Mendapatkan
kabar duka awal minggu ini seakan-akan menyentak dada. Direktur Walhi Kalsel
(2012-2015) kemudian menghadap Sang Khalik. Ditengah usianya yang masih relative
muda.
Menyebutkan
Dwitho Prasetiandy (aku lebih suka
memanggil Gatot. Walaupun banyak yang suka memanggil Andi), teringat seorang
Direktur Walhi yang muda, energik dan suka humor. Khas anak muda milenial.
Kadang
dengan enteng dia berujar “apo dio ?’,
khas dialek Melayu ketika saya sering ngomong berapi-api. Forum kemudian
menjadi cair. Suasana gelakpun terasa.
Secara
pribadi, aku lupa mulai mengenalnya. Termasuk ketika aku lebih suka memanggil
Gatot disaat yang lain lebih suka memanggil “andi” atau Dwito”. Ah. Kadangkala
panggilan sekedar tanda keakraban. Walaupun anti mainstream.
Namun
sesama Direktur Walhi Daerah, interaksi
kami terjalin cukup rapi.
Masih
ingat ketika Walhi Kalsel menjadi “tuan rumah” pertemuan nasional
(Walhi-Jatam-Greenpeace) tahun 2013, Gatot
cukup gesit. Entah dengan “menongkrongi” tempat kami menginap, rela menemani
jalan seputaran Banjarmasin hingga bercerita tentang advokasi di Kalsel.
Provinsi yang “kononnya” luas izin tambang lebih luas dari luas provinsi
Kalsel.
Termasuk
juga menemani ke lapangan. Melihat “kerusakan” tambang batubara. Tema advokasi
yang relative “belum kukuasai”.
Maklum.
Di Jambi, tema yang hangat cuma Hutan dan sawit. Sedangkan tambang terutama
mulai marak. Sehingga saya banyak belajar dari dia.
Disela-sela
pertemuan, sambil berujar Gatot kemudian meminta saya. Agar dua orang stafnya
akan magang di Walhi Jambi. Langsung kuiyakan. Maklum sesama Direktur Daerah,
ada sepenasib-senanggungan yang kadang-kadang sering cemen. “merasa orang daerah”.
Eh,
tanpa ba-bi-bu, belum sampai aku di Jambi, (maklum
biasanya masih nongkrong di Jakarta setelah dari Kalsel), ketika di bandara
hendak pulang ke Jambi, aku malah ditelephone teman-teman staf Walhi Jambi.
“Bang, ada anak Kalsel mau magang di Jambi,
Kok dak ngomong-ngomong”, teriak diujung telephone. Kudengar nadanya marah
sekaligus protes.
Akupun
kaget. Ucapan lisan waktu itu yang langsung kuiyakan, Namun waktu itu aku
yakin, pasti Gatot akan mengirimkan surat. Bukankah “koordinasi” lebih mudah
apabila adanya surat. Sehingga lebih mudah disposisi dan langkah yang mau
diambil.
Langsung
kutelephone Gatot. “Tot, kemarin kuiyakan
kemarin, langsung dibikinkan suratlah. Biar aku enak koordinasi di Jambi. Masa
aku sendiri belum sampai di Jambi, eh anggotamu sudah di Jambi. Khan dak enak
aku jadinya. Ntar aku malah dibilang lupa”, ujarku protes.
Sang
Gatot cuma tertawa. “Maaf, ketua. Kupikir
kemarin sudah cukup”, tawa berderai diujung telephone.
“iya. Tapi dengan suratmulah aku mau
koordinasi. Masa lisan ?”, ujar protesku. Kamipun tertawa.
Sesampai
di Jambi, aku sampaikan keadaan sebenarnya. Waktu itu teman-teman Walhi Jambi
berfikiran. “mungkin ketua Nauli lupa
memberitahukan kepada Walhi Jambi”.
“Tidak”, kataku. “Memang aku belum kasih tau apabila belum ada surat pengantar dari Walhi
Kalsel”, ujarku membela diri. Akupun tersenyum kecut. Ha.. ha.. ha.. Dasar
anak muda. Urusan sepele gini kurang menjadi perhatiannya.
Hubungan
personal semakin intensif ketika Gatot sedang merapikan proposal ke lembaga
funding internasional. Dalam pertemuan di Mataram (NTB), Dia mendatangi kamar
saya. Mau koordinasi.
Saya
hanya memberikan catatan seadanya. Maklum. Saya kurang menguasai detail
program. Ha.. ha.. ha..
Saya
kemudian mendapatkan kabar. Ternyata proposalnya kemudian sukses. Dalam
kesempatan terpisah, sambil mengajak tangan “tosh”, dia berteriak. “Sukses,
ketua”. Kamipun lagi-lagi tertawa.
Sebagai
“generasi muda” di Walhi, Gatot berada dalam barisan Direktur Muda yang
menguasai teknis program, kampanye kreatif dan khas anak Muda.
Program
yang dilauncing 2018 oleh Walhi untuk menarik anak muda agar mencintai
lingkungan. Program yang dikemas dengan nama “Green student movement”. Tema ini
mewarnai hingga paruh 2012.
Program
ini yang kemudian berhasil menarik anak-anak muda yang kemudian berkiprah dan
berkecimpung di Walhi.
Program
ini kemudian sukses. Menjadi “daya ledak” di Walhi.
Generasi
inilah yang kemudian mewarnai Walhi dan tersebar menjadi posisi kunci di Eknas
Walhi dan para Direktur Walhi Daerah 10 tahun terakhir. Kampanye-kampanye Walhi
merupakan gaya terkini. Khas anak-anak muda.
Sehingga
bisa dipastikan, gaya kepemimpinan sudah beralih. Dari yang “meledak-ledak” khas
aktivis 98 menjadi gaya milenial. Kaya data. Jago mengemas issu. Dan tetap
trendy dengan khas anak muda.
Dan
disaat ekspetasi yang tinggi kepada Gatot, aku kemudian mendapatkan kabar. Gatot
kemudian pergi meninggalkan dunia. Dia pergi disaat usia paling produktif.
Disaat semua berharap kepada buah investasi Direktur muda yang progresif.
Selamat
jalan, Tot. Sahabat yang kocak dan mencairkan suasana.
Semoga
pengabdianmu di Walhi akan dikenang generasi selanjutnya.