28 Mei 2003

opini musri nauli : JAMBI KOTA TERAMAN NOMOR 2 DI INDONESIA Antara Mitos dan Fakta


Itulah mitos yang sering didengung-dengungkan oleh pejabat keamanan terhadap keberhasilan Jambi dalam melewati krisis yang terjadi di negeri Indonesia. 

Ketika pecah kerusuhan di Jakarta menjelang jatuhnya Soeharto tanggal 13-14 Mei 1998, Jambi tetap adem-adem ayem. 

Walaupun ketika itu para tokoh prodemokrasi turun kejalan bersama-sama massanya mendesak dijalankannya reformasi. 

Bahkan tanggal 20 Mei 1998 yang merupakan seruan nasional untuk turun ke jalan, mahasiswa dan berbagai elemen prodemokrasi berhasil menjaga Jambi tidak terjadi kerusuhan massa seperti di kota-kota lainnya. 

Amannya kota Jambi juga terlihat ketika tragedi Semanggi I dan Semanggi II bahkan ketika menjelang turunnya Abdurrahman Wahid pertengahan tahun 2001. 

Maka pernyataan pejabat berdasarkan kondisi obyektif diatas, sudah semestinya ada benarnya. 

Secara nyata ketika setiap peristiwa nasional yang terjadi yang kemudian memberikan rasa trauma, justru masyarakata Jakarta berbondong-bondong ke Jambi sebagai tempat untuk menghilangkan sejenak dari potensi kerusuhan di Jakarta. 

Selain dengan alasan faktor keamanan, Jambi juga merupakan tempat transit yang strategis menuju ke Batam maupun ke Singapura. 

Tapi apakah Kota Jambi memang terkenal kota teraman nomor dua sebagaimana sering didengung-dengungkan.. 

Sebenarnya potensi kerusuhan massa tetap terjadi. 

Sebelum tahun 2000, penulis telah mencatat potensi kerusuhan massa yang hingga sekarang seperti “api dalam sekam” dan siap bertindak seperti “bom waktu”. 

Menurut catatan Yayasan Keadilan Rakyat sebuah organisasi yang memperhatikan dampak pembangunan kelapa sawit, Propinsi Jambi yang mencadangkan lahannya seluas 597.178,67 ha baru merealisasikan penanaman 266.797 ha. 

Dari areal yang belum ditanam, seluas 118.615 ha izin lokasi masih berlaku, namun belum operasional dan 177.085 ha izinnya sudah mati. Pembangunan kelapa sawit merata di daerah kabupaten. 

Sehingga potensi konflik ini juga dapat merata di kabupaten. 

Lihat Tabel 1 Tabel 1. Sengketa Perkebunan Sawit yang mengakibatkan kerusuhan massa NO TAHUN/TEMPAT KASUS KETERANGAN 1 November 1998 di Tungkal Ulu di Kab. Tanjab Pembakaran PT. DAS Akibat pembakaran, 1 orang petani dijadikan tersangka. 2 April 1999 di Tanah Tumbuh Kab. Bute Pembakaran PT. TEBORA Kota Bungo mencekam karena adanya issu masyarakat akan melakukan penyerangan. 

Jumlah data masyarakat yang dijadikan tersangka tidak tersedia 3 September 1999 di Empang Benao Kab. Bangko Pembakaran PT. KDA 13 orang dijadikan tersangka dengna pasal 170, 363, dan 218 KUHP 4 Januari 2000 di Tanah Tumbuh Kab. Bute Pembakaran PT. Jamika Raya 13 orang dijadikan tersangka dengan pasal yang berlapis seperti 170, 187, 406,412,164 KUHP Sumber : Pusat Data Yayasan Keadilan Rakyat, 2000 

 Dari data yang telah dipaparkan maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Keempat perusahaan itu merupakan perusahaan perkebunan Besar dengan komoditi kelapa sawit yang dalam proses pembangunannya sama sekali tidak melibatkan rakyat sebagai pemilik tanah. 2. keempat perusahaan terletak di daerah yang berbeda-beda dan adanya jarak waktu yang hampir sama dalam meledaknya kerusuhan tersebut. 3. lambatnya proses penyelesaian dari aparatur pemerintah. 4. masih digunakannya cra-cara represif dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut sehingga akan mengurangi wibawa pemerintah dan tidak dihormatinya hukum (rule of law) dan cenderung adanya pengalihan issu (smoking green) 5. adanya pergeseran konflik dari petani berhadapan dengan perusahaan baik itu di PT. DAS, PT. Tebora, dan PT. KDA yang merupakan konflik vertikal menjadi konflik horizontal dalam pembakaran PT. Jamika Raya temasuk Trans SP II Pulau Kerakap. 

