29 Maret 2019

opini musri nauli : Struktur Sosial di Pulau Burung




Menyebutkan Pulau Burung, Inhil, Riau tidak dapat dipisahkan dari perdagangan di Pulau Sambu dan Sungai Guntung. Daerah Inhil, Riau yang dikenal dalam sejarah perdagangan Pantai Timur Sumatera.

Membicarakan Pulau Burung mengingatkan peristiwa tentang Harimau masuk kepasar Pulau Burung pada November tahun lalu. Harimau Sumatra yang kemudian terjebak dibawah ruko begitu menggemparkan.

“Si belang”[1] yang telah banyak memakan hewan masyarakat kemudian muncul didalam sela ruko. Kemudian terjepit dan semakin masuk kedalam. Akhirnya terperangkap. Kemudian dipasang jarring oleh masyarakat.

Pulau Burung dapat dijangkau lebih dekat dari Batam (3 jam) dibandingkan dari Tembilahan yang waktu tempuh cukup lama (5 jam). Ditengah masyarakat, Pulau Burung sering juga disebut Pulau Sialang[2].

Pulau Sambu, Sungai Guntung, Tembilahan, Kuala Enok adalah nama-nama yang begitu melekat didalam masyarakat Jambi. Selain lebih banyak berinteraksi ke Jambi dibandingkan ke Pekanbaru, perdagangan dan pendidikan banyak ditemukan di Jambi. Selain jarak tempuh lebih dekat ke Jambi, interaksi yang panjang dengan Kuala Tungkal dan Muara Sabak sebagai lintasan perdagangan yang cukup lama. Dan menjadi ingatan memori yang tidak dapat dipisahkan.

Namun yang unik, seluruh Desa masih dalam satu dataran dengan Pulau Sumatera. Sedangkan Ibukota kecamatan yang terpisah dari daratan Sumatera yang kemudian dikenal sebagai Pulau Burung. Sehingga seluruh Desa kemudian menginduk ke Kecamatan Pulau Burung.

Kecamatan Pulau Burung, Inhil, Riau terdiri dari Desa Sungai Danai, Desa Teluk Nibung, Desa Bangun Harjo, Desa Binangun Jaya, Desa Bukit Sari Intan Jaya, Desa Keramat Jaya, Desa Manunggal Jaya, Desa Mayang Sari Jaya, Desa Ringin Jaya, Desa Sapta Jaya, Desa Sempadan Jaya, Desa Sri Danai, Desa Suka Jaya, Desa Suko Harjo Jaya. Berpusat di Kelurahan Pulau Burung.

Desa Danai Jaya dan Desa Teluk Nibung adalah Desa tertua. Kedatangan penduduk dari Bugis dan Banjar diperkirakan pada awal abad 19[3]. Menurut Kepala Desa Sungai Danai, kedatangan ke Pulau Burung pada masa kakeknya. Tahun 1939, Sungai Danai telah menjadi Dusun. Dengan dipimpin oleh seorang penghulu.
Kedatangan dengan menggunakan perahu “phinis”[4] dari Bone, selain mempunyai kemampuan berlayar juga mempunyai keterampilan pertanian dilahan pasang surut. Komoditi utama adalah kelapa.

Selain Desa Sungai Danai dan Desa Teluk Nibung, Desa-desa lain merupakan program transmigrasi tahun 1994-1996.

Namun ditengah masyarakat, Desa-desa ini malah dikenal sebagai SP 1 – hingga SP 11. SP 1 yaitu Desa Mayang Sari Jaya, Desa SP 2 yaitu Desa Bukit Sari Intan Jaya, Desa SP dikenal Manunggal Jaya, Desa SP 4 yaitu Desa Bangunharjo Jaya, Desa SP 5 Desa Ringin Jaya, Desa SP 6 yaitu Desa Sri Danai, SP 7 yaitu Desa Sapto Jaya, Desa SP 8 yaitu Desa Kramat Jaya, Desa SP 9 yaitu Desa Binangun Jaya, Desa SP 10 yaitu Desa Suka Jaya dan Desa SP 11 yaitu Desa Sukoharjo Jaya.

Kedelapan Desa baru usai melaksanakan Pilkades tahun 2017. Diantaranya adalah Kepala Desa Kecamatan Pulau Burung yang dilantik, ialah Kades Teluk Nibung, Sucipto, Kades Bukit Sari Intan Jaya, Sujoko, Kades Manunggal Jaya, Sulistiawan, Kades Bangun Harjo Jaya, M Saerozi, Kades Ringin Jaya, Atim Khoirul Anam, Kades Sapta Jaya, Budi Santosa, Kades Keramat Jaya, Sabar dan Kades Suka Jaya, Riyanto[5].

Didalam struktur social di Pulau Burung, istilah “Wali” lebih dikenal untuk menghormati Kepala Desa. Istilah “wali” adalah istilah yang digunakan sebelum Dusun kemudian menjadi Desa. Sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Desa. UU yang kemudian menghapuskan berbagai penamaan pemerintahan setingkat Desa dan menggantikan menjadi seragam menjadi Desa.

