01 Agustus 2025

opini musri nauli : Api Amarah di Ruang Kemerdekaan: Ketika Para Bapak Bangsa Murka pada Korupsi (Perdebatan Imajiner)

 


Jakarta, 1945 – Di tengah gema proklamasi yang belum genap setahun, bayangan suram mulai menyelimuti batin para pendiri bangsa. Bukan lagi cengkeraman penjajah, melainkan monster baru yang mengancam: korupsi. Di sebuah ruangan sederhana di Jakarta, yang temaram oleh lampu minyak dan sesak oleh kepulan asap tembakau, lima tokoh besar berkumpul. Udara terasa tegang, dipenuhi kemarahan yang membuncah dari hati mereka yang telah mengorbankan segalanya demi sebuah cita-cita merdeka. Mereka adalah Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Bung Agus Salim, dan Bung Tan Malaka.



Gelegar Kemarahan Bung Karno


Pertemuan itu dibuka dengan gelegar suara Bung Karno, yang biasanya berapi-api membakar semangat rakyat, kini terbakar oleh amarah yang lain. Tangannya menggebrak meja, bukan untuk membakar semangat perjuangan, melainkan untuk meluapkan kekecewaan yang mendalam.

"Saudara-saudaraku sekalian!" seru Bung Karno, suaranya bergetar menahan luapan emosi. "Hati saya panas membara melihat gelagat pemimpin-pemimpin kita sekarang! Seolah lupa pada janji kemerdekaan, malah sibuk memperkaya diri! Rakyat masih merintih dalam penderitaan, tapi mereka asyik menumpuk harta, membangun istana pribadi di atas puing-puing nestapa bangsa!"

Bung Hatta, yang selalu tenang dan logis, kali ini tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Ia menyesap kopi pahitnya, seolah rasa pahitnya menandingi kepahitan hatinya. "Betul, Bung Karno," ucapnya pelan, namun tegas. "Semangat perjuangan seolah luntur, diganti nafsu serakah yang tak berbatas. Saya mendengar desas-desus, bahkan lebih dari itu, tentang praktik korupsi yang merajalela di sana-sini. Ini bukan hanya pengkhianatan, ini adalah penusukan dari belakang terhadap amanat penderitaan rakyat!"



Khianat di Balik Janji Kemerdekaan


Bung Sjahrir, dengan sorot mata tajamnya, menambahkan bobot pada kegelisahan kolektif. "Bukan hanya desas-desus, Bung Hatta," katanya, menyilangkan tangan di dada. "Bukti-bukti mulai bermunculan. Mereka yang dulu lantang berteriak merdeka, kini justru menjadi parasit, menggerogoti tubuh bangsa yang baru saja lahir. Kemarin kita berjuang merebut kedaulatan, sekarang kita dihadapkan pada tirani baru, tirani keserakahan yang jauh lebih licik!"

Suasana kian memanas ketika Bung Tan Malaka, dengan mata menyala-nyala, melontarkan seruan revolusioner. "Revolusi belum usai!" pekiknya, bangkit dari duduknya. "Jika pemimpin-pemimpin ini terus merajalela dengan kerakusannya, maka kita harus bersiap untuk revolusi jilid kedua! Jangan biarkan tikus-tikus berdasi ini menggerogoti cita-cita kemerdekaan! Rakyat harus bersatu, bangkit, melawan penindasan jenis baru ini!"



Integritas sebagai Benteng Terakhir


Namun, Bung Agus Salim, yang bijaksana dengan janggut putihnya, berusaha menenangkan badai emosi yang berkecamuk. Ia mengusap janggutnya perlahan, mencari kata-kata yang menyejukkan namun tetap tegas. "Sabar, Bung Tan Malaka. Amarah itu perlu, bahkan membakar. Tetapi tindakan haruslah terukur, berlandaskan akal sehat. Kita harus mencari cara yang bijak untuk mengingatkan mereka, atau jika perlu, mengganti mereka dengan orang-orang yang benar-benar berintegritas. Pendidikan moral dan etika harus terus digalakkan. Tanpa itu, setiap generasi pemimpin akan terjerumus dalam lubang yang sama."

Bung Karno menghela napas berat, meresapi setiap kata. "Tapi bagaimana caranya, Saudaraku? Kekuasaan itu candu yang memabukkan. Mereka yang sudah merasakan manisnya, sulit untuk melepaskan. Rakyat di bawah sana sudah mulai jundal-jundil, melihat kesenjangan yang kian melebar antara janji dan realita."



Seruan untuk Perjuangan Baru


Bung Hatta kembali bersuara, menawarkan jalan keluar. "Kita harus kuatkan pengawasan, Bung Karno. Lembaga-lembaga yang bersih harus kita bangun dan tegakkan. Dan yang terpenting, rakyat harus dididik untuk berani bersuara, mengkritik, dan menuntut pertanggungjawaban. Demokrasi yang sehat tidak akan pernah tumbuh di tanah yang subur bagi korupsi."

"Dan kita, yang masih memegang teguh idealisme, punya tanggung jawab besar," tambah Bung Sjahrir, matanya menerawang jauh. "Kita harus menjadi teladan. Jangan sampai kita pun ikut tercemar oleh godaan kekuasaan dan harta. Integritas adalah benteng terakhir kita, jika benteng itu runtuh, tamatlah riwayat bangsa ini."

Bung Tan Malaka, meski setuju dengan perlunya teladan, tetap bersikeras pada tindakan. "Saya setuju dengan Bung Sjahrir. Tapi keteladanan saja tidak cukup! Kita harus bergerak! Organisasi rakyat harus diperkuat! Jika cara persuasif tidak mempan, maka kekuatan rakyatlah yang akan berbicara! Jangan biarkan mereka tidur nyenyak di atas penderitaan kita!"

Bung Agus Salim tersenyum tipis, memahami semangat yang berkobar itu. "Ya, Bung Tan Malaka. Kekuatan rakyat itu hakiki. Tapi jangan sampai terpancing emosi sesaat. Strategi, Bung, strategi. Kita butuh langkah yang matang, bukan sekadar luapan amarah. Ingat, musuh kita bukan lagi penjajah fisik, melainkan penyakit dalam tubuh bangsa kita sendiri."

Malam semakin larut, namun semangat para bapak bangsa tak meredup. Bung Karno mengepalkan tangannya, tekadnya bulat. "Kalau begitu, mari kita pikirkan langkah selanjutnya. Kita tidak bisa diam melihat negeri ini dirusak dari dalam. Ini adalah perjuangan baru, saudara-saudaraku. Perjuangan melawan kerakusan yang mengancam cita-cita kemerdekaan kita!"

Dalam keheningan malam Jakarta, janji untuk terus berjuang melawan musuh di dalam diri bangsa sendiri telah diikrarkan. Sebuah janji yang akan terus relevan, hingga hari ini.


Advokat. Tinggal di Jambi