Akhir-akhir
ini tema Perhutanan Sosial (PS) mendominasi pembicaraan publik. Ditengah-tengah
isssu lain seperti Reforma Agraria dan Hutan Adat.
Mandat
PS tidak dapat dilepaskan dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
No. P.83/Menlhk/Setjen/KUM.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial (P 83).
Semangat
P.83 adalah salah satu solusi penyelesaian konflik di sector kehutanan. Dengan
target capaian 12,7 juta ha, maka P.83 adalah “penyederhanaan” dari regulasi
yang mengatur hak atas tanah disektor kehutanan. Seperti Hutan Kemasyarakatan
(HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan kemitraan kehutanan.
Peraturan
Menteri Kehutanan No. P.55/2011 Tentang Hutan Tanaman Rakyat, Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.88/2014 Tentang Hutan Kemasyarakatan, Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.89/2014 Tentang Hutan Desa dan Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.39/2013 Tentang Kemitraan Kehutanan kemudian dicabut. P.83 kemudian
“menyatukan” dalam satu regulasi.
Semangat
P.83 kemudian menempatkan “masyarakat
setempat yang memiliki komunitas sosial berupa penggarapan kawasan hutan dan
bergantung pada hasil hutan serta aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap
ekosistem hutan” (baca Pasal 1 angka 14 P.83), “kelompok masyarakat setempat adalah kumpulan dari sejumlah individu
baik perempuan dan laki-laki yang berasal dari masyarakat setempat” (baca pasal
1 angka 15 P.83)”.
Untuk
memahami semangat PS berdasarkan mandat P.83 maka Hukum Tanah Melayu Jambi tidak
dapat dilepaskan dengan cara memotret subyek tanah, obyek tanah dan relasi
dengan tanah. Keterkaitan antara satu dengan yang lain merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan.
Sehingga
PS kemudian dapat dibaca bagaimana Hukum Tanah Melayu Jambi memandangnya.
Subyek Hukum
Relasi
“aktor” juga menjadi bagian penting didalam upaya resolusi konflik. Idiom
“Perhutanan sosial” tegas mengamanatkan kebutuhan resolusi konflik disektor
kehutanan harus dimaknai “masyarakat tinggal didalam hutan dan sekitar kawasan
hutan”. Makna ini harus dibongkar dengan pendekatan hukum adat.
Untuk
melihat subyek hukum didalam P.83 maka tidak dapat dipisahkan dengan penggunaan
kata “masyarakat setempat” dan “kelompok masyarakat setempat”.
Ujaran
(Seloko) seperti “datang Nampak muko,
balek Nampak punggung”, “nasi putih air jernih”, “bermukim”, adalah relasi
membuktikan antara subyek sebagaimana mandat peraturan yang berkaitan dengan
perhutanan sosial.
Prosesi
sosial dengan memulai tradisi upacara seperti “nasi putih. Air jernih”,
“setawar sedingin”, “bubur merah. Bubur putih” adalah prosesi penerimaan
terhadap masyarakat yang akan bermukim dan tinggal di masyarakat.
Prosesi
“nasi putih. Air jernih”, “setawar
sedingin”, “bubur merah. Bubur putih” dilakukan setelah pendatang kemudian
telah “bermukim” selama setahun.
Sehingga
selama setahun maka seluruh penduduk kemudian mengenalnya. Prosesi “nasi putih. Air jernih”, “setawar sedingin”,
“bubur merah. Bubur putih” adalah prosesi penerimaan dan pengakuan terhadap
“pendatang”. Prosesi ini harus
dilalui. Sehingga tidak boleh diabaikan.
Prosesi
“nasi putih. Air jernih”, “setawar
sedingin”, “bubur merah. Bubur putih” sebagai ikrar penerimaan setelah
setahun kemudian juga telah diatur UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan (baca UU Kependudukan). Pasal 15 ayat 2 UU Kependudukan juga
mengamanatkan “proses” pemindahan
kependudukan setelah “waktu lebih 1
(satu) tahun”.
