Dalam
diskusi informal, sebagian kalangan mengagumi Singapura didalam
mengelola kotanya. Hampir praktis semuanya sudah tertata dengan baik.
Setelah membicarakan bagaimana Singapura mengelola kotanya, kemudian
mereka mengagumi Singapura didalam menerapkan hukumnya.
Banyak
yang melihat prestasi Singapura didalam menata kota dan membangun
sistem hukum. Terlepas dari berbagai kekurangan, kemudian Indonesia
seringkali “bermimpi” agar dapat seperti Singapura. Semuanya
tertata rapi dan sistem hukum dihormati. Kemudian mereka berharap
agar Indonesia dapat belajar dari Singapura.
Pertanyaan
yang paling sering menggugat, apakah Indonesia dapat belajar dari
Singapura. Pertanyaan selanjutnya, apakah Indonesia mampu seperti
Singapura ?
Sebelum
membahas apakah Indonesia dapat belajar dari Singapura dan apakah
Indonesia mampu seperti Singapura maka kita harus mengenal dulu
daripada definisi hukum. Sehingga dari definisi itu kemudian kita
dapat mengkategorikan apakah Indonesia mampu seperti Singapura.
Dalam
berbagai literatur, pengertian hukum merupakan salah satu ranah
perdebatan yang paling seru. Sama juga perdebatan tentang keadilan.
Hingga sekarang, belum ada kesepatan dari berbagai ahli hukum untuk
merumuskan pengertian hukum.
Para
ahli cuma bisa merumuskan, apa saja yang termasuk kedalam “kriteria”
dari hukum, syarat-syarat yang dapat dikatakan hukum hingga standar
minimal apakah norma itu dapat dikategorikan sebagai hukum.
Pengertian
Hukum Menurut Para Ahli Hukum dapat dilihat dari berbagai literatur.
Plato, melukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem
peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat
masyarakat. Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang
tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang
adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena
kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan
jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah. Austin, hukum
adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada
makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya.
Bellfoid, hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib
masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat.
Mr. E.M. Mayers, hukum adalah semua aturan yang mengandung
pertimbangan kesusilaan ditinjau kepada tingkah laku manusia dalam
masyarakat dan yang menjadi pedoman penguasa-penguasa negara dalam
melakukan tugasnya. Immanuel Kant, hukum adalah keseluruhan
syarat-syarat yang dengan ini kehendak dari orang yang satu dapat
menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan
hukum tentang Kemerdekaan. Van Kant, hukum adalah serumpun
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk
mengatur melindungi kepentingan orang dalam masyarakat. Van
Apeldoorn, hukum adalah gejala sosial tidak ada masyarakat yang tidak
mengenal hukum maka hukum itu menjadi suatu aspek kebudayaan yaitu
agama, kesusilaan, adat istiadat, dan kebiasaan. E. Utrecht,
menyebutkan: hukum adalah himpunan petunjuk hidup –perintah dan
larangan– yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan
seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan,
oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan
tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.
Dengan
mengikuti berbagai pemikiran ahli hukum didalam merumuskan pengertian
hukum dan mendasarkan kepada Soerjono Soekanto maka hukum dapat
dirumuskan Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap
tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan, Hukum sebagai
keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut
keputusan penguasa. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu
jalinan-jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang
siagap baik dan buruk. Hukum sebagai sarana sistem pengandalian
sosial
Nah,
mengikuti pemikiran dengan pengertian hukum, maka apabila dilihat
dalam perkembangan, maka hukum di Indonesia kemudian dirumuskan oleh
rakyat Indonesia sebagai kaidah, pedoman atau patokan sebagai jalinan
nilai-nilai. Pemikiran inilah kemudian yang masih hidup dan terus
berkembang dan menjadi bagian dari rakyat.
Pandangan
yang kedua adalah pandangan yang melihat hukum benar-benar sebagai
instrumen, dan karena itu hasil penggambarannya secara konseptual
akan banyak menghasilkan persepsi bahwa hukum adalah bagian dari
teknologi yang lugas; atau meminjam kata-kata Rouscoe Poend, hukum
itu adalah “tool of social engineering“.
