14 September 2010

opini musri nauli : SANG PENCERAH – Memaknai “Pluralisme” Dalam Perdebatan Politik Islam Kontemporer




Indonesia negara besar. Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah. Minyak yang mempunyai cadangan 87 M Barrel baru diproduksi 0,387 M barrel. Gas 384,7 TSCF, diproduksi 2,95 TSFC. Batubara 58 M Ton, diproduksi 0,132 M Ton. 

Belum lagi emas, nikel, tembaga, biji besi, hutan 190 Jt Ha yang bisa dikonversi 22 juta hektar, Laut 500 Jt Ha yang menyediakan Ikan laut 6,4 Jt Ton/th. Belum lagi ambisi Indonesia yang mencadangkan 9 juta hektar sawit yang bisa mengungguli Malaysia. (MEWUJUDKAN NEGARA KEPULAUAN YANG MAJU, KUAT DAN MANDIRI, Dr. Ir. Son Diamar, MSc). 

Belum lagi potensi sumber pariwisata yang paling lengkap. Mulai dari gunung, danau, sungai, laut dan berbagai eksotik keindahan alam yang menarik perhatian dunia. 

 Sekedar perumpamaan, Malaysia yang mempunyai areal sekitar 6 juta hektar sawit namun mampu memakmurkan rakyatnya. Begitu juga Australia, Jepang yang bersandarkan kepada ikan laut, Brunei Darussalam yang semata-mata dari minyak bumi, atau Thailand, Kroasia, yang sebagian besar justru dari pariwisata. 

Yang paling ironi apabila dihitung dari keuntungan hasil Freeport maka dapat menyekolahkan anak-anak Indonesia dari Sekolah dasar hingga Perguruan Tinggi. 

 Menurut logika, semakin banyak sumber daya alam maka masyarakat seharusnya makmur dan terjamin akan hak-hak dasarnya. 

Namun hasil riset Walhi 2006 justru memberikan jawaban yang berbanding terbalik dengan angka-angka yang berasal dari sumber daya alam. 

 Walaupun Indonesia mempunyai berbagai sumber daya alam yang melimpah ruah, namun tingkat kemiskinan justru terjadi di daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. 

Di Propinsi Kalimantan Timur, sebagai daerah kaya di Asia Tenggara dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita 3.319 US$ pada tahun 1985, akan tetapi dilihat dan tingkat kesejahteraan yang benar-benar dinikmati oleh penduduk, yakni dan pengeluaran konsumsinya, hanya mencapai 293 US$. 

Dengan demikian besarnya konsumsi per kapita hanya 8,82% dan jumlah PDRB per kapita selebihya, kemakmuran tersebut tidak dinikmati sebagai bagian dan tingkat kesejahteraan. 

 Walaupun kekayaan sumber daya alam yang melimpah namun penduduk miskin tidak berkurang. Th. 1987 30 juta jiwa (17.4%). Th. 2008 33 juta jiwa (16.6%). 

Angka-angka ini sekedar perumpamaan bagaimana tidak ada korelasi antara kekayaan sumber daya alam dengan kemiskinan 

 Namun kebesaran Indonesia tidak semata-mata dengna jumlah pulaunya sebanyak 17.504 buah (Depdagri, 2004), dengan penduduk berjumlah 237,6 juta (nomor 4 terbesar dunia, Antara, 16 Agustus 2010), sebagai negara muslim terbesar. Sama sekali tidak. 

Namun membicarakan kebesaran Indonesia yang “melahirkan” karya-karya Mahabesar, Tokoh-tokoh dan pemikir besar. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Agus Salim, Syahrir adalah pemikir-pemikir besar yang bisa disejajarkan dengan Gandhi, Madame Teresia. 

Bahkan dalam generasi kita, kita mengenal Gusdur sangat dihormati berbagai kalangan yang ditandai bagaimana “Gusdur” bisa membebaskan wartawan RCTI di Irak dan sikap “pluralisme” dan melindungi kaum minoritas. 

Karya-karya itu diperlukan selain sebagai pengetahuan kepada generasi muda juga meyakini kita sendiri bahwa kita masih mempunyai tokoh-tokoh besar yang bisa menginspirasi kita. 

 Menyebut nama-nama pemikir besar memang juga tidak bisa dipisahkan dari K.H. Ahmad Dahlan dalam periodik yang unik justru “besar” dan berkembang di Yogyakarta. 

Tempat yang dianggap sebagai “ketinggalan Islam karena sikap syirik’”nya yang sering mengadakan upacara tradisional Nyekar. Seorang tokoh yang mampu masih relevan membicarakan posisi Islam dalam berbagai gejolak sosial di Indonesia. 

Dengan ukuran demikian, peran K.H. Ahmad Dahlan mempunyai peran yang signifikan dalam percaturan politik kontemporer yang “mewarnai” Indonesia. Dalam wacana politik islam kontemporer, harus diakui Muhamadiyah mendapatkan posisi penting. 

