PANTAI TIMUR SUMATERA SEBAGAI PERADABAN
Musri Nauli *
Budaya iku kaca benggalaning bangsa
(kebudayaan itu menjadi cermin besar yang menggambarkan peradaban satu bangsa),
Pepatah Jawa
Indonesia merupakan Kepulauan dengan jumlah pulau yang mencapai 17.508 dan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 Km (DKP, 2008).
Sebagai negara bahari, Indonesia tidak hanya memiliki satu “laut utama” (heart of sea), tetapi terdapat tiga laut utama yang membentuk Indonesia sebagai suatu sea system, yaitu Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda (Surowo, 2012).
Wilayah Indonesia yang mayoritasnya terdiri dari wilayah perairan (±70%) menyebabkan banyak masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dari laut serta membentuk suatu kebudayaan maritim.
Menurut Endang Susilowati, kelompok etnis yang merupakan pengembara laut (sea nomads) atau yang dikenal sebagai “orang laut,” yaitu suku Moken di Kepulauan Mergui (perairan Birma), Orang Laut di Kepulauan Riau-Lingga, dan Suku Bajau yang tersebar di sebagian besar wilayah perairan Indonesia bagian timur. Mereka merupakan kelompok masyarakat yang tidak hanya bermukim di wilayah perairan, tetapi juga menggantungkan seluruh kehidupannya pada kekayaan hayati laut. Cara hidup ketiga etnis ini mirip satu sama lain, bahkan diduga mereka memiliki nenek moyang yang sama.
Nama Bajau semula dipakai sebagai sinonim bagi Orang Laut di wilayah perairan Riau-Lingga. Nama Bajau atau Bajo, seperti halnya nama Orang Laut, sebenarnya merupakan nama yang diberikan oleh orang di luar suku tersebut.
Orang Bajau menyebut diri mereka dengan istilah sama (berasal dari kata sasama yang merupakan kependekan dari kata “sama-sama”). Sebagian dari mereka tinggal di dalam rumah perahu yang disebut leppa atau lepa-lepa.
Bangsa Bugis selama ini terkenal sebagai pelaut ulung, tidak mengherankan sebab nama Bugis sendiri berasal dari kata To lu’ pabbugi’ yang artinya “Manusia laut yang Menangkap ikan’ (Matulada, 1991).
Orang Bugis bahkan kala itu sudah mampu membuat aturan pelayaran dan perdagangan yang bernama Amanna Gappa yang berisi antara lain tentang syarat menakhodai perahu, pertikaian dalam pelayaran, aturan perubahan haluan perahu, pertikaian dalam penjualan, pertikaian dalam pelayaran (Asba, 2009).
Pantai Timur Sumatera kemudian mengenal “Orang Laut” (Kepulauan Riau), Desin Dolak (Indragiri Hilir) (Berbagai sumber).
Di Jambi dikenal “Duano” (Kampung Tanjung Solok dan Kampung Nelayan Provinsi Jambi). (Ichwan Azhari dkk).
Di Sumatera, maritim tidak dapat dipisahkan di pantai Barat Sumatera dan Pantai Timur Sumatera. Sebagai jalur perdagangan penting dalam perjalanan di nusantara.
Di Pantai Barat Sumatera dikirimi kopi, kapur barus (kamper), kemenyan, lada, beras, kayu manis, gambir, kulit hewan ternak, getah karet, minyak kelapa, dan kopra. Titik pusat keramaian perdagangan dan pelayaran di kawasan itu adalah Padang. Dengan jalur Inderapura di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, Barus, hingga Singkil di Aceh. Belum lagi Bengkulu dan Lampung (Gusti Asnan, 2007).
Sedangkan pantai timur Sumater, Selat Malaka memberikan pintu jalan ke Nusantara dari India. Menurut Obdeyn dalam laporan penelitiannya mengenai peta kuno masa Sriwijaya, deretan pulau-pulau mulai dari wilayah Semenanjung Malaya – kepulauan Riau – Lingga, Kuala Tungkal, Sabak dan sampai Pulau Bangka (Sholeh, 2018).
