31 Oktober 2018

opini musri nauli : BAB VI HUKUM NASIONAL DAN HUKUM ADAT





I.        ASAS-ASAS HUKUM TANAH

Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena asas hukum merupakan dasar lahirnya peraturan hukum[1]. Asas hukum merupakan ratio legisnya peraturan hukum. asas hukum (rechtsbeginsel) adalah pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret (hukum positif) dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret[2].

Didalam Hukum Tanah Melayu Jambi dikenal asas-asas Hukum Tanah Melayu Jambi. Asas-asas ini  diatur didalam UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) dan  ditemukan baik didalam melihat seloko yang mengatur tentang Hukum Tanah Melayu Jambi maupun dalam praktek-praktek yang dilakukan.
Asas Pengakuan Hak

Asas ini mengakui terhadap hak komunal yang didapatkan melalui prosesi hukum Tanah Melayu Jambi. Didalam Pasal 3 UUPA disebutkan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Asas ini berangkat dari penghormatan prosesi mendapatkan tanah dan penanda tanah.

Prosesi mendapatkan tanah dikenal “pamit ke penghulu. Prosesi dikenal seperti Setawar dingin[3] seperti “rembug”, “nasi putih air jernih”,  “betahun bersamo, Rapat kenduri, Melambas, Belukar tuo, Empang krenggong, Nasi putih air jernih, Kelapp Sekok, Selemak Semanis, “harta berat ditinggal, harta ringan dibawa. Selain penanda tanah seperti “takuk pohon”,  “tuki”, “sak Sangkut” , “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”. Ada juga menyebutkan “Lambas”,  Lambas berbanjar didaerah ulu Batanghari.

Di Marga Batang Asai Tengah dikenal pegang pakai[4].   Di Desa Paniban Baru[5] dikenal tatacara membuka hutan yang dimulai dari “Betaun bersamo, Rapat kenduri, melambas, Nasi putih Air jernih, Kelapa sekok, selemak semanis.  Di Marga Serampas dikenal tanah ajun dan tanah arah[6]
Bagi masyarakat desa Renah Pelaan (Merangin), untuk membuka lahan pertanian baru, biasanya mereka meminta izin terlebih dahulu yang dikenal “puji perago”[7].   Di Marga Sumay[8] dikenal “Maro ladang/Maro Banjara”, “Behumo rimbo”, “behumo Ronah”. Prosesi yang dijalani berupa “lambas”, sak sangkut”, “Banjar bertindih galang”, “Bidang’, “pemarasan hutan”, “ Manugal-beselang”, Menanami”, “nyisip”, dan “beumo”.

Di Marga Batin II Ulu,  Masyarakat menyebutkan istilah “kebun” untuk tanah yang sudah dibuka dan ditanami. Utamanya karet. Sedangkan terhadap tanah yang telah dibuka namun belum ditanami dikenal dengan istilah “sesap” atau “belukar”[9]. Di Marga Pelepat dikenal membuka hutan yang disebutkan didalam “mati tanah. buat tanaman”[10]. Di Desa Baru Pelepat, Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau dikenal “tando kayu batakuk lopang, tando kulik kaliki aka”, “harus sompak, kompak, setumpak”, “umpang boleh disisip”, “bak napuh diujung tanjung, ilang sikuk baganti sikuk, lapuk ali baganti ali”,  “lapuk pua jalipung tumbuh”, “kadarek babungo kayu, kayak babungo pasir”, “tanah lombang, umput layu”[11]. Di Marga Pemayung Ilir terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman”[12].

Didaerah hilir  seperti Di Desa Sungai Bungur[13], Desa Sponjen[14], Desa Sogo[15], Desa Sungai Beras[16]dikenal istilah “pancung alas”. Pancung alas” atau dengan penamaan lain adalah  setiap kepala keluarga yang hendak membuka hutan harus seizin dari Kepala Desa.

Diluar dari prosesi diatas maka dikenal beumo jauh betalang suluk, beadat dewek pusako mencil”. Terhadap kesalahan kemudian dijatuhi sanksi. Sedangkan apabila dijatuhi sanksi namun tidak dipatuhi dikenal “Plali”. Ditandai dengan Seloko ”Bapak pado harimau, Berinduk pada gajah, Berkambing pada kijang, Berayam pada kuawo.

Selain itu pengakuan hak dikenal “empang krenggo”, “mengepang”,”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat tanaman”. Atau sejarah pembukaan lahan yang umumnya diketahui oleh masyarakat (cencang latih) dan jambu keloko (tanaman yang ada dilahan tersebut) atau bedah nang berantai (saluran air persawahan) merupakan bukti legalitas klaim[17]. Selain itu juga dikenal Dendang kayu betakuk baris. Kayu belepang, takuk kayu,  atau Dendang hutan besawa sulo.
Di Marga Pemayung Ilir terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman

Di daerah hilir dikenal “Larangan krenggo”,  “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” maka Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami dan tidak dirawat maka akan dijatuhi sanksi adat. Bahkan hak milik terhadap tanah kemudian hapus.

Asas Tanah Terlantar

Apabila tanah yang kemudian tidak dirawat maka dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar. Kategori tanah terlantar kemudian dikenal seperti (1) Apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifatnya. (2).Apabila tanah tersebut tidak dipergunakan  sesuai  dengan tujuan pemberian haknya. (3) Tanah tersebut tidak dipelihara dengan baik. (Pasal 3 dan pasal 4 PP No. 36 Tahun 1998 junto PP No. 11 Tahun 2010).

Dengan demikian apabila tanah kemudian tidak dirawat maka terhadap tanahnya menjadi hilang. Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah Seloko yang menunjukkan tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun. Dan kemudian harus dirawat.

Di Marga Tenang dikenal “sesap rendah jerami tinggi”. Sedangkan di Marga Sumay dikenal  “sesap rendah tunggul pemarasan”. Di Marga Pratin Tuo dikenal istilah “perimbun[18]. Di Marga Pelepat dikenal istilah “Mati tanah. Buat tanaman”.  Di Marga Batang Asai Tengah dikenal “umbo rimbo”, “umo belukar tuo”, “uma belukar mudo dan “umo sesap.
Mahkamah Agung berdasarkan Yurisprudensi No. 329 K/Sip/1957 tanggal 24 September 1958 kemudian menyebutkan “di Tapanuli Selatan apabila sebidang tanah yang diperoleh secara merimba, maka hak atas tanah dapat dianggap dilepaskan dan tanah itu oleh Kepala Persekutuan kampong dapat diberikan kepada orang lain.

Begitu juga Yurusprudensi Mahkamah Agung Nomor 59 K/Sip/1958 tanggal 7 Februari 1959 kemudian menyebutkan “menurut adat Karo sebidang tanah “kesian” yaitu sebidang tanah kosong yang letaknya dalam kampong bisa menjadi hak milik perseorangan setelah tanah itu diusahai secara intensif oleh seorang penduduk kampong itu.

