(In Memoriam Donny Pasaribu)
Musri Nauli
Seakan-akan
tidak percaya mendapatkan kabar meninggalnya sobat seperjuangan dimasa
reformasi. Tokoh yang tetap kritis walaupun dekat dengan kekuasaan.
Menyebutkan
namanya teringat tubuh tambun ketika ikut barisan dari kampus UNJA ke DPRD
Provinsi Jambi menjelang jatuhnya Soeharto. Bersama-sama dengan Fahrin Siregar
(yang telah mendahului), tubuh
tambunnya rela berjalan kaki, meneriakkan yel-yel menumbangkan Soeharto.
Teriakan lantang disaat bersamaan masih ada yang tidak percaya dengan otoriter
Soeharto di Indonesia.
Meneruskan
sikap kritisnya, kami kemudian banyak terlibat dan kritis terhadap kerusakan
sumber daya alam. Dengan membangun koalisi Forum LSM Jambi, Donny menguasai
kehutanan. Termasuk liuk dan lika-liku pemasaran kayu.
Bersama-sama
dengan Fahrin Siregar dan Budi Setiawan (dulu
dosen namun kemudian menjadi birokrat), ketiganya handal dan menjadi “think
tank” dan lokomotif teriak kerusakan hutan. Ketiganya juga terlibat aktif
didalam advokasi dan sering lantang suaranya di Dinas Kehutanan.
Sebagai
orang besar, kerendahan hati Donny dan persahabatan tulus tidak pernah
ditinggalkan. Ketika saya hendak ke Sungai Penuh mengejar deadline memasukkan
memori banding, padahal disaat bersamaan mau memasuki “arus mudik”, rental mobil yang sudah tidak tersedia, kamipun “mencarter” mobil Suzuki Carry. Mobil angkutan
umum yang sering digunakan mengantar istriku kerja.
Dengan
cekatan, Donny bersedia menjadi Driver menempuh perjalanan panjang ke Sungai
Penuh. Waktu itu perjalanan Jambi – Sungai Penuh belum baik. Masih memakan
waktu “semalaman”. Jarak cuma 180 km bisa ditempuh semalaman. Selain dikiri
jalan sungai. Belum lagi menjelang masuk wilayah Kerinci, jurang-jurang
menganga dalam. Jalan yang kemudian diperbaiki, dibangun jalan baru. Sekarang
dapat ditempuh paling lama 5-6 jam. Relatif sudah baik dan aman ditempuh.
Kami
berangkat sore hari, tidak berhenti lama karena hendak mengejar pagi hari.
Deadline “memori banding”.
Dengan
badannya sedikit tambun, kursi driver yang tidak sungguh tidak layak, saya
merasakan betul kesulitan Donny menyesuaikan kursi driver dengan tubuhnya.
Namun
dengan santai Donny berkata “Tenang, bang.
Pokoknya kita kejar pagi besok harus sampai”. Doa yang terkabul. Menjelang
subuh sudah berada di Sungai Penuh.
Dengan
badan terhuyung-huyung, mata sedikit berkunang-kunang, saya kemudian
menyelesaikan administrasi banding di Pengadilan Negeri Sungai Penuh. Disaat
bersamaan, Donny kemudian tidur didalam mobil. Mengambil jeda untuk kembali “Putar kepala” harus segera pulang ke
Jambi.
Setelah
menyelesaikan administrasi, rebahan sebentar di mobil, sore kemudian dikebut
kembali ke Jambi. Perjalanan “paling gila”.
“Semoga kita sampai selamat, bang”,
katanya sembari memutar music. Lagu Batak Khasnya.
Sebagai
“orang Batak’, kemampuan mengemudinya masih handal. Dengan mengikuti mobil
travel kerinci yang larinya “nauzubilah”, Donny mampu mengimbangi walaupun
mobil kecil Suzuki Carry. Hingga sampai ke Bangko, saya kemudian meminta Donny
agar tidak perlu lagi “kejar-kejaran’ dengan mobil travel Kerinci.
“Tidak apa-apa. Yang penting malam kita sudah
sampai di Bangko. Jalan ini aku agak hapal” sembari memelankan
kendaraannya. Santai.
Menjelang
pagipun kami sampai. Namun badan tidak mampu lagi untuk istirahat. Kamipun
tidur disekretariat kantor Donny. Hingga sore.
Sikap
setia kawan dan peduli terhadap kawan-kawan masih kurasakan. Entah berapa
banyak cerita yang kudengar dari teman-teman yang lalu.
Lalu
ketika aku nun jauh berada di Jambi, kudapatkan kabar duka.
Perjalanan
masih panjang yang harus ditempuh ternyata Tuhan berkata lain. Donny kemudian
mengikuti jejak sahabat dekatnya. Fahrin Siregar yang telah mendahului.
Selamat
Jalan, sobat. Pejuang reformasi yang setia kepada gagasan terhadap
ketidakadilan.
Biarlah
kami yang tinggal meneruskan cita-citamu.
Advokat. Tinggal di Jambi