17 Agustus 2011

opini musri nauli : Catatan Kecil Kemerdekaan



Kita belum merdeka. Karena tanah kami masih dirampas oleh perusahaan besar. Danau Lamo, Muara Jambi, Awal Agust 2011 

Kata-kata itu seakan menyentak dan memberikan kesadaran baru. Apakah makna kemerdekaan masih sekedar slogan tanpa makna atau sekedar utopia yang kehilangan relevansi dalam kehidupan kemasyarakatan. 

Dalam teori ketatanegaraan, perdebatan kapan Indonesia merdeka menimbulkan problematika yang serius. 

Sebagaimana sudah menjadi pengetahuan, yang dapat dikategorikan sebagai negara apabila terdapat Pemerintahan yang berdaulat, mempunyai wilayah dan mempunyai rakyat. 

Dalam teori kontemporer, syarat adanya negara juga harus didukung adanya konstitusi dan adanya pengakuan dari negara lain. 

 Dengan mengikuti konsepsi teori ketatanegaraan, maka tanggal 17 Agustus 1945 barulah dinyatakan sebagai ikrar (pernyataan kemerdekaan). 

Pembacaan teks Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 di Pegangsaan belum dapat dinyatakan telah berdirinya Indonesia merdeka. 

Pernyataan ikrar sekedar bentuk sikap politik dari anak negeri untuk menyatakan kemerdekaan. 

Pernyataan kemerdekaan ini sebenarnya sudah juga tercetus seperti 20 Mei 1908 yang kemudian diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional atau pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di Waltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928. 

 Tanggal 17 Agustus 1945 sama sekali belum menentukan wilayah kedaulatan Indonesia, belum memiliki Pemerintah yang berdaulat. 

Dengan demikian, maka tanggal 17 Agustus 1945 belum dapat dinyatakan telah berdirinya Indonesia merdeka. 

 Pada tanggal 18 Agustus 1945, barulah diadakan rapat oleh Panitia Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (PPUPKI), atau Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai membicarakan prinsip-prinsip dasar sebuah negara merdeka. 

Sebelumnya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau (Dokuritsu Junbi Cosakai) adalah sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang pada tanggal 29 April 1945. 

Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan BPUPKI dan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. 

Dalam rapat ini kemudian ditunjuk Ir. Soekarno sebagai Presiden dan M. Hatta sebagai Wakil Presiden. Kabinet pertama RI dibentuk hanya dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan. 

 Dengan sudah dirumuskan konstitusi UUD 1945 sebagai sebagai dasar negara (staatgrundnorm) dan ditentukan Ir. Soekarno sebagai Presiden dan M. Hatta sebagai Wakil Presiden, maka Indonesia dapat menyatakan sebagai negara yang berdaulat. Sebagai negara yang berdaulat, maka Indonesia dibenarkan untuk membangun hubungna internasional. 

 Namun ini saja, tidak cukup. Dukungan internasional sebagai prasyarat pengukuhan negara modern juga harus mendapatkan pengakuan dari negara lain. 

 Dukungan dari internasional sebagai prasyarat negara modern belum diterima Indonesia. Tahun 1947, "Indonesia Office" atau Kantor Urusan Indonesia didirikan di Singapura, Bangkok, dan New Delhi untuk menjadi perwakilan resmi Pemerintah RI. Tahun 1947, Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Linggarjati, dimana pihak Belanda mengakui kedaulatan RI hanya sebatas Jawa, Sumatra, dan Madura. 

Barulah Pemerintah Mesir yang diwakili oleh Abdul Mounem menyampaikan pengakuan resminya terhadap kemerdekaan Indonesia. Tahun 1949, Persetujuan Meja Bundar ditandatangani di Den Haag dan Wakil Kerajaan Belanda menyerahkan kekuasaan formal kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) Amerika Serikat (AS) menjadi negara pertama yang membuka perwakilan diplomatik di Jakarta setelah penyerahan kedaulatan Belanda kepada RIS, hanya tiga hari setelah Konperensi Meja Bundar di Den Haag. 

Merle Cochran menjadi Duta Besar pertama AS untuk Indonesia. Langkah AS itu kemudian segera disusul oleh Inggris, Belanda, dan China. 

