28 Juli 2019

opini musri nauli : Obrolan Warung Kopi



Saat menikmati minum kopi di warung sederhana sudut Kota, saya bertemu sahabat yang sudah lama tidak berjumpa. Perjumpaan yang tidak sengaja lebih memberikan efek kejut sebagai sahabat lama.

Percakapan dimulai dari basa-basi. Yah. Seperti keadaan kesehatan, pekerjaan, rutinitas maupun aktivitas sehari-hari. Maklum digenerasi saya, persoalan kesehatan menjadi salah satu tema yang cukup menyita perhatian.

Entah dengan kabar menanyakan kesehatan seperti Diabetes, jantung, paru-paru, asam urat, encok maupun penyakit-penyakit lain. Biasanya diantara teman saling berbagi tips. Baik anjuran menemui dokter, ramuan herbal maupun berbagai tips-tips lain.

Diskusi mulai serius. Setelah kekesalannya tentang “pertemuan Megawati-Prabowo, Surya Paloh- Anies’ mulai mendominasi pembicaraan. Saya cuma berujar.

Belum sampai maqom, kita, lur”, kata saya untuk menetralkan suasana. Sembari berucap sayapun tidak perlu memberikan klarifikasi mengapa ada dua pertemuan penting. Kalaupun hendak berujar untuk kemajuan bangsa dan menghentikan perdebatan, klarifikasi apapun menjadi tidak berguna. Karena saya tahu, dia pendukung Ahok tulen. Bahkan rela mati-matian membela Ahok.

Sebagai punggawa yang ciamik, pertemuan Jokowi-Prabowo dan dilanjutkan pertemuan Megawati-Prabowo tentu mempunyai itung-itungan politik yang matang. Kedua belah tentu saja mendapatkan perhitungan politik. Selain tentu saja akan mendinginkan suasana paska pilpres.

Tema mulai berlanjut. Sang dulur malah mempromosikan Ahok.

Indonesia kehilangan intan. Indonesia mencampakkan Intan’, katanya berapi-api. Sayapun mulai berkerut kening. Mengapa tema ahok mulai mendominasi pembicaraan.

Bukankah Ahok telah terbukti menista Agama. Karir politik Ahok sudah habis. Dia sendiripun mengakuinya”, kata saya penasaran.

Yah. Pengadilan dibawah tekanan. Indonesia tidak mampu keluar dari persoalan identitas. Bagaiman Indonesia mau maju, kalau orang sebaik Ahok justru dicampakkan”, katanya semakin berapi-api.

Waduh. Kok malah ribet begini. “Bukankah di Indonesia masih banyak putra-putra terbaik. Jangan Gitulah.. Indonesia tidak berhenti di Ahok”, ujar saya semakin penasaran.

Bagaimana kita mau menjadi bangsa yang besar. Apabila orang-orang baik seperti Ahok justru tidak dianggap”, lagi-lagi nada berapi-api.

Ketika Ahok diserang, dimana suara kalian LSM yang katanya bela toleransi ? Mengapa kalian bungkam ? Mengapa tidak kritis ketika banyak sekali kemunduran Jakarta ?, lagi-lagi sang Dulur menggugat sembari protes.

Lho kasus Ahok dibawa kok ke internasional. Mungkin dulur tidak banyak membaca”, bela saya semakin tersudut.

Begitu juga ketika Jokowi diserang dengan berbagai hoax. Entah issu komunisme, anti islam, mendukung China”, ujarnya seakan-akan tidak menghiraukan ucapan saya.

Kalian biarkan Ahok dan Jokowi berjuang sendiri. Eh, ketika Jokowi terpilih lagi, tiba-tiba kalian meminta Jokowi memperhatikan perjuangan LSM. Ini khan ngaco”, katanya semakin semangat. Entah berapi-api dan semangat, seakan-akan menumpahkan kekesalannya.

Sayapun membiarkan dia berujar. Tanpa lagi menyela. Takut dan khawatir emosi yang meledak-ledak tidak menemukan tempatnya. Biarlah.

Entah sudah habis emosi yang meledak-ledak. Sembari menghirup kopi yang mulai dingin. Dia kemudian berkata. “Percayalah. Intan tetap bersinar. Berkilat. Walaupun dilumpur sekalipun. Saya percaya kepada Ahok dan Jokowi. Cerita ini saya ceritakan kepada anak-anak saya. Saya ceritakan, saya telah berjuang disaat yang lain ketakutan untuk melawan”. Wuih. Heroik banget.

Sayapun tercenung. Apakah saya yang disebutkan sebagai “orang ketakutan untuk melawan ?”.

Ah. Pikiran mengganggu yang membuat tidur saya menjadi tidak nyenyak.