Bersama dengan Nahdatul Ulama, Muhammadiyah “mempengaruhi” politik Indonesia. Irsyad Zamjani dalam bukunya “Sekularisasi Setengah Hati-Politik Islam dalam Periode Formatif” dan Disertasi Syafruddin Jurdi “Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006 secara jelas menggambarkan posisi politik Muhammadiyah. 

 Penulis menggunakan istilah “politik islam kontemporer” dengan ukuran bagaimana posisi Muhammadiyah dalam percaturan politik Indonesia. 

Walaupun Muhammadiyah bukan organisasi politik dan berkonsentrasi kepada organisasi pendidikan dan kesehatan, namun posisi Muhammadiyah yang banyak “mempengaruhi” politik Indonesia kontemporer, harus diakui posisi yang dominan itu, maka penulis meletakkan istilah politik islam kontemporer dan posisi Muhammadiyah. 

 Pernyataan ini “diinspirasi” dari pernyataan Ahmad Syafii Maarif, dengan mengutip pernyataan seorang orientalis Perancis, G.H. Bousque yang menyatakan “Memang betul bahwa Muhammadiyah tidak campur tangan dalam politik, tetapi anggota-anggota terlibat’. 

 POSISI POLITIK MUHAMADIYAH 

 Pada saat berdiri tahun 1912, K.H. Ahmad Dahlan berkonsentrasi kepada pendidikan kepada kaum yang terpinggirkan. 

Muhammadiyah berhasil mengembangkan pendidikan dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi Muhammadiyah di berbagai kota besar bahkan menjadi favorit. Jumlah sekolah Muhammadiyah sejak tingkat dasar sampai Menengah Atas, 7307 buah. 

Belum termasuk Perguruan Tinggi sebanyak 168. Angka ini belum dihitung Rumah sakit 389 buah, mesjid 6118, musholla 5080. 

 Muhammadiyah berhasil membangun berbagai kader yang ditempatkan dalam posisi penting di Pemerintahan. Baik zaman Revolusi, kemerdekaan, Pasca kemerdekaan. 

Dalam memoarnya, Panglima Besar Jenderal Sudirman menyatakan sebagai kader “kepanduan” Muhammadiyah. 

 Dalam kajian Yusuf Abdullah Puar “Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah” dan Mitsuo Nakamura dalam bukunya “Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin” secara umum menjelaskan ideologi organisasi dalam kaitannya dengan perwujudan cita-cita reformasi dan modernisasi Islam. 

Karya yang lebih otoritatif tentang perilaku Politik Muhamddiah ditulis Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organisation Under Dutcht Colonialism. 

Catatan ini tidak mungkin menyebut satu persatu karya-karya yang berkaitan dengan Muhammadiyah seperti yang ditulis Amin Rais, “Tauhid Sosial”, Fauzan Saleh “Teologi Pembaharuan” dan sebagainya. 

 Pada permulaan orde baru, Muhammadiyah memiliki kecendrungan yang kuat yang ditandai dengna usaha para elitenya memperjuangkan agar Muhammadiyah dapat diterima sebagai kekuatan sosial politik. 

Januari 1966, Pemerintah mengakui Muhammadiyah diakui sebagai ormaspol yang kemudian menempatkan wakil-wakilnya dalam lembaga legislatif baik di daerah maupun di Nasional. Kemudian sejumlah elite mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). 

Namun karena tidak didukung oleh berbagai komponen dan kebijakan “Fusi” partai oleh orde baru, membuat Muhammadiyah kemudian kembali “berikrar” bersikap netral dari berbagai kepentingna politik praktis”. 

Ikrar Netral inilah yang menjadi pegangan dan sikap berpolitik Muhammadiyah dalam percaturan politik kontemporer Indonesia. K.H. AHMAD DAHLAN DAN PLURALISME Membicarakan K.H. Ahmada Dahlan, SANG PENCERAH, masih relevansi dalam keadaan sekarang. 

Diskusi akhir-akhir ini yang berkaitan dengan “kekerasan” atas nama agama masih relevan dihubungkan dengan peristiwa Langgar K.H. Ahmad Dahlan “dihancurkan” karena dianggap “mengganggu” kemapanan dan “wibawa” Mesjid Gede Yogyakarta. 

 Dalam sektor keagamaan, kekerasan berdimensi agama yang tidak terpisahkan. Kasus Monas yang dilakukan oleh kelompok agama melakukan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap “murtad”. 

Kekerasan atas nama agama kemudian mengingatkan kita terhadap kekerasan dalam sejarah islam dalam “kudeta Kafilah” pasca Nabi Muhammad. 

