Menyebutkan
Pulau Burung, Inhil, Riau tidak dapat dipisahkan dari perdagangan di Pulau
Sambu dan Sungai Guntung. Daerah Inhil, Riau yang dikenal dalam sejarah
perdagangan Pantai Timur Sumatera.
Membicarakan
Pulau Burung mengingatkan peristiwa tentang Harimau masuk kepasar Pulau Burung
pada November tahun lalu. Harimau Sumatra yang kemudian terjebak dibawah ruko
begitu menggemparkan.
“Si
belang”[1]
yang telah banyak memakan hewan masyarakat kemudian muncul didalam sela ruko.
Kemudian terjepit dan semakin masuk kedalam. Akhirnya terperangkap. Kemudian
dipasang jarring oleh masyarakat.
Pulau
Burung dapat dijangkau lebih dekat dari Batam (3 jam) dibandingkan dari
Tembilahan yang waktu tempuh cukup lama (5 jam). Ditengah masyarakat, Pulau
Burung sering juga disebut Pulau Sialang[2].
Pulau
Sambu, Sungai Guntung, Tembilahan, Kuala Enok adalah nama-nama yang begitu
melekat didalam masyarakat Jambi. Selain lebih banyak berinteraksi ke Jambi
dibandingkan ke Pekanbaru, perdagangan dan pendidikan banyak ditemukan di
Jambi. Selain jarak tempuh lebih dekat ke Jambi, interaksi yang panjang dengan
Kuala Tungkal dan Muara Sabak sebagai lintasan perdagangan yang cukup lama. Dan
menjadi ingatan memori yang tidak dapat dipisahkan.
Namun
yang unik, seluruh Desa masih dalam satu dataran dengan Pulau Sumatera.
Sedangkan Ibukota kecamatan yang terpisah dari daratan Sumatera yang kemudian
dikenal sebagai Pulau Burung. Sehingga seluruh Desa kemudian menginduk ke Kecamatan
Pulau Burung.
Kecamatan
Pulau Burung, Inhil, Riau terdiri dari Desa Sungai Danai, Desa Teluk Nibung,
Desa Bangun Harjo, Desa Binangun Jaya, Desa Bukit Sari Intan Jaya, Desa Keramat
Jaya, Desa Manunggal Jaya, Desa Mayang Sari Jaya, Desa Ringin Jaya, Desa Sapta
Jaya, Desa Sempadan Jaya, Desa Sri Danai, Desa Suka Jaya, Desa Suko Harjo Jaya.
Berpusat di Kelurahan Pulau Burung.
Desa
Danai Jaya dan Desa Teluk Nibung adalah Desa tertua. Kedatangan penduduk dari
Bugis dan Banjar diperkirakan pada awal abad 19[3].
Menurut Kepala Desa Sungai Danai, kedatangan ke Pulau Burung pada masa
kakeknya. Tahun 1939, Sungai Danai telah menjadi Dusun. Dengan dipimpin oleh
seorang penghulu.
Kedatangan
dengan menggunakan perahu “phinis”[4]
dari Bone, selain mempunyai kemampuan berlayar juga mempunyai keterampilan
pertanian dilahan pasang surut. Komoditi utama adalah kelapa.
Selain
Desa Sungai Danai dan Desa Teluk Nibung, Desa-desa lain merupakan program
transmigrasi tahun 1994-1996.
Namun
ditengah masyarakat, Desa-desa ini malah dikenal sebagai SP 1 – hingga SP 11.
SP 1 yaitu Desa Mayang Sari Jaya, Desa SP 2 yaitu Desa Bukit Sari Intan Jaya,
Desa SP dikenal Manunggal Jaya, Desa SP 4 yaitu Desa Bangunharjo Jaya, Desa SP
5 Desa Ringin Jaya, Desa SP 6 yaitu Desa Sri Danai, SP 7 yaitu Desa Sapto Jaya,
Desa SP 8 yaitu Desa Kramat Jaya, Desa SP 9 yaitu Desa Binangun Jaya, Desa SP
10 yaitu Desa Suka Jaya dan Desa SP 11 yaitu Desa Sukoharjo Jaya.
Kedelapan
Desa baru usai melaksanakan Pilkades tahun 2017. Diantaranya adalah Kepala
Desa Kecamatan Pulau Burung yang dilantik, ialah Kades Teluk Nibung, Sucipto,
Kades Bukit Sari Intan Jaya, Sujoko, Kades Manunggal Jaya, Sulistiawan, Kades
Bangun Harjo Jaya, M Saerozi, Kades Ringin Jaya, Atim Khoirul Anam, Kades Sapta
Jaya, Budi Santosa, Kades Keramat Jaya, Sabar dan Kades Suka Jaya, Riyanto[5].
Didalam
struktur social di Pulau Burung, istilah “Wali” lebih dikenal untuk menghormati
Kepala Desa. Istilah “wali” adalah istilah yang digunakan sebelum Dusun
kemudian menjadi Desa. Sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Desa. UU
yang kemudian menghapuskan berbagai penamaan pemerintahan setingkat Desa dan
menggantikan menjadi seragam menjadi Desa.