Kanada membuka secara resmi hubungan diplomatik dengan Indonesia tahun 1949 dan pertukaran duta besar pertama kali terjadi tahun 1952 

 Sebagai negara berdaulat, Indonesia kemudian Memiliki mata uang sendiri tanggal 2 November 1949, empat tahun setelah merdeka dan menetapkan Rupiah sebagai mata uang kebangsaan. 

 Dari kacamata konsepsi ketatanegaraan, pernyataan Indonesia sebagai negara yang berdaulat sudah sesuai dengan prasyarat yang sudah ditentukan. 

Namun yang menjadi persoalan apakah, rumusan ”kemerdekaan” sudah terpenuhi dalam konstitusi kehidupan berbangsa dan bernegara. 

 Dari ranah inilah, sebenarnya, rumusan konstitusi yang mengamanatkan untuk melaksanakan konstitusi masih jauh tertinggal. Pasal 33 ayat (3) terkandung konsep politik agraria dirumuskan: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara”. 

Rumusan kalimat “dikuasai oleh negara” inilah yang kemudian dikenal sebagai konsep “Hak Menguasai Negara” (HMN) yang berarti penguasaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria terpusat pada kekuasaan yang begitu besar daripada negara. Pasal 33 sebagai jiwa dari bangsa Indonesia merupakan volksgeist (jiwa bangsa), Praktis tidak pernah dilaksanakan. 

Rumusan kata-kata ”menguasai...” sering diplesetkan menjadi ”memiliki”, sebuah istilah yang sangat berbahaya dan bertentangan dengan konsitusi. Lemaire dalam bukunya “Het Recht in Indonesia”, memberikan makna bahwa Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 adalah suatu “deze bepalingen geven vorm aan eigen Indonesisch” atau ketentuan yang bersifat khas Indonesia, yaitu sebagai ketentuan yang hanya dijumpai di Indonesia yang memberikan kewenangan yang begitu besar kepada Negara. 

Dikaji daritempatnya di dalam UUD ketentuan ini ditempatkan dalam Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, artinya persoalan ini erat hubungannya dengan usaha menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia. 

 MK kemudian merumuskan ”menguasai” yaitu Pengaturan (regelendaad), Pengelolaan (beheersdaad), Kebijakan (beleid), Pengurusan (bestuursdaad), Pengawasan (toezichthoudensdaad) Dalam penerbitan izin pengelolaan hutan, pemerintah mengabaikan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang secara tegas mengakui hak adat. UUPA dengan undang-undang sektoral lainnya seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan tidak sinkron sehingga menimbulkan benturan norma (conflict norm). 

 Walhi Jambi mencatat ada 317 kasus konflik lahan terjadi sejak 2003, Sedangkan "Sawit Watch" mencatat ada 630 kasus. 

Data BPN di 2008 ada 8.000-an konflik. Sementara catatan KPA pada 2008 terjadi 1.753 konflik yang menyebabkan satu juta lebih kepala keluarga menjadi korban. Akibat dari konflik-konflik tersebut yang hingga tidak tuntas dan belum ada upaya penyelesaian, telah menyebabkan timbulnya kemiskinan di kalangan petani. 

 Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), luas lahan pertanian padi di Indonesia pada 2010 tinggal 12,8 juta hektare dengan jumlah Rumah Tangga Petani 28,3 juta dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektare. 

 Berbagai riset menunjukkan, 48,8 juta orang tidak mendapatkan akses terhadap pengelolaan sumber daya alam di dalam taman nasional yang mengakibatnya sekitar 10,2 juta termasuk miskin. 

 Luas tanah yang telantar mencapai 1.578.915,0620 Ha (BPN, 2007). Belum lagi konversi lahan pertanian. 

Tahun 1993 menyebutkan di Jawa konversi lahan pertanian setiap tahun hampir mencapai satu juta hektare. 

 Sehingga gema ”makna kemerdekaan” dan teriakan ” Kita belum merdeka. Karena tanah kami masih dirampas oleh perusahaan besar” terdengar nyaring. 

 Dari titiklah, kemudian makna kemerdekaan kehilangan relevansinya dan diteriakkan di Desa Danau Lamo, Muara Jambi, Awal Agustus 2011. 

Dari titiklah, kemudian kesadaran konstitusional kita untuk mewujudkannya. 

 Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 18 Agustus 2011