Mari
kita hentikan “perbedaan” pilihan Presiden/wakil Presiden disebabkan perbedaan
pilihan. Bukankah “perbedaan” adalah fitrah sebagaimana manusia diciptakan
memang dilahirkan berbeda.
Mari
kita hentikan “permainan gila” terhadap bayang-bayang ilusi. Pemiliha Pilpres
telah usai. Kewajiban telah ditunaikan. Jari telah dilumuri tinta ungu.
Hasil
Quick count telah diumumkan. Tidak suka dengan metodologi pemilhan sampel
(sampling randong), silahkan persoalkan. Perdebatan. Sampai tegang leher. Kalau
perlu keluarkan kalkulator paling canggih untuk mempersoalkan metodologinya.
Kalau
tidak puas silahkan buat lembaga survei. Daftarkan ke KPU. Gunakan metodologi
yang baik. Silahkan paparkan hasilnya ke public. Jangan numpang mendafar
sebagai “pengawas” atau pemantau pemilu malah menjadi lembaga survey, atau
menghasilkan quick count.
Mari
kita apresiasi KPU. Menemukan kecurangan, kumpulkan bukti-bukti yang lengkap.
Laporkan kepada lembaga yang berwenang. Entah ke KPU atau Banwaslu.
Mari
kita tunggu penetapan KPU. Tidak puas terhadap hasilnya, silahkan persoalkan di
MK.
Jangan
kayak kemarin. Mengaku bukti 10 truck container ternyata cuma 10 kardus. Itupun
banyak lembaran duplikasi.
Setiap
jenjang telah disediakan kanal. Untuk menyelesaikan, mencari solusi dan jalan
keluar.
Pemilu
serentak diadakan di 17.000 pulau, melibatkan 5 juta orang, 800 ribu TPS, 190
juta mata pilih bukanlah mudah. Belum lagi 5 kertas suara untuk dihitung.
Diteliti. Dibuatkan berbagai rekap. Hingga dipastikan tidak ada yang
terlewatkan.
Setiap
detik-detik penghitungan disampaikan secara terbuka. Dishooting kiri-kanan.
Disaksikan oleh saksi, pemantau bahkan berbagai pihak. Tidak terdengar
kericuhan didalam penghitungan.
Satu
dataran Eropa saja tidak mampu mengadakan. Satu dataran Tiongkok atau Amerika
tidak mampu mengadakan.
Apakah
itu bukanlah sebuah prestasi besar yang harus diapresiasi.
Bukankah
tidak sebaiknya menunggu penetapan dari KPU. Biarkanlah KPU tenang bekerja.
Lalu
mengapa ada tuduhan “curang” ? Alih-alih mengikuti setiap tahapan proses,
bahkan sudah ada yang sampai koprol salto menyatakan ikrar kemenangan ?
Bukankah itu justru memberikan “amunisi” memperkeruh keadaan.
Mari
kita hormati perbedaan pilihan. Mari kita tunggu kabar dari KPU.
Perbedaan
pilihan – apalagi cuma pilpres adalah kodrat manusia. Jangankan urusan politik.
Didalam rumah tangga – satu keluarga - satu darah, perbedaan tidak dapat
dihindarkan.
Suami
– istri saja bisa berdebat panjang tentang warna kain gorden. Suami – Istri saja
bisa berdebat hebat tentang cat ruang depan.
Sekeluarga
saja bisa berbeda pandangan. Antara satu anak dengan anak yang lain bisa
bertengkar dirumah. Mempersoalkan pemain terbaik. Apakah Ronaldo atau Messi.
Atau
satu keluarga bisa berdebat panjang. Siapa yang memegang remote TV untuk
menonton televise. Apakah nonton “Upin-Ipin”, infotainment, film action atau Live
Sepakbola.
Satu
rumah bisa berbeda selera music. Ada penggemar Group music Rock. Ada penggemar
Via Vallen. Ada pengagum Ariel Peterpan.
Satu
rumah bisa berbeda selera film. Ada suka film horror. Ada suka film India. Ada
suka film drama korea yang mendayu-dayu. Ada suka film action dengan adegan
perang. Bahkan ada suka film romantic yang membuat tissue tidak pernah jauh
darinya.
Bahkan
agenda liburan juga menjadi arena perdebatan. Ada yang ingin ke pantai. Ada
yang mau ke gunung. Ada yang ke kolam renang. Bahkan ada yang ke mall.
Bukankah
kita diciptakan untuk berbeda-beda. Bersuku-suku. Berbangsa-bangsa. Agar kita
saling mengenal ?
Perbedaan
adalah fitrah. Perbedaan bukanlah untuk dipersoalkan. Perbedaan bukanlah untuk
disatukan.
Marilah
kita bergandengan tangan. Kembali untuk menjadi anak negeri.
Bukankah
pelangi begitu indah karena perbedaan warna ?