Ketika slogan “new normal” dikumandangkan, nada koor menyetujui, menolak bahkan cemoohan menjadi wacana public. Pihak yang setuju, kemudian malah menganjurkan ‘agar memasuki kehidupan” dengan tetap menjaga jarak, pakai masker, cuci tangan untuk kehidupan selanjutnya.
Sedangkan yang menolak kemudian “mempertanyakan”. Dimulai dengan penggunaan istilah “new normal” yang sok-sok Bahasa asing, menolak diterapkannya “new normal’ melihat angka yang semakin tinggi jumlah angka virus corona di Indonesia.
Secara sekilas, dari protocol (baik yang dianjurkan oleh WHO) maupun slogan yang ditetapkan Pemerintah ada beberapa ketentuan yang menjadi pedoman untuk kehidupan setelah dicabutnya PSBB beberapa waktu yang lalu.
Meminjam istilah Prof. Bahder Johan dalam diskusi webinar Fakultas Hukum UNJA beberapa waktu yang lalu, anjuran mengikuti protocol adalah “mekanisme” hukum moral. Ajakan untuk menghindarkan penyebaran corona lebih jauh.
Sebagai “hukum moral”, maka yang diutamakan adalah sanksi moral. Menggerakkan masyarakat agar patuh terhadap protocol.
Myrna Savitri lebih suka menyebutkan sebagai “kemanfaatan hukum” dengan merujuk kepada Maklumat Kapolri.
Sebagai “hukum moral (meminjam istilah Prof Bahder), maka yang diutamakan adalah kemanfaatan hukum (meminjam istilah Myrna Savitri). Sehingga dengan hukum moral dan mengetengahkan pendekatan kemanfaatan hukum, maka “revolusi masyarakat” untuk bersikap dan memulai “new normal” adalah keutamaan yang paling penting.
Dalam beberapa protocol kesehatan yang dicanangkan oleh WHO, ada beberapa point yang menarik untuk melihat lebih jauh. Terutama dengan budaya masyarakat untuk menerapkannya.
Pertama. Jaga jarak. Salah satu protocol yang susah diterapkan. Berbeda dengan tradisi di Jepang yang hanya menganggukkan kepala sebagai tanda penghormatan dan persahabatan, di Indonesia, tradisi bersalaman, cipika-cipiki, mencium tangan adalah tradisi menjadi bagian dari kehidupan social ditengah masyarakat.
Hampir praktis, tidak ada satupun masyarakat di Indonesia yang tidak menggunakannya. Entah bersalaman, cipika-cipiki ataupun mencium tangan adalah tradisi yang sudah melekat.
Dibutuhkan revolusioner yang luar biasa untuk mulai menghilangkan tradisi ini. Sekaligus memulai tradisi hanya tangan bersekap didada sebagai tanda penghormatan ataupun persahabatan.
Apakah bisa ? Apabila pertanyaan itu disampaikan, maka penulis masih berkeyakinan. Sulit. Sesulit masyarakat membuang sampah pada tempatnya.
Kedua. Pakai masker. Tradisi ini sebenarnya melekat di pengendara sepeda motor yang hobby touring keluar kota. Masker adalah alat yang wajib dikenakan selain helm.
Selain itu, di kota-kota besar, hampir praktis, masyarakat urban sudah sering menggunakan masker apabila menggunakan angkutan umum. Entah mikrolet, angkot ataupun kereta api.
Sehingga praktis, protocol kesehatan menggunakan masker tinggal digalakkan lebih massif dan sabar.
Minimal seluruh fasilitas umum entah swalayan, restoran ataupun fasilitas umum diwajibkan menggunakan masker.
Ketiga. Cuci tangan. Tradisi cuci tangan, cuci muka adalah tradisi dari leluhur bangsa Indonesia.
Diberbagai tempat yang masih menerapkan ajaran leluhur nenek moyang, hampir didepan setiap rumah selalu disiapkan tempayan besar untuk mencuci tangan dan cuci kaki. Tradisi ini hampir hilang. Terutama di perkotaan.
Namun apabila cara ini diterapkan, protocol ini kembali kepada ajaran nenek moyang. Kembali ke “bac to basic.
Dengan demikian protocol kesehatan seperti Cuci tangan dapat dibaca sebagai kembali ke ajaran leluhur (back to basic). Menggunakan masker dilihat sebagai “perkembangan tradisi” masyarakat urban. Dan menjaga jarak sebagai “upaya revolusioner” menghadapi perubahan zaman.
Sehingga protocol kesehatan untuk “memasuki” new normal” harus dibaca sebagai “perpaduan” pengetahuan leluhur bangsa Indonesia, perilaku masyarakat urban dan revolusioner yang menjadi bagian dari kehidupan kita selanjutnya.
Sudah saatnya protocol kesehatan menjadi bagian dari kehidupan yang harus diterapkan.
Meminjam kalimat yang paling elegan (saya lupa siapa yang menyebutkannya), makhluk hidup yang bertahan, bukanlah makhluk hidup yang paling kuat. Tapi adalah makhluk hidup yang paling mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Pencarian terkait : Opini Musri Nauli, Musri Nauli, jambi dalam hukum, Hukum adat jambi, jambi, sejarah Hukum adat jambi, politik jambi,
Opini Musri Nauli dapat dilihat www.musri-nauli.blogspot.com