Mahkamah
Konstitusi didalam putusannya Nomor Nomor 15/PUU-X/2012 “lagi-lagi” menolak permohonan para pihak
yang menghendaki “pencabutan” hukuman
mati”. Putusan ini sebenarnya kembali “menegaskan”
pandangan konstitusi terhadap hukuman mati. Dimana MK sebelumnya telah menolak permohonan
pencabutan hukuman mati yang disampaikan oleh Para
Pemohon Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 Edith Yunita Sianturi dkk dan Scott
Anthony Rush dalam perkara Nomor 3/PUU-VI/2007
Didalam putusan Nomor
2-3/PUU-V/2007. “lagi-lagi” Hakim
Konstitusi yang berkomposisi 9 orang terbelah. Empat orang Hakim Konstitusi
mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions). Hakim Konstitusi H. Harjono khusus mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon Warga
Negara Asing. H. Achmad Roestandi mempunyai pendapat berbeda mengenai Pokok
Permohonan. Sedangkan H.M. Laica Marzuki, dan Maruarar Siahaan mempunyai
pendapat berbeda baik mengenai kedudukan hukum (legal standing) maupun Pokok Permohonan.
Wacana hukuman mati tetap hangat dibicarakan. Pidana mati adalah merupakan
jenis pidana yang paling berat dari susunan sanksi pidana dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Pidana mati merupakan
salah satu bentuk pidana yang paling tua, sehingga dapat juga dikatakan bahwa
pidana mati itu sudah tidak sesuai dengan kehendak zaman. Namun sampai saat
sekarang ini belum diketemukan alternatif lain sebagai penggantinya.
Lebih dari separuh negara di dunia melarang
hukuman mati. Hanya satu negara di Eropa, yaitu Belarus, yang masih mempertahankan
hukuman mati. 80% (Delapan puluh persen) dari seluruh hukuman mati yang
dilaksanakan di dunia sejak tahun 1976 terjadi di Cina, Iran, Pakistan, Kongo,
Arab Saudi, Iran dan Amerika Serikat. Tahun 2004, Amerika Serikat mengeksekusi
59 orang dewasa. Hampir 3.500 orang menunggu pelaksanaan hukuman mati di
berbagai penjara di Amerika Serikat (data dari berbagai sumber)
Dalam hukum positif Indonesia masih
terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana
mati seperti UU No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang kemudian
telah diubah berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009, UU No. 31 Tahun 1999 yang telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 26
Tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, UU Tindak Pidana
Terorisme. Bahkan Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan Hingga akhir 2006 terdapat setidak-tidaknya 11 peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih mengandung ancaman hukuman
mati
Kalangan yang menolak hukuman mati berargumentasi
”Salah
satu sebab hukuman mati dihapuskan di berbagai negara di dunia adalah kenyataan
bahwa hukuman mati dianggap merupakan suatu bentuk hukuman atau perlakuan yang
kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia (cruel,
inhuman, or degrading treatment or punishment).
Hukuman mati tetap menjadi Polemik.
Tulisan mengenai hukuman mati memang menyita perhatian dari penulis dan menjadi perdebatan panjang di media massa. Disaat penulis menawarkan sebuah pemikiran yang berjudul “Hukuman Mati dari Perspektif HAM” yang dimuat pada tanggal 12 Oktober 2006, ternyata menarik perhatian dari Saudara Erdianto yang kemudian memberikan pandangannya yang berjudul “Sekali Lagi, Soal Pidana Mati – Tanggapan atas Opini Musri Nauli” yang diterbitkan pada tanggal 2 November 2006. Penulis kemudian memberikan tanggapan KEKELIRUAN PENAFSIRAN HUKUMAN MATI (Otokritik Terhadap Hukuman Mati), dimuat di Harian Jambi Ekspres, 9 November 2006.
Terlepas dari pandangan konstitusi yang telah dirumuskan dan diputuskan oleh MK, ada beberapa persoalan yang mendasar yang menjadi tema hukuman mati masih menyisakan polemik.
Pertama. Para pemohon yang dijatuhi pidana mati terhadap tindak pidana narkotika kemudian mendalilkan, ”pidana mati berangkat dari pemahaman teori balas dendam, an eye for an eye. hukuman mati dianggap merupakan suatu bentuk hukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia (cruel, inhuman, or degrading treatment or punishment).
Mengutip putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 dapat dilihat perbedaan pendapat ahli hukum
mengenai hukuman mati. Dr. Rudy Satrio Mukantardjo, SH
menyatakan Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia masih perlu
diterapkan, utamanya terhadap tindak
pidana terorisme, pembunuhan sadis dan berencana dan kejahatan perdagangan Narkoba.
Dr. A. Muhammad Asrun, SH. MH, “Pemahaman yang
benar terhadap pemberlakukan hukuman mati terkait dengan kejahatan luar biasa
seperti kejahatan narkotika harus dilihat sebagai upaya perlindungan terhadap
“hak hidup” (the right to life) banyak orang. Hukuman mati sebagaimana diatur
dalam Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika harus dilihat dalam
konteks perlindungan hak hidup masyarakat luas.