Putusan Mahkamah Agung No. 1192 K/Sip/1973 Tanggal 27 Maret 1975 menyebutkan “Menurut peraturan adat setempat, hak semula dari seseorang atas tanah usahanya gugur apabiia ia telah cukup lama belum/tidak mengerjakan lagi tanahnya, kemudian ia diberi teguran oleh Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung untuk mengerjakannya, tetapi teguran itu tidak diindahkannya; dalam hal ini bolehlah tanah itu oleh Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung diberikan kepada orang lain yang memerlukannya.

Putusan Mahkamah Agung No. 590 K/Sip/1974 tanggal 3 Desember 1975 menyebutkan “Menurut hukum, baik hukum adat maupun ketentuan-ketentuan U.U.P.A. tahun 1960 hapusnya hak atas tanah adalah antara lain karena diterlantarkan.
Asas Landreform

Asas Landreform dapat ditemukan didalam pasal 7, pasal 10 UUPA. Pada prinsipnya, kepemilikan dan penguasaan tanah tidak boleh melampaui batas.

Pengaturan terhadap kepemilikan dan penguasaan tanah dapat dilihat baik yang berhak memiliki tanah maupun luasnya.

Di Marga Batin pengambang, Luas tanah yang diberikan 2 hektar. Tanah harus ditanami. Selama 4 tahun tidak dibenarkan membuka rimbo.

Selain itu dikenal prosesi nasi putih. Air Jernih. Pemberian tanah kepada masyarakat yang berasal dari luar desa kemudian bermukim didesa. Seluas 2 hektar. Model yang lain adalah pemberian dari nenek mamak desa sesudah pernikahan yang disebut rimbo along kumpalan paku[19].

Di Marga Batang Asai Tengah[20], tanah didapatkan yang dikenal Membuka hutan atau rimbo atau tanah untuk Pertanian sawah yang dikenal Umo dan Talang. Prosesi yang dilalui seperti Betaun bersamo[21], Rapat Kenduri[22], Melambas[23], Lemah Paradun[24]. Masing-masing mendapatkan 2 hektar.

Di Marga Simpang Tigo Pauh dikenal Seloko “Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimano tamilang dicacak disitu tanaman tumbuh[25]. Luasnya sesuai untuk kebutuhan membuat rumah dan membuka lahan untuk berkebun[26]

Di Marga Air Hitam dikenal “tanah bejenang”. Tanah diberikan untuk kebutuhan rumah dan “umo” [27].

Di Marga Sungai Tenang dikenal berbagai model pengelolaan. Di Desa Tanjung Mudo[28], Prosesi dimulai dari “Alam sekato Rajo, Negeri sekato batin”, dibuka berkelompok, Setiap Kepala Keluarga hanya boleh membuka 1 ha.  Selain itu dikenal “sepenegak rumah’. Dimana luas tanah yang dberikan untuk perumahan[29].

Di Marga Sumay setelah prosesi Maro Ladang/Maro Banjar, “Behumo rimbo”, “behumo Ronah” Ditentukan setiap orang mendapatkan 2 hektar.Sempadan tanah (setelah ditentukan dibuat batas ladang[30].

Di Desa Rantau Bedaro terdapat 15 Hektar dan yang berhak menanam di lahan tersebut adalah keturunan nenek 4, yaitu kalbu Rendah, kalbu Solok, kalbu Cabul dan kalbu Talang, yang kesemuanya sudah dibedakan lokasi masing-masing. Kalbu Rendah sebelah ilir, kalbu solok sebelah tengah, kalbu cabul sebelah atas dan kalbu talang sebelah atas juga[31].

Di Lubuk Mandarsyah setiap keluarga diberikan dengan membuka lebar 25 meter dan panjang 100 meter atau istilah dikampung dinamakan dengan “tapak”[32]. Sedangkan di Marga Kumpeh Ilir dikenal dengan istilah “Bidang” setelah melalui prosesi “Pancung alas”. 30 depo kali 50 depo.

Marga Jebus di Desa Rukam dikenal “jejawi berbaris dan tali gawe’.  Di Marga Berbak dikenal “umo Genah’.
Asas Terang dan Tunai

Asas terang dan tunai dapat dilihat didalam berbagai ketentuan. Pasal 1868, Pasal 1870 dan pasal 1873 KUHPer (kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW). Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 kemudian menegaskan.

Yurisprudensi Mahkamah Agung kemudian menyebutkan asas Terang dan tunai Sifat terang atau riil artinya jual beli tersebut dilakukan dihadapan Pejabat Umum yang berwenang dengan dibuatkan akta jual beli yang ditandatangani penjual dan pembeli. Tunai artinya harga jual belinya dan penyerahan obyek langsung atau serentak dilakukan pada waktu bersamaan (lunas/kontan) (Putusan M.A Nomor 271/K/Sip/1956 dan Putusan M.A Nomor 840/K/ Sip/1971).

Sedangkan asas Terang karena dilakukan dihadapan kepala adat, agar diketahui oleh umum.

Dalam hukum adat Melayu Jambi maka setiap prosesi terhadap pemindahan hak terhadap tanah dihadapan Pemangku adat. Dengan pemangku adat maka terhadap tanah dapat ditentukan. Apakah dapat beralih atau tidak.

Terhadap hak atas tanah dimana salah satu warganya kemudian meninggalkan Desa, maka tanah kembali ke penghulu. Sesuai dengan Seloko “Harta berat ditinggal. Harta ringan dibawa. Seloko ini mirip prinsip “siliah jariah” sesuai dengan Tembo di Minangkabau kabau pai. Kubangan tinggal”.

Asas Ius Curia Novit

Asas ini menyebutkan dimana hakim  selalu dianggap tahu hukumnya. Dalam seloko Jambi, pemangku adat diibaratkan “Tempat orang bertanyo. Tempat orang bercerito”.

“Seorang pemimpin “didahulukan selangkah”. Dilebihkan sekata'. Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek. Kata-kata “Yang memakan habis, memancung putus” dimaknai sebagai “kata-kata pemimpin didalam mengambil keputusan dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya. Kata-katanya didengar dan merupakan solusi yang disampaikannya.

Pemangku adat adalah tempat “Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah.

Fungsi Pemangku adat (volksrechter) didalam menyelesaikan perselisihan tanah Melayu Jambi dilakukan secara berjenjang yang ditandai dengan “jenjang adat”. Betangkap naik. Bertangga turun.
II.              PERKEMBANGAN HUKUM TANAH MELAYU JAMBI

Penghormatan dan pengakuan yang mengatur hukum tanah kemudian diatur didalam hutan adat atau hutan Desa kemudian sudah tersebar diberbagai peraturan. Baik yang termaktub dalam bentuk hutan adat, hutan desa maupun pengukuhan oleh negara.

