27 Maret 2019

opini musri nauli : SEMALAM



Sudah lama saya tidak mendengarkan kata “semalam”. Kata yang sering diucapkan para tua-tua kampong (pinisepuh) dalam dialog sehari-hari.

Kata “semalam” biasa ditujukan untuk menjawab pertanyaan. Pertanyaan “kapan datang ?” kemudian dijawab “Semalam”.

Kata “Semalam” bukan menunjukkan datangnya “pada malam hari”. Atau bukan juga menunjukkan tentang “perbuatan semalam suntuk”.

Kata ini menunjukkan “kedatangan sudah semalam”. Atau “sudah menginap semalam”. Kata ini juga menunjukkan kedatangannya sudah lama. Sehingga sudah bisa mengaso, rehat ataupun sudah lama bercengkrama.

Namun kata “Semalam” tidak mesti sudah “semalam” kedatangannya. Kata “semalam” juga menunjukkan hari yang lampau. Baik sehari ataupun beberapa hari yang lalu.

Kata ini saya temukan di Pulau Burung, Inhil, Riau. Semula ketika ditanyakan kepada salah satu warga dengan tuan rumah, dengna enteng sang tuan rumah menjawab “Semalam’. Padahal kedatangan saya sudah beberapa hari yang lalu.

Saya kemudian berkesimpulan. Kata “Semalam” tidak mesti “satu malam” yang lampau. Tapi juga menunjukkan beberapa hari yang lalu.

Didalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata “semalam” menunjukkan “satu malam”. Kata “semalam” juga menunjukkan “malam kemarin”. Atau bisa juga “sepanjang malam”. Dapat juga ditafsirkan “hari sebelum hari ini atau kemarin”.

Menilik dari maksud dari penutur yang menjelaskan kata “semalam”, maka kata “Semalam” tidak sekedar “hari kemarin”. Justru kata “semalam” lebih jauh lagi.

Kata “semalam” menunjukkan “satu atau bahkan lebih satu hari”. Lompatan besar dari makna didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.  

Kekayaan kosakata Melayu menunjukkan derajat pemahaman yang agung. Kata-kata tidak bisa diterjemahkan secara harfiah (letterlijk). Namun juga menggambarkan kondisi alam masyarakat dalam satu peradaban.

Lalu mengapa kosakata Melayu kemudian tenggelam dengan hiruk-pikuk perkembangan pemahaman yang semakin sempit. Apakah kita sudah kekurangan literasi dan terjebak dengan pemahaman tekstual ?. Atau memang “kosakata” sebagai adiluhung peradaban Melayu yang semakin terpinggirkan ?