Didaerah hilir Jambi yang kemudian dikenal di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Muara Jambi, yang kemudian dikenal sebagai Daerah gambut, justru kita harus belajar dari kampung.
Semula sebagian kalangan meyakini daerah gambut dapat dikelola. Dengan aturan sangat ketat.
Keluarlah berbagai mekanisme seperti Titik muka Air tanah yang kemudian diatur didalam PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016, Permen LHK No. 15,16,17/2017, Permentan No. 5/2018.
Namun ternyata justru kebakaran masih berulang. Apakah memang regulasi yang tidak ditaati atau memang gambut yang tidak boleh dikelola ?
Sebelum memastikan apakah gambut bisa dikelola atau tidak semata-mata didasarkan tentang kedalaman gambut yang boleh dikelola atau tidak.
Pertanyaannya ? Apakah gambut dikedalamanan 3 meter merupakan areal yang aman untuk dikelola ?
Dalam praktek ditengah masyarakat, kawasan gambut sering disebutkan seperti “Tanah redang” (Riau), Soak, danau, lopak, Payo, Payo dalam, Bento, hutan hantu pirau (Jambi), Rawang Hidup, lebak Lebung, Lebak Berayun (Sumsel), Tanah Sapo, Gente (Kalbar), Pakung pahewa, Tanah Petak, Petak Sahep (Kalteng), Tanah Ireng, Tanah Item (Kalsel), Tanah Begoyang (Papua)”.
Namun berdasarkan pengetahuan masyarakat, nama-nama tempat yang disebutkan justru terjadinya kebakaran.
Di Desa Sungai Aur nama-nama tempat seperti Danau Ara, Danau Selat, Danau Rumbe, Talang babi, Lubuk Ketapang, Pematang kerangi, Pematang Kayo, pematang duren, Sungai Batanghari, Sungai Sumpit, Sungai Aur, Sungai Palu dan Olak Resam adalah tempat-tempat menyediakan air untuk tanaman padi. Khas Payo.
Kebakaran 2015 kemudian menghanguskan seluruh areal yang semula ditanami padi dan kemudian telah menjadi tanaman sawit. Padahal Desa Sungai Aur terkenal sebagai “lumbung padi” sebelum kedatangan sawit tahun 2000-an.
Begitu juga di Desa Kota Kandis Dendang dikenal tempat seperti Hutan Hijau, Pematang Gede Mat, Ujung Sungai Bungur, Ujung Pematang Tepulo, Ujung Pematang Sirih, Ujung Pematang Tepus (Desa Sungai Bungur).
Nama-nama tempat yang disebutkan masyarakat justru adalah daerah yang merupakan daerah yang memang tidak dibenarkan untuk dibuka (konversi).
Baik untuk pertanian. Apalagi untuk perkebunan. Daerah ini hanya digunakan untuk mengambil ikan dan air bersih (akses). Sehingga dipastikan dari dulu memang daerah itu adalah dilarang untuk dikelola. Daerah ini kemudian dikenal sebagai “gambut dalam”. Secara scientific ditempatkan sebagai kawasan lindung.
Lalu berapa kedalaman areal gambut lindung berdasarkan praktek ditengah masyarakat ?
Di Dayak dikenal proses mengetahui tekstur tanah. Dengan menancapkan Mandau dan kemudian menariknya, maka akan ditentukan apakah daerah itu boleh dibuka atau tidak boleh. Apabila diujung Mandau terdapat tanah, maka tanah boleh digunakan. Sedangkan apabila diujung Mandau ternyata tidak ditemukan tanah, maka daerah itu kemudian tidak boleh diganggu.
Didaerah Kumpeh ditandai dengan “akar bekait, pakis dan jelutung” (Walhi, 2016). Didaerah Hilir Jambi dikenal dengan “dua-tigo mato cangkul” (Perdes Sungai Beras, Tanjabtim).
Kesemuanya bermakna sebagai fungsi lindung. Dan rata-rata dikedalaman cuma 0,5 meter.
Didaerah lindung gambut inilah, areal hanya digunakan untuk mengambil ikan, air dan pandan serta purun.
Sehingga dipastikan, data-data empiris yang berangkat dari praktek pengetahuan di Desa sekitar gambut yang meletakkan sebagai daerah budidaya gambut oleh regulasi negara yang kemudian terbakar adalah daerah lindung yang harus dikembalikan fungsinya. Fungsi lindung. Sehingga harus dikembalikan dibasahi (restorasi gambut).
Sehingga penetapan fungsi lindung dikategorikan kedalamanan 3 meter terbantahkan dengan kebakaran massif yang terus berulang hingga tahun 2019.
Justru regulasi menetapkan kedalaman 3 meter harus sesuai dengan tipologi gambut. Berdasarkan kebakaran yang terus berulang dan praktek pengetahuan ditengah masyarakat justru regulasi harus menetapkan kedalamanan gambut 0,5 meter. Praktek yang sudah dikenal masyarakat gambut turun temurun.
Selama nama-nama tempat yang disebutkan masyarakat yang ternyata sering terjadi kebakaran namun tidak dilakukan pengembalian fungsi gambut dengan cara membasahinya (Restorasi gambut), maka selama itu pula sering terjadi kebakaran.
Dan kita tidak mau mengulangi kesalahan yang telah terjadi. Dan mengembalikan pengetahuan masyarakat sebagai cara Belajar kita dari kampung.