Tahun 2016, Presiden Jokowi kemudian menganugerahkan hutan adat yaitu : (1) Hutan Adat Desa Rantau Kermas (130 Ha) Kabupaten Merangin Provinsi Jambi (MHA Marga Serampas), (2). Hutan Adat Ammatoa Kajang (313 Ha) Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan (MHA Ammatoa Kajang), (3). Hutan Adat Wana Posangke (6.212 Ha) Kabupaten Morowali Utara Provinsi Sulawesi Tengah (MHA Lipu Wana Posangke), (4) Hutan Adat Kasepuhan Karang (486 Ha) Kabupaten Lebak Provinsi Banten (MHA Kasepuhan Karang), (5). Hutan Adat Bukit Sembahyang (39 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Air Terjun), (6). Hutan Adat Bukit Tinggi (41 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Sungai Deras), (7). Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam (252 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Tigo Luhah Permenti), (8). Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan (452 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Tigo Luhah Kemantan) dan (9). Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta (5.172 Ha) Kabupaten Humbang Hasudutan Provinsi Sumatera Utara (MHA Pandumaan Sipituhuta).

Hutan Adat Rantau Kermas telah diatur didalam Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Marga Serampas. Kemudian dikukuhkan SK Menterie Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6745/Menlhk-PSKL/KUM.1/2016 Tentang Penetapan Hutan Adat Marga Serampas seluas 24 hektar Di Desa Rantau Kermas Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin Provinsi Jambi tanggal 26 Desember 2016.

Sedangkan tahun 2017 hutan adat yang diberikan oleh Presiden Jokowi yaitu (1) Hutan Adat Marena (Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah) seluas 1.161 hektare, (2) Hutan Adat Tapang Semadak, (Sekadau, Kalimantan Barat) seluas 41 hektare, (3) Hutan Adat untuk Dua komunitas di Desa Batu Kerbau (Bungo, Jambi) masing-masing 323 dan 326 hektare, (4) Hutan Adat Senamat Ulu (Bungo, Jambi) 223 hektare, (5) Hutan Adat Baru Pelepat, (Bungo, Jambi) seluas 1.066 hektare, (6) Hutan Adat Juaq Asa, (Kutai Barat, Kalimantan Timur) seluas 49 hektare, (7) Hutan Adat Ngaol, Merangin, (Jambi) 278 hektare, (8)Hutan Adat Merangin, Merangin, (Jambi) luas 525 hektare.

Di Kerinci terdapat Hutan Adat sesuai SK Bupati Kerinci No. 226 Tahun 1993 Tentang Nenek Limo Hiang Tinggi Nenek Empat Betung Kuning Muara Air Dua,  Hutan Adat sesuai SK Bupati Kerinci No. 176 Tahun 1992 Tentang Hutan Temedak, Desa Keluru, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci dan Hutan Adat sesuai SK Bupati Kerinci No. 96 Tahun 1994 Desa Lempur Mudik, Desa Lempur Hilir, Desa Dusun Baru Kelurahan Tengah, Gunung Raya, Kabupaten Kerinci. Belum lagi hutan adat yang berada di 24 Desa sekitar TNKS.

Di Kabupaten Sarolangun Bangko, Kabupaten sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin,   telah lahir Surat Keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko No. 225 Tahun 1993 tentang Penetapan Lokasi Hutan Adat Desa Pangkalan Jambu.  Kabupaten Merangin kemudian juga telah menghasilkan SK Bupati Merangin No. 95 Tahun 2002 tentang pengukuhan Hutan Adat Rimbo penghulu Depati, SK Bupayi Merangin No. 287 Tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai hutan adat Desa Guguk kec. Sungai Manau, SK Bupati Merangin No. 95 Tahun 2002 Tentang Pengukuhan hutan adat Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo Desa Pulau tengah Kec. Jangkat.
Sementara itu Sarolangun sendiri sudah menetapkan, kawasan tersebut tercatat adat sebelas hutan adat yang sudah diakui pemerintah, yakni hutan adatPengulu Laleh (128 ha), hutan adat Rio Peniti (313 ha), hutan adat Pengulu Patwa (295 ha), hutan adat Pengulu Sati (100 ha), hutan adatRimbo Larangan (18 ha), hutan adat Bhatin Batuah (98 ha),  hutan adat Paduka Rajo (80 ha), hutan adat Datuk Menti Sati (78 ha), hutan adatDatuk Menti (48 ha), hutan adat Imbo Pseko (140 ha), dan hutan ada tImbo Lembago (70 ha). Belum lagi SK BUPATI Sarolangun Nomor 206 Tahun 2010 Tentang Pengukuhan Kawasan Hutan Adat Bukit Bulan “Batin Jo Penghulu  Hutan Adat Bukit Bulan Batin Jo Panghuku seluas 1.368 ha meliputi 5 Desa.  Dan Peraturan Desa Napal Melintang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Adat. Hutan adat yang mengatur di Desa Napal Melintang seluas 210 Ha yang terdiri dari  Hutan Adat Imbo Pseko terletak di Dusun Napal Melitang dengan luas 140 Ha dan Hutan Adat Imbo Lembago terletak di Dusun Napal Melintang dengan luas 70 Ha.

Selain itu juga dikenal SK BUPATI Sarolangun Nomor 206 Tahun 2010Tentang Pengukuhan Kawasan Hutan Adat Bukit Bulan “Batin Jo Penghulu, Hutan Adat Bukit Bulan Batin Jo Panghuku seluas 1.368 ha meliputi 5 DesaLubuk Bedorong (441 ha), ang terdiri dari Hutan Adat Rio Peniti di Dusun Lubuk Bedorong seluas 313 ha, Hutan adat Pengulu Lareh di Dusun Temalang 128 ha.

Di samping itu terdapat kebijakan yang mengatur kepentingan masyarakat hukum adat di Jambi seperti Perda Kab. Merangin No. 22 tahun 2002 tentang pengurusan hutan dan retribusi hasil hutan yang dalam beberapa pasalnya mengatur mengenai hutan adat, Perda Kab. Bungo No. 9 Tahun 2007 tentang Penyebutan kepala Desa menjadi Rio, Desa menjadi Dusun dan Dusun menjadi kampung yang memberlakukan sistem pemerintahan lokal berdasarkan budaya setempat. Perda Kabupaten Bungo No 30 tahun 2000. Dan SK Bupati Merangin Nomor 287 Tahun 2013 Tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang Sebagai hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin.

Di Kabupaten Bungo telah lahir Perda Kab. Bungo No. 3 Tahun 2006 tentang masyarakat hukum Adat Datuk Sinaro Putih. Dan SK Bupati Bungo No. 1249 tahun 2002 tentang pengukuhan Hutan adat Desa batu kerbau Kec. Pelepat.

Di Batu Kerbau dikenal Hutan lindung batu Kerbau 776 ha, Hutan lindung Belukar Panjang 361 ha, Hutan Adat Batu Kerbau 330 ha, Hutan Adat Belukar Panjang 472 ha, Hutan Adat Lubuk Tebat 360 ha sebagai kawasan yang dilindungi.

