11 Januari 2020

Negeri Astinapura : Kerumuman ditengah Pasar

 

“Sampai sekarang hamba masih bingung. Mengapa Adipati tidak mempersiapkan kuda-kuda terbaik, pasukan terlatih untuk menghadapi serangan dari dewa Air, sobat”, kata sang pengelana sembari mencicipi ubi rebus di lopak pasar. Suaranya terdengar penghuni lopak.


“Iya, malah adipati menyiapkan kentongan kepada punggawanya. Dengan kentongan maka apabila ada serangan dari dewa air, maka penduduk akan segera mengungsi”, kata temannya. Tangannya tidak lupa mencomot pisang. Rokok terus mengebul di lopak.


“Bukankah sebagai Adipati dia sudah berbuat baik kepada rakyat. Mengabarkan kepada rakyat apabila ada serangan dari Dewa Api menggunakan kentongan”, kata sang pengelana lain. Dia baru saja tiba. Keringatnya bercucuran. Hari yang terik membuat dia mengaso di lopak. Tidak lupa memesan teh pahit kepada sang ibu warung.


“Pesan teh pahit, bu. Hamba lelah sekali”, Sambil berteriak dan menyulurkan kakinya. Ngaso sembari menikmati semilir angina berhembus. Sepoi-sepoi. Sejuk. Matanya sedikit mengantuk. Mulut menguap.


“Tugas adipati mempersiapkan pasukan terbaik menghadapi serangan Dewa Air. Tugas punggawa memberitahukan kepada penduduk. Agar mempersiapkan diri dari serngan Dewa Air”, kata sang pengelana heran.


“Bukankah adipati telah menerima upeti dari rakyat. Dia hidup dari kas kerajaan”, kata sang ibu warung sembari mengantarkan teh pahit. “Ini cepat diminum. Biar badan lega”, katanya.


“Selama ini saya menempuh perjalanan. Berjalan dari satu negeri ke negeri yang lain. Mengitari bukit. Sang Adipati ini kurang siap menghadapi serangan negara air. Sang adipati malah sibuk berhias. Omongannya seperti bergumam. Bekerja dengan pikirannya sendiri. Kadang hamba tidak mengerti apa yang hendak disampaikan”, kata sang Pengelana bingung.


“Dia hidup dengan dunianya sendiri. Dia tidak bertanggungjawab kepada rakyatnya. Serangan dari negara Air cuma dijawab cengengesan. Memalukan”, kata sang Ibu warung.


“Iya, bukde. Semoga kita mendapatkan pemimpin yang amanah. Tidak mau menang sendiri”, kata sang pengelana.


“hamba pergi, bukde. Terima kasih atas teh pahitnya.”, kata sang pengelana sembari keluar dari warung.