13 September 2010

opini musri nauli : PEMBUBARAN AHMADIYAH DAN KEBEBASAN BERIBADAH Catatan Hukum Berkaitan dengan Kebebasan Beragama (freedom of religion)


Nasib Ahmadiyah “ditentukan” habis lebaran ini. Dalam “polemik” akhir-akhir ini, diskusi mengenai nasib Ahmadiyah ditentukan. Apakah “dibiarkan” atau “dibubarkan”. 

Desakan berbagai pihak agar Ahmadiyah “dibubarkan” mewarnai perdebatan politik nasional menjelang Idul Fitri berhimpitan “perusakan” berbagai fasilitas Ahmadiyah termasuk Mesjid dan tempat-tempat publik lainnya. 

Belum sempat “dieksekusi” nasib Ahmadiyah, Minggu tanggal 12 September 2010, terjadi penusukan terhadap jemaat HKBP yang hendak beribadah di Ciketing, Bekasi. 

Peristiwa yang merupakan konflik laten kemudian bergeser menjadi kekerasan antar agama. Peristiwa di Bekasi memantik argumentasi klasik, apakah tidak ada penghormatan terhadap perbedaan “keyakinan” di Indonesia. 

Peristiwa ini sekali lagi memicu perdebatan klasik, “Kebebasan beribadah” (freedom of religion) 

 Belum lagi adanya wacana terhadap “pembubaran ormas” yang nyata-nyata melakukan berbagai aksinya dengan anarkis. 

Wacana pembubaran ormas yang nyata-nyata telah “meresahkan” dan bertindak arogan yang bisa menentukan “benar salah”. Tiga peristiwa yang telah dipaparkan menimbulkan perdebatan klasik. Apakah negara “berwenang” untuk menentukan “kebenaran” suatu keyakinan ? 

NEGARA DAN KEYAKINAN 

 Ahmadiyah “mengakui” dan mengikrarkan sebagai aliran dalam Islam. Ada prinsip yang penting yang membuat sebagian umat Islam resah. 

Ahmadiyah mengakui Nabi Muhammad sebagai “Khatamannabiyyin” sebagai nabi termulia bukan penutup para Nabi dan Rasul. 

 Dalam bukunya “The Ahmadiyya Movement ini Islam Inc, Karangan Louis J Hamman dinyatakan “bagaimanapun sampai umur 41 tahun, Harzat Ahmad mulai menerima banyak wahyu yang membawanya pada keyakinan bahwa didalam pribadinya telah genap datangnya Al-Mahdi”. 

Sedangkan didalam buku yang dikeluarkan Jamaah Ahmadiyah berjudul “Perjalanan Mirza Ghulam Ahmad”, dinyatakan “Tahun 1876 Ahmad berusia kurang lebih 40 tahun ketika ayahnya sakit, dan penyakitnya tidaklah begitu berbahaya, Tetapi Allah menurunkan ilham ini kepada Beliau. 

Pada tahun 1891, Harzat Ahmad diberi ilham oleh Allah bahwasanya Nabi Isa yang ditunggu-tunggu kedatangannya kedua kali itu telah wafat dan tidak akan datang lagi kedunia ini. 

Kedatangan Nabi Isa kedua adalah orang lain yang akan datang dengan sifat dan cara seperti Nabi Isa, Yaitu Hazrat Ahmad sendiri orangnya (www.assajjad,wordpress,com). 

Begitu banyak pernyataan Ahmadiyah yang mengakui Nabi Muhammad sebagai Rasul penyebar ajaran Islam namun hanya dinyatakan sebagai Nabi termulia. Sedangkan pertentangan antara sebagian umat Islam dengan Ahmadiyah terletak pernyataan Ahmadiyah yang tidak menempatkan Nabi Muhammad sebagai Penutup Para Nabi dan Rasul. 

 Lantas, apakah karena perbedaan keyakinan antara umat Islam di Indonesia dengan Ahmadiyah, kemudian negara “berwenang” untuk intervensi menggunakan SKB dan menyatakan Ahmadiyah “sesat”. 

Dengan menggunakan ukuran “sesat” kemudian negara kemudian menggunakan “kewenangannya” menyatakan “membubarkan” Ahmadiyah ? 

Dari ukuran yang “kewenangan” untuk menyatakan “sesaat” dan menggunakan “kewenangan” untuk “membubarkan” menimbulkan implikasi hukum yang serius. Pertanyaan normatif adalah, apakah Negara mempunyai “kewenangan” untuk menyatakan “sesat” dan “membubarkan” aliran suatu agama. 

 Penulis kesulitan untuk mencari “kewenangan” negara menyatakan “sesat” dan “membubarkan” suatu aliran agama. 

