15 Januari 2012

opini musri nauli : Pusaran parlemen sarolangun - Peristiwa Mosi tidak percaya kepada Ketua DPRD Sarolangun)



PUSARAN PARLEMEN SAROLANGUN
(Peristiwa Mosi tidak percaya kepada Ketua DPRD Sarolangun)


Akhir-akhir ini kita disuguhi pusaran parlemen di Sarolangun. ”Mosi tidak percaya” (penulis sengaja memberikan tanda kutip) 22 anggota DPRD Sarolangun kepada Ketua DPRD membuat kita sejenak ingin melihat bagaimana proses terhadap “mosi tidak percaya”.


Terlepas dari substansi yang akan kemudian diuji di peradilan, ada beberapa paradigma yang mesti diluruskan untuk melihat persoalan ini secara obyektif.
Paradigma Pertama adalah kekeliruan beberapa kalangan yang menganggap bahwa pengajuan “mosi tidak percaya” adalah mekanisme dalam sistem politik di Indonesia. Dalam ranah ilmu politik, “mosi tidak percaya” sebenarnya disampaikan oleh kalangan oposisi di parlemen terhadap kebijakan Pemerintah. Dalam ranah ini sebenarnya, “mosi tidak percaya” lebih tepat didalam sistem Pemerintahan Parlementer. Bandingkan dengan sistem Pemerintahan di Indonesia yang secara tegas-tegasnya mengikrarkan dengan sistem Pemerintahan Presidentiiil. Berbagai pasal didalam UUD 1945, misalnya Presiden dipilih langsung, Presiden tidak dapat diberhentikan oleh DPR, Presiden tidak dapat membubarkan parlemen, adalah identitas khas dalam sistem pemerintahan Presidentiil. Walaupun ada beberapa perubahan fundamental dalam amandemen UUD 1945 (adanya kecendrungan menguatnya parlemen dan pergeseran dari executive heavy atau dominan dan menonjolnya peran eksekutif, menjadi legislative heavy justru menguat), namun secara prinsip, Indonesia masih tegas mengikrarkan sebagai sistem Pemerintahan Presidentiil. Sejarah Indonesia telah mengajarkan, sejak Dekrit 5 Juli 1959, Indonesia kembali menjadi sistem Presidentiil dan babak ini menjaid tonggak penting terhadap berbagai ”percobaan” sistem Pemerintahan di Indonesia.
Dengan demikian, maka upaya skenario ”mosi tidak percaya” tidak tepat didalam sistem Pemerintahan Presidentiil.
Paradigma Kedua. Adanya perubahan fundamental dalam sistem politik pengangkatan dan pemberhentian anggota parlemen. Apabila sebelumnya dalam kurun reformasi, anggota parlemen yang terpilih berdasarkan nomor urut dalam partai, namun sejak diputuskan didalam putusan MK, sudah beralih menjadi suara terbanyak. Begitu juga terhadap pemilihan ketua Parlemen. Apabila sebelumnya, Ketua Parlemen dipilih oleh anggota parlemen, maka sejak tahun 2009, Ketua Parlemen dipilih berdasarkan suara pemenang pemilu di daerah bersangkutan.
Paradigma ketiga. Adanya perubahan yang fundamental dari sistem electoral threshold (ET) menjadi Parliamentary Threshold (PT). Perubahan fundamental ini mempengaruhi suara yang diraih untuk menjadi anggota parlemen. Apabila sebelumnya anggota parlemen yang telah meraih suara ditentukan, dapat menjadi anggota parlemen, maka dengan sistem PT, walaupun suara yang ditentukan telah diraih, namun apabila suara partai tidak memenuhi ambang batas minimal PT, maka suara yang diraih oleh anggota parlemen tersebut tidak dapat duduk di senayan. Dalam peristiwa ini, kita dapat melihat suara yang diraih oleh Dita Indah Sari (PBR) yang memenuhi kuota untuk duduk di parlemen, namun disebabkan PBR tidak memenuhi ambang suara minimal berdasarkan ketentuan PT, maka Dita Indah Sari yang sudah memenuhi kuota suara tidak dapat duduk menjadi anggota DPR-RI.
Kesalahan Paradigma anggota DPRD Sarolangun dalam peristiwa ”mosi tidak percaya” membuktikan, paradigma yang digunakan masih terjebak dalam pusaran dalam konteks sistem Pemerintahan Parlementer. Sistem yang sudah ditinggalkan sejak dekrit 5 Juli 1959. Selain itu juga paradigma yang digunakan masih terjebak dalam pemikiran sistem politik ET yang sudah ditinggalkan menjadi sistem politik PT.
Beberapa kesalahan paradigma yang dilakukan oleh 22 anggota DPRD Sarolangun masih memerlukan pengujian di muka persidangan. Tanpa mempengaruhi terhadap proses yang akan bergulir di Pengadilan, peristiwa ”mosi tidak percaya” yang berangkat dari konsepsi politik ”an sich”, harus dilalui berdasarkan mekanisme hukum di Indonesia. Kita tentu saja menunggu bagaimana kiprah pengadilan didalam menyelesaikannya. Dan tentu saja kita terlalu sayang melewatkan peristiwa ini. 

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 16 Januari 2012