 Potensi konflik ini sampai sekarang belum mampu diselesaikan baik oleh Pemerintahan Abdurrahma Sayuti hingga Gubernur sekarang Zulkifli Nurdin. 

Namun memasuki tahun 2002, penulis telah melihat fakta-fakta yang justru menjawab kekhawatiran penulis bahwa potensi kerusuhan massal tidak hanya terjadi dalam sengketa perkebunan kelapa sawit tapi telah melebar keberbagai sudut. 

 Tabel 2. Potensi Kerusuhan Massa Tahun 2002 NO SUMBER URAIAN 1 JE, 6 Mei 2002 Saleh (30) Hadiar (22) Oknum Mahasiswa dihajar massa ketika menjambret di Jl Kapten Pattimura 2 JE, 7 Mei 2002 Johan (9) nyaris Tewas dihajar massa di sekitar kampung Enclek Pasar Jambi setelah kedapatan mencopet seorang pengunjung pasar 3 Independent, 7 Mei 2002 Karyawan PTPN VI serbu Desa Markanding 4 JE, 4 Mei 2002 Rumah Hakim PN Bangko dibakar 5 Independent, 23 Mei 2002 Hilda seorang WTS yang sering mangkal di Karaoke Citra 6 JE, 14 Mei 2002 Oknum guru digebuk Massa karena diduga berselingkuh dengan istri tetangga di Sungai Kapas Pamenang C-II, Bangko 7 JE, 15 Mei 2002 Sekelompok warga dusun Bangkotinggi, Kel. Dusun Bangko mengamuk karena merasa tidak puas dengan perlakuan Ivan CS (28) 8 Independent, 14 Mei 2002 M. Havis, seorang PNS Kantor Lurah Sengeti Kabupaten Muara Jambi, tiba-tiba puluhan massa menyerang dan mengebuki hingga mengalami luka-luka di sekujur tubuh. 9 Independent, 29 April 2002 Ikram Musarah (28) bandit spesialis copet di atas angkot dihajar massa tak jauh dari Mushollah Hidayatullah 10 JE, 29 April 2002 Amri (25) Spesialis copet warga RT 46/07 Jelutung dihajar massa di Lorong Ibrahim Jambi 11 JE, 2 Mei 2002 Markas Polsek Limun diserang oleh warga SungaiBaung 12 JE, 2 Mei 2002 Agus (20), Dommi dihajar massa ketika beraksi di sekitar pasar Rombeng. 13 JE, 1 Mei 2002 Abrip Nd Oknum Anggota Polres Sarko tertangkap basah oleh warga Pematang kandis tengah berada dalam sebuah rumah dengan seorang wanita muda, MI (24) istri orang. 14 Independent, 24 Februari 2002 Rahmat (17) dan Darwis (19) Residivis digebuk massa setelah memeras Ismail (20) di kampung Enclek Jambi 15 Independent, 13 Januari 2002 Kantor PT. BWP diamuk massa karena tidak puas dengan kebijakan perusahaan dalam proses penerimaan pegawai dilingkungan perusahaan 16 Independent, 13 Januari 2002 Setelah beberapa kali lolos dari kejaran petugas, dua perampok spesialis penodongan diatas angkot, Zuhendra (17) dan Dewi Manawi (17) dihajar massa di Simpang Akok, Pal Merah, Jambi 17 Independent, 5 Februari 2002 Sedikitnya 30 orang warga Asal Desa Sipunggur dan Sungai Alai Kecamatan Tebo mendatangi rumah Aziz dan langsung membakar dua rumah milik Aziz yang dijadikan tempat maksiat alias Prostitusi 18 Independent, 12 Januari 2002 Dodi Setiawan (27) satu dari tiga orang perampok kendaraan bermotor milik Paiman (17) dihajar massa setelah ditangkap warga di Desa Parit RT 05 Kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muara Jambi. Kedua temannya berhasil lolos dan kabur 19 Independent, 10 Maret 2002 Dikira Maling, Ramli (23) Warga Lorong Sakura Broni, hampir tewas digebuk massa karena maling. 20 Independent, 26 Maret 2002 M. Yohannes alias Oyon (25) warga lorong Mutiara Jambi dihakimi massa sekolompok pemuda di depan lorong tukang jahit, Jambi 21 Independent, 6 April 2002 Eko Damarwulan (25) seorang residivis kambuhan nyaris tewas. Di babak belur setelah tertangkap basah melakukan pencuriam, di Lorong Batanghari, Kasang Pudak, Kumpeh ulu. 22 JE, 1 April 2002 Pasangan Mnl-Mr diarak keliling kampung di Kelurahan Legok Kecamatan Telanaipura karena diduga telah berbuat selingkuh atau hidup bersama tanpa ikatan suami istri 23 JE, 1 April 2002 Mobil angkot ugal-ugalan yang dikemudikan oleh Buyung menabrak warga disekitar RRI Lama (Murni) kemudian menjadi bulan-bulanan hingga ringsek berat. 24 JE, 9 April 2002 BJ (68) warga RT 02/02 Kelurahan Beringin Pasar tega menggarap adik iparnya (Ys) yang kemudian dipergoki warga sempat diarak oleh masyarakat dan kemudian diserahkan kepada kepolisian Sumber : Pusat Data Yayasan Keadilan Rakyat, 2002 Dari sebagian kecil data-data yang berhasil penulis dapatkan, maka data-data tersebut dapat dianalisis sebagai berikut : • Bahwa berita yang telah dimuat media harian di Jambi yaitu Jambi Independent dan Jambi Ekspress. 

