Lagi-lagi
korban laka lantas terjadi awal Tahun baru. Seorang anak “petinggi”
kemudian “diduga” sebagai pelaku.
Entah
“demi kepentingan penyidikan”, simpang siur tentang nama anak
“petinggi negara” simpang siur. Pada sore hari, berbagai media
massa “kesulitan” mendapatkan konfirmasi tentang “kebenaran”
anak petinggi sebagai pelaku. Media online berebut mendapatkan
konfirmasi atas kejadian itu. Berbagai pihak tidak ada satupun yang
“bisa memastikan”. Entah apa yang terjadi. Menjelang magrib-lah,
semua berita itu mendapatkan konfirmasi kepastian.
Terlepas
dari berbagai “kebenaran” apakah memang anak “petinggi”
menjadi pelaku, yang pasti “korban lalu lintas” menjadi soroton
utama. Tanpa “mempengaruhi” hasil investigasi yang akan
dilakukan, ada beberapa peristiwa “serupa” yang menarik perhatian
publik.
Masih
segar dalam ingatan seorang aktor yang “dituduh” lalai
mengendarai kendaraan yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dan
“menyebabkan” istrinya meninggal dunia.
(http://hukum.kompasiana.com/2011/09/05/kecelakaan-saiful-jamil-dilihat-dari-kesalahan-dan-pertanggungjawaban-hukum-393373.html).
Reaksi publik bercampur aduk antara “kasihan” dan harus
diterapkan hukum.
Begitu
juga seorang gadis belia yang “dituduh” sebagai pelaku lalu
lintas menabrak belasa orang di pagi hari. Publik kemudian mengenal
sebagai “tragedi tugu monas”. Perdebatan muncul. Apakah UU Lalu
lintas “dianggap” terlalu ringan dengan korban-nya yang “belasan
orang” ?. Publik kemudian “mendesak” agar diberi hukuman yang
berat. Sementara kalangan akademispun mendesak agar diterapkan
“pasal-pasal pembunuhan” sebagaimana diterapkan dalam KUHP.
Kitapun
diingatkan dalam kasus serupa, supir metromini yang dijerat dengan
pasal 340 KUHP (Pembunuhan berencana) dalam kasus di Kali sunter
tahun 1994.
.(http://hukum.kompasiana.com/2012/01/26/wacana-pasal-pembunuhan-dalam-xeniat-maut-433965.html)
Kepolisian
kemudian menerapkan pasal-pasal pembunuhan, pasal-pasal lalu lintas
dan UU Narkotika
Belum
hilang dari ingatan publik, kejadian serupa terjadi. Seorang bekas
model “menabrak” pejalan kaki. Kejadian serupa, namun “entah
mengapa” kasus ini tenggelam.
Kecelakaan
lakalantas atau pembunuhan ?
Mungkin
nurani “seseorang” akan tergelitik apabila kasus-kasus lalu
lintas yang biasa terjadi namun kemudian diterapkan pasal-pasal yang
berkaitan dngan pembunuhan. Namun yurisprudensi telah mengajarkan
bagaimana pasal-pasal yang berkaitan dengan pembunuhan diterapkan
dalam kasus-kasus korban lalu lintas.
Sebagaimana
telah sering penulis sampaikan, Dalam ilmu
hukum pidana, untuk menentukan kesalahan (schuld) dengna menggunakan
“tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een
straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea.
Menentukan kesalahan (schuld) dilihat dari kesengajaan (opzettelijk)
dan kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian (culpa).
Menurut
para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan (opzettelijk),
yaitu :
a.
Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)
b.
Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet
als zekerheidsbewustzijn)
c.
Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus
eventualis).
Dengan
menggunakan pendekatan teori-teori kesengajaan, maka tinggal penyidik
“memastikan” apakah terhadap pelaku dapat “dibuktikan”
memenuhi “kesengajaan”. Apakah memang “dapat dibuktikan”
adanya kesalahan dari pelaku. Baik karena Kesengajaan
sebagai maksud (oogmerk) atau kesengajaan dengan sadar kepastian
(opzet
als zekerheidsbewustzijn atau Kesengajaan
dengan sadar kemungkinan (dolus
eventualis).
Apabila
kecelakaan “dimana” pelaku dalam keadaan “setengah teler”
(dalam kasus “Tragedi tugu monas), maka dapat dibuktikan
“kesengajaan dengan kemungkinan. “Kemungkinan” terjadinya
kecelakaan karena “dalam keadaan setengah teler” maka “kecelakaan
“akan besar dan mudah terjadi”.
Atau
apakah pelaku dalam keadaan sadar “dan dibenarkan” mengendarai
kendaraan sebagaimana ketentuan maka harus dibuktikan Apakah “pelaku”
telah menggunakan “berbagai upaya penyelamatan” sehingga “memang
tidak dapat dihindarkan”. Apabila upaya penyelamatan” seperti
melakukan pengereman yang layak, atau memang mobil yang didepannya
tidak berjalan sebagaimana mestinya”, maka pelaku dapat “dibebaskan
dari kesalahan”. Namun apabila sudah dilakukan “upaya
penyelamatan”, “tidak ada kesalahan pada diri pelaku, maka
“pelaku haruslah dibebaskan”.
Semua
pertanyaan diatas menjadi “bekal” bagi penyidik untuk
“memastikan” bagaimana peristiwa itu terjadi. Agar tidak terjadi
“fitnah” dan pelaku harus dipastikan “apakah sebagai pelaku
atau bukan” ?