Akhir-akhir ini tema praperadilan yang kemudian menerima permohonan dari Pegi Setiawan (PS). PN Bandung kemudian membatalkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Vina dan Muhammad Rizky atau Eky oleh Polda Jabar. PS kemudian dikeluarkan dari tahanan dan kembali kerumahnya.
Ditengah dikabulkannya PN Bandung yang kemudian menuai prestasi, ada yang menarik bagi penulis yang luput dari perhatian publik. Perhatian penulis semata-mata untuk melihat kasus ini dari perspektif lain.
Untuk memudahkan pemahaman dari publik, perkara praperadilan termasuk kedalam ranah huum acara pidana. Pemeriksaan praperadilan sebagaimana diatur didalam Pasal 77 KUHAP kemudian mengalami perkembangan. Pasal 77 KUHAP tidak semata-mata hanya memeriksa “sah/tidak penangkapan/penahanan…” namun juga mengalami perkembangan. Pasal 77 KUHAP juga memeriksa “sah/tidak penetapan tersangka”. Sebuah kemajuan besar dari makna pasal 77 KUHAP.
Nah, sebagai ranah hukum acara pidana, maka yang luput dari perhatian justru para pihak yang berperkara. Sebagaimana diatur didalam Pasal 230 ayat (2) KUHAP menegaskan “Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera mengenakan pakaian sidang dan atribut masing-masing.
Turunan KUHAP juga ditegaskan didalam PP No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP (PP No. 27 Tahun 1983 junto PP No. 92 Tahun 2015). Biasa disebut PP Pelaksanaan KUHAP.
Didalam Pasal 4 PP Pelaksanaan KUHAP “Selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan, hakim, penuntut umum, panitera dan penasihat hukum, menggunakan pakaian sebagaimana diatur dalam pasal ini”. “Pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi hakim, penuntut umum dan penasihat hukum adalah toga berwarna hitam, dengan lengan lebar, simare dan bef dengan atau tanpa peci hitam”. “Perbedaan toga bagi hakim, penuntut umum, dan penasihat hukum adalah dalam ukuran dan warna dari simare dan bef. Biasa juga dikenal “celemek”.
Selain diatur didalam KUHAP, PP juga diatur didalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1966 tentang Pemakaian Toga Dalam Sidang (SEMA No. 6 Tahun 1966). Didalam SEMA 6/1966 juga ditegaskan “Sedangkan kewajiban bagi jaksa penuntut umum untuk memakai toga, hanya diberlakukan dalam sidang perkara pidana. Begitu juga Advokat.
Bagi advokat, kewajiban memakai toga diberlakukan dalam sidang perkara pidana dan juga sidang Mahkamah Konstitusi.
UU Advokat juga menegaskan. Menurut Pasal 25 UU Advokat, advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam menangani perkara pidana wajib mengenakan atribut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Advokat juga termasuk Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim dapat dikecualikan terhadap perkara yang berkaitan dengan tindak pidana Anak (pelaku Anak).
Sebagaimana diketahui terhadap tindak pidana anak (pelaku anak) diatur didalam UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (sebelum UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak).
Jadi hanya UU Peradilan Anak (UU No. 11 Tahun 2012) yang hanya mengecualikan penegak hukum (Hakim, Jaksa dan Advokat) yang hanya dikecualikan mengenakan toga.
Lalu apakah praperadilan adalah perkara yang dapat dkecualikan ?
Melihat aturan baik diatur didalam KUHAP, PP Pelaksanaan KUHAP (PP No. 27 Tahun 1983 junto PP No. 92 Tahun 2015), UU Advokat dan SEMA No. 6 Tahun 1966 kemudian dibandingkan dengan UU Pengadilan Anak (UU No. 11 Tahun 2012 junto UU No. 3 Tahun 1997 maka praperadilan termasuk hukum acara pidana yang tidak dikecualikan untuk menggunakan pakaian yang diatur didalam berbagai peraturan. Atau dengan kata lain seorang advokat dikenakan baju toga sebagaimana diatur didalam berbagai ketentuan.
Semoga pernik-pernik ini agar dapat digunakan didalam melihat proses hukum acara pidana secara komprehensif.