29 Agustus 2019

opini musri nauli : PERGESERAN GAYA KEPEMIMPINAN WALHI


Mendapatkan kabar duka awal minggu ini seakan-akan menyentak dada. Direktur Walhi Kalsel (2012-2015) kemudian menghadap Sang Khalik. Ditengah usianya yang masih relative muda.
Menyebutkan Dwitho Prasetiandy (aku lebih suka memanggil Gatot. Walaupun banyak yang suka memanggil Andi), teringat seorang Direktur Walhi yang muda, energik dan suka humor. Khas anak muda milenial.

 

Kadang dengan enteng dia berujar “apo dio ?’, khas dialek Melayu ketika saya sering ngomong berapi-api. Forum kemudian menjadi cair. Suasana gelakpun terasa.

Secara pribadi, aku lupa mulai mengenalnya. Termasuk ketika aku lebih suka memanggil Gatot disaat yang lain lebih suka memanggil “andi” atau Dwito”. Ah. Kadangkala panggilan sekedar tanda keakraban. Walaupun anti mainstream.

Namun sesama  Direktur Walhi Daerah, interaksi kami terjalin cukup rapi.

Masih ingat ketika Walhi Kalsel menjadi “tuan rumah” pertemuan nasional (Walhi-Jatam-Greenpeace) tahun 2013,  Gatot cukup gesit. Entah dengan “menongkrongi” tempat kami menginap, rela menemani jalan seputaran Banjarmasin hingga bercerita tentang advokasi di Kalsel. Provinsi yang “kononnya” luas izin tambang lebih luas dari luas provinsi Kalsel.

Termasuk juga menemani ke lapangan. Melihat “kerusakan” tambang batubara. Tema advokasi yang relative “belum kukuasai”.

Maklum. Di Jambi, tema yang hangat cuma Hutan dan sawit. Sedangkan tambang terutama mulai marak. Sehingga saya banyak belajar dari dia.

Disela-sela pertemuan, sambil berujar Gatot kemudian meminta saya. Agar dua orang stafnya akan magang di Walhi Jambi. Langsung kuiyakan. Maklum sesama Direktur Daerah, ada sepenasib-senanggungan yang kadang-kadang sering cemen. “merasa orang daerah”.

Eh, tanpa ba-bi-bu, belum sampai aku di Jambi, (maklum biasanya masih nongkrong di Jakarta setelah dari Kalsel), ketika di bandara hendak pulang ke Jambi, aku malah ditelephone teman-teman staf Walhi Jambi.

Bang, ada anak Kalsel mau magang di Jambi, Kok dak ngomong-ngomong”, teriak diujung telephone. Kudengar nadanya marah sekaligus protes.

Akupun kaget. Ucapan lisan waktu itu yang langsung kuiyakan, Namun waktu itu aku yakin, pasti Gatot akan mengirimkan surat. Bukankah “koordinasi” lebih mudah apabila adanya surat. Sehingga lebih mudah disposisi dan langkah yang mau diambil.

Langsung kutelephone Gatot. “Tot, kemarin kuiyakan kemarin, langsung dibikinkan suratlah. Biar aku enak koordinasi di Jambi. Masa aku sendiri belum sampai di Jambi, eh anggotamu sudah di Jambi. Khan dak enak aku jadinya. Ntar aku malah dibilang lupa”, ujarku protes.

Sang Gatot cuma tertawa. “Maaf, ketua. Kupikir kemarin sudah cukup”, tawa berderai diujung telephone.

iya. Tapi dengan suratmulah aku mau koordinasi. Masa lisan ?”, ujar protesku. Kamipun tertawa.

Sesampai di Jambi, aku sampaikan keadaan sebenarnya. Waktu itu teman-teman Walhi Jambi berfikiran. “mungkin ketua Nauli lupa memberitahukan kepada Walhi Jambi”.

Tidak”, kataku. “Memang aku belum kasih tau apabila belum ada surat pengantar dari Walhi Kalsel”, ujarku membela diri. Akupun tersenyum kecut. Ha.. ha.. ha.. Dasar anak muda. Urusan sepele gini kurang menjadi perhatiannya.

Hubungan personal semakin intensif ketika Gatot sedang merapikan proposal ke lembaga funding internasional. Dalam pertemuan di Mataram (NTB), Dia mendatangi kamar saya. Mau koordinasi.

Saya hanya memberikan catatan seadanya. Maklum. Saya kurang menguasai detail program. Ha.. ha.. ha..

Saya kemudian mendapatkan kabar. Ternyata proposalnya kemudian sukses. Dalam kesempatan terpisah, sambil mengajak tangan “tosh”, dia berteriak. “Sukses, ketua”. Kamipun lagi-lagi tertawa.

Sebagai “generasi muda” di Walhi, Gatot berada dalam barisan Direktur Muda yang menguasai teknis program, kampanye kreatif dan khas anak Muda.

Program yang dilauncing 2018 oleh Walhi untuk menarik anak muda agar mencintai lingkungan. Program yang dikemas dengan nama “Green student movement”. Tema ini mewarnai hingga paruh 2012.

Program ini yang kemudian berhasil menarik anak-anak muda yang kemudian berkiprah dan berkecimpung di Walhi.

Program ini kemudian sukses. Menjadi “daya ledak” di Walhi.

Generasi inilah yang kemudian mewarnai Walhi dan tersebar menjadi posisi kunci di Eknas Walhi dan para Direktur Walhi Daerah 10 tahun terakhir. Kampanye-kampanye Walhi merupakan gaya terkini. Khas anak-anak muda.

Sehingga bisa dipastikan, gaya kepemimpinan sudah beralih. Dari yang “meledak-ledak” khas aktivis 98 menjadi gaya milenial. Kaya data. Jago mengemas issu. Dan tetap trendy dengan khas anak muda.

Dan disaat ekspetasi yang tinggi kepada Gatot, aku kemudian mendapatkan kabar. Gatot kemudian pergi meninggalkan dunia. Dia pergi disaat usia paling produktif. Disaat semua berharap kepada buah investasi Direktur muda yang progresif.

Selamat jalan, Tot. Sahabat yang kocak dan mencairkan suasana.
Semoga pengabdianmu di Walhi akan dikenang generasi selanjutnya.