Pada saat menuju pulang dari Muara Bulian setelah
menghadiri persidangan di Pengadilan Negeri Muara Bulian, penulis yang menaiki
kendaraan pribadi harus mengikuti antrian. Antrian disebabkan jalan yang
berlubang dan kendaraan yang lewat harus satu persatu.
Pada saat yang
bersamaan, dari belakang terdengar “suara”
sirine yang meraung-raung dan memekakkan telinga. Sebagai pengguna jalan, suara
sirine yang terdengar, membuat kendaraan tersebut harus diutamakan.
Penulis tersentak. Bagaimana mungkin, kendaraan
yang harus antri, tiba-tiba dilalui oleh kendaraan berplat merah yang dinaiki
Kepala Daerah suatu daerah kabupaten yang menggunakan pengawalan (voorrijder) bukan aparat
kepolisian. Kendaraan Voorrijder hanya dipakai Dinas Perhubungan. Padahal berhak
melakukan pengawalan adalah petugas penegakan hukum. Penegak hukum itu polisi
Berdasarkan Pasal 75 PP nomor 44 Tahun 1993 itu,
mobil yang berhak menggunakan lampu rotator dan sirene adalah, petugas
penegakan hukum, Dinas Pemadam Kebakaran, mobil ambulans, mobil PMI, serta
mobil jenazah.
Tentu saja penggunaan pengawalan (voorrijder) oleh
Dinas Perhubungan bukan aparat kepolisian sama sekali mengganggu dan
menimbulkan kesan gagah-gagahan dan tidak mendidik.
Penggunaan pengawalan (voorrijder) oleh Dinas
Perhubungan bukan aparat kepolisian sekali lagi memberikan pelajaran buruk
kepada masyarakat, bagaimana hukum ”ditelanjangi”
di jalan raya, dan berseliweran oleh pemimpin yang ”seharusnya” memberikan teladan.
Di Kota Jambi kita juga sering mendengar suara
sirine yang digunakan oleh Dinas Perhubungan bukan aparat kepolisian untuk
membawa para pembesar negeri. Padahal pembesar yang datang bukanlah orang yang
harus diutamakan terhadap jalan raya. Bukan orang yang harus diprioritaskan untuk
menggunakan jalan raya. Pembesar negeri sama sekali tidak terdesak waktu dan
harus diutamakan untuk diselamatkannya.
Penggunaan sirine yang tidak sesuai dengna
ketentuan, juga sering terjadi terhadap komunitas bikers kendaraan yang
melakukan touring (jalan jauh). Hampir saban akhir pekan, kita sering mendengar
sirine yang digunakan para bikers yang mutar-mutar keliling kota. Selain
penggunaan sirine tidka sesuai dengan peruntukannya dan bertentangna dengan
aturan jalan raya, suara sirine yang membuat pengguna jalan raya harus
meminggirkan kendaraannya begitu mendengar suara sirine sering kali mengumpat
ketika yang lewat adalah kendaraan yang tidak semestinya dan sama sekali tidak
diprioritaskan untuk mengggunakan jalan.
Penulis teringat dalam sebuah artikel di media
massa disaat kendaraan Presiden Abdurrahman Wahid yang berhenti di lampu merah
di tengah keramaian ibukota. Peristiwa ini kemudian menjadi headline di
berbagai massa. Dalam kajian intelijen, peristiwa ini sungguh berbahaya. Namun
dalam perspektif keteladanan yang disampaikan Gusdur, peristiwa ini
membangkitkan harapan kepada Gusdur, Presiden RI sekalipun ingin dekat dengan
rakyat dan merasakan kemacetan ibukota. Sebuah pengamatan yang obyektif dari
Gusdur sebelum mengambil keputusan penting ketatanegaraan.
Persoalan kemudian menjadi selesai, ketika
kemudian Gusdur mengalah dan bersedia tinggal di Istana Negara.
Peraturan sudah dipatuhi. Tinggal teladan dari
pemimpin negeri ini untuk memberi contoh. Apabila teladan tidak bisa diberikan
oleh pemimpin negeri ini, maka tidak salah gumalan para pengguna jalan. ”Mentang-mentang”.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 22 Januari 2012
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 22 Januari 2012