Selain itu dikenal berbagai Peraturan Desa. Seperti Peraturan Desa Tanjung Mudo No 7 Tahun 2011 Tentang Piagam Rio Pengangun Jago Bayo, Peraturan Desa No  Tahun 2014 Tentang Keputusan Depati Suko Derajo, Peraturan Desa Tanjung Benuang Nomor 9 Tahun 2011 Keputusan Depati Suko Menggalo,  Peraturan Desa Tanjung Alam  No. 3 Tahun 2011 Tentang  Piagam Depati Duo Menggalo, Peraturan Desa Durian Rambun Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Kelembagaan dan Pengelolaan Hutan Desa Rio Kemunyang Desa Durian Rambun.

Di Marga Sumay dikenal Peraturan Desa Pemayungan Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Keputusan Adat Keturunan Datuk Domang Muncak Komarhusin.
           
Di daerah hilir dikenal Peraturan Desa Sungai Bungur No 2 Tahun 2018 Tentang Piagam Tumenggung Bujang Pejantan, Peraturan Desa Sponjen Nomor 10/SPJ/1/2018 Tentang Buyut Dayut.            
           
Selain itu juga terdapat 17 hutan desa di Kabupaten Merangin (1) Desa Talang Tembago  Nomor SK 126/Menhut-II/2011 Tanggal 21 Maret 2011 seluas 2.707 ha, (2) Desa Pematang Pauh Nomor SK 440/Menhut-II/2011 Tanggal 1 Agustus 2011 seluas 2.957 ha, (3) Desa Koto Baru Nomor SK 443/Menhut-II/2011 tanggal 1 Agustus 2011 Seluas 762 ha, (4) Desa Gedang Nomor SK 442/Menhut-II/2011 Tanggal 1 Agustus 20111 seluas 1.766 ha, (5) Desa Jangkat Nomor SK 125/Menhut-II/2011 Tanggal 21 Maret 2011 seluas 4.467 ha, (6) Desa Beringin Tinggi Nomor SK 445/Menhut-II?2011 Tangga 21 Maret 2011 seluas 2.038 ha, (7) Desa Tanjung Mudo Nomor SK 444/Menhut-II/2011 tanggal 1 Agustus 2011 seluas 1.058 ha, (8) Desa Tanjung Alam Nomor SK 42/Menhut-II/2011 Tanggal 17 Februari 2011 seluas 912 ha, (9) Desa Tanjung Benuang Nomor SK 441/Menhut-II/2011 tanggal 1 Agustus 2011 seluas 1.245 ha, (10) Desa Muara Madras Nomor SK 439/Menhut-II/2011 tanggal 1 Agustus 2011 seluas 5.330 ha, (11) Desa Tanjung Dalam Nomor SK 437/Menhut-II/2011 Tanggal 1 Agustus 2011 seluas 2.160 ha, (12) Desa Tuo Nomor SK 438/Menhut-II/2011 Tanggal 1 Agustus 2011 seluas 2.235 ha, (13) Desa Koto Rami Nomor SK 436/Menhut-II/2011 Tanggal 1 Agustus 2011 seluas, 1.855 ha, (14) Desa Lubuk Beringin Nomor SK 128/Menhut-II/2011 Tanggal 21 Maret 2011 seluas 2.712 ha, (15) Desa Lubuk Birah Nomor  SK 359/Menhut-II/2011 Tanggal 7 Juli 2011 seluas 4.638 ha, (16) Desa Durian Rambun Nomor SK 361/Menhut-II/2011 Tanggal 7 Juli 2011 seluas 4.484 ha, (17) Desa Birun Nomor SK 127/Menhut-II/2011 tanggal 21 Maret 2011 seluas 2.788 ha.

Hutan Desa Lubuk Beringin kemudian diatur lebih lanjut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6566//MENLHK/PSKL/PSL.0/12/2017 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa Kepada Lembaga Hutan Desa Lubuk Beringin Seluas 2.712 ha 638 ha pada Kawasan Hutan Produksi Tetap di Desa Lubuk Beringin kecamatan Muara Siau Kabupaten Merangin Provinsi Jambi tanggal 4 Desember 2017

Hutan Desa Lubuk Birah kemudian diatur lebih lanjut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK 6575/MENLHK/PSKL/PSL.0/12/2017 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa Kepada Lembaga Hutan Desa Lubuk Birah seluas 4.638 ha pada Kawasan Hutan Produksi Tetap di Desa Lubuk Birah kecamatan Muara Siau Kabupaten Merangin Provinsi Jambi tanggal 4 Desember 2017

Hutan Desa Birun berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK/6574/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2017 Tanggal 4 Desember 2017.

III.            HUKUM TANAH DALAM YURISPRUDENSI

Dalam pembahasan ini dilihat bagaimana Hukum tanah dalam praktek peradilan.
Sebelumnya dalam konflik di PT. WKS dengan masyarakat dusun Bukit Rinting mengakibatkan tewasnya Indra Pelani. Indra Pelani tewas tanggal 27 Februari 2015 di Lubuk Mandarsyah, Tebo Tengah Ilir, Tebo.

Namun perusahaan “dianggap” bertanggungjawab'. Perusahaan sebagai “induk semang” harus menjaga “anak asuhnya”. Kesalahan anak asuh merupakan tanggungjawab “induk semang”.

Kedudukan “induk semang” adalah sebagai “tuo tengganai” dari anak kemenakan. Kesalahan “anak kemenakan” kemudian harus diselesaikan oleh “tuo tengganai”. Kesalahan harus dipertanggungjawabkan baik melalui hukum adat maupun sosial.

Di Tebo, Negeri “seentak galah serengkuh dayung”, dalam “Anak Undang Nan Dua Belas”, “peristiwa pembunuhan” pelanggaran ini dikenal dengna istilah “luka lakih di pampas. Mati dibangun”. Luka lukih di pampas adalah orang yang melukai badan orang lain dihukum membayar pampas. Terhadap luka dilihat “Luka rendah pampasnya sekor ayam, segantang beras, kelapo betali”. Luka tinggi pampasnya seekor kambing, 20 gantang beras.Luka parah pampasnya se lengan separuh bangun”.

Sedangkan “Mati di bangun” adalah membunuh orang lain di hukum membayar bangun berupa satu ekor  kerbau, seratus gantang beras, sekayu kain putih.

Prosesinya dimulai dari Pihak “tuo tengganai” kemudian mendatangi lembaga adat untuk menyampaikan “habibul hajat (maksud dari pengundang) meminta maaf kepada keluarga korban dan masyarakat yang terganggu dengan “kesalahan dari anak kemenakan”.

Setelah mendengarkan “habibul hajat (maksud dari pengundang), lembaga adat kemudian menerima permohonan maaf dari “tuo tengganai” anak kemenakan yang bersalah.