Penamaan dan panggilan terhadap Kepala Desa masih melekat dan menjadi pembicaraan penghormatan terhadap Kepala Desa. Entah Desa Induk maupun desa-desa setelah masuknya program Transmigrasi.

Sebagai orang yang dihormati oleh masyarakat, Wali adalah seseorang yang mempunyai kemampuan didalam pemerintahan. Panggilan “wali” adalah panggilan yang tetap melekat hingga sekarang.

Selain “wali” untuk penamaan Kepala Desa, daerah transmigrasi juga mengenal “Wali” dan “Lurah”.

Istilah “lurah” adalah ingatan kolektif masyarakat Jawa terhadap pemerintahan Kelurahan di Jawa. Terlepas dari pemerintahan setingkat desa di Ibukota kecamatan yang berbentuk Kelurahan, Desa-desa Transmigrasi lebih sering menyebutkan “kepala Desa’ sebagai panggilan “lurah” dibandingkan dengan “kades”. Panggilan yang melekat dari Jawa masih digunakan hingga sekarang.

Di Jambi sendiri, didaerah Timur terutama di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur, panggilan terhadap kepala Desa bermacam-macam. Penghulu adalah panggilan resmi. Selain itu juga dikenal panggilan “datuk”. Panggilan “penghulu” ataupun “datuk” masih melekat dikalangan orang tua terhadap kepala Desa. Bahkan panggilan “Datuk” masih melekat walaupun tidak lagi menjabat sebagai Kepala Desa.

Sebagai Pulau yang tidak dapat dipisahkan dari perdagangan Pantai Timur Sumatera, diaspora Bugis dan Banjar tidak dapat dipisahkan. Istilah “parit’ sebagai teknologi pertanian dilahan pasang surut, mengatur system air, mengatur tanah yang boleh dibuka hingga berbagai “bacaan” masyarakat tentang lahan pasang surut.

Selain teknologi pertanian dilahan pasang surut, Istilah “parit’ kemudian tidak dapat dipisahkan sebagai struktur social. Pemimpin “parit’ kemudian dikenal sebagai “kepala parit’.

Kepala parit yang mengatur terhadap kehidupan social didalam wilayah satu parit. Sehingga Kepala parit mempunyai kedudukan dan jabatan yang cukup istimewa.

Kedudukan kepala parit kemudian tetap dihormati didalam struktur social ditengah masyarakat. Kepala Parit kemudian menjadi kepala Dusun ataupun Ketua RT. Sebuah kedudukan yang mengatur didalam wilayah satu parit.

Dibawah “parit” dikenal “jalur”. Jalur adalah pembagian alur didalam satu “parit’. Sistem penghitungan masih mengenal depa. Selain itu juga mengenal bidang.  Istilah depa (dialek Jambi menyebutkan depo) adalah ukuran panjang. 1 Depa adalah 1,7 meter. Sementara bidang adalah ukuran tanah berdasarkan kemampuan seseorang untuk membuka lahan. Setiap bidang kemudian menjadi hak milik dari pembuka tanah.

Istilah “parit” ataupun “Kepala Parit” juga dikenal di Marga Tungkal Ulu, Marga Tungkal Ilir (Tanjung Jabung Barat) dan Marga Sabak/Dendang dan Marga Berbak. Bahkan kepala Parit dapat bertindak sebagai kepala Pemerintahan setingkat Desa sebelum UU Desa menghapuskannya.

Namun didalam struktur social, Kepala parit tetap mendapatkan tempat yang istimewa. Mempunyai kedudukan yang mempengaruhi didalam struktur social. Baik didalam mengatur tentang pertanian, menentukan musim tanam. Termasuk juga mengatur kehidupan social didalam wilayah satu parit.

Kepala parit kemudian dapat diketahui sebagai Kepala Dusun setelah lahirnya UU Desa.

Begitu berperannya “wali” didalam struktur social dan “begitu berpengaruhnya” Kepala parit didalam mengatur kehidupan social, sehingga keputusan apapun yang penting dan berdampak terhadap masyarakat tidak dapat dipisahkan dari posisi strategis sebagai “wali” dan “kepala parit’.

Cara pandang terhadap kepemimpinan dengan penyebutan “wali” maupun “kepala parit’ tidak mampu tergerus oleh perkembangan zaman. Bahkan UU Desa yang menghapuskan system pemerintahan sebelumnya, tetap menempatkan panggilan dan cara pandang “wali” dan “kepala parit” didalam melihat posisi “Kepala Desa’.


            [1] Istilah “si belang’ adalah istilah digunakan masyarakat untuk menyebut harimau. Di Jambi, Harimau sering disebut “datuk” atau “nenek’. Ungkapan yang dihindarkan untuk menyebutkan langsung nama “harimau”.
            [2] Kepala Desa Sungai Danai, Pulau Burung, Inhil, Riau, 22 Maret 2019
            [3] Majalah Prisma, Masalah 1-8, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1990
            [4] Mereka menyebutkan perahu phinisi dengna istilah “phinis”.
            [5] Delapan Kades Pulau Burung Dilantik, Bupati Inhil Berpesan untuk Amanah Jalankan Tugas, www.riaugreen.com, 8 Desember 2017