Sedangkan Prof. Dr. Achmad Ali, SH
menyatakan penerapan hukuman mati sangat dibutuhkan
khususnya di Indonesia, tetapi harus diterapkan secara spesifik dan selektif. Spesifik artinya hukuman mati diterapkan untuk kejahatan-kejahatan
serius ("heinous) mencakupi korupsi, pengedar narkoba, teroris, pelanggar HAM yang berat dan pembunuhan berencana. Dan yang dimaksudkan dengan selektif adalah bahwa terpidana yang dijatuhi hukuman mati harus yang benar-benar yang
telah terbukti dengan sangat meyakinkan di pengadilan (“beyond reasonable doubt”) bahwa memang dialah sebagai pelakunya.
Sedangkan pendapat yang menolak hukuman mati
didasarkan kepada berbagai argumentasi. Prof. Dr. Arief Sidharta, SH., berpendapat bahwa
sebaiknya hukuman mati untuk jenis kejahatan apapun sebaiknya dihapuskan, dan
diganti dengan hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan memperoleh remisi.
Dr. Soedikno Mertokusumo,SH., dalam disertasinya
tahun 1971 yang berjudul "Sejarah Peradilan & Perundangundangan di
Indonesia sejak tahun 1942 dan apakah manfaatnya bagi kita bangsa
Indonesia", dalam salah satu lampiran dalil mengatakan bahwa pidana mati
agar dihapuskan karena bertentangan dengan dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila.
Prof. Mr. Roeslan Saleh (Guru Besar
Hukum Pidana) berpendapat bahwa tidak setuju adanya pidana mati di Indonesia
karena (1) kalau ada kekeliruan putusan hakim tidak dapat diperbaiki lagi. (2) mendasarkan landasan Falsafah Negara Pancasila, maka
pidana mati itu dipandang bertentangan dengan perikemanusiaan.
Terlepas dari perbedaan para ahli
melihat pelaksanaan hukuman mati, pendekatan yang paling sering digunakan
adalah Dengan menggunakan pendekatan sebagai "guaranted constitusional right" sebagaimana rumusan
konstitusi Pasal 28 Ayat I Huruf I UUD 45, maka maka “hak untuk hidup” (the right to life) sebagai
hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable right).
Pernyataan ini kemudian dikuatkan didalam rumusan pasal rumusan pasal Pasal 4
UU No. 39 Tahun 1999 dengan tegas menyatakan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan
oleh siapapun.
Prof. Dr. Arief Sidharta,
SH menegaskan Pasal 28 I UUD 1945 menetapkan: “Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Kata-kata “hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” pada
bagian akhir dari Pasal 28I UUD 1945 tersebut menunjukkan bahwa “hak untuk
hidup” termasuk ke dalam kelompok hak asasi manusia yang nonderogable. Berdasarkan asas
“Lex superior derogat legi inferiori”, maka semua ketentuan perundang-undangan yang memuat hukuman mati, baik
yang tercantum dalam KUHP maupun dalam perundang-undangan pidana di luar KUHP,
adalah inkonstitusional, dan karena itu sejak berlakunya Pasal 28I UUD 1945,
tidak lagi memiliki kekuatan hukum (tidak memiliki keberlakuan formal lagi).
Selanjutnya Prof.
Dr. Arief Sidharta menegaskan, Berangkat dari pendekatan yang dimaksudkan
terlepas dari para pendapat ahli yang mendukung hukuman mati (walaupun dalam kejahatan tertentu) dan
putusan terhadap putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 2-3/PUU-V/2007,
hukuman mati tidak sesuai dengan konstitusi. Pernyataan ini dijuga didasarkan
kepada adanya pendapat hakim yang terbelah didalam memutuskan perkara ini
(dissenting opinion).
Selain itu juga, dari keseluruhan pendapat ahli
baik yang mendukung maupun yang menolak hukuman mati didasarkan kepada sistem
hukum yang masih belum berpihak kepada keadilan dan juga didasarkan sistem
hukum yang masih jauh dari pembuktian materiil dari perkara pidana. Sehingga
dikhawatirkan dapat menciptakan tirani baru didalam dunia hukum.
Berbagai pendapat yang digunakan para ahli baik
yang mendukung hukuman mati maupun menolak hukuman mati “sekali lagi”
menegaskan polemik hukuman mati akan menjadi wacana yang tetap hangat dan
aktual yang dibicarakan. Terlepas dari putusan MK Perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007 yang kemudian ditegaskan putusan MK Nomor 15/PUU-X/2012 yang menolak permohonan pembatalan “hukuman mati”, namun
penulis berpendapat hukuman mati akan tetap menjadi polemik. Baik yang
mendukung dan menolak hukuman mati akan menjadi issu ini salah satu persoalan
krusial dan tetap menarik untuk didiskusikan.