02 Januari 2013

opini musri nauli : Kecelakaan atau dugaan Pembunuhan ?



Lagi-lagi korban laka lantas terjadi awal Tahun baru. Seorang anak “petinggi” kemudian “diduga” sebagai pelaku.

Entah “demi kepentingan penyidikan”, simpang siur tentang nama anak “petinggi negara” simpang siur. Pada sore hari, berbagai media massa “kesulitan” mendapatkan konfirmasi tentang “kebenaran” anak petinggi sebagai pelaku. Media online berebut mendapatkan konfirmasi atas kejadian itu. Berbagai pihak tidak ada satupun yang “bisa memastikan”. Entah apa yang terjadi. Menjelang magrib-lah, semua berita itu mendapatkan konfirmasi kepastian.

Terlepas dari berbagai “kebenaran” apakah memang anak “petinggi” menjadi pelaku, yang pasti “korban lalu lintas” menjadi soroton utama. Tanpa “mempengaruhi” hasil investigasi yang akan dilakukan, ada beberapa peristiwa “serupa” yang menarik perhatian publik.

Masih segar dalam ingatan seorang aktor yang “dituduh” lalai mengendarai kendaraan yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dan “menyebabkan” istrinya meninggal dunia. (http://hukum.kompasiana.com/2011/09/05/kecelakaan-saiful-jamil-dilihat-dari-kesalahan-dan-pertanggungjawaban-hukum-393373.html). Reaksi publik bercampur aduk antara “kasihan” dan harus diterapkan hukum.

Begitu juga seorang gadis belia yang “dituduh” sebagai pelaku lalu lintas menabrak belasa orang di pagi hari. Publik kemudian mengenal sebagai “tragedi tugu monas”. Perdebatan muncul. Apakah UU Lalu lintas “dianggap” terlalu ringan dengan korban-nya yang “belasan orang” ?. Publik kemudian “mendesak” agar diberi hukuman yang berat. Sementara kalangan akademispun mendesak agar diterapkan “pasal-pasal pembunuhan” sebagaimana diterapkan dalam KUHP.
Kitapun diingatkan dalam kasus serupa, supir metromini yang dijerat dengan pasal 340 KUHP (Pembunuhan berencana) dalam kasus di Kali sunter tahun 1994.
.(http://hukum.kompasiana.com/2012/01/26/wacana-pasal-pembunuhan-dalam-xeniat-maut-433965.html)

Kepolisian kemudian menerapkan pasal-pasal pembunuhan, pasal-pasal lalu lintas dan UU Narkotika

Belum hilang dari ingatan publik, kejadian serupa terjadi. Seorang bekas model “menabrak” pejalan kaki. Kejadian serupa, namun “entah mengapa” kasus ini tenggelam.

Kecelakaan lakalantas atau pembunuhan ?

Mungkin nurani “seseorang” akan tergelitik apabila kasus-kasus lalu lintas yang biasa terjadi namun kemudian diterapkan pasal-pasal yang berkaitan dngan pembunuhan. Namun yurisprudensi telah mengajarkan bagaimana pasal-pasal yang berkaitan dengan pembunuhan diterapkan dalam kasus-kasus korban lalu lintas.

Sebagaimana telah sering penulis sampaikan, Dalam ilmu hukum pidana, untuk menentukan kesalahan (schuld) dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea. Menentukan kesalahan (schuld) dilihat dari kesengajaan (opzettelijk) dan kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian (culpa).
Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan (opzettelijk), yaitu :
a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)
b. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet als zekerheidsbewustzijn)
c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).

Dengan menggunakan pendekatan teori-teori kesengajaan, maka tinggal penyidik “memastikan” apakah terhadap pelaku dapat “dibuktikan” memenuhi “kesengajaan”. Apakah memang “dapat dibuktikan” adanya kesalahan dari pelaku. Baik karena Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk) atau kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet als zekerheidsbewustzijn atau Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).

Apabila kecelakaan “dimana” pelaku dalam keadaan “setengah teler” (dalam kasus “Tragedi tugu monas), maka dapat dibuktikan “kesengajaan dengan kemungkinan. “Kemungkinan” terjadinya kecelakaan karena “dalam keadaan setengah teler” maka “kecelakaan “akan besar dan mudah terjadi”.

Atau apakah pelaku dalam keadaan sadar “dan dibenarkan” mengendarai kendaraan sebagaimana ketentuan maka harus dibuktikan Apakah “pelaku” telah menggunakan “berbagai upaya penyelamatan” sehingga “memang tidak dapat dihindarkan”. Apabila upaya penyelamatan” seperti melakukan pengereman yang layak, atau memang mobil yang didepannya tidak berjalan sebagaimana mestinya”, maka pelaku dapat “dibebaskan dari kesalahan”. Namun apabila sudah dilakukan “upaya penyelamatan”, “tidak ada kesalahan pada diri pelaku, maka “pelaku haruslah dibebaskan”.

Semua pertanyaan diatas menjadi “bekal” bagi penyidik untuk “memastikan” bagaimana peristiwa itu terjadi. Agar tidak terjadi “fitnah” dan pelaku harus dipastikan “apakah sebagai pelaku atau bukan” ?