09 Juli 2022

opini musri nauli : Fitnah


Dalam sebuah proses dramatic penangkapan pelaku terduga pencabulan santri di sebuah pondok Pesantren di Jombang, ada kata yang menarik perhatian. 


Sang ayah yang merupakan pengasuh pondok Pesantren mengutarakan kata “fitnah” sebagai ungkapan terhadap peristiwa yang menimpa sang putra. 

Kata “fitnah” kemudian dilengkapi dengan narasi "Ini fitnah bagi anak saya. Maka silakan kalian kembali ke rumah masing-masing. Ini urusan keluarga saya”.


Ungkapan yang disampaikan didepan Kapolres Jombang. 


Dengan kata yang kemudian disambung kalimat “silahkan kalian kembali ke rumah masing-masing” dan dilanjutkan “ini urusan Keluarga saya” maka kata ini menggambarkan “cobaan”, “musibah” ataupun “urusan” keluarga yang “orang luar tidak perlu cawe-cawe” mengurusinya.


Lalu apakah tepat penggunaan kata “fitnah” yang dituturkan sang penutur untuk menggambarkan peristiwa yang menimpa sang putra ? 


Apabila didalam peristiwa yang lain, di kalangan terbatas, mungkin pesan ataupun maksud dari sang ayah bisa ditafsirkan seperti “cobaan”, “musibah” ataupun “urusan”. Sehingga redaksi kata yang digunakan bisa menggambarkan “musibah” ataupun “cobaan” yang menimpa keluarga sang ayah. 


Namun ketika dituturkan didepan Kapolres Jombang dan kemudian kata-katanya kemudian dimuat di ranah publik maka penggunaan kata “fitnah’ menjadi penting untuk menangkap pesan dari sang penutur. 


Melihat rangkaian peristiwa yang panjang seperti Proses Penyidikan yang relatif panjang, bukti Sudah cukup yang dinyatakan JPU dengan P21, kemudian dilanjutkan proses pelaksanaan P21 yaitu proses hukum acara penyerahkan tersangka, barang bukti dan berkas perkara didalam Hukum Acara Pidana, maka kata “fitnah” menjadi relevan untuk dibicarakan. 


Didalam kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “fitnah” dapat diartikan “perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang seperti menodai nama baik atau merugikan kehormatan orang. Perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak terpuji. 


Sedangkan “memfitnah” dapat diartikan “perbuatan yang menimbulkan kekacauan, seperti mengusir orang lain dari kampung halamannya, merampas harta, menyakiti orang lain, menghalangi dari jalan Allah, atau melakukan kemusyrikan”. 


Dengan demikian kata “Fitnah” dan “memfitnah” berarti menyebarkan berita bohong ataupun tidak mendasarkan kebenaran yang menyebabkan kejengkalan bagi orang lain. 


Pengaturan Fitnah diatur didalam Pasal 311 KUHP dan Pasal 317 KUHP. Pasal 311 KUHP hanya menyatakan tuduhannya tidak benar. Sedangkan Pasal 317 KUHP mendefinisikan sebagai “pengaduan palsu” atau “pengaduan fitnah”. 


Dengan demikian mengikuti alur definisi fitnah sebagaimana diatur didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan diatur didalam Pasal 311 KUHP dan Pasal 317 KUHP, maka kategori “fitnah” adalah tuduhan tidak benar, perkataan bohong atau tidak mendasarkan kepada kebenaran. 


Lalu tepatkah sang ayah mendefinisikan “fitnah” terhadap kasus anaknya yang disampaikan didepan kapolres Jombang ? 


Didalam KUHAP sendiri, menempatkan “tuduhan” apakah benar atau tidak tetap menempatkan sang pelaku dianggap “tidak bersalah”. Biasa juga disebutkan “asas praduga tidak bersalah (asas presumption of innocent)”. 


Asas yang tegas dicantumkan didalam KUHAP “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. 


Jadi “dugaan” sebagai terduga pencabulan santri di sebuah pondok Pesantren di Jombang bukanlah fitnah. Tapi proses hukum yang harus memerlukan pembuktian di pengadilan. 


Dengan demikian menggunakan diksi “fitnah” didepan Kapolres Jombang justru menempatkan sang penutur “bersembunyi” dari peristiwa yang sesungguhnya. 


Justru sang penutur “mengaburkan” peristiwa yang terjadi dan melakukan “penggiringan” yang justru malah menjauhkan dari peristiwa yang sebenarnya.