25 April 2021

opini musri nauli : Belajar dari Riau (1)


Dalam sebuah pertemuan di Jambi, penulis mendapatkan kesempatan untuk belajar dari Riau tentang mengelola gambut. Masyarakat menyebutkan “gambut” (Desa Nipah Sendanu), mangrove atau bakau (Desa Tanjung Sari), hutan mangrove (Desa Sungai Tohor). Kesempatan yang langka ini merupakan sebuah proses melihat pengelolaan gambut di Riau.

Desa-desa yang menarik perhatian penulis adalah Desa Tanjung Damai, Desa Nipah Sendanu, Desa Lukun, Desa Tanjung Sari, Desa Bandar Jaya, Desa Sungai Linau dan Desa Sungai Tohor.


Desa Nipah Sendanu dan Desa Tanjung Sari merupakan Desa Pemekaran dari Desa Sungai Tohor. Desa Sungai Tohor menjadi terkenal ketika kedatangan Jokowi tahun 2014. Model pengelolaan gambut di Sungai Tohor merupakan inspirasi daerah-daerah yang terdapat gambut.


Didalam pengelolaan, masyarakat mengenal batas-batas Desa yang disebut “Sempadan”. Di Jambi dengan penamaan yang berbeda-beda. Di Daerah hulu biasa disebut Tembo. Sedangkan di daerah hilir dikenal Batas.


Masyarakat juga mengenal daerah-daerah yang tidak boleh dibuka. Di Riau disebut “Kawasan larangan”.  Di Desa Tanjung Sari, Gambut merupakan kawasan yang dilindungi. Nilai ini juga terdapat di Jambi. Masyarakat hilir terutama di daerah gambut juga menghormati gambut yang dilindungi. Daerah-daerah ini ditandai dengan “akar bekait, jelutung dan pakis”.


Di Desa Lukun terdapat di Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Tasik atau Danau. Begitu juga di Desa Bandar Jaya. Kawasan hutan tidak boleh dibuka. Sedangkan di Jambi disebut “Hutan Hantu Pirau’.


Desa Sungai Tohor juga melarang membuka di kawasan Tasik. Bahkan Sungai Tohor tegas melarang membuka hingga 500 meter dari kawasan Tasik. Sungai Tohor juga melarang kawasan hutan yang terdapat di hutan Mangrove (Gambut atau Rawa).


Baca juga : Gambut dari pendekatan etnografi