Perhatian penulis kepada dua media harian ini karena semata-mata media harian ini yang sering memaparkan kejadinan-kejadian aktual yang relevan dengan konsentrasi penulis yang berhasil penulis kumpulkan; • Bahwa 24 peristiwa yang terjadi maka 13 peristiwa di Jambi, 3 di Kabupaten Muara Jambi, 5 di Kabupaten Bangko, 1 di Kabupaten Sarolangun, satu di Kabupaten Tebo, 1 di Kabupaten Tanjabtim; • Dari peristiwa diatas maka dapat dikategorikan 11 peristiwa adalah penghakiman massal terhadap pelaku kejahatan yang tertangkap oleh masyarakat, 4 peristiwa pengadilan rakyat terhadap pelanggar kesusilaan, 2 peristiwa yang salah sasaran dan 7 peristiwa yang perlu mendapatkan perhatian. 7 Peristiwa itu adalah penyerbuan karyawan PTPN VI ke desa Markanding Mei 2002, pembakaran rumah hakim Pengadilan Negeri Bangko Mei 2002, perang antar sekelompok warga dusun Bangkotinggi Mei 2002, Masyarakat Sungai Baung menyerbu Mapolsek Limun Mei 2002, mengamuknya masyarakat ke PT. BWP Meruap pasca proses penerimaan pegawai dilingkungan perusahaan Januari 2002, pembakaran rumah yang diduga tempat prostitusi di Sungai Alai, Januari 2002 dan masyarakat melakukan pengrusakan mobil angkot yang ugal-ugalan setelah menabrak warga di depan RRI lama, April 2002 Padahal apabila kita telah mengikrarkan bahwa kita adalah negara hukum (Rechstaat) sebagaimana sering kita dengarkan dalam pernyataan politik dan telah diatur didalam penjelasan UUD 1945 yang sering juga harus mengikuti aturan main hukum (rule of law) maka sudah semestinya peristiwa-peristiwa sebelumnya haruslah diberi ruang untuk diselesaikan secara hukum. 