Lembaga adat kemudian menetapkan sanksi adat berupa “kerbo sekok, serba seratus”. (Kerbau satu ekor, 1 keris, 100 gantang beras, seratus kain, selemak semanis)

Kemudian ditanyakan kepada “tuo tengganai” apakah mampu membayar sanksi adat. Setelah “tuo tengganai” menyatakan mampu untuk membayar sanksi adat, maka sanksi adat kemudian “diserahkan” kepada lembaga adat. Lembaga adat kemudian menerima dan menyampaikan kepada “orang rame”, sanksi adat telah dijatuhkan. Dan “tuo tengganai telah mampu membayar sanksi adat”.

Pemberian “sanksi adat” dan dipenuhinya sanksi adat merupakan peristiwa penting. Dalam hukum adat, sanksi adat merupakan manifestasi dari “penyelesaian rasa aman yang terganggu dengan peristiwa pembunuhan”. Dalam sistem hukum adat, rasa aman merupakan bentuk dasar untuk menghilangkan rasa “syak wasangka” dan menghilangkan dari niat buruk dari siapapun yang mengganggu masyarakat.

Hukum adat merupakan katup sengketa diluar hukum dan merupakan bentuk kontrol terhadap setiap perbuatan manusia agar tertib. Dengan adanya hukum adat maka keadilan telah tercapai. Hukum harus memenuhi unsur keadilan. Tidak semata-mata “kepastian hukum yang menciptakan ketertiban hukum atau ketertiban sosial (law and order/social order)”. Namun juga harus mencapai “ketentraman”.

Hukum adat mengikat baik kepada masyarakat adat itu sendiri maupun para pendatang yang berkegiatan, tinggal dan hidup di tengah masyarakat. Seloko “datang nampak muko, pegi nampak punggung” merupakan filosofi penghormatan terhadap tatacara “izin kepada” Petuah adat. Seloko ini masih dihormati.

Begitu juga terhadap sanksi adat yang telah dijatuhkan. Prosesi ini kemudian harus dihormati.

Sanksi adat yang telah dijatuhkan namun tidak dilaksanakan, maka “Bebapak pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo. Secara harfiah, orang ini kemudian dikenal sebagai “orang buangan'. “Sakit tidak diurus. Mati tidak dikuburkan”. Hidupnya menjadi tidak dihormati orang kampung.

Upacara adat merupakan akumulasi dari penghormatan hokum adat. Di tengah hokum nasional yang bercirikan “positivism”, hokum adat mengutamakan keadilan substansi. Keadilan yang mementingkan “rasa aman”, rasa tentram dari masyarakat.

Upacara adat merupakan vs to vs dari hokum nasional. Hukum adat merupakan bentuk penggalian dari nilai-nilai hokum yang masih dihormati. Hukum adat dianggap sebagai lembaga effektif yang mengutamakan penyelesaian kedua belah pihak (pelaku dan korban). Hukum adat menitikberatkan kedua belah pihak secara seimbang sehingga tercapai bandul keadilan kedua belah pihak.

Hukum adat mengutamakan keselarasan, menghilangkan kesalahan, menghapuskan dendam, menghapuskan kenangan buruk peristiwa yang lalu. Menghapuskan trauma dan “kekagetan” atau kemarahan dari peristitwa yang terjadi.

Dengan upacara adat maka hokum ditempatkan sebagai “tempat menyelesaikan masalah”. Tempat “betanyo, Tempat suluh di kegelapan. Tempat keadilan ditimbang dan diberlakukan.

Upacara adat merupakan proses akulturasi dan daya lenting dan identitas masyarakat di tengah perubahan. Dengan upacara adat, maka identitas dan pengakuan akan komunitas (society) merupakan sebuah siklus dari daya bertahan masyarakat dari gempuran berbagai norma-norma hokum nasional.

Upacara adat merupakan bentuk dan bagian dari ikrar keberadaan masyarakat (ubi societies ibi ius). Dengan ikrar dan daya tahan masyarakat, maka komunitas merupakan sistem social yang masih bertahan[33].
Secara terpisah, Mahkamah Konstitusi telah mengutip “Didalam seloko adat, istilah “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang” cukup menarik untuk dibahas

Pertimbangan ini menarik penulis untuk mencari benang merah melihat pandangan MK mengenai Perpu No. 1 tahun 2013.

Didalam seloko adat, istilah “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang” cukup serius.

Pandangan MK mengenai Perpu No. 1 Tahun 2013 dengan memberikan perumpamaan dengan seloko adat ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”, memang terasa menyakitkan.

Dalam istilah lain, seloko ini biasa juga dikenal dengan istilah “Bapak pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo.

Menggunakan istilah itu apabila hukuman adat telah dijatuhkan, namun yang bersangkutan tidak mau melaksanakan putusan hukum adat. Sebagian juga memberikan hukuman plali (di sebagian masyarakat Luak XVI di Bangko). Sedangkan di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, mereka menyebutkan “orang buangan”.

Bapak pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo adalah gambaran orang yang tidak perlu diurus lagi dalam pergaulan sosial di suatu kaum. Mereka kemudian tidak perlu diurus termasuk ada acara selamatan di kampung, sakit tidak tengok, mati tidak dikuburkan.

Begitu beratnya hukum plali sehingga Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo, menggambarkan orang yang tidak mempunyai keluarga lagi, tidak mempunyai indung semang, tidak mempunyai ninik mamak.

Dengan pesan yang tegas, MK memberikan perumpamaan dengan seloko itu menggambarkan, Perpu No. 1 Tahun 2013 adalah “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”.

Apakah MK kemudian menganggap Perpu No. 1 Tahun 2013 merupakan “bentuk kurang ajar” dari pihak eksekutif sehingga Perpu No. 1 Tahun 2013 kemudian dipandang sebagai “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang” ?

Dengan melihat makna “harfiah” dari kata-kata pepatah adat ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang, walaupun tidak tepat, penulis bisa memahami “kemarahan” MK terhadap Perpu No. 1 Tahun 2013.


Memberikan perumpamaan Perpu No. 1 Tahun 2013 dengan ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang” adalah bentuk dahsyat dari MK. MK kemudian dapat dilihat sebagai bentuk “kemarahan” yang luar biasa.

Namun dalam pertimbangan MK mengibaratkan Perpu No. 1 Tahun 2013 kurang tepat apabila disepadankan dengan “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”.

Apakah MK mengetahui makna “tersurat” dari seloko ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang ?

Surat Pegangan Andil

SURAT PEGANGAN ANDIL, tertanggal 20 (dua puluh) bulan Rajab tahun 1345 (seribu tiga ratus empat puluh lima) hijriah berbetulan pada tanggal 23 (dua puluh tiga) Januari 1927 (seribu sembilan ratus dua puluh tujuh) dalam bahasa arab yang telah diterjemahkan oleh Tuan Doktorandus THOHRI YASIN, Sekretaris/Panitera Pengadilan Agama Sengeti tertanggal dua puluh tiga Juni dua ribu tiga (23-06-2003).