Makna
ini juga harus ditandai dengan makna kependudukan sebagaimana “bermukim”, yang menjadi syarat utama
“subyek” didalam membaca resolusi konflk disektor kehutanan.
OBYEK KONFLIK
Untuk
melihat bagaimana “cara pandang” masyarakat Melayu Jambi didalam melihat tanah
maka berbagai seloko menggambarkan nilai-nilai yang masih dianut.
Prosesi
“mendapatkan tanah”, “cara membuat batas” adalah bentuk sebagai “obyek tanah”
yang dikuasai.
Seloko
Marga Bukit Bulan “Galuro Sungai. Puyang pematang” adalah Seloko ini
diartikan sebagai batas tanah. Di Marga Sumay disebutkan “pinang belarik.
Lambas”. Di Marga Peratin Tuo disebutkan “mentaron”. Sedangkan di
Marga Kumpeh Ilir disebutkan “mentaro”. Atau “pinang yang disusun
merapat” sebagai batas tanah.
Tanda batas tanah bisa
berupa pinang (pinang belarik, mentaron atau mentaro). Bisa juga tanaman
tua seperti durian, jengkol atau petai”.
RELASI TANAH
Di Marga Sungai Tenang
menyebutkan “hilang celak Jambu Kleko”. Jambu Kleko” tanda kepemilikan tanah berupa tanaman pinang,
tanaman tuo seperti durian, pete atau yang lain. Istilah “jambu kleko’ juga
dapat ditemukan di Marga Peratin Tuo didalam seloko “Jambu kleko. Timbul Pembalasan.
Selain
istilah “jambu kleko” juga dikenal istilah “jeluang” (Pungguk 6 Marga Sungai
Tenang dan Marga Peratin Tuo).
Sehingga
apabila tidak ada jambu kleko dan jeluang maka tidak dapat menunjukkan
kepemilikan.
Hilangnya tanda batas
tanah maka menyebabkan Ilok – ilok baumo imbo Batang. capo tumbuh direnah. ilok – ilok maco tembo hilang tembo hilang
tanah. . Hilang tembo dan
ceritanya tentang tanah maka mengakibatkan hak terhadap tanah akan hilang
(Marga Batin Pengambang).
Di
berbagai Marga seperti Marga Sungai Tenang, Marga Peratin Tuo disebutkan “Di Jauh tidak dipenano. Dekat tidak disiang”.
Apabila tidak terdapat lagi tanda kepemilikan, maka tanda tersebut
dikategorikan sebagai tanah terlantar.
Sehingga
terhadap tanah terlantar seperti “sesap rendah tungguh pemareh (Marga Bukit
Bulan), “sok jerami tunggul pemareh (Marga Batin Pengambang) atau “sesap rendah
jerami tinggi”, “sesap mudo”, “sesap tuo”, belukar mudo”, “belukar tuo”,
belukar lasah’ adalah Seloko yang melambangkan tanah terlantar.
Sehingga
ketika Tanah yang kemudian menjadi terlantar maka sang pemilik tidak dapat lagi
menjadi pemiliknya. Sebagaimana seloko “hilang
tembo. Hilang cerito”, atau “jauh
tidak dipenano. Dekat tidak disiang”.
Sehingga
P.83 maka adalah membuktikan subyek hukum, obyek konflik dan relasi dengan
satu. Keterkaitan satu dengan lain tidak dapat dipisahkan.
Dengan
cara pembuktian P.83 dan pendekatan Hukum Tanah Melayu Jambi maka makna “masyarakat setempat” atau “kelompok masyarakat setempat” dapat
dilakukan verifikasi.
Norma-norma
yang masih tetap relevan dan eksis yang masih menjadi pandangan dan pegangan masyarakat
Melayu Jambi dapat menerjemahkan didalam P.83 didalam menyelesaikan konflik
disektor kehutanan.