Dengan kekayaan lada sebagai “emas hitam” sebagai komoditi utama yang kemudian menjadi jalur penting dalam maritim.
Di Jambi lada dihasilkan daerah ulu Jambi seperti Tanjung, Kuamang, Sumai, Muara Tembesi dan VII. Selain itu jalur perdagangan kemudian dikirim ke Selat Malaka melalui Muara Ketalo (Lindayanti menyebutkan “Malaka Kecil), Sungai Indragiri dan menyeberang Pantai Timur Sumatera (Dedi Arman, 2018).
Jalur yang membuat “ngences” bangsa-bangsa dunia seperti Portugis, Tiongkok, Belanda dan Inggeris.
Mengingat pentingnya jalur perdagangan maritim, maka peradaban maritim menarik untuk dilihat lebih jauh.
Sebagai sebuah peradaban, maritim nusantara mengenal cara pandang terhadap laut, tradisi penghormatan, teritori dan kalender.
Cara pandang masyarakat terhadap laut tidak dapat dipisahkan dengan penghormatan. Di Pantai Selatan Jawa dikenal Nyi Roro Kidul. Dewi Selatan yang menguasai pantai selatan.
Di Lampung dikenal Sanghyang Jagat Batara (Penguasa Alam Semesta) dan Dewa Baruna. Dewa Baruna akan murka dan segera mengirim bencana melalui Dewa Petir, Dewa Halilintar serta Dewa Angin yang mengakibatkan nelayan tidak dapat melaut dan pada akhirnya tidak dapat mencari ikan sebagai sumber kehidupan utama bagi mereka (Nining Nur’Aini dkk, 2013). Di Pemalang dikenal “mbaurekso atau penguasa laut (Umi Kulsum, 2007)
Sehingga kemudian dilakukan tradisi untuk menghormati “Penguasa”, atau Dewa” laut. Berbagai sumber menyebutkan seperti “Sedekah laut” (Bandar Lampung, Pekalongan, Pemalang), Nadran (Lampung), Jamu Laut (Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang, Langkat), “Petik Laut”, (Banyuwangi), tutup layang” (Lamongan), “rokatan (Madura).
Di Pesisir Telukj Bintuni, dikenal teritori. Di Desa pesisir dikenal teritori yang ditandai alam seperti tanjung, sungai dan pohon besar. Sedangkan batas kea rah laut dikenal “air keruh” (air sungai, air keruh, air payau, air sagu” dengan “air jernih”. Biasa disebut “mata arus”. (Gatot Yulianto, 2008)
Sedangkan Orang Bajo mengenal kalender. Januari sampai Maret nelayan Bajau biasanya menyelam untuk mengambil tripang; bulan-bulan Juli dan Agustus mereka mengambil kima dan jenis kerang lainnya; pada bulan-bulan September hingga Desember sebagian dari mereka akan memancing dan sebagian lainnya menangkap ikan dengan pukat dan jaring. Bulan April merupakan masa istirahat karena pada waktu itu adalah masa pancaroba sehingga sering terjadi gelombang besar (Endang Susilowati).
Mengutip Filosofi Orang Bajo “Papu manak ita lino bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana. (Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, manusia memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya).
Sehingga tidak salah kemudian “maritim nusantara” adalah sebuah peradaban Panjang.
Cara pandang, teritori, kalender adalah warisan leluhur nenek moyang bangsa Indonesia didalam melihat relasi manusia dengan alam, penghormatan dan pengetahuan mengenai laut.
Pencarian terkait : Opini Musri Nauli, Musri Nauli, jambi dalam hukum, Hukum adat jambi, jambi, sejarah Hukum adat jambi, politik jambi,
Opini Musri Nauli dapat dilihat www.musri-nauli.blogspot.com