Surat ini menyatakan Menyatakan sebidang tanah seluas 56.000 m2 yang berasal dan warisan yang menunjukkan terletak dan luasnya[34].

Surat Kupon Merek TE No. 44

Di Sarolangun dikenal Surat Tua Tahun 10 Sakwal (syawal) 1341 Hijriah[35].   Dalam perkembangannya kemudian dikenal Surat keterangah Tanah (SKT)[36].

Tanaman Tumbuh

Di Desa Sinar Wajo, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Juraid dan Deni Ruli Pane pada tanggal 12 Februari 2012 dilaporkan PT. WKS ke pihak Polres Muara Sabak dengan tuduhan membuka kawasan hutan yang termasuk kedalam konsensi PT. WKS. Lahan yang digarap merupakan kawasan hutan produksi di Jalan 220 Dusun Kalimantan. Tuduhannya melanggar pasal 50 ayat (3) huruf a UU Kehutanan.

Juraid dan Deni Ruli Pane kemudian disidangkan di Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur. Jaksa kemudian menuntut 10 bulan penjara.

Di Pengadilan Negeri Tanjung Timur, Deni Ruli Pane membuktikan menduduki areal seluas 4 hektar setelah pemberian orang tuanya sejak 1982. Tanah yang dikuasai kemudian ditanami pohon rambutan dan jengkol. Selain itu juga adanya surat keterangan serta sporadic.

Didalam pertimbangannya, Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur menyatakan hak kepemilikan terhadap Deni Ruli Pane dapat dibuktikan. Sehingga berdasarkan SK Menteri Kehutanan izin PT. WKS di dalam butir keempat ayat (1) ditegaskan, apabila di dalam areal HPHTI terdapat lahan yang menjadi hak milik, perkampungan, tegalan, persawahan, yang telah diduduki pihak ketiga, maka lahan tersebut tidak termasuk dan dikeluarkan dari areal kerja. Selain itu, penyelesaiannya dengan pihak-pihak yang bersangkutan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Bukti tanaman “pohon rambutan dan jengkol” adalah pengetahuan masyarakat yang dikenal sebagai “tanaman tumbuh’. Tanaman tumbuh membuktikan terhadap kepemilikan yang melekat kepada pemilik tanah. Tanaman seperti rambutan dan jengkol dikenal sebagai tanaman tua (tanaman tuo). Dengan bukti ini maka kepemilikan tidak menjadi hilang.

Dengan demikian, maka Deni Ruli Pane dan Juraid dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onslaag van recht van velvoging) . Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur diperkuat di Mahkamah Agung berdasarkan putusannya Nomor 1779 K/PID.SUS/2013.

Putusan ini mengukuhkan dan memberikan pelajaran penting terhadap hukum di Indonesia. Izin tidak boleh mengalahkan hak. Sebab, merupakan azas yang berlaku di Indonesia, juga merupakan hak milik telah diatur di dalam konstitusi[37].

Asas Tunai, riil dan Terang

Sifat tunai artinya dalam jual beli hak atas tanah, harga yang disetujui bersama harus dianggap dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan. Jadi apabila pembayarannya belum lunas, maka sisanya dianggap utang. Akibatnya jika sisa tersebut tidak dibayar, maka tanahnya tidak bisa dikembalikan pada yang punya tanah dan sisa tersebut menjadi utang- piutang;

sifat riil, dalam jual beli hak atas tanah artinya dengan adanya perbuatan hukum pembayaran harga tersebut, sejak saat itu hak atas tanah langsung beralih;

Sifat terang, artinya tidak sembunyi sembunyi yaitu pemindahan hak itu harus dilakukan dihadapan Kepala Desa atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Meskipun demikian sifat terang tersebut bukanlah bersifat mutlak, tetapi merupakan sesuatu yang memudahkan pembuktian tentang jual beli yang bersangkutan adalah sah. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4/Sip/1958, tanggal 13 Desember 1958, yang pada pokoknya menyatakan bahwa ikutsertanya kepala desa dalam jual beli tanah bukanlah syarat mutlak dalam hukum adat, tetapi hanya suatu faktor yang meyakinkan bahwa jual beli yang bersangkutan adalah sah[38]. 

Di Bangko diketahui oleh Rip Pemuncak/Kepala Desa Muara Jernih Marga Batin V dulu Marga Tabir[39].

Ukuran tanah biasa dikenal Depa[40]. Di Sungai Penuh dikenal tanah kering (plak) dengan penghitungan tanah dengna ukuran Depo atau Depa[41]. Di Muara Bungo dikenal Bidang[42]. Di Muara Tebo dikenal Batas sepadan[43].

Di Muara Bungo dikenal mendapatkan tanah dengan cara “Membuka hutan[44] Yang kering ditanami karet dan yang lembab dijadikan sawah[45]. Demikian juga di Tebo[46].
Di Bangko dikenal cara mendapatkan tanah dengan “tebang tebas”[47]. 

Di Kerinci dikenal istilah tanah kering (plak)[48]. Di Sungai Tenang (Bangko) dikenal tanah ladang dan tanah Renah Sawah ( Payo Buku )[49]. Di Muara Bungo dikenal tanah rawa atau payau[50]. Di Jambi dikenal istilah  Kebun Parah[51]

Di  Desa Sepunggur, Kecamatan II Babeko, Bungo  dikenal Tanah Kas Desa (TKD)[52].

Istilah Pancung alas dapat ditemukan Di Jambi[53], Tanjung Jabung Timur[54] dan Tanjung Jabung Barat[55]. Istilah “pancung alas” mengandung arti. Di Jambi[56] Pancung alas kemudian memperoleh persetujuan/izin dari Demang[57]. Atau membuka hutan[58]. Di Pesisir Riau, pancung alas adalah sewa tanah[59]. Seperti di Bangkinang[60].

Sedangkan di Sumatera Selatan dikenal sebagai penebasan dan pembersihan hutan Ilir[61] seperti di Ogan Ilir[62], Sekayu[63], Kayu Agung[64]

Istilah “pancung alas” biasa dikenal dalam model mengenai  tanah. Arti Pancung yaitu “ujung atau penjuru”. Namun pancung kemudian diartikan sebagai memancung/me-man-cung/ menetak (memenggal) puncak (kepala dan sebagainya). Namun dalam istilah pancung kemudian diartikan “memotong hingga putus”. Sedangkan alas diartikan sebagai “dasar, fondasi” dari posisi rumah.

Dengan demikian, maka pancung diartikan sebagai “menandai pohon diujung sebagai batas tanah yang diberikan kepada masyarakat.

Pancung alas merupakan “tanda” terhadap pembukaan hutan untuk dijadikan kebun. Tanda berupa pohon yang dipotong/ditakuk sebagai ditandai menggunakan “kapak” sehingga disebut sebagai pancung.

