Berbagai
situs media online telah “memberitakan
Wa
Ode Nurhayati, terdakwa kasus suap Dana Penyesuaian Infrastruktur
Daerah 2011 ini terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
kejahatan ganda, tindakan korupsi dan pencucian uang”.
Ia pun dijatuhi hukuman pidana penjara
plus
denda
Rp. 500 juta dan subsider 6 bulan kurungan. Sebelumnya JPU
telah menuntut Wa Ode hukuman 14 tahun penjara atas dua tuntutan
pidana, 4 tahun untuk tindak pidana korupsi dan 10 tahun untuk tindak
pidana pencucian uang
(TPPU).(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5080726b5f89d/wa-ode-terbukti-korupsi-dan-imoney-laundering)
Dalam semangat dan
suasana “pemberantasan korupsi”, berita ini sekedar
“confirm” terhadap berbagai “penyelewangan”
yang diusut KPK dan kemudian disidangkan. Issu tentang “mafia
anggaran” kemudian terkuak dan berhasil menjadi perhatian
publik.
Membaca berita
diatas kita “seakan-akan” maklum terhadap upaya yang
menjadi perhatian publik. Namun tanpa “mempengaruhi” upaya
serius yang tengah kita lakukan, putusan Pengadilan yang kemudian
“menghukum” Wa Ode Nurhayati memang menimbulkan persoalan
yang menarik untuk didiskusikan. Putusan Pengadilan dapat memberikan
pelajaran bagaimana kita melihat berbagai persoalan korupsi dari
berbagai sudut dan strategi yang digunakan para pelaku didalam
“menyembunyikan” hasil kejahatannya.
Membaca berita
putusan terhadap Wa ode kemudian dapat disimpulkan selain terhadap
tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh Wa ode, Putusan
pengadilan juga menyatakan dan “menghukum” Wa ode dalam
tindak pidana yang lain. Tindak pidana pencucian uang (money
laundring). Dalam dimensi inilah, kemudian berita putusan
Pengadilan terhadap Wa ode harus dibaca lebih tajam dan lebih dalam.
KPK dan Korupsi
Membicarakan KPK
dan upaya pemberantasan korupsi memang menarik untuk selalu
didiskusikan. Keberadaan KPK merupakan kebutuhan yang “mendesak”
terhadap organ negara yang diberi wewenang yang besar (superbody)
untuk “memberantas korupsi.
Dengan
semangat itulah, kemudian KPK lahir berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002.
Sebagai lembaga yang bertugas
“memberantas korupsi”,
lembaga KPK sebenarnya sudah memiliki kewenangan yang luar biasa.
Sebagian menyebutkan sebagai lembaga super body. Didalam UU No. 30
Tahun 2002 sebagaimana dalam pertimbanganya, ditegaskan “lembaga
pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum
berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana
korupsi”. Sehingga diperlukan dan dibentuk Komisi Pemberantasan
tindak pidana korupsi yang independent dengan tugas dan wewenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kewenangan
yang superbody ditandai dengan tindakan melakukan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Sebuah
tindakan yang dilakukan oleh Kepolisian dan kejaksaan dalam satu
wewenang institusi hukum yang dalam suatu negara. Kewenangan ini
kemudian dirumuskan termasuk meminta informasi tentang kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait,
melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan korupsi, meminta laporan instansi
terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi (pasal
7 UU No. 30 Tahun 2002). Termasuk
mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi (pasal 8),
pengambil alihan penyidikan dan penuntutan apabila laporan korupsi
tidak ditanggapi, proses yang berlarut-larut, bertujuan melindungi
pelaku tindak pidana (pasal 9),
melakukan penyadapan, meminta keterangan kepada bank tentang keuangan
tersangka, memerintahkan kepada pimpinan untuk memberhentikan
jabatan, menghentikan suatu transaksi, melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan (pasal
12)
Dengan
membaca rumusan berbagai pasal-pasal yang diatur didalam UU No. 30
Tahun 2002, tentu saja dapat dilihat berbagai kewenangan, semangat
lahirnya KPK dan berbagai rumusan pasal-pasal lain “harus”
dibaca sebagai tindakan dan upaya paksa yang berkaitan dengan
“korupsi”.
Rumusan pasal-pasal inilah yang kemudian menjadi semangat dari upaya
pemberantasan korupsi. Rumusan pasal-pasal inilah yang kemudian harus
dikawal (dalam upaya sistematis
menghilangkan kewenangan KPK).
Dari
literatur dan berita putusan Pengadilan terhadap Wa ode sudah tepat
dan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya
pemberantasan korupsi.