Roscoe
Pound minta agar para ahli lebih memusatkan perhatian pada hukum
dalam praktik (law in actions), dan jangan hanya sebagai
ketentuan-ketentuan yang ada dalam buku (law in books).
Dengan
memperbandingkan antara pemikiran hukum yang terus berkembang di
Indonesia dengan pendapat yang disampaikan Roscoe Pound yang
mendefinisikan sebagai “tool of social engineering”, maka kita
akan mudah mengidentifikasikan dengan perkembangan di Singapura.
Untuk
memperkuat pemaparan yang akan disampaikan, maka kita membahas
pertanyaan yang disampaikan. Apakah kita dapat belajar dari
Singapura.
Di
Indonesia, harus diakui definisi hukum berdasarkan kepada Hukum
sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau
perikelakuan yang pantas atau diharapkan. Hukum sebagai jalinan
nilai-nilai, yaitu jalinan-jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak
tentang apa yang baik dan buruk.
Definisi
ini berangkat dari proses yang panjang perjalanan bangsa Indonesia.
Indonesia mengalami proses sejarah perjalanan kebangsaan yang
panjang. Baik zaman sebelum masuknya berbagai agama besar dunia
(Islam, Kristen, Hindu, Budha) maupun interaksi berbagai budaya
lainnya (Arab, India, China, Eropa). Berbagai interaksi antara satu
agama dengan agama lain, interaksi budaya yang kemudian meninggalkan
sejarah dan khas dari masing-masing komunitas. Sehingga berbagai
agama dan budaya juga turut membantu berbagai pemikiran didalam
merumuskan definisi hukum.
Berbeda
dengan Singapura. Dalam berbagai dokumen, keberadaan Singapura bisa
dilacak dari bagian kekuasaan Sriwijaya. Singapura masih menjadi
“jajahan” dari Sriwijaya pada abad XIV (O.W. Wolters,
Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan dunia abad III –
VII). Kemudian abad XIV hingga
abad XIX menjadi jajahan bangsa eropa. Sir Stamford Raffles yang
kemudian menjadikan Singapura sebagai pelabuhan penting yang
menghubungkan jalur perdagangan dan terletak di tengah-tengah antara
India dan China.
Gagasan
ini kemudian diteruskan oleh Lee Kuan Yew setelah merdeka tahun 1963.
Dengan
mengikuti perkembangan yang terjadi di Singapura, kemudian Singapura
menetapkan sebagai negara yang mengandalkan trading dan jasa. Dengan
mengikuti perkembangan Singapura, maka hukum kemudian ditetapkan oleh
penguasa. Sehingga pendekatan hukum kemudian dirumuskan seperti
ajaran Roscou Pound. Hukum sebagai alat untuk menciptakan rekayasa
sosial (tool of social engineering). Hukum sebagai
keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut
keputusan penguasa. Hukum sebagai sarana sistem pengandalian sosial.
Sehingga
pengamatan dan penilaian dari sebagian kalangan yang menganggap
Singapura berhasil menata hukum lebih tepat menggunakan pendekatan
pemikiran yang disampaikan oleh Roscou
Pound.
Pada
konteks ini, terhadap kebutuhan dari negara Singapura dapat
diterapkan dan tepat dalam perkembangan sekarang. Namun dalam
perkembangan dari transisi (baik kultur, politik) Indonesia,
pemikiran dari Roscou Pound akan menimbulkan polemik dan benturan
yang serius. Selain akan berhadapan dengan pemikiran masyarakat
Indonesia yang masih menganggungkan berbagai varian nilai yang
berbeda dengan pemikiran dari Roscou Pound, pemikiran dari Roscou
Pound tidak tepat diterapkan dari Indonesia.
Lantas
apakah Indonesia dapat mengikuti Singapura didalam menata hukumnya.
Dari sebagaian dimensi bisa kita terapkan terhadap daerah-daerah
industri. Namun di sebagian daerah lainnya, konsepsi-konsepsi dari
Roscou Pound akan menimbulkan persoalan yang tidak sederhana.