03 Desember 2019

opini musri nauli : Makna PS dalam Hukum Tanah Jambi




Akhir-akhir ini tema Perhutanan Sosial (PS) mendominasi pembicaraan publik. Ditengah-tengah isssu lain seperti Reforma Agraria dan Hutan Adat.

Mandat PS tidak dapat dilepaskan dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.83/Menlhk/Setjen/KUM.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial (P 83).

Semangat P.83 adalah salah satu solusi penyelesaian konflik di sector kehutanan. Dengan target capaian 12,7 juta ha, maka P.83 adalah “penyederhanaan” dari regulasi yang mengatur hak atas tanah disektor kehutanan. Seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan kemitraan kehutanan.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/2011 Tentang Hutan Tanaman Rakyat, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.88/2014 Tentang Hutan Kemasyarakatan, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.89/2014 Tentang Hutan Desa dan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.39/2013 Tentang Kemitraan Kehutanan kemudian dicabut. P.83 kemudian “menyatukan” dalam satu regulasi.

Semangat P.83 kemudian menempatkan “masyarakat setempat yang memiliki komunitas sosial berupa penggarapan kawasan hutan dan bergantung pada hasil hutan serta aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan” (baca Pasal 1 angka 14 P.83), “kelompok masyarakat setempat adalah kumpulan dari sejumlah individu baik perempuan dan laki-laki yang berasal dari masyarakat setempat” (baca pasal 1 angka 15 P.83)”.

Untuk memahami semangat PS berdasarkan mandat P.83 maka Hukum Tanah Melayu Jambi tidak dapat dilepaskan dengan cara memotret subyek tanah, obyek tanah dan relasi dengan tanah. Keterkaitan antara satu dengan yang lain merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Sehingga PS kemudian dapat dibaca bagaimana Hukum Tanah Melayu Jambi memandangnya.

Subyek Hukum

Relasi “aktor” juga menjadi bagian penting didalam upaya resolusi konflik. Idiom “Perhutanan sosial” tegas mengamanatkan kebutuhan resolusi konflik disektor kehutanan harus dimaknai “masyarakat tinggal didalam hutan dan sekitar kawasan hutan”. Makna ini harus dibongkar dengan pendekatan hukum adat.

Untuk melihat subyek hukum didalam P.83 maka tidak dapat dipisahkan dengan penggunaan kata “masyarakat setempat” dan “kelompok masyarakat setempat”.

Ujaran (Seloko) seperti “datang Nampak muko, balek Nampak punggung”, “nasi putih air jernih”, “bermukim”, adalah relasi membuktikan antara subyek sebagaimana mandat peraturan yang berkaitan dengan perhutanan sosial.

Prosesi sosial dengan memulai tradisi upacara seperti “nasi putih. Air jernih”, “setawar sedingin”, “bubur merah. Bubur putih” adalah prosesi penerimaan terhadap masyarakat yang akan bermukim dan tinggal di masyarakat.

Prosesi “nasi putih. Air jernih”, “setawar sedingin”, “bubur merah. Bubur putih” dilakukan setelah pendatang kemudian telah “bermukim” selama setahun.

Sehingga selama setahun maka seluruh penduduk kemudian mengenalnya. Prosesi “nasi putih. Air jernih”, “setawar sedingin”, “bubur merah. Bubur putih” adalah prosesi penerimaan dan pengakuan terhadap “pendatang”. Prosesi ini harus dilalui. Sehingga tidak boleh diabaikan.

Prosesi “nasi putih. Air jernih”, “setawar sedingin”, “bubur merah. Bubur putih” sebagai ikrar penerimaan setelah setahun kemudian juga telah diatur UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (baca UU Kependudukan). Pasal 15 ayat 2 UU Kependudukan juga mengamanatkan “proses” pemindahan kependudukan setelah “waktu lebih 1 (satu) tahun”.

Makna ini juga harus ditandai dengan makna kependudukan sebagaimana “bermukim”, yang menjadi syarat utama “subyek” didalam membaca resolusi konflk disektor kehutanan.

OBYEK KONFLIK

Untuk melihat bagaimana “cara pandang” masyarakat Melayu Jambi didalam melihat tanah maka berbagai seloko menggambarkan nilai-nilai yang masih dianut.

Prosesi “mendapatkan tanah”, “cara membuat batas” adalah bentuk sebagai “obyek tanah” yang dikuasai.

Seloko Marga Bukit Bulan “Galuro Sungai. Puyang pematang” adalah Seloko ini diartikan sebagai batas tanah. Di Marga Sumay disebutkan “pinang belarik. Lambas”. Di Marga Peratin Tuo disebutkan “mentaron”. Sedangkan di Marga Kumpeh Ilir disebutkan “mentaro”. Atau “pinang yang disusun merapat” sebagai batas tanah.

Tanda batas tanah bisa berupa pinang (pinang belarik, mentaron atau mentaro). Bisa juga tanaman tua seperti durian, jengkol atau petai”.


RELASI TANAH

Di Marga Sungai Tenang menyebutkan “hilang celak Jambu Kleko”. Jambu Kleko” tanda kepemilikan tanah berupa tanaman pinang, tanaman tuo seperti durian, pete atau yang lain. Istilah “jambu kleko’ juga dapat ditemukan di Marga Peratin Tuo didalam seloko “Jambu kleko. Timbul Pembalasan.
Selain istilah “jambu kleko” juga dikenal istilah “jeluang” (Pungguk 6 Marga Sungai Tenang dan Marga Peratin Tuo).

Sehingga apabila tidak ada jambu kleko dan jeluang maka tidak dapat menunjukkan kepemilikan.

Hilangnya tanda batas tanah maka menyebabkan Ilok – ilok baumo imbo  Batang.  capo tumbuh direnah.  ilok – ilok maco tembo hilang tembo hilang tanah. . Hilang tembo dan ceritanya tentang tanah maka mengakibatkan hak terhadap tanah akan hilang (Marga Batin Pengambang).

Di berbagai Marga seperti Marga Sungai Tenang, Marga Peratin Tuo disebutkan “Di Jauh tidak dipenano. Dekat tidak disiang”. Apabila tidak terdapat lagi tanda kepemilikan, maka tanda tersebut dikategorikan sebagai tanah terlantar.

Sehingga terhadap tanah terlantar seperti “sesap rendah tungguh pemareh (Marga Bukit Bulan), “sok jerami tunggul pemareh (Marga Batin Pengambang) atau “sesap rendah jerami tinggi”, “sesap mudo”, “sesap tuo”, belukar mudo”, “belukar tuo”, belukar lasah’ adalah Seloko yang melambangkan tanah terlantar.

Sehingga ketika Tanah yang kemudian menjadi terlantar maka sang pemilik tidak dapat lagi menjadi pemiliknya. Sebagaimana seloko “hilang tembo. Hilang cerito”, atau “jauh tidak dipenano. Dekat tidak disiang”.  

Sehingga P.83 maka adalah membuktikan subyek hukum, obyek konflik dan relasi dengan satu. Keterkaitan satu dengan lain tidak dapat dipisahkan.

Dengan cara pembuktian P.83 dan pendekatan Hukum Tanah Melayu Jambi maka makna “masyarakat setempat” atau “kelompok masyarakat setempat” dapat dilakukan verifikasi.

Norma-norma yang masih tetap relevan dan eksis yang masih menjadi pandangan dan pegangan masyarakat Melayu Jambi dapat menerjemahkan didalam P.83 didalam menyelesaikan konflik disektor kehutanan.