SETELAH norma-norma berupa pasal-pasal kemudian termaktub didalam berbagai peraturan perundang-undangan, maka diperlukan penafsiran untuk membacanya.
Dalam praktek putusan pengadilan, berbagai penafsiran hukum sering digunakan oleh hakim didalam pertimbangan hukumnya.
Diantaranya adalah “apa adanya” (letterlijk) atau harfiah. Penafsiran ini menekankan arti dan makna yang jelas diatur didalam peraturan perundang-undangan. Misalnya yang disebut siang adalah dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore.
Cara ini juga sering menggunakan penafsiran yang sudah jamak diketahui arti sebenarnya oleh masyarakat secara umum.
Selain itu juga dikenal penafsiran historis, penafsiran grammatical, sosiologis, filosofis, penafsiran terbalik (a contrario) dan sebagainya.
Penafsiran hukum harus tunduk dengan kaidah-kaidah hukum. Penafsiran hukum tidak dibenarkan untuk kepentingan segelintir orang.
Penafsiran harus mampu menjawab persoalan a concrete berdasarkan norma yang mengaturnya.