28 Agustus 2019

opini musri nauli : Selamat Jalan, Sobat


(In Memoriam Donny Pasaribu)
Musri Nauli

Seakan-akan tidak percaya mendapatkan kabar meninggalnya sobat seperjuangan dimasa reformasi. Tokoh yang tetap kritis walaupun dekat dengan kekuasaan.
Menyebutkan namanya teringat tubuh tambun ketika ikut barisan dari kampus UNJA ke DPRD Provinsi Jambi menjelang jatuhnya Soeharto. Bersama-sama dengan Fahrin Siregar (yang telah mendahului), tubuh tambunnya rela berjalan kaki, meneriakkan yel-yel menumbangkan Soeharto. Teriakan lantang disaat bersamaan masih ada yang tidak percaya dengan otoriter Soeharto di Indonesia.

Meneruskan sikap kritisnya, kami kemudian banyak terlibat dan kritis terhadap kerusakan sumber daya alam. Dengan membangun koalisi Forum LSM Jambi, Donny menguasai kehutanan. Termasuk liuk dan lika-liku pemasaran kayu.

Bersama-sama dengan Fahrin Siregar dan Budi Setiawan (dulu dosen namun kemudian menjadi birokrat), ketiganya handal dan menjadi “think tank” dan lokomotif teriak kerusakan hutan. Ketiganya juga terlibat aktif didalam advokasi dan sering lantang suaranya di Dinas Kehutanan.

Sebagai orang besar, kerendahan hati Donny dan persahabatan tulus tidak pernah ditinggalkan. Ketika saya hendak ke Sungai Penuh mengejar deadline memasukkan memori banding, padahal disaat bersamaan mau memasuki “arus mudik”, rental mobil yang sudah tidak tersedia, kamipun “mencarter” mobil Suzuki Carry. Mobil angkutan umum yang sering digunakan mengantar istriku kerja.

Dengan cekatan, Donny bersedia menjadi Driver menempuh perjalanan panjang ke Sungai Penuh. Waktu itu perjalanan Jambi – Sungai Penuh belum baik. Masih memakan waktu “semalaman”. Jarak cuma 180 km bisa ditempuh semalaman. Selain dikiri jalan sungai. Belum lagi menjelang masuk wilayah Kerinci, jurang-jurang menganga dalam. Jalan yang kemudian diperbaiki, dibangun jalan baru. Sekarang dapat ditempuh paling lama 5-6 jam. Relatif sudah baik dan aman ditempuh.

Kami berangkat sore hari, tidak berhenti lama karena hendak mengejar pagi hari. Deadline “memori banding”.

Dengan badannya sedikit tambun, kursi driver yang tidak sungguh tidak layak, saya merasakan betul kesulitan Donny menyesuaikan kursi driver dengan tubuhnya.

Namun dengan santai Donny berkata “Tenang, bang. Pokoknya kita kejar pagi besok harus sampai”. Doa yang terkabul. Menjelang subuh sudah berada di Sungai Penuh.

Dengan badan terhuyung-huyung, mata sedikit berkunang-kunang, saya kemudian menyelesaikan administrasi banding di Pengadilan Negeri Sungai Penuh. Disaat bersamaan, Donny kemudian tidur didalam mobil. Mengambil jeda untuk kembali “Putar kepala” harus segera pulang ke Jambi.

Setelah menyelesaikan administrasi, rebahan sebentar di mobil, sore kemudian dikebut kembali ke Jambi. Perjalanan “paling gila”.

Semoga kita sampai selamat, bang”, katanya sembari memutar music. Lagu Batak Khasnya.

Sebagai “orang Batak’, kemampuan mengemudinya masih handal. Dengan mengikuti mobil travel kerinci yang larinya “nauzubilah”, Donny mampu mengimbangi walaupun mobil kecil Suzuki Carry. Hingga sampai ke Bangko, saya kemudian meminta Donny agar tidak perlu lagi “kejar-kejaran’ dengan mobil travel Kerinci.

Tidak apa-apa. Yang penting malam kita sudah sampai di Bangko. Jalan ini aku agak hapal” sembari memelankan kendaraannya. Santai.

Menjelang pagipun kami sampai. Namun badan tidak mampu lagi untuk istirahat. Kamipun tidur disekretariat kantor Donny. Hingga sore.

Sikap setia kawan dan peduli terhadap kawan-kawan masih kurasakan. Entah berapa banyak cerita yang kudengar dari teman-teman yang lalu.

Lalu ketika aku nun jauh berada di Jambi, kudapatkan kabar duka.

Perjalanan masih panjang yang harus ditempuh ternyata Tuhan berkata lain. Donny kemudian mengikuti jejak sahabat dekatnya. Fahrin Siregar yang telah mendahului.

Selamat Jalan, sobat. Pejuang reformasi yang setia kepada gagasan terhadap ketidakadilan.

Biarlah kami yang tinggal meneruskan cita-citamu.

Advokat. Tinggal di Jambi