Di daerah hulu Sungai Batanghari, istilah pembukaan tanah yang ditandai pohon sebagai batas tanah disebut dengan “takuk, sak sangkut, atau “lambas”.

Di daerah  Muara Sabak, istilah Pancung alas merupakan “tanda” izin kepada penghulu (Pemangku adat setingkat Kepala Desa atau pemangku adat) untuk memohon izin membuka hutan untuk dijadikan kebun.

Istilah “memancung putus” disimbolkan sebagai sifat pemimpin yang ditunjuk oleh masyarakat. Dalam maknanya “memancung putus”, sifat seorang pemimpin ketika menemui sebuah persoalan, maka setiap perkataan, ujarannya dapat menyelesaikan persoalan.

Setelah masing-masing ditandai dengan batas, maka antara batas tanah satu dengan batas tanah lain diberi luasan sekitar  1 meter sebagai tempat yang tidak ditanami. Di daerah Kumpeh Ilir biasa disebut dengan Mentaro

Namun berbeda di daerah hilir Kumpeh Ilir. Di Tanjung, Pancung alas merupakan “cukai” dari hasil yang dikeluarkan dari hilir Sungai Kumpeh. Definisi ini sesuai dengna “makna” “pancung sebagaimana disebutkan didalam Kamus Bahasa Indonesia. Hasil yang dikeluarkan dari Tanjung seperti hasil sungai seperti ikan, pasir kemudian dilelang. Pemenang dilelang diberikan kepada penawaran tertinggi. Pesirah kemudian dapat mengambil “cukai” dari hasil yang dikeluarkan. Sistemnya dikenal dengan “sepuluh duo”. Artinya. Setiap penghasilan dari obyek “cukai”, maka pesirah berhak mendapatkan 20 persen.

Penarikan “cukai” inilah yang biasa disebutkan dengan “pancung alas. Selain itu Pesirah juga berhak menarik “cukai pasar. Sistemnya sama. “sepuluh duo”.

Dengan demikian, istilah “pancung alas” dapat diartikan sebagai “izin kepada penghulu” untuk mendapatkan tanah. Sedangkan “pancung alas” bisa juga diartikan sebagai “cukai” pesirah untuk mendapatkan obyek pajak hasil pemenang dari hilir Sungai Kumpeh.

Terhadap tanah yang tidak dkuasai maka tanah dapat diambil alih oleh Pesirah/Kepala Marga dan didata ulang dan dibuatkan surat pancung alas bagi masyarakat yang membutuhkannya[65].                

Selain itu terhadap hak warisan, dan mengenai hak menggugat harta warisan menurut hukum adat, tidak mengenal batas jangka waktu serta tidak mengenal daluarsa[66].

Selain itu juga dikenal Seloko “SEPUCUK ADAT SERUMPUN PUSEKO, ADAT BERSANDI SYARA' SYARA' BERSANDI KIBULLAH.  Dimana apabila seorang perempuan ( istri ) yang keluar dari rumah tanpa diusir maka berlaku pepatah" AYAM BENCI DENGAN SANGKARNYA, KERBAU BENCI DENGAN KANDANNGNYA[67].

Berbagai forum dan mekanisme penyelesaian juga ditempuh sebelum digunakan jalur litigasi. Di Marga Sungai Tenang dikenal Lembaga Lit

Lembagai Lit adalah lembaga adat menyelesaikan kasus tanah. Dimulai berjenjang dari Dusun, Desa dan Kecamatan. Lembaga Lit adalah Lembaga Adat yang dikenal di Dusun Kampung Tengah[68],  Desa Rantau Suli[69] dan Kecamatan Sungai Tenang[70].

Di Sarolangun dikenal mekanisme penyelesaian bernama Keputusan Rapat Adat Melayu Jambi Kecamatan tentang Penyelesaian Silang Sangkito[71]. 