Bahkan pada masa pasca Umar bin Khatab, dilanda kemelut kecemburuan sosial atas Kebijakan-kebijakan Usman sendiri yang dipandang lebih menguntungkan kerabat-kerabatnya. Akibat berlarut-larutnya konflik di tengah umat, Usman bernasib malang. Ia terbunuh oleh seorang yang tidak diketahui identatisnya dalam sejarah islam. (Didin Saefuddin Buchari, Sejarah Politik Islam). 

Inilah pembunuhan bermotif politik pertama dalam sejarah islam. 

Penggantinya, Ali bin Abi Thalib, ternyata tidak mampu memadamkan kemelut politik yang makin menyeruak hingga berakhir pada tragedi berdarah, yakni pembunuhan atas dirinya sendiri. 

 Sejarah teologi Islam memang penuh dengna perbedaan dan perpecahan. Bahkan tak segan-segan para teolog itu saling menuduh kafir, murtad dan zindiq (ateis) terhadap lawannya. 

Persoalan kafir mengafirkan atau caci maki itu berlanjut dengan pertumpahan darah (Aliran-aliran dalam Islam, Ahmad Sahidin, 2009). 

 SANG INSPIRASI Pembahasan tentang “SANG PENCERAH” dapat dilihat penggunaan teknologi terbaru untuk menentukan arah kiblat. 

Didalam kolosal kita menyaksikan bagaimana “agama” dikemas menjadi urusan “mistik”, “ritual” yang jauh dari essensi tentang arah “kiblat”. 

Perdebatan apakah ‘perlu atau tidaknya” arah kiblat dijawab lugas “SANG PENCERAH”. Dengan menggunakan kompas, teknologi yang bisa menentukan arah “kiblat”, SANG PENCERAH berhasil menentukan arah kiblat. K.H. Ahmad Dahlan “mengajarkan ilmu pengetahuan modern” dengan menggunakan kompas untuk menentukan posisi arah kiblat. 

Pengetahuan modern mengetahui posisi Pulau Jawa yang menentukan arah “kiblat” Mekkah ternyata didalam prakteknya terbukti banyak mengarah ke Benua Afrika. Pengetahuan modern yang disampaikan oleh K.H Ahmad Dahlan masih relevan dengan sekarang, ketika Departemen Agama menengarai ada 70% Mesjid di Indonesia yang arah kiblatnya melenceng dari yang seharusnya. 

Karena itu, pihaknya meminta agar ada pengukuran kembali. Pergeseran 1 derajat saja, maka perbedaannya bisa berjarak 114 km dari Baitullah. 

 Dengan menggunakan ilmu falak, Muhammadiyah berhasil juga menentukan penghitungan menentukan awal Puasa dan Awal Idul Fitri. 

Penghitungan yang sampai sekarang masih digunakan dalam perdebatan “awal” ramadhan dan “Idul Fitri” yang setiap tahun menjadi diskusi dan perdebatan nasional. K.H. Ahmad Dahlan “mengajarkan pluralisme” menghargai perbedaan pendapat dalam melihat persoalan islam. 

Keteladanan ini sampai sekarang masih digunakan oleh Muhammadiyah dalam melihat berbagai perbedaan baik dalam menentukan 1 Ramadhan dan menentukan Idul Fitri. Yang menarik dari kolosal ini, penggunaan kata-kata “kafir” yang digunakan oleh penentang K.H. Ahmad Dahlan baik ketika penggunaan alat-alat sekolah, pakaian dan berbagai atribut modern untuk dakwahnya. 

Kesan yang ditangkap dari peristiwa ini, penggunaan kata-kata “kafir” lebih sering digunakan sebagai alat kampanye terhadap orang berbeda pandangan dengan kelompoknya. 

Entahlah. Apakah peristiwa ini masih terjadi atau hanya pada masa K.H Ahmad Dahlan Muhammadiyah sebagai Ormas Islam besar di Indonesia berhasil mengangkat Profile K.H Ahmad Dahlam kedalam sebuah Kolosal besar. SANG PENCERAH. 

Sebagai sebuah kolosal sejarah, pembicaraan K.H. Ahmad Dahlan dalam khazanah politik Islam kontemporer mendapatkan tempat dalam periodik sejarah Indonesia. 

Banyak pelajaran penting yang bisa dipetik dalam Kolosal besar. Sikap pluralisme, prinsip Islam yang tidak berkompromi terhadap budaya yang nyata-nyata bertentangan dengan aqidah, modern, menguasai ilmu pengetahuan, sederhana dan kokoh dalam menjaga prinsip. 

 Tentunya tidak cukup pembahasan tentang Muhammadiyah dan terlalu banyak yang mau didiskusikan. 

Namun kita masih tunggu karya-karya Anak Bangsa yang mampu “memotret” perjalanan tokoh bangsa yang “mewarnai” perjalanan politik kontemporer Indonesia.