Baik pelanggaran perbuatan pembakaran, pengrusakan, sebagaimana diatur didalam pasal 170, 187 KUHP, maupun penghakiman massal terhadap pelaku kejahatan sebagaimana telah diatur didalam pasal 351 – 358 KUHP. Bersikap apatiskah masyarakat sehingga melakukan perbuatan dalam mewujudkan rasa frustasi-nya dengan melakukan perbuatan yang semestinya justru dilarang oleh ketentuan Perundang-undangan. Apabila dilihat dari sejarah rakyat Indonesia dibawah tekanan rezim orde baru maka sudah semestinya ketika mereka mendeklarasikan kebebasannya Pembebasan gejolak hasrat, tindakan collektif (liberation of desire) sering dilakukan dengan berbagai cara seperti • Pembebasan daerah dari pusat dengan melakukan perbuatan ingin merdeka (memisahkan diri) dari negara Indonesia • Pembebasan buruh dari majikan dengan melakukan perbuatan pembakaran pabrik sebagai rasa protes atas ekspoitasi majikan terhadap buruh • Pembebasan pers dari hegemoni negara dengan terbitnya berbagai media pers dan seringnya memuat berita tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pers sebagai wujud eforia pers • Pembebasan rakyat dari represi militer ini ditandai dengan melakukan pembakaran kantor polisi dan perlawanan terhadap tentara. Lihat di Jambi juga telah mengalami peristiwa ketika Masyarakat Sungai Baung menyerbu Mapolsek Limun Mei 2002 • Pembebasan rakyat dari jaringan kejahatan dengan melakukan perbuatan seperti misalnya pembakaran pencuri, penyiksaan perampok dimana 11 peristiwa adalah penghakiman massal terhadap pelaku kejahatan yang tertangkap oleh masyarakat • Pembebasan rakyat dari jaringan kemaksiatan dengan melakukan perbuatan pembakaran tempat hiburan pembakaran rumah yang diduga tempat prostitusi di Sungai Alai, Januari 2002 Menurut ahli hukum Prof. DR. Ahmad Ali dan Dr. Hamid Awaludin bahwa Law and order (hukum dan ketertiban) di negeri ini seolah sudah runtuh. 

Banyak kasus kejahatan dan teror massa yang yang menelan korban jiwa tidak ditangani sebagaimana mestinya. 

Ini menyebabkan masyarakat dicekam ketakutan yang amat tinggi dan ketidakpercayaan pada aparat. Kini muncul fenomena fear of crime yang menggelisahkan. 

Warga tidak percaya pada aparat, karena aksi kejahatan tidak dapat ditangani oleh kepolisian dan aparat keamanan secara effektif. Penduduk kini seolah hidup dalam hutan tanpa aturan. Tiap orang berada dalam lingkungan yang serba mencekam. Rasa aman dan kepastian hukum telah sirna. 

Warga negara hidup dalam kepungan ketakuan karena rasa aman fisik maupun ketakautan telah pudar. Inilah pelanggaran HAM yang sesungguhnya mengintai dan kita sendiri tidak menyadarinya. 

Maka apabila peristiwa tidak diantisipasi, akibat yang paling terasa adalah tertinggalnya kaidah-kaidah hukum yang juga dapat mengakibatkan terjadinya suatu disorganisasi, yaitu suatu keadaan di mana kaidah-kaidah lama telah berpudar, sedangkan kaidah-kaidah baru sebagai penggantinya belum disusun atau dibentuk. 

Keadaan tersebut selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya anomie, yaitu suatu keadaan yang kacau, oleh karena tidak adanya pegangan bagi warga masyarakat untuk mengukur kegiatan-kegiatannya.(Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Penerbit, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Hal 105). Kini warga negara memang sudah tidak takut kepada aparat dan negara. 

Namun justru takut terhadap warga negara lain. Ketakutan warga negara itu bersifat horizontal dan ini jauh lebih mencekam dan menyulitkan daripada ketakutan terhadap negara. Sebab ketakutan secara horizontal ini memiliki eskalasi dan sensitivitas lebih besar. 

Masalahnya ketakutan horizontal itu selalu dipicu oleh mass mob (mob massa) dimana tiap individu dalam mob massa itu selalu mempunyai lisensi untuk menghancurkan yang lain. Disini yang berlaku hanya satu prinsip yakni “kami” dan “kalian”. Itu sebabnya tiap mob massa selalu mereduksi akal sehat. 

Maka memang masuk akal jika ketakutan secara horizontal itu lebih mengerikan dibanding ketakutan yang bersifat vertikal. Persoalan sekarang ialah kita harus membebaskan bangsa ini dari rasa takut terhadap ketakutan horizontal. Satu-satunya terapi ialah negara atau aparat negara harus bertindak tegas menegakkan aturan main yang ada. Yang bisa menciptakan iklim kepastian. 

Berdasarkan kondisi yang obyektif pula maka sudah semestinya mitos bahwa Jambi sebagai kota teraman nomor 2 di Indonesia semestinya dapat kita gugat kebenarannya apabila potensi kerusuhan tidak dapat diselesaikan.