08 Januari 2020

opini musri nauli : Paradigma MK dalam Fidusia




Dalam suatu kesempatan, saya berdiskusi dengan praktisi hukum senior tentang “campur aduk” makna Fidusia dan “beli kredit”. Termasuk juga kekeliruan memakna fidusia dalam prakteknya.

Secara harfiah, Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan. Sehingga untuk memastikan kreditor, setelah dibuatkan akta oleh notaris kemudian didaftarkan. Kemudian mendapatkan sertifikat jaminan fidusia yang memuat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Irah yang dikenal didalam putusan Pengadilan.

Sehingga sertifikat akta jaminan fidusia kemudian memiliki kekuatan hak eksekutorial terhadap kreditur apabila debitur melakukan ingkar janji. Demikian makna yang tercantum didalam UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia).

Dalam praktek, mekanisme ini yang dikenal sebagai “beli kredit”. Jadi kepemilikannya sudah atas nama debitur yang ditandai dengan nama diatas suratnya, namun pembayaran kemudian dicicil.

Ya. Seperti beli rumah KPR. Gitu.

Kategori ini tidak tepat disebut sebagai leasing. Karena leasing khan penyewaan. Dimana hak kepemilikannya tidak pindah.

Kerancuan ini sering ditemui ditengah masyarakat.

Problema hukum mulai timbul. Bagaimana apabila sang pemilik (debitur) kemudian menunggak pembayaran (wanprestasi) ?

Siapa yang menentukan “waktu keterlambatan” ? Apakah sang kreditur berhak untuk mengambil barangnya ?

Apabila dilihat dari UU Fidusia, maka akta jaminan fidusia dapat saja melaksanakan pengambilan barang. Akta jaminan fidusia sudah dapat menjadi pengambilan yang kekuatan hukumnya adalah seperti putusan pengadilan.

Lalu apakah bisa kreditur bisa mengambil hak milik orang lain tanpa putusan pengadilan ?

Problema inilah yang menjadi tema ketika saya diskusi dengna praktisi hukum senior.

Dengan lembut dia mengatakan “tidak boleh hak milik dirampas” oleh siapapun. Itu asas yang terus menjadi pedoman saya didalam melihat tema fidusia.

Dengan asas itulah maka sang kreditur tidak dibenarkan “mengambil” barang milik orang lain tanpa putusan pengadilan. Asas ini tidak boleh dikalahkan atas nama fidusia sebagaimana sering disampaikan berbagai kalangan.

Akta jaminan fidusia adalah bentuk perjanjian para pihak. Para pihak menundukkan diri sebagai kekuatan hukum (Pasal 1320 KUHPer). Namun proses peralihan, para pihak yang keberatan (kreditur) adanya keterlambatan dari sang debitur tetap harus meminta kepada pengadilan untuk menyerahkannya kepada kreditur. Itulah asas yang tetap dipegang dalam dunia hukum.

Tema ini sering menjadi perdebatan ditengah masyarakat. Bahkan dikalangan praktisi hukum juga sering menjadi polemik.

Pada tanggal 6 Januari 2020, MK berdasarkan putusan MK No. 18/PUU-XVIII/2019 telah menjawab polemik.

Pertama. MK menyadari perjanjian fidusia antar debitur dan kreditur “menunjukkan ketidakseimbangan posisi tawar antara pemberi fidusia (debitur) dan penerima fidusia (Kreditur). Hubungan ini dikenal “keadaan tidak bebas secara sempurna dalam kehendak”. Padahal keadaan ini tidak dibenarkan dalam perjanjian. “Keadaan bebas” adalah pondasi penting kepada kedua belah pihak (Pasal 1320 KUHPer).

Pondasi penting ini kemudian ditandai dengan ukuran “wanprestasi (cedera janji)” sepihak kepada kreditur tanpa kesempatan kepada debitur untuk melakukan pembelaan diri atau sanggahan.

Kedua. Sehingga akta jaminan fidusia yang kemudian dikategorikan sebagai “eksekutorial” sebagaimana diatur didalam pasal 15 ayat (2) UU Fidusia menimbulkan permasalahan hukum ditengah masyarakat.

Kreditur secara sepihak melakukan eksekusi (walaupun dengan alasan adanya eksekutorial didalam akta jaminan fidusia), terhadap obyek fidusia tanpa melalui proses dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Padahal kreditur tetap harus memohon kepada Pengadilan Negeri untuk melaksakan eksekusi obyek fidusia.

Ketiga. Padahal sebagaimana diatur didalam Pasal 196 HIR/Pasal 208 RBg “: “Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari”.

Dengan demikian apabila debitur tidak menyerahkan obyek fidusia secara sukarela, maka kreditur berdasarkan Pasal 196 HIR/Pasal 208 Rbg harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri.

Dengan pertimbangan itulah, maka MK kemudian menegaskan didalam putusannya, setiap keterlambatan bayar (cidera janji/wanprestasi) dan debitur tidak menyerahkan obyek fidusia kepada kreditur, maka kreditur harus mengajukan ke Pengadilan.

Sekali lagi MK menunjukkan sebagai Lembaga Negara pengawal konstitusi (The Guardian of constitution).

Advokat. Tinggal di Jambi