20 Februari 2013

opini musri nauli : PENGADILAN ADHOCK LINGKUNGAN HIDUP


Dalam sebuah kesempatan di forum pelatihan, Dr Helmi sebagai pembicara menawarkan gagasan untuk membentuk “Pengadilan adhock Lingkungan Hidup”. Gagasan ini tentu saja menggelitik penulis untuk “sekedar” sumbang gagasan untuk membicarakannya.

Sebagai sebuah gagasan, tawaran Dr. Helmi tentu saja berangkat dari berbagai persoalan lingkungan hidup yang semakin hancur. Banjir yang melanda, kebakaran tiap tahun, pencemaran, alih fungsi lahan dan berbagai fakta-fakta yang disodorkan memang membuat kita sedikit gelisah. Berbagai peraturan perundang-undangan yang membicarakan “sumber daya alam” seakan-akan tidak mampu menjawabnya. Termasuk UU No. 4 Tahun 1982, UU No. 23 tahun 1997 dan UU No. 32 Tahun 2009.

Dari sudut pandang ini, penulis sepakat dengan argumentasi yang disampaikan oleh Dr. Helmi. Namun kemudian hasil analisis berbagai persoalan lingkungan hidup kemudian “menawarkan” gagasan untuk membentuk Pengadilan adhock lingkungan hidup haruslah diberi porsi seimbang.

Sistem hukum

Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai negara hukum (rechtsstaat) yang sistim konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Meminjam istilah Notohamijoyo “Negara hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada seorang penguasa absolut”.

Apabila kita melihat sejarah Indonesia yang pernah dijajah Belanda, maka Sistem Hukum Belanda menganut system kodifikasi sebagaimana kita mengenalnya dengan beberapa kitabnya. Sistematika yang dipakai merupakan adopsi hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan perbedaan antara system hukum Indonesia dengan Belanda. (Ade Maman Suherman, PENGANTAR PERBANDINGAN SISTEM HUKUM, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal. 61)

Belanda masih meninggalkan produk-produk hukum yang secara yuridis masih berlaku. Baik itu di lapangan Hukum Pidana (wetboek van strafrecht voor Indonesia), Hukum Perdata (burgelijk wetboek), Hukum Dagang (wetboek van kophandel), Hukum Acara Perdata (reglement op de rechsvordering), Pidana maupun berbagai peraturan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Dengan melihat berbagai literatur, maka sistem hukum Belanda berangkat dari sistem hukum Eropa kontionental. Di konstitusi kemudian secara tegas dinyatakan dengan kalimat “negara hukum (rechtstaat)

Sistem Hukum Belanda menganut system kodifikasi sebagaimana kita mengenalnya dengan beberapa kitabnya. Hukum Belanda berakar dari tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi dan lewat berbagai Revolusi, mulai dari “Papal Revolution” sampai Revolusi Kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad ke 19-an. Dalam tata hukum Belanda, kodifikasi dan hukum kodifikasi dikenal pada masa ekspansi kekuasaan Napoleon yang menyebabkan negeri Belanda bagian dan Empinium Perancis. Pada tahun 1810 Kitab hukum yang terkenal dengan nama Codes Napoleon dalam hukum perdata (Code Civil), hukum dagang (Code Commerce), hukum pidana (Code Penal) diundangkan di negeri tersebut. Ketika Napoleon jatuh, Kodifikasi tetap dinyatakan berlaku.

Sistematika yang dipakai merupakan adopsi hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan perbedaan antara system hukum Indonesia dengan Belanda. Apabila melihat secara produk hukum tersebut maka Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengakibatkan Indonesia dapat dikatakan juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil Law System).

Dengan demikian, maka sistem hukum Eropa kontinental lebih dikenal sebagai “civil law” yang berangkat dari pemikiran positivisme. Sedangkan Anglo Saxon dikenal “common law” yang berangkat dari pemikiran social-jurisprudence. Sebagian juga memberikan istilah “case law.

Indonesia juga mengadopsi pelaksanaan hukum Kasus (Common Law system) sebagaimana terjadi di Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon. Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. System hukum Anglo Saxon menawarkan perwakilan kelompok (class action) dan hak gugat organisasi (legal standing) dan dalam konsep pemidanaan dikenal dengan istilah strict liability. UU ini juga menawarkan proses penyelesaian mediasi dan arbitrasi. Juga mengatur ganti rugi.

Selain itu juga berbagai peradilan khusus dibentuk dalam peradilan umum. Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Hak-hak Asasi Manusia. Bahkan, pengadilan HAM terdiri atas peradilan HAM ad hoc untuk pelanggaran berat HAM sebelum UU No 26/2000, dan peradilan HAM bukan ad hoc untuk pelanggaran berat HAM yang terjadi sejak 2000.

Pada peradilan TUN ada Pengadilan Pajak, yang merupakan peradilan khusus perpajakan dengan yurisdiksi khusus TUN. Peradilan khusus militer memeriksa sengketa TUN militer. Untuk otonomi daerah, di Aceh Mahkamah Syar’iyah menggabung kekhususan dua yurisdiksi khusus sebagai “pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama” dan sebagai “pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum

Jadi, ada berbagai UU yang mengatur dan membentuk peradilan. Pengadilan Niaga dibentuk dengan UU Kepailitan 1998. Pengadilan Perburuhan dibentuk melalui UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 2004, dan diatur bersama dengan mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi di bidang perburuhan. Pengadilan Perikanan diatur melalui UU Perikanan 2004.