            [1] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal. 85
            [2] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1986, hal. 32.
            [3] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
            [4] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [5] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [6] Pasal 1 angka 25 Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang  Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Marga Serampas.
            [7] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal, Walhi, 2015
            [8] PERDES  NO   TAHUN 2012 KEPUTUSAN ADAT KETURUNAN DATUK DOMANG MUNCAK KOMARHUSIN
            [9] Rio Dusun Senamat Ulu, Lubuk Beringin, 2015
            [10] Zulkifli, Tokoh adat di Desa Senamat.
            [11] Pasal 33 Perda Kabupaten Bungo Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Senaro Putih
            [12] M. Yunus Kadir, Desa Lubuk Ruso, 21 Juli 2018
            [13] Perdes Sungai Bungur No 2 Tahun 2018 Tentang Piagam Tumenggung Bujang Pejantan
            [14]  PERATURAN DESA SEPONJEN No.  10 /SPJ/1/ 2018 TENTANG  BUYUT DAYUT
            [15] Desa Sogo, 4 Februari 2016
            [16] Desa Sungai Beras, 4 Februari 2018
            [17] Hal. 25
[18] Riset Walhi Jambi, 2013
            [19] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [20] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [21] Betaun bersamo. Waktu ditentukan. Yaitu habis lebaran haji atau habis lebaran besar
            [22] Rapat Kenduri. Diadakan didalam rapat kenduri yang akan membuka rimbo.
            [23] Melambas. Rimbo yang akan dibuka diberi tanda “kayu pengaikit. Kemudian ditanami seperti kleko, durian. Waktu melambas selama 3 bulan. Apabila selama 3 bulan tidak ditanami, maka tanah kembali ke desa
            [24] Lemah Paradun. Rimbo yang telah dibuka, ditanami tanaman mudo (padi dan sayur- sayuran) namun ternyata tidak lagi ditanami selama = 3 tahun, maka kembali ke Desa.
            [25] BUKU PERJUANGAN MASYARAKAT DESA KARANG MENDAPO DALAM UPAYA MENDAPATKAN HAK ATAS TANAH DAN KEBUN SAWIT, Walhi Jambi, 2009
[26] Yazin, Pauh, 6 Agustus 2016
            [27] Muktar, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, 24 Oktober 2017
            [28] PERATURAN DESA TANJUNG MUDO  NO. 7 TAHUN 2011  TENTANG  PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
            [29] RIset Walhi Jambi, 2010
            [30] PERDES  NO   TAHUN 2012 KEPUTUSAN ADAT KETURUNAN DATUK DOMANG MUNCAK KOMARHUSIN
            [31] Kusyari, kades Rantau Bedaro, Wawancara, 23 November 2015
,  Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal, Walhi, 2015
            [32] Dusun Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsyah, Tebo, 22 Agustus 2016
            [33] Musri Nauli, Makna Simbolik Upacara Adat di Lubuk Mandarsyah, harian Jambi Independent, 27 Mei 2015.
            [34] Putusan Pengadilan Negeri Jambi  No 01/Pdt.G/2012/PN.Jbi tertanggal 12 Juli 2012
            [35] Putusan Pengadilan Negeri Sarolangun Nomor  5/Pdt.G/2016/PN Srl. tanggal 18 Oktober 2016 dikuatkan di Pengadilan Tinggi Jambi Nomor 79/PDT/2016/PT.JMB tanggal 7 Februari 2017 dan ditingkat kasasi Nomor 1822 K/Pdt/2017 tanggal  9 Oktober 2017
            [36] Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur nomor 8/ Pdt.G/ 2017/ PN.Tjt 
tanggal 8 FEBRUARI 2018
[37] Rakyat vs Perusahaan, MA Menangkan Warga Dusun, Tribun Jambi, 25 Mei 2016
            [38] Putusan Pengadilan Negeri Muara Bungo Nomor 2/Pdt.G/2016/PN Mrb tertanggal 8 Juni 2016
            [39] Putusan Pengadilan Negeri Bangkon Nomor 17/Pdt.G/2017/PN Bko tanggal 7 Desember 2017
            [40] Putusan Mahkamah Agung Nomor 273 K/Pdt/2014 tanggal 17 Juli 2014
            [41] Pengadilan Negeri Sungai Penuh Nomor: 3/Pdt.G/2015/PN.SPn tertanggal 7 Juli 2015.
            [42] Pengadilan Negeri Muara Bungo 48 / Pdt.G / 2014 / PN.Mrb. 23 April 2015
            [43] Pengadilan Negeri Tebo 01/Pdt.G/2014/PN.Tebo
tanggal 8 Juli 2014
            [44] Putusan Kasasi Nomor 410 K/Pdt/2016 tanggal 5 Oktober 2016 Lihat juga Putusan Mahkamah Agung Nomor 2036 K/Pdt/2016 tanggal 6 Oktober 2016
            [45] Pengadilan Negeri Muara Bungo Nomor 6/Pdt.G/2015/PN Mrb tanggal 12 Agustus 2015
            [46] Pengadilan Negeri Tebo No . 10/Pdt.G/2009/PN. TEBO tanggal 25 Februari 2010 dan dikuat Putusan Banding pengadilan Tinggi Jambi Nomor 19/PDT/2010/PT.JBI tanggal 6 Juli 2010
            [47] Pengadilan Negeri Bangko  Nomor 08/Pdt.G/2009/PN.Bk tanggal 21 Januari 2010 “Bahwa tanah kebun tersebut didapat oleh penggugat secara sah menurut hukum yaitu dari tebang tebas hutan pada tahun 1973 hingga tahun 1974
            [48] Pengadilan Negeri Sungai Penuh Nomor: 3/Pdt.G/2015/PN.SPn tertanggal 7 Juli 2015. Para “Penggugat memiliki harta warisan peninggalan Moyang Para Penggugat, yaitu MAT KAYO, bahwa tanah tersebut berupa sebagian tanah sawah dan sebagian tanah kering (Plak) yang terletak di Desa Koto Tuo, Kecamatan Tanah Kampung, Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Dengan Ukuran Panjang ± 120 Depo dan Lebar ± 8 Depa”.
            [49] Pengadilan Negeri Bangko  Nomor 08/Pdt.G/2009/PN.Bk tanggal 21 Januari 2010
            [50] Pengadilan Negeri Muara Bungo Nomor 69/Pdt.G/2014/PN.Mrb tanggal 20 Januari 2015
            [51] Putusan Mahkamah Agung Nomor 273 K/Pdt/2014 tanggal 17 Juli 2014
            [52] Pengadilan Negeri Muara Bungo Nomor 20 /Pdt.G/2015/PN.Mrb tanggal 12 Mei 2016
            [53] Putusan Mahkamah Agung Nomor 273 K/Pdt/2014 tanggal 17 Juli 2014
            [54] Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur Nomor 01/Pdt.G/2014/PN.Tjt tanggal 14 Juli 2014. Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor 732/Pid.B/2015/PN.Jmb dikuat berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Jambi Nomor 17/Pid/2016/PT.JMB
            [55] Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor 06/Pdt.G/2013/PN.Ktl tanggal 26 September 2013
            [56] Putusan Mahkamah Agung Nomor 273 K/Pdt/2014 tanggal 17 Juli 2014
            [57] Putusan Mahkamah Agung Nomor 273 K/Pdt/2014 tanggal 17 Juli 2014
            [58] Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor 06/Pdt.G/2013/PN.Ktl tanggal 26 September 2013
            [59] Husni Thamrin, Zulfan Saam, ECO-RELIGIO-CULTURE SUATU ALTERNATIF PENGELOLAAN LINGKUNGAN, AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
            [60] Pengadilan Negeri Bangkinang Nomor 224/Pid.B/2015/PN Bkntanggal 27 AGUSTUS 2015
            [61] Pengadilan Negeri Palembang Nomor 98 / PID / 2012 / PT.PLG
tanggal 28 JUNI 2012
            [62] Pengadilan Negeri Palembang Nomor 98 / PID / 2012 / PT.PLG
tanggal 28 JUNI 2012
            [63] Putusan pengadilan Negeri Sekayu Nomor 30/Pdt.G/2012/PN.Sky tanggal 2 Juli 2013 dan  15/Pdt.G/2011/PN.Sky tanggal 02 JANUARI 2012
            [64] Pengadilan Tinggi Palembang Nomor 98 / PID / 2012 / PT.PLG 
tanggal 28 JUNI 2012
            [65] Putusan Mahkamah Agung Nomor Nomor 1250 K/Pdt/2014  tanggal 7 November 2014
            [66] Pengadilan Negeri Sungai Penuh Nomor: 3/Pdt.G/2015/PN.SPn tertanggal 7 Juli 2015.
            [67] Pengadilan Negeri Sarolangun Nomor   /Pdt.G/2013/PA.Srl  tanggal 27 Juni 2013
            [68]  Pengadilan Negeri Bangko  Nomor 08/Pdt.G/2009/PN.Bk tanggal 21 Januari 2010 “Lembaga Lit adalah Lembaga Adat yang dikenal di Dusun Kampung Tengah Desa Rantau Suli, tanggal 20 Juni 2008
            [69] Lit Lembaga Adat di tingkat Desa Rantau Suli, tanggal 16 Agustus 2008
            [70] Lit Lembaga Adat tingkat Kecamatan Sei Tenang, yang keputusannya dikeluarkan di Desa Rantau Suli, tertanggal 12 April 2009,
            [71] Putusan Pengadilan Negeri Sarolangun Nomor  5/Pdt.G/2016/PN Srl. tanggal 18 Oktober 2016 dikuatkan di Pengadilan Tinggi Jambi Nomor 79/PDT/2016/PT.JMB tanggal 7 Februari 2017 dan ditingkat kasasi Nomor 1822 K/Pdt/2017 tanggal  9 Oktober 2017