18 Januari 2012

opini musri nauli : Sirine dan Hukum





Pada saat menuju pulang dari Muara Bulian setelah menghadiri persidangan di Pengadilan Negeri Muara Bulian, penulis yang menaiki kendaraan pribadi harus mengikuti antrian. Antrian disebabkan jalan yang berlubang dan kendaraan yang lewat harus satu persatu.

Pada saat yang bersamaan, dari belakang terdengar “suara” sirine yang meraung-raung dan memekakkan telinga. Sebagai pengguna jalan, suara sirine yang terdengar, membuat kendaraan tersebut harus diutamakan.
Penulis tersentak. Bagaimana mungkin, kendaraan yang harus antri, tiba-tiba dilalui oleh kendaraan berplat merah yang dinaiki Kepala Daerah suatu daerah kabupaten yang menggunakan  pengawalan (voorrijder) bukan aparat kepolisian. Kendaraan Voorrijder hanya dipakai Dinas Perhubungan. Padahal berhak melakukan pengawalan adalah petugas penegakan hukum. Penegak hukum itu polisi
Berdasarkan Pasal 75 PP nomor 44 Tahun 1993 itu, mobil yang berhak menggunakan lampu rotator dan sirene adalah, petugas penegakan hukum, Dinas Pemadam Kebakaran, mobil ambulans, mobil PMI, serta mobil jenazah.
Tentu saja penggunaan pengawalan (voorrijder) oleh Dinas Perhubungan bukan aparat kepolisian sama sekali mengganggu dan menimbulkan kesan gagah-gagahan dan tidak mendidik.
Penggunaan pengawalan (voorrijder) oleh Dinas Perhubungan bukan aparat kepolisian sekali lagi memberikan pelajaran buruk kepada masyarakat, bagaimana hukum ”ditelanjangi” di jalan raya, dan berseliweran oleh pemimpin yang ”seharusnya” memberikan teladan.
Di Kota Jambi kita juga sering mendengar suara sirine yang digunakan oleh Dinas Perhubungan bukan aparat kepolisian untuk membawa para pembesar negeri. Padahal pembesar yang datang bukanlah orang yang harus diutamakan terhadap jalan raya. Bukan orang yang harus diprioritaskan untuk menggunakan jalan raya. Pembesar negeri sama sekali tidak terdesak waktu dan harus diutamakan untuk diselamatkannya.
Penggunaan sirine yang tidak sesuai dengna ketentuan, juga sering terjadi terhadap komunitas bikers kendaraan yang melakukan touring (jalan jauh). Hampir saban akhir pekan, kita sering mendengar sirine yang digunakan para bikers yang mutar-mutar keliling kota. Selain penggunaan sirine tidka sesuai dengan peruntukannya dan bertentangna dengan aturan jalan raya, suara sirine yang membuat pengguna jalan raya harus meminggirkan kendaraannya begitu mendengar suara sirine sering kali mengumpat ketika yang lewat adalah kendaraan yang tidak semestinya dan sama sekali tidak diprioritaskan untuk mengggunakan jalan.
Penulis teringat dalam sebuah artikel di media massa disaat kendaraan Presiden Abdurrahman Wahid yang berhenti di lampu merah di tengah keramaian ibukota. Peristiwa ini kemudian menjadi headline di berbagai massa. Dalam kajian intelijen, peristiwa ini sungguh berbahaya. Namun dalam perspektif keteladanan yang disampaikan Gusdur, peristiwa ini membangkitkan harapan kepada Gusdur, Presiden RI sekalipun ingin dekat dengan rakyat dan merasakan kemacetan ibukota. Sebuah pengamatan yang obyektif dari Gusdur sebelum mengambil keputusan penting ketatanegaraan.
Persoalan kemudian menjadi selesai, ketika kemudian Gusdur mengalah dan bersedia tinggal di Istana Negara.
Peraturan sudah dipatuhi. Tinggal teladan dari pemimpin negeri ini untuk memberi contoh. Apabila teladan tidak bisa diberikan oleh pemimpin negeri ini, maka tidak salah gumalan para pengguna jalan. ”Mentang-mentang”.

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 22 Januari 2012