukum adat, tetapi hanya suatu faktor yang
meyakinkan bahwa jual beli yang bersangkutan adalah sah[38].
Di Bangko diketahui oleh Rip Pemuncak/Kepala Desa
Muara Jernih Marga Batin V dulu Marga Tabir[39].
Ukuran tanah biasa
dikenal Depa[40]. Di Sungai Penuh dikenal tanah kering (plak) dengan penghitungan tanah
dengna ukuran Depo atau Depa[41]. Di Muara Bungo dikenal
Bidang[42]. Di Muara Tebo dikenal
Batas sepadan[43].
Di Muara Bungo dikenal
mendapatkan tanah dengan cara “Membuka hutan[44] Yang kering ditanami karet dan
yang lembab dijadikan sawah[45].
Demikian juga di Tebo[46].
Di Bangko dikenal cara mendapatkan tanah dengan
“tebang tebas”[47].
Di Kerinci dikenal
istilah tanah kering (plak)[48]. Di Sungai Tenang (Bangko)
dikenal tanah ladang dan tanah Renah Sawah ( Payo Buku )[49]. Di Muara Bungo dikenal tanah rawa atau payau[50].
Di Jambi dikenal istilah Kebun Parah[51]
Di Desa
Sepunggur, Kecamatan II Babeko, Bungo
dikenal Tanah Kas Desa (TKD)[52].
Istilah Pancung alas dapat ditemukan Di Jambi[53],
Tanjung Jabung Timur[54]
dan Tanjung Jabung Barat[55].
Istilah “pancung alas” mengandung arti. Di Jambi[56]
Pancung alas kemudian memperoleh persetujuan/izin dari Demang[57].
Atau membuka hutan[58].
Di Pesisir Riau, pancung alas adalah sewa tanah[59].
Seperti di Bangkinang[60].
Sedangkan di Sumatera Selatan dikenal sebagai
penebasan dan pembersihan hutan Ilir[61]
seperti di Ogan Ilir[62],
Sekayu[63],
Kayu
Agung[64]
Istilah
“pancung alas” biasa dikenal dalam model mengenai tanah. Arti Pancung yaitu “ujung atau
penjuru”. Namun pancung kemudian diartikan sebagai memancung/me-man-cung/ menetak (memenggal) puncak (kepala
dan sebagainya). Namun dalam
istilah pancung kemudian diartikan “memotong hingga putus”. Sedangkan alas
diartikan sebagai “dasar, fondasi” dari posisi rumah.
Dengan
demikian, maka pancung diartikan sebagai “menandai
pohon diujung sebagai batas tanah yang diberikan kepada masyarakat.
Pancung
alas merupakan “tanda” terhadap
pembukaan hutan untuk dijadikan kebun. Tanda berupa pohon yang dipotong/ditakuk
sebagai ditandai menggunakan “kapak” sehingga disebut sebagai pancung.
Di
daerah hulu Sungai Batanghari, istilah pembukaan tanah yang ditandai pohon
sebagai batas tanah disebut dengan “takuk,
sak sangkut, atau “lambas”.
Di
daerah Muara Sabak, istilah Pancung alas
merupakan “tanda” izin kepada
penghulu (Pemangku adat setingkat Kepala
Desa atau pemangku adat) untuk memohon izin membuka hutan untuk dijadikan
kebun.
Istilah
“memancung putus” disimbolkan sebagai
sifat pemimpin yang ditunjuk oleh masyarakat. Dalam maknanya “memancung putus”, sifat seorang pemimpin
ketika menemui sebuah persoalan, maka setiap perkataan, ujarannya dapat
menyelesaikan persoalan.
Setelah
masing-masing ditandai dengan batas, maka antara batas tanah satu dengan batas
tanah lain diberi luasan sekitar 1 meter
sebagai tempat yang tidak ditanami. Di daerah Kumpeh Ilir biasa disebut dengan Mentaro
Namun
berbeda di daerah hilir Kumpeh Ilir. Di Tanjung, Pancung alas merupakan “cukai”
dari hasil yang dikeluarkan dari hilir Sungai Kumpeh. Definisi ini sesuai
dengna “makna” “pancung sebagaimana
disebutkan didalam Kamus Bahasa Indonesia. Hasil yang dikeluarkan dari Tanjung
seperti hasil sungai seperti ikan, pasir kemudian dilelang. Pemenang dilelang
diberikan kepada penawaran tertinggi. Pesirah kemudian dapat mengambil “cukai” dari hasil yang dikeluarkan.
Sistemnya dikenal dengan “sepuluh duo”.
Artinya. Setiap penghasilan dari obyek “cukai”,
maka pesirah berhak mendapatkan 20 persen.
Penarikan
“cukai” inilah yang biasa disebutkan
dengan “pancung alas. Selain itu
Pesirah juga berhak menarik “cukai pasar.
Sistemnya sama. “sepuluh duo”.
Dengan
demikian, istilah “pancung alas”
dapat diartikan sebagai “izin kepada
penghulu” untuk mendapatkan tanah. Sedangkan “pancung alas” bisa juga diartikan sebagai “cukai” pesirah untuk mendapatkan obyek pajak hasil pemenang dari
hilir Sungai Kumpeh.
Terhadap tanah yang tidak dkuasai maka tanah
dapat diambil alih oleh Pesirah/Kepala Marga dan didata ulang dan dibuatkan
surat pancung alas bagi masyarakat yang membutuhkannya[65].
Selain
itu terhadap hak warisan, dan mengenai hak menggugat harta warisan menurut hukum
adat, tidak mengenal batas jangka waktu serta tidak mengenal daluarsa[66].
Selain itu juga dikenal Seloko “SEPUCUK ADAT SERUMPUN PUSEKO, ADAT BERSANDI SYARA' SYARA' BERSANDI
KIBULLAH. Dimana apabila seorang
perempuan ( istri ) yang keluar dari rumah tanpa diusir maka berlaku
pepatah" AYAM BENCI DENGAN SANGKARNYA, KERBAU BENCI DENGAN KANDANNGNYA[67].
Berbagai forum dan
mekanisme penyelesaian juga ditempuh sebelum digunakan jalur litigasi. Di Marga
Sungai Tenang dikenal Lembaga Lit
Lembagai
Lit adalah lembaga adat menyelesaikan kasus tanah. Dimulai berjenjang dari
Dusun, Desa dan Kecamatan. Lembaga Lit adalah Lembaga Adat yang dikenal di Dusun
Kampung Tengah[68], Desa Rantau Suli[69]
dan Kecamatan Sungai Tenang[70].
Di Sarolangun dikenal mekanisme penyelesaian
bernama Keputusan
Rapat Adat Melayu Jambi Kecamatan tentang Penyelesaian Silang Sangkito[71].
[6]
Pasal 1 angka 25 Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat
Marga Serampas.
[18] Riset Walhi Jambi, 2013
[26] Yazin, Pauh, 6 Agustus 2016
[37] Rakyat vs
Perusahaan, MA Menangkan Warga Dusun, Tribun Jambi, 25 Mei 2016
[48]
Pengadilan Negeri Sungai Penuh Nomor: 3/Pdt.G/2015/PN.SPn tertanggal 7
Juli 2015. Para “Penggugat memiliki harta warisan peninggalan
Moyang Para Penggugat, yaitu MAT KAYO, bahwa tanah tersebut berupa sebagian
tanah sawah dan sebagian tanah kering (Plak) yang terletak di Desa Koto Tuo,
Kecamatan Tanah Kampung, Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Dengan Ukuran
Panjang ± 120 Depo dan Lebar ± 8 Depa”.