Akhir-akhir
ini, tema kopi mendominasi pembicaraan public. Entah menikmati khas kopi daerah
tertentu maupun cita rasa, menikmati sebagai bagian pergaulan dari melepaskan
penatnya menjalani rutinitas pekerjaan, sebagai gaya hidup maupun sebagai
bagian dari rutinitas agenda perjalanan menikmati kota ditengah malam.
Dalam
hubungan dan jaringan, istilah “mengopi” atau “kongkow-kongkow”, kadang agenda
menikmati kopi tidak menjadi agenda utama. Berbagai tempat justru tidak
mempromosikan ciri khas kopi tertentu. Agenda pembicaraan juga dibaluti dengan
berbagai pekerjaan yang menghendaki “temu” atau “kopi darat”.
Sebagai
“ajakan” ngopi, kopi merupakan salah satu bentuk ajakan yang netral, mudah
diterima dan bentuk persahabatan yang tulus. Tanpa dipretensi apapun, ngopi
merupakan salah satu bentuk diterimanya tawaran “kopi darat”.
Kopi
merupakan salah satu diplomasi yang diterima diberbagai tempat. Baik dari Aceh
maupun hingga ke Papua. Bahkan disudut kota manapun, warung kopi, café,
coffeshop menjamur. Berjejeran hingga menjelang subuh. Sebagai bagian dari
kehidupan malam penduduk.
Kopi
kemudian ditanam. Baik dari Aceh hingga Papua. Bagian dari kehidupan masyarakat
di nusantara.
Ditengah
masyarakat Melayu Jambi, menikmati kopi merupakan bagian dari kehormatan tuan
rumah. Lihatlah. Ketika tamu datang (walaupun malam), sang istri ataupun sang
putri segera bergegas ke dapur. Menghidupkan kompor dan memanaskan air. Istilah
di Jambi dikenal sebagai “menjerang air”.
Kopi
tidak mempunyai cita rasa yang khas tanpa harus air yang mendidih. Kopi tidak
nikmat apabila hanya menggunakan air panas (baik
dari dispenser maupun dari termos).
Ritual
“menjelang air” hingga diseduh memakan
waktu yang cukup lama. Paling cepat 15-20 menit. Namun ketika kopi panas
dihidangkan, kita tidak dapat meneguknya seketika. Memerlukan waktu 20-25 menit
untuk menghabiskan kopi. Sehingga proses dari “menjerang air” hingga menghabiskan kopi memerlukan sedikitnya 1
jam. Proses yang cukup untuk menikmati obrolan.
Begitu
panjangnya proses “menjerang air”
hingga menghabiskan kopi adalah waktu yang cukup sebagai ajang silahturahmi,
bercengkrama bahkan bersenda gurau. Bagian dari proses pembicaraan dan ajang
berkunjung.
Tidak
salah kemudian Kopi adalah satu ritual diplomasi dalam hubungan social. Kopi
adalah peradaban ditengah masyarakat yang mempunyai kekerabatan yang kuat. Relasi
social yang tetap dijaga dan dirawat hingga kini. Sebagai bangsa yang beradab
yang tetap menjaga hubungan silahturahmi.
Namun
ritual ini tidak mungkin kita nikmati disuasana café.
Lihatlah.
Bagaimana para pengunjung yang kemudian datang menikmati kopi malah tersita
dengan keasyikan masing-masing. Baik dengan keasyikan menikmati gadget maupun
dengan urusan masing-masingnya. Ritual yang sungguh aneh ditengah kota. Kehilangan
nurani sebagai diplomasi kopi.
Menikmati
kopi kemudian menjadi “urusan” mencicipi kopi. Menikmati kopi kemudian
kehilangan esensi hubungan silahturahmi dan relasi social. Menikmati kopi cuma
urusan “cita rasa”. Sebuah esensi yang jauh dari diplomasi kopi.
Lalu
mengapa datang ke café atau coffeshop apabila penghuninya masih sibuk dengan
urusan gadget ?
Mengapa
kita tidak mau sejenak meletakkan gadget dan kemudian membangun relasi social dengan
bertemu sembari menikmati kopi.
Bukankah
agenda “ngopi” adalah agenda sosialisasi dan menikmati kehidupan malam sembari
bertemu teman-teman sekolah atau teman-teman diluar teman sekantor.
Sembari
menggeleng kepala, aku perhatikan disekelilingku. Mereka sudah jauh dari diplomasi
kopi. Ngopi kehilangan ritualnya. Ngopi cuma urusan menikmati kopi.
Baca : Obrolan Warung Kopi
Advokat. Tinggal di Jambi