Sudah
dua hari terakhir, saya malas menonton televisi paska Pemilu serentak 2019.
Selain dipastikan banyak sekali berita-berita yang akan memancing “emosi’,
berita-berita yang ditayangkan “cuma” mengulang-ulang. Sama sekali tidak menarik
perhatian saya. Kalaupun hendak menonton “paling-paling” film Hollywood. Film
Action. Setelah serumah sudah pada tidur.
Saya
kemudian melanjutkan membaca buku-buku yang belum sempat dibaca. Sembari
menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda.
Namun
konsentrasi saya kemudian buyar. Ditengah asyik membaca buku ditepi kolam
rumah, saya kemudian dipanggil putra saya. Sambil berteriak “Yah, Prabowo
menang. Dia sujud tuh”. Akupun enggan menanggapi.
Sambil
meneruskan membaca “Itu berita lama. Kenapa diulang-ulang”, kataku tidak
peduli.
“Idak, yah. Sekarang !!!’, Kata putraku sambil menegaskan. Akupun bergerak menonton televisi.
Sambil
melongo aku tidak percaya. Kukucek-kucek mata. Sembari memastikan. Apakah itu
berita lama. Kuperhatikan seksama. Apakah ini kerjaan “netizen” yang canggih
memainkan photoshop. Atau cuma rekaan adegan. Persis film Hitler yang sering
diubah-ubah dialognya.
Melihat
“siapa disampingnya”, akupun kaget. Ternyata. Tidak sama dengan tahun 2014.
Sama sekali berbeda.
Ya..
Prawobo sujud. Memastikan pemenang Pilpres 2019. Sungguh-sungguh aku tidak
percaya. Dengan kekagetan dan keheranan, akupun meneruskan pekerjaan semula.
Ah.
Dagelan politik apa lagi. Masa kayak 2014.
Akupun
tenggelam dalam kesibukan semula.
Namun
ketika aku berkomunikasi dengan teman-teman dari luarnegeri. Akupun mulai
mengernyitkan kening.
Pertanyaan
mengganggu yang membuat aku mulai berfikir.
“Nauli.
What happened now ?”.
Waduh.
Berabe. Saya kemudian menjelaskan tentang sujud secara sekilas.
“I
see. I see football player’. Waduh. Ternyata dia sering memperhatikan pemain
muslim yang berhasil mencetak gol dan kemudian sujud syukur.
“But.
He isn’t win. Why prostrate. What happened ? He’is win ?
Nah. Semakin bingung saya. Iya. Mengapa tidak
menang kemudian sujud ?
Ternyata saya mulai merasakan “Kegelisahan’.
Mengapa orang yang kalah kemudian sujud ?. Mengapa orang bergembira merayakan
kekalahan.
Apakah saya mulai dihinggapi “ketidakwarasan”.
Menerima keadaan dan bertentangan dengan akal sehat ?.
Waduh. Kukucek-kucek mataku. Sembari memukul
pipiku, aku bergumam. Apakah aku yang salah ?
Merayakan “kemenangan” dapat dilakukan dengan
bersyukur. Termasuk sujud syukur. Dan itu lazim dilakukan oleh siapapun. Termasuk
pemain sepakbola ketika usai mencetak gol.
Namun “memegang amanah” bukanlah dirayakan
dengan cara bersyukur. Justru amanah adalah “tugas” yang maha berat. Yang tidak
saja dipertanggungjawabkan secara hukum dan “urusan dunia”. Namun menjadi “pertanggungjawaban”
yang berat diakherat. Diminta “pertanggungjawabkan”.
Bukankah Umar bin Khatab “pernah” mengeluarkan
pedangnya ketika ditunjuk menjadi pengganti Abu Bakar. Dengan menghunus
pedangnya dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dia berujar “Aku lebih baik pergi
1000 kali perang daripada menjadi Khalifah’.
Bukankah setiap malam Umar bin Khatab “memikul”
sendiri, karung gandum untuk dibagikan penduduk yang siang harinya tidak makan.
Bukankah setiap malam dia menangis ketika masih
ada penduduk yang kelaparan. Bukan setiap malam dia sengaja mengasingkan diri
dan terus meminta ampun terhadap amanah yang dipegangnya.
Begitu beratnya tugas yang diberi amanah,
sehingga dipastikan “bukan” ucapan “Alhamdulilah” yang diucapkan. Apalagi
sampai sujud syukur.
Tapi ucapan “innalilahi”. Ucapan “ketidakmampuan”
untuk menjalankan amanah selain pertolongan dari-nya. Ucapan yang sering saya
dengar ketika pemimpin agama yang diberi amanah.