Penamaan
dan panggilan terhadap Kepala Desa masih melekat dan menjadi pembicaraan
penghormatan terhadap Kepala Desa. Entah Desa Induk maupun desa-desa setelah masuknya
program Transmigrasi.
Sebagai
orang yang dihormati oleh masyarakat, Wali adalah seseorang yang mempunyai
kemampuan didalam pemerintahan. Panggilan “wali” adalah panggilan yang tetap
melekat hingga sekarang.
Selain
“wali” untuk penamaan Kepala Desa, daerah transmigrasi juga mengenal “Wali” dan
“Lurah”.
Istilah
“lurah” adalah ingatan kolektif masyarakat Jawa terhadap pemerintahan Kelurahan
di Jawa. Terlepas dari pemerintahan setingkat desa di Ibukota kecamatan yang
berbentuk Kelurahan, Desa-desa Transmigrasi lebih sering menyebutkan “kepala
Desa’ sebagai panggilan “lurah” dibandingkan dengan “kades”. Panggilan yang
melekat dari Jawa masih digunakan hingga sekarang.
Di
Jambi sendiri, didaerah Timur terutama di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan
Tanjung Jabung Timur, panggilan terhadap kepala Desa bermacam-macam. Penghulu
adalah panggilan resmi. Selain itu juga dikenal panggilan “datuk”. Panggilan “penghulu”
ataupun “datuk” masih melekat dikalangan orang tua terhadap kepala Desa. Bahkan
panggilan “Datuk” masih melekat walaupun tidak lagi menjabat sebagai Kepala Desa.
Sebagai
Pulau yang tidak dapat dipisahkan dari perdagangan Pantai Timur Sumatera,
diaspora Bugis dan Banjar tidak dapat dipisahkan. Istilah “parit’ sebagai
teknologi pertanian dilahan pasang surut, mengatur system air, mengatur tanah
yang boleh dibuka hingga berbagai “bacaan” masyarakat tentang lahan pasang
surut.
Selain
teknologi pertanian dilahan pasang surut, Istilah “parit’ kemudian tidak dapat
dipisahkan sebagai struktur social. Pemimpin “parit’ kemudian dikenal sebagai “kepala
parit’.
Kepala
parit yang mengatur terhadap kehidupan social didalam wilayah satu parit.
Sehingga Kepala parit mempunyai kedudukan dan jabatan yang cukup istimewa.
Kedudukan
kepala parit kemudian tetap dihormati didalam struktur social ditengah
masyarakat. Kepala Parit kemudian menjadi kepala Dusun ataupun Ketua RT. Sebuah
kedudukan yang mengatur didalam wilayah satu parit.
Dibawah
“parit” dikenal “jalur”. Jalur adalah pembagian alur didalam satu “parit’.
Sistem penghitungan masih mengenal depa. Selain itu juga mengenal bidang. Istilah depa (dialek Jambi menyebutkan depo) adalah ukuran panjang. 1 Depa adalah
1,7 meter. Sementara bidang adalah ukuran tanah berdasarkan kemampuan seseorang
untuk membuka lahan. Setiap bidang kemudian menjadi hak milik dari pembuka
tanah.
Istilah
“parit” ataupun “Kepala Parit” juga dikenal di Marga Tungkal Ulu, Marga Tungkal
Ilir (Tanjung Jabung Barat) dan Marga Sabak/Dendang dan Marga Berbak. Bahkan
kepala Parit dapat bertindak sebagai kepala Pemerintahan setingkat Desa sebelum
UU Desa menghapuskannya.
Namun
didalam struktur social, Kepala parit tetap mendapatkan tempat yang istimewa.
Mempunyai kedudukan yang mempengaruhi didalam struktur social. Baik didalam
mengatur tentang pertanian, menentukan musim tanam. Termasuk juga mengatur
kehidupan social didalam wilayah satu parit.
Kepala
parit kemudian dapat diketahui sebagai Kepala Dusun setelah lahirnya UU Desa.
Begitu
berperannya “wali” didalam struktur social dan “begitu berpengaruhnya” Kepala
parit didalam mengatur kehidupan social, sehingga keputusan apapun yang penting
dan berdampak terhadap masyarakat tidak dapat dipisahkan dari posisi strategis
sebagai “wali” dan “kepala parit’.
Cara
pandang terhadap kepemimpinan dengan penyebutan “wali” maupun “kepala parit’
tidak mampu tergerus oleh perkembangan zaman. Bahkan UU Desa yang menghapuskan system
pemerintahan sebelumnya, tetap menempatkan panggilan dan cara pandang “wali”
dan “kepala parit” didalam melihat posisi “Kepala Desa’.
[5]
Delapan Kades Pulau Burung
Dilantik, Bupati Inhil Berpesan untuk Amanah Jalankan Tugas, www.riaugreen.com, 8 Desember 2017