Akhir-akhir
ini, tema hukum tanah Melayu Jambi mendominasi dan menjadi wacana public. Baik
dilihat dari pertentangan kepentingan (konflik) maupun didalam melihat
persoalan tanah Melayu Jambi.
Tafsir
sesat berangkat dari kekeliruan memandang hakekat UU Pokok-pokok Agraria (Hukum
Agraria), pandangan praktisi hukum baik dilihat dari pemeriksaan dalam
perkara-perkara pidana dan perdata, maupun berbagai putusan Pengadilan. Tafsir
sesat ini kemudian menjadi persoalan ditengah pengetahuan masyarakat memandang
tanah dan problemanya.
Berbagai
yang dikumpulkan dari berbagai tempat dan komunitas kemudian membuka ingatan
kolektif masyarakat tentang hukum Tanah. Catatan yang dikumpulkan kemudian
dibandingkan dengan pengetahuan yang masih hidup ditengah masyarakat. Dengan
menulis catatan dapat menarik benang merah sehingga dapat memahami persoalan
tanah dengan utuh.
UUPA
adalah hukum Tanah Adat
Pasal
5 UUPA menyebutkan “Hukum agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan
lainnya,segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama.
Secara
letterlijk (tafsiran kata), “hukum agrarian
yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,…”. Sehingga
makna hukum Tanah kemudian melihat masih berlakunya hukum adat dalam satu
komunitas yang menunjuk kepada tempat.
Maka
dikenal “merimba” (Yurisprudensi No. 329 K/Sip/ 1957), “Kesian” (Yurisprudensi
No. 59 K/Sip/1958) di Tapanuli. Atau “tanah ulayat”, “tanah ulayat nagari”, “tanah
ulayat suku”, “tanah ulayat kaum”, “tanah ulayat Rajo”. “Tanah ulayat nagari”,
tanah ulayat suku” dan “tanah ulayat kaum” disebut sebagai “tanah pusako
tinggi”. (Perda Sumbar No. 16
Tahun 2008).
Di Jambi dikenal “tatacara membuko rimbo”, “Tanah pemberian”, “tanah bejenang”, “tanah
pembarap”, Tanah ujung batin”, “tanah
irung. Tanah gunting”, “beladang jauh”, “Setawar dingin”, tanah seluas “Sejalar
Peringgi. Sekokok Ayam”, atau “Sebiduk
luncur. Sekokok ayam, “jejawi
berbaris dan tali gawe’ atau “pancung alas”.
Dengan
demikian maka kemudian mendapatkan hak atas tanah maupun tanaman tumbuh.
Dalam
paradigma yang berkaitan dengan tanah, berbagai peraturan diluar UUPA kemudian
malah menafikan UUPA.
UU
Kehutanan, UU Minerba, UU Perkebunan maupun berbagai UU sectoral hanyalah
mengatur tentang komoditas tertentu. Bukan mengatur tanah.
Lihatlah
UU Kehutanan. Yang diatur khan hutan dan komoditinya (Pasal 1 UU No. 41 Tahun
1999). Bukan tanah. Apakah mengatur tentang definisi hutan (Pasal 1 ayat (2) UU
No. 41 Tahun 1999), larangan untuk membuka kawasan hutan (Pasal 50 ayat (3)
huruf a dan huruf b UU No. 41 Tahun 1999), Menebang pohon (Pasal 50 ayat (3)
huruf c UU No. 41 Tahun 1999) atau cuma mengatur pengangkutan tentang kayu atau
hasil hutannya (Pasal 50 ayat (3) huruf h UU No. 41 Tahun 1999). Sekali lagi
bukan mengatur tentang tanah.
Begitu
juga UU Perkebunan. Selain mengatur tentang komoditas perkebunan juga mengatur
tentang hak atas tanah yang berkaitan dengan perkebunan (Pasal 11 UU No. 39
Tahun 2014).
Menilik
UU Kehutanan dan UU Perkebunan maka tidak dapat menafikan atau mengabaikan hak atas
tanah yang didapatkan berdasarkan hukum adat. Hak atas tanah yang harus
dilindungi (Pasal 16 dan Pasal 20 UUPA).
Sehingga
hak atas tanaman yang tumbuh (seperti di hutan) berdasarkan UU Kehutanan maupun
komoditas tanaman yang tumbuh berdasarkan UU Perkebunan merupakan ketentuan
yang mengatur tentang komoditas. Dalam praktek yang jamak, maka hak-hak atas
tanaman tumbuh juga dikenal di Jambi.
Dengan
demikian maka Hukum Tanah Melayu Jambi selain mengenal tentang tanah juga
mengenal “tanaman tumbuh”. Seperti “peumoan”, “lemah peradun”, “humo genah”.
Pemilik tanaman hanya berhak terhadap hasil “tanaman tumbuh”. Bukan terhadap
tanah.
Hukum
Tanah harus tertulis
Pernyataan
ini paling sering ditemukan dalam praktek hukum pidana. Membuktikan tanah harus
otentik dan tertulis. Sebuah pemahaman keliru.
Sebagaimana
telah dijelaskan didalam pasal 5 UUPA yang berdasarkan hukum adat, maka Pernyataan
kepemilikan haruslah dilihat bagaimana pembuktian hukum adat terhadap tanah.
Hukum
Tanah Melayu Jambi kemudian membuktikan dengna penanda tanah. Sebagai identitas
dan tanda yang melekat pada tanah.
Di
daerah uluan Batanghari dikenal “takuk pohon”, “sak Sangkut”, hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam.
Jambu Kleko”, “Lambas”, “lambas berbanjar”.
Di
daerah ilir Jambi dikenal “mentaro”,
“Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati”.
Dengan
demikian maka terhadap kepemilikan berdasarkan hukum adat Melayu Jambi maka
terhadap kepemilikan tanah menjadi sah (Pasal 16 dan pasal 20 UUPA). Bukan
tertulis sebagaimana sering disampaikan.
Paradigma
tentang bukti tertulis terhadap tanah merupakan pemikiran berdasarkan asas “domenverklaring’.
Asas yang melekat didalam “agrarische Wet” sebagaimana diatur didalam Staatsblad
1870 No. 55. Asas ini kemudian dicabut
UUPA.
UUPA
juga mencabut Buku II BW yang mengatur tentang “bumi, air
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.