Dalam diskursus hukum, Indonesia sudah menempatkan diri sebagai negara yang bukan menganut paham agama (aristokratis) namun tidak juga anti agama (atheis). Didalam pasal 29 ayat (1) dinyatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa”. Dalam rumusan UUD 1945, rumusan penghormatan agama dapat dilihat didalam pasal 29 ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” 

Secara rinci dijelaskan didalam pasal 28 E ayat (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Dengan menggunakan diskursus hukum, maka Indonesia sudah menempatkan “posisi” yang menghormati agama namun negara haruslah berjarak terhadap setiap agama sebagai bentuk penghormatan dan perlindungan agama. 

Menjadi persoalan bagi kita semua, mengapa posisi “negara” yang sudah menempatkan agama dan berjarak dengan setiap agama kemudian negara dipaksa untuk berbuat kewenangan menyatakan “sesat” dan menyatakan “membubarkan” setiap aliran didalam suatu agama. 

Menurut penulis, tidak ada “kewenangan” dari negara untuk menyatakan “sesat” dan “membubarkan” suatu aliran agama. KEBEBASAN BERAGAMA Peristiwa terhadap jemaat HKBP di Bekasi dan wacana pembubaran ormas yang nyata-nyata melakukan aksi-aksi anarkisme menimbulkan persoalan konstitusi. Apapun alasan dan atas nama apapun, kekerasan “berkedok” agama tidak dibenarkan di Indonesia. 

Rumusan Konstitusi yang secara panjang lebar diuraikan didalam pasal 28 E dan pasal 29 UUD 1945. 

Kekerasan “berkedok” agama selain masih menggunakan cara-cara barbar (sebelum zaman modern), cara-cara ini bertentangan dengan keyakinan seseorang terhadap suatu ajaran agama. 

Dengan menjunjung tinggi agama, Indonesia harus membongkar dan mengusut terhadap pelaku kekerasan berkedok agama. 

KONSTITUSI DAN FREEDOM OF RELIGION 

 Namun, menyatakan ormas sebagai organisasi yang sering melakukan kekerasan dan aksi-aksi anarkis dan kemudian menyatakan “membubarkan” bertentangan dengan konstitusi. 

Didalam rumusan pasal 28E dan pasal 29 UUD 1945, negara tidak mempunyai kewenangan untuk “membubarkan” organisasi yang terbukti nyata-nyata melakukan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan haruslah dilihat konteksnya. 

Bukan membubarkan organisasi sebagaimana didalam rumusan UU No. 5 Tahun 1985. Kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat didalam aksi-aksi anarkisnya haruslah dirujuk kepada ketentuan normatif didalam KUHP. Pelaku diseret dimuka persidangan dan dipertanggungjawabkan. 

Didalam rumusan ‘kekerasan” terhadap orang atau “orang”, yang dipertanggungjawabkan adalah orang (naturalijk person). 

Pertanggungjawaban badan hukum tidak dikenal dalam tindak pidana ini (recht person). Dengan demikian, maka terhadap pelaku kekerasan haruslah diproses. 

 Namun yang terjadi justru adanya upaya “pembiaran” dari aparat penegak hukum terhadap aksi-aksi anarkis. 

Upaya pembiaran bisa dengan mudah kita lihat di televisi, bagaimana aksi-aksi yang dilakukan dengan cara melempar, memecahkan kaca, memporak-poranda di ruangan. 

Upaya “pembiaran” inilah kemudian yang ditangkap oleh media sebagai aksi-aksi anarkis dan membuat para pelaku tidak dijerat dengan hukum normatif. 

Aksi “pembiaran” kemudian digeser adanya upaya “pembubaran” organisasi. 

Wacana pembubaran kemudian marak dan menjadi titik perhatian nasional ketika Mendagri mewacanakan pembubaran organisasi yang didalam kegiatannya nyata-nyata melakukan aksi-aksi anarkis. 

Dari titik inilah, kemudian menimbulkan persoalan konstitusi secara serius. 

Pertanyaan yang sama kita tujukan, apakah negara mempunyai kewenangan untuk “membubarkan”. 

Bukankah harus diusut para pelaku “pengrusakan” dan dihentikannya cara-cara “pembiaran”. 

Dengan melakukan pembubaran inilah, negara tidak mempunyai “kewenangan” untuk membubarkan organisasi apapun yang nyata-nyata melakukan “aksi-aksi anarkis”. 

 Dari paparan yang telah disampaikan, maka kita masih menyisakan persoalan konstitusi secara serius. 

Penghormatan terhadap kebebasan beribadah (freedom of religion) masih jauh dan harus tetap kita perjuangkan. 

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 17 September 2010