16 April 2019

opini musri nauli : Petarung


Yang kukagumi dari teman-teman Walhi adalah mental petarung. Ditempa dari zaman Orde Baru, Walhi kemudian banyak menghasilkan berbagai konsep-konsep yang sekarang masih digunakan. Entah slogan “moratorium logging (jeda balak)”, “restorasi Indonesia”, “kawasan ekologi genting”, wilayah Kelola rakyat”.

Interaksi saya dengan berbagai teman-teman yang menjadi pengurus Walhi mengajarkan saya. Mental petarung akan diuji di arena sesungguhnya
Dalam Pemilu 2019, berbagai nama kemudian memantik ingatan saya. Dengan kerendahan hati saya menuliskan. Tentang bagaimana kesan dan pengalaman bertarung selama ini di Walhi.

Pertama. Emmy Hafid. Direktur 1996 – 1999 dan 1999 – 2002. Kami lebih suka “memanggil” Maknyak. Slogan sebagai tipikal “Direktur” perempuan yang suaranya melengking. Nyaring. Dan sering memaki-maki terhadap “ketidakadilan. Termasuk terhadap manajemen dan keuangan Walhi yang sering mengalami persoalan dari daerah.

Setahu saya, suara nyaringnya tidak pernah berhenti. Hingga kini masih menjadi orang penting.

Tahun 2019 “bertarung” masuk senayan. Dari Partai Nasdem.

Kedua. Berry Nahdian Furqon. Direktur Walhi 2008 – 2012. Sebelumnya Direktur Walhi Kalsel. Kami sering bertukar sapa dengan “lur”. Lur diartikan “dulur’. Saya sendiri tidak ingat. Mulai kapan istilah ini digunakan. Hingga kini masih bertegur sapa dengan panggilan tersebut.

Selain berkiprah di PDIP Kalsel, Dulur Berry juga termasuk kedalam struktur penting PWNU Kalsel.

Bertarung untuk “senayan” dari PDIP.

Ketiga. Rio Ismail.  Saya mengenal sebagai “konseptor’ di Walhi periode Mbak Emmy. Selain jago dan piawai bercengkrama dengan anak-anak muda, konsepnya mudah diaplikasi. Saya memanggilnya “bang’. Bertarung dari PDIP.

Keempat. Nur Kholis. Biasa dipanggil “Cak’. Entah mengapa dipanggil Cak.

Direktur Walhi Sumsel. Sebelumnya Direktur LBH Palembang. Mempunyai karir cemerlang. Dua periode menjadi anggota KOMNAS HAM.

Ketika Walhi Jambi baru berdiri, dia salah satu “mentor’ dan sering berkunjung ke Jambi untuk memperkuat Walhi Jambi.

Interaksi dengan saya dalam kasus di Bangko mengajarkan tentang hal sederhana. “Jaringan” adalah kekuatan perlawanan.

Saya masih ingat ketika menjadi DIrektur LBH Palembang, dengan mobil “dinas” LBH Palembang, kami menaiki Carry ke Bangko. Sepanjang perjalanan, berbagai “interaksi” dan pengalaman panjang kemudian memberikan inspirasi saya tentang Walhi.

Bertarung dari Sumsel ke senayan dari PKB.

Kelima. Dickson Aritonang. Direktur Walhi Bengkulu. Berinteraksi ketika awal-awal saya di Walhi Jambi. Saya kemudian mengenalnya sebagai “orang kocak” yang sering bertukar informasi tentang Walhi dan jaringan Walhi daerah.

Kemampuan jaringan dirasakan ketika saya membantu teman-teman Walhi Bengkulu. Dengan fasilitas dari Bengkulu TV (miliknya), mobil, kantor menjadi kantor tempat “perlindungan” dari serangan. Belum lagi berbagai sarana untuk melindungi Walhi Bengkulu dari ancaman lebih besar.

Kisah suksesnya semakin matang. Yang saya tahu. Kemudian masuk ke senayan dari PSI. Partai yang didirikannya.

Selain itu juga ada Ramadhana Lubis. Incumbent untuk DPRD Aceh.

Nur Kholis, Ramadhana Lubis dan Dickson Aritonang adalah Direktur dalam periode yang sama.

Dalam periode saya menjadi Direktur Walhi Jambi (2012 – 2016), saya berinteraksi dengan Bejo (Walhi Lampung), Ratno Budi (Uday – Walhi Bangka Belitung), Anwar Sadat (Sadat – Walhi Sumsel) dan Asmar (Slash – Walhi Sulsel).  

Keenam. Bejo saya kenal sebagai “santri’. Tidak pernah lupa sholat. Tertib meletakkan apapun ketika mendengar azan.

Salah satu “konseptor’ tentang perhutanan social. Di Lampung sendiri, HKM lebih diterima sebagai solusi jitu didalam konflik kehutanan. Pekerjaan yang sampai sekarang dilakoni.

Saya banyak belajar tentang energi panas bumi. Salah satu tema yang menjadi bagian karya ilmiahnya.

Menjadi Anggota DPRD dari PDIP.

Ketujuh. Kami memanggilnya Uday. Salah satu tokoh penting penggerak perlawanan nelayan di Babel. Pernah memimpin 10-an nelayan demonstasi.

Dia adalah satu Direktur “tersukses”. Mempunyai jaringan internasional perlawanan timah. Bahan dasar alat elektronik. Melawan Samsung, apple ditingkat internasional.

Jaringan internasional dengan organisasi dari Korea Selatan membuat dua Desa kemudian mendapatkan dukungan untuk energi panel surya.

Maju untuk DPRD dari PDIP.

Kedelapan. Kami memanggilnya sadat. Direktur yang selalu menampakkan aura “perlawanan”.

Tidak ada satupun pembicaraan selain “aksi”, “mobilisasi”, demonstrasi, pendudukkan. Paling dimusuhi rezim Sumsel.

Namun berbeda semangat perlawanan, kukenal dia salah satu Direktur yang paling rapi. Sepatu pantalon yang disemir rapi. Baju yang tidak pernah kusut.

Kontras dibandingkan dengan saya yang cuma memakai kaos oblong, celana pendek. Bahkan lebih sering pakai sandal tracking. Kontras sekali.

Maju untuk Sumsel dari PKB.

Kesembilan. Asmar. Kami lebih sering memanggil Slash. Salah satu tokoh “berpengaruh” di Sulsel. Mempunyai jaringan dimana-mana. Entah SW, KPA, JKPP.

Kemampuannya menggerakkan perlawanan reklamasi di Sulsel adalah prestasi yang tidak boleh diremehkan.

Kukenal baik ketika mendaki Tambora. Sang petualang masih sering mendaki gunung.

Menjadi anggota DPD dari Sulsel.

Tentu saja masih nama-nama yang lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Kedekatan emosional, interaksi di wilayah, hubungan personal membuat saya harus menuliskan dalam edisi terpisah. Dalam kesempatan yang lain, saya mencoba menuliskannya menjadi rangkaian cerita indah. Semangat perlawanan hingga militansi yang teruji.

Saya optimis. Pemilu 2019 diisi dengan orang-orang baik. Rekam jejak yang jelas untuk Indonesia.