Konflik
Norma
Namun,
UU No. 30 tahun 2002 sama sekali tidak memberikan wewenang, peluang
apalagi membicarakan tindak pidana pencucian uang (money
laundring). Sama sekali, Tidak ada
rumusan yang memberikan “ruang”,
wewenang dari rumusan UU no. 30 Tahun 2002 dalam tindak pidana
pencucian uang (money laundring)
Artinya
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 menegaskan KPK memang dibentuk
untuk menangani Tindak Pidana Korupsi mulai dari Penyelidikan,
Penyidikan, maupun Penuntutan. Dan artinya (a contrario), KPK tidak
diberikan wewenang dalam menangani Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dari
rumusan UU No. 30 Tahun 2002 dan UU Money laudry yang tidak
“memberikan ruang dan wewenang”
terhadap tindak pidana pencucian uang (money
laundring), penggunaan pasal-pasal
pencucian uang menarik untuk dilihat dari upaya semangat
pemberantasan korupsi.
Coba
perhatikan UU No 15 Tahun 2002 pada point Menimbang:
(c). bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003 perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan penegakan
hukum, praktik, dan standar internasional sehingga perlu diganti
dengan undang-undang baru;
Dengan
memperhatikan pada UU No. 15 Tahun 2002 junto UU No. 25 Tahun 2003
dan UU No. 8 Tahun 2010, tidak ada satupun Undang-undang yang
membicarakan yang berkaitan dengan Korupsi maupun Tindak Pidana asal
lainnya yang disebut sebagai dasar pertimbangan pembentukan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Begitu
juga terhadap dasar pertimbangan pembentukan Undang-undang Nomor 15
Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25
Tahun 2003 tidak ditemukan ketentuan Undang-undang mengenai Korupsi
maupun Tindak Pidana Asal lainnya dalam pembentukan Undang-undang
tersebut. Yang menjadi bahan pertimbangan didalam dan membahas
pembentukan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 HANYALAH Pencucian
Uang. (karena dalam berbagai literatur juga disebutkan terhadap
tindak pidana pencucian juga dapat berasal dari tindak pidana
terorisme, tindak pidana narkotika dan berbagai tindak pidana
lainnya. Sebagian kalangan lebih tepat mendefenisikan sebagai
kejahatan kerah putih (white collar).
Dengan
demikian maka tidak tepat apabila tindak pidana money laundring
semata-mata bersandarkan kepada tindak pidana korupsi.
Namun
rumusan ini kemudian menjadi aneh ketika kita baca pasal 74 UU No. 8
Tahun 2010 “Penyidikan
tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana
asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang
ini.
Dan Pasal 75 UU No. 8 Tahun 2010 “Dalam
hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak
pidana Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan
penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana
Pencucian Uang dan memberitahukannya kepada PPATK.
Padahal
apabila kita mau “sejenak”
menggali berbagai ketentuan yang berkaitan dengan korupsi, rumusan
tindak pidana juga tidak dapat dipisahkan dari kehadiran Pengadilan
ad hock korupsi. Pasal 5 UU No. 46 Tahun 2009 menegaskan “Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana
korupsi”.
Walaupun
ada rumusan pasal 6 “Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara (a) Tindak Pidana Korupsi,
(b) tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah
tindak pidana korupsi; dan/atau (c) tindak pidana yang secara tegas
dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi,
namun identitas Pengadilan adhock Tipikor yang menegaskan berdasarkan
pasal 5 UU no. 46 Tahun 2009 yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi sekali lagi menegaskan “tidak
membuka ruang, wewenang” untuk memeriksa dan mengadili perkara yang
berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (money laundring).
Atau ditegaskan “penyidik dan
Pengadilan adhock Tipikor tidak diberikan wewenang oleh UU untuk
memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan tindak pidana
money laundring”.
Berbagai
pertentangan norma (konflik
norma)
inilah yang kemudian menjadi diskusi hangat dalam kajian ahli hukum.
Dan kesempatan ini akan melihat bagaimana pengujian norma-norma yang
bertentangan (konflik norma)
dapat diuji dan diperiksa di MK. Kita tunggu langkah Wa ode beserta
dengan Yusril Ihza Mahendra untuk “mempersoalkannya.
Headline kompasiana, 19 Oktober 2012
http://hukum.kompasiana.com/2012/10/19/membaca-putusan-wa-ode-nurhayati/
Headline kompasiana, 19 Oktober 2012
http://hukum.kompasiana.com/2012/10/19/membaca-putusan-wa-ode-nurhayati/