Persepsi

Sebagai sebuah konsep hukum, strict liability merupakan konsep yang dikenal dalam sistem anglo saxon. Sebuah konsep yang “mengenyampingkan” dalam konsep ilmu hukum pidana dalam sistem Eropa kontinental yang berangkat, untuk menentukan kesalahan (schuld) dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea. (Walaupun dalam tataran akademis, konsep ini merupakan kajian yang sudah lama disuarakan)

Sebagai sebuah konsep yang masih baru dalam tataran sistem hukum Eropa kontinental, maka konsep ini akan ”merubah” berbagai pandangan dan pemikiran yang hinggap di kalangan praktisi hukum.

Dari ranah inilah, kemudian penulis menyadari, konsep ”strict liability” akan menimbulkan kesulitan dan kerumitan dalam pembuktian.

Sebagai contoh. Konsep “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea, telah hinggap dan menjadi pengetahuan sehari-hari praktisi hukum. Dalam persoalan kebakaran asap dan lahan yang rutin terjadi di Jambi dan berbagai daerah sekitar Jambi seperti Palembang, Riau yang kemudian ”Mengirimkan” asap ke Singapura dan Malaysia, para praktisi hukum masih menggunakan pendekatan pembuktian dalam sistem hukum Eropa Kontinental. Pihak penyidik masih berkutat mencari alat bukti seperti saksi yang melihat kebakaran asap, masih mencari barang bukti lainnya seperti dirijen, bensin, masih mempelajari apakah kebakaran itu merupakan ”kesengajaan (dolus)”, atau merupakan persoalan bencana.
Pemikiran inilah yang menjadi salah satu faktor terpenting, hingga kini ”setiap” kebakaran, hampir praktis, sulit menjerat daripada pelaku pembakaran. Alasan yang paling dikemukakan oleh penyidik yang disampaikan oleh juru resmi kepolisian yang disampaikan di media massa, sangat klasik. ”Kita tidak bisa menyeret pelaku pembakaran hutan, karena tidak ada saksi yang mengetahui dan melihat langsung pelaku pembakaran itu”.

Dengan pernyataan ini, setidak-tidaknya menggambarkan asas ” “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, masih hinggap dan masih berkutat dengan hukum acara pidana sebagaimana diatur didalam KUHAP. Pembuktian masih menggunakan pendekatan, yang secara sederhana dirumuskan ”tidak dapat dipidana seseorang apabila tidak ada kesalahan”, dimana kesalahan itu ditentukan dengna menggunakan pendekatan alat bukti 184 KUHAP seperti saksi, ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka.

Konsepsi ini sebenarnya merupakan pemikiran dari KUHP yang memang produk peninggalan kolonial Belanda yang berangkat dari sistem hukum Eropa kontinental yang menjadi pegangan bagi penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan proses di muka persidangan.

Padahal didalam lapangan hukum diluar KUHP terutama terhadap kejahatan yang berkaitan dengan sumber daya alam seperti UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Pertambangan (pokoknya UU yang berkaitan dengan sumber daya alam yang diatur diluar KUHP), Indonesia sudah menganut sistem hukum Anglo Saxon yang berbeda jauh dengan sistem hukum Eropa kontinental.

Misalnya ada tanggung jawab korporasi, class action, legal standing, strict liability, Proportional Liability dan sebagainya. Konsep ini merupakan terjemahan langsung dari konsep dari sistem hukum anglo saxon.

Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Maastricht, Belanda, Prof Michael Faure menjelaskan bahwa konsep Strict Liability sebenarnya sangat simpel. Untuk menggugat dengan konsep ini, penggugat tak perlu membuktikan apakah perusahaan melanggar hukum sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan atau tidak.

Salah satunya, mengajukan gugatan pertanggungjawaban kepada perusahan yang menyebabkan polusi atau kerusakan lingkungan. Dalam ranah hukum lingkungan, gugatan ini dikenal dengan “strict liability” atau tanggung jawab mutlak perusahaan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Faure menyatakan dalam rezim Strict Liability tak perlu membuktikan bahwa perusahaan telah melanggar hukum ketika menjalankan usahanya. Artinya, apakah perusahaan itu telah bekerja sesuai dengan undang-undang atau tidak, bukanlah persoalah sepanjang praktik perusahaan itu memang telah mengakibatkan pencemaran lingkungan.

Dengan menggunakan pernyataan dari Faure, maka terhadap pelaku kebakaran asap ditentukan tidak semata-mata dicari “siapa yang menjadi pelaku” kebakaran asap, namun dapat ditentukan diminta pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dari korporasi.

Dalam pembuktian, penyidik langsung saja menggunakan peta citralansat yang dengan mudah menentukan “titik api (hotspot)” dimana kebakaran itu terjadi. Kemudian dari “titik api (hotspot)” digunakan mekanisme pemetaan digitasi letak titik api, dihubungkan dengan izin pemberian dari perusahaan dan kemudian akan mudah ditetapkan sebagai pelaku pembakaran.

Dengan mekanisme inilah, UU Perkebunan, UU kehutanan, ataupun UU lingkungan hidup dapat diterapkan kepada perusahaan yang berasal dari titik api tersebut.

Tinggal ditentukan, apakah adanya unsur “kesengajaan (dolus)” atau “kelalaian (culpa). Dengan mekanisme ini maka selain mudah diterapkan tentu saja konsepsi ini akan menyeret pelaku.

Dengan melihat penjelasan yang telah disampaikan, maka persoalan penegakkan hukum lingkungan yang kurang maksimal, bukan berangkat dari “tidak adanya pengadilan adhock lingkungan hidup”. Tapi berangkat dari persepsi yang belum seragam antara penegak hukum didalam melihat persoalan lingkungan hidup. Terutama berangkat dari sistem hukum yang masih “terkotak” dengan sistem hukum Eropa kontinental.