Saat
menikmati minum kopi di warung sederhana sudut Kota, saya bertemu sahabat yang sudah
lama tidak berjumpa. Perjumpaan yang tidak sengaja lebih memberikan efek kejut
sebagai sahabat lama.
Percakapan
dimulai dari basa-basi. Yah. Seperti keadaan kesehatan, pekerjaan, rutinitas
maupun aktivitas sehari-hari. Maklum digenerasi saya, persoalan kesehatan
menjadi salah satu tema yang cukup menyita perhatian.
Entah
dengan kabar menanyakan kesehatan seperti Diabetes, jantung, paru-paru, asam
urat, encok maupun penyakit-penyakit lain. Biasanya diantara teman saling
berbagi tips. Baik anjuran menemui dokter, ramuan herbal maupun berbagai
tips-tips lain.
Diskusi
mulai serius. Setelah kekesalannya tentang “pertemuan
Megawati-Prabowo, Surya Paloh- Anies’ mulai mendominasi pembicaraan. Saya
cuma berujar.
“Belum sampai maqom, kita, lur”, kata
saya untuk menetralkan suasana. Sembari berucap sayapun tidak perlu memberikan
klarifikasi mengapa ada dua pertemuan penting. Kalaupun hendak berujar untuk
kemajuan bangsa dan menghentikan perdebatan, klarifikasi apapun menjadi tidak
berguna. Karena saya tahu, dia pendukung Ahok tulen. Bahkan rela mati-matian
membela Ahok.
Sebagai
punggawa yang ciamik, pertemuan Jokowi-Prabowo dan dilanjutkan pertemuan
Megawati-Prabowo tentu mempunyai itung-itungan politik yang matang. Kedua belah
tentu saja mendapatkan perhitungan politik. Selain tentu saja akan mendinginkan
suasana paska pilpres.
Tema
mulai berlanjut. Sang dulur malah mempromosikan Ahok.
“Indonesia kehilangan intan. Indonesia
mencampakkan Intan’, katanya berapi-api. Sayapun mulai berkerut kening.
Mengapa tema ahok mulai mendominasi pembicaraan.
“Bukankah Ahok telah terbukti menista Agama. Karir
politik Ahok sudah habis. Dia sendiripun mengakuinya”, kata saya penasaran.
“Yah. Pengadilan dibawah tekanan. Indonesia
tidak mampu keluar dari persoalan identitas. Bagaiman Indonesia mau maju, kalau
orang sebaik Ahok justru dicampakkan”, katanya semakin berapi-api.
Waduh.
Kok malah ribet begini. “Bukankah di
Indonesia masih banyak putra-putra terbaik. Jangan Gitulah.. Indonesia tidak
berhenti di Ahok”, ujar saya semakin penasaran.
“Bagaimana kita mau menjadi bangsa yang
besar. Apabila orang-orang baik seperti Ahok justru tidak dianggap”,
lagi-lagi nada berapi-api.
“Ketika Ahok diserang, dimana suara kalian
LSM yang katanya bela toleransi ? Mengapa kalian bungkam ? Mengapa tidak kritis
ketika banyak sekali kemunduran Jakarta ?, lagi-lagi sang Dulur menggugat
sembari protes.
“Lho kasus Ahok dibawa kok ke internasional.
Mungkin dulur tidak banyak membaca”, bela saya semakin tersudut.
“Begitu juga ketika Jokowi diserang dengan
berbagai hoax. Entah issu komunisme, anti islam, mendukung China”, ujarnya
seakan-akan tidak menghiraukan ucapan saya.
“Kalian biarkan Ahok dan Jokowi berjuang
sendiri. Eh, ketika Jokowi terpilih lagi, tiba-tiba kalian meminta Jokowi
memperhatikan perjuangan LSM. Ini khan ngaco”, katanya semakin semangat.
Entah berapi-api dan semangat, seakan-akan menumpahkan kekesalannya.
Sayapun
membiarkan dia berujar. Tanpa lagi menyela. Takut dan khawatir emosi yang
meledak-ledak tidak menemukan tempatnya. Biarlah.
Entah
sudah habis emosi yang meledak-ledak. Sembari menghirup kopi yang mulai dingin.
Dia kemudian berkata. “Percayalah. Intan
tetap bersinar. Berkilat. Walaupun dilumpur sekalipun. Saya percaya kepada Ahok
dan Jokowi. Cerita ini saya ceritakan kepada anak-anak saya. Saya ceritakan,
saya telah berjuang disaat yang lain ketakutan untuk melawan”. Wuih. Heroik
banget.
Sayapun
tercenung. Apakah saya yang disebutkan sebagai “orang ketakutan untuk melawan ?”.
Ah.
Pikiran mengganggu yang membuat tidur saya menjadi tidak nyenyak.