Marga
Bukit Bulan, Marga Batin Pengambang dan Marga Peratin Tuo mempunyai keunikan
didalam mengelola hutan dan tanah. Walaupun ketiga marga dikenal sebagai ulu
Batanghari dalam lanskap yang sama, namun keunikan tidak dapat ditinggalkan.
Untuk
memudahkan pembahasan maka penulis membagi 3 kategori. Pertama “tanah terlantar’.
Kedua pengaturan tentang humo (tanah), hewan dan buah-buahan. Ketiga tentang
hukum “buang”.
Disebut
tanah terlantar didalam Marga Bukit Bulan sebagai “ulu” Batang Limun disebutkan
didalam seloko Ayam Benci disangkak.
Tinggal telur. Merayang buah di kebango. Harta Jauh diulang-ulang. Harta Dekat
disenano.
Istilah
“penano” juga dikenal didalam Marga Peratin Tuo didalam seloko “Jauh tidak dipenano. Dekat tidak disiang.
Seloko ini mirip dengan Desa Pulau Tengah (Pungguk 6 Marga Sungai Tenang) yang
menyebutkan “harta jauh tidak dipenano.
Harta Dekat tidak disiang”.
Kategori
“tanah terlantar” juga disebutkan “Sosok
jerami, tunggul pamareh didalam Marga batin Pengambang. Ada juga
menyebutkan “Sosok jerami, tunggul
pemareh. Kalah durian dek benalu. Ilang Mentaro hilang tanah. Ilang tutur ilang
penano”
Istilah
“jerami” atau “tunggul pemareh” juga ditemukan didalam Marga Sumay “Sesap
rendah. Tunggul pemarasan”. Atau “sesap rendah. Jerami tinggi”.
Diberbagai
tempat kategori “tanah terlantar” sering juga “sesap mudo”, sesap tuo”, belukar
mudo, belukar tuo, belukar lasah. Di Marga Peratin Tuo dikenal “perimbun”.
Ketiga
Marga juga mengenal “jambu kleko”. Tanda diatas tanah sebagai bentuk perawatan.
Istilah “jambu kleko” juga dikenal Marga Sungai Tenang “hilang celak jambu
klelo”.
Selain
itu istilah “jeluang” dikenal Marga Peratin Tuo. Istilah “jeluang’ dapat
ditemukan di Marga Sungai Tenang.
Penghormatan
terhadap tanaman disebutkan didalam Seloko Marga Bukit Bulan “”Durian bapanjak. “Kepayang tidak boleh
ditutuh. Sialang dak boleh ditebang”. Atau “Durian bapanjak. Buah masak sama
diadang.
Sedangkan
Marga Batin Pengambang menyebutkan “Buah
Juluk Jangan dipanjat. Buah Panjat jangan ditutuh. Buah tutuh jangan ditebang.
Pengaturan
tentang “humo bekandang siang. Ternak bekandang
malam” didalam Marga Bukit Bulan disebutkan “Padi Bapaga Siang. Kebau Bakandang Malam”.
Sedangkan
Marga Batin Pengambang menyebutkan Undang
– undang pagar sawah. Sawah bakandang
siang. Tonak bakandang malam. Siang
bapaga tegak malam bapaga rebah.
Terhadap
para “ingkar” menerima sanksi yang didalam hukum adat Jambi sering disebut “plali”
didalam seloko “buangan dalam negeri”
atau “pusako mencil. Umo betalang jauh”
didalam Marga Peratin Tuo disebutkan “Ingkar
pulang ke bathin, kereh pulang ke rajo”. “bejalan melintang tapak, panjang tanduk naik menggileh, mentang-mentang
tanduk panjang nak menjadi orang celako dalam negeri”.
Istilah
“buangan dalam negeri”, “ingkar pulang ke
batin. Kereh pulang ke rajo’ menggambarkan bagaimana “tidak taatnya” untuk
mematuhi sanksi adat.
Sehingga
hukum “plali” sering disebutkan
didalam seloko “tinggi tidak dikadah. Rendah
tidak dikutung. Ditengah dimakan kumbang”.
Atau
sering juga disebutkan dengan “be ayam
kuau, bekambing kijang, bekalambu rosam, bekasua gambi’. Sehingga tidak
salah kemudian disebutkan sebagai “buangan
dalam negeri”.