Pertanyaan yang menggelitik dan mengganggu. Menggelitik disaat yang tidak terpikirkan, adanya pelanggaran lampu merah di hadapan putraku yang semestinya “diajarkan” disiplin dan penghormatan di jalan raya di sekolah dan pada usianya.
Mengganggu karena pertanyaan disampaikan mesti menjawabnya dengan lugas dan tegas. Dengan tetap menghormati orang yang sudah berdisplin berlalu lintas.
Slogan klasik “lalu lintas melambangkan budaya masyarakat”. Kalau lalu lintas lancar, sopan, tidak suka klakson melambangkan budaya masyarakat yang sabar, taat berlalu lintas.
Jiwa masyarakat yang dilambangkan dengan sikap disiplin berlalu lintas juga melambangkan mentalitas dan peradaban suatu masyarakat.
Sopan santun merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Semakin sopan masyarakat yang tergambarkan berlalu lintas juga menggambarkan “mentalitas” peradaban masyarakat.
Kemajuan zaman yang ditandai dengan memiliki kendaraan di jalan raya juga menggambarkan sebuah sikap di jalan raya. Tergambar jelas.
Hipotesis menarik yang dipaparkan berbagai ahli mengatakan, di Indonesia pembangunan tanpa “roh”.
Sumber daya alam yang dikeruk dari bumi nusantara ternyata tidak mampu memberikan kesejahteraan langsung kepada rakyat Indonesia.
Liberalnya ekonomi. Belum lagi utang yang tidak pantas rakyat Indonesia harus membayarnya (odios debt).
Pembangunan Indonesia berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyatnya yang kemudian mampu membeli kendaraan dan lalu lalang. Kendaraan lalu lalang yang tidak diimbangi dengna disiplin dan mentalitas.
Membicarakan mentalitas berarti membicarakan “budaya”.
Sebuah kosakata yang hampir praktis hanya menjadi konsumsi politik tanpa essensi.
Budaya hanya berkembang dan menjadi bagian hidup dari masyarakat tanpa negara yang memberikan perhatian yang cukup untuk melindungi dan menghormatinya.
Budaya menjadi persoalan ekonomi apabila mempunyai dimensi pariwisata yang berhasil meningkatkan devisi.
Sejarawan Prancis, Braudel menulis bahwa “sejarah peristiwa memang bergerak cepat, tetapi “sejarah mentalitas” bergerak sangat lamban.
Kata “mentalitas” merupakan terjemahan dari pengertian bahasa Perancis, “mentalite’”. Dalam bahasa Inggeris kemudian ditandai dengan istilah “mentality”.
Mentalitas kemudian berkaitan dengan “mentalitas” top down khususnya “patron klien”. Dalam sebagian budaya peninggalan sejarah kerajaan lama, “patro-klien”, kemudian distrukturkan dalam bentuk “feodalis (sebagian peneliti sosial lebih sering menggunakan istilah “bapakisme”).
Dalam kehidupan berlalu lintas kemudian diterjemahkan sebagai “kepatuhan” berlalu lintas apabila adanya petugas kepolisian yang berdiri di persimpangan jalan.
Apa yang disampaikan Braudel masih terjadi di masyarakat. Namun representasi masyarakat yang dimaksudkan bukanlah sesuatu yang beku. Masyarakat merupakan sesuatu yang cair (fluid) bukan encer melainkan kental.
Gidden kemudian menguraikan, untuk melakukan perubahan (perubahan mentalitas) diperlukannya “struktur”.
Struktur untuk manusia melakukan sesuatu. Pembangunan membuat manusia bisa bergerak cepat, migrasi, berkomunikasi.
Maka harus dibangun struktur untuk mempercepat “mentalitas” manusia Indonesia yang hidup di alam agraris menjadi manusia “industri. “mentalitas” agraris yang harus dirubah menjadi masyarakat “industri”.
Memang harus diakui, untuk merubah “mentalitas” dengan membangun struktur tidak mudah. Diperlukan suatu revolusi (lihat revolusi industri dan reformasi 1998).
Kesimpulannya, dalam struktur yang ada, terdapat sejumlah orang (agensi) dalam masyarakat yang ingin melakukan perubahan “mentalitas” berhadapan dengan sejumlah orang yang yang terjebak dengan “mentalitas” feodalisme sempit.
Negara gagal membangun karakter bangsa. Negara gagal membuat pembangunan menjadi bermakna.
Namun, menjawab pertanyaan Putraku.
Orang yang tidak berhenti lampu merah, artinya orang yang masih ketinggalan zaman. Gampang khan ?