Dalam
sebuah kesempatan di forum pelatihan, Dr Helmi sebagai pembicara
menawarkan gagasan untuk membentuk “Pengadilan adhock Lingkungan
Hidup”. Gagasan ini tentu saja menggelitik penulis untuk
“sekedar” sumbang gagasan untuk membicarakannya.
Sebagai
sebuah gagasan, tawaran Dr. Helmi tentu saja berangkat dari berbagai
persoalan lingkungan hidup yang semakin hancur. Banjir yang melanda,
kebakaran tiap tahun, pencemaran, alih fungsi lahan dan berbagai
fakta-fakta yang disodorkan memang membuat kita sedikit gelisah.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang membicarakan “sumber
daya alam” seakan-akan tidak mampu menjawabnya. Termasuk UU
No. 4 Tahun 1982, UU No. 23 tahun 1997 dan UU No. 32 Tahun 2009.
Dari
sudut pandang ini, penulis sepakat dengan argumentasi yang
disampaikan oleh Dr. Helmi. Namun kemudian hasil analisis berbagai
persoalan lingkungan hidup kemudian “menawarkan” gagasan
untuk membentuk Pengadilan adhock lingkungan hidup haruslah diberi
porsi seimbang.
Sistem
hukum
Indonesia
telah memposisikan dirinya sebagai negara hukum (rechtsstaat)
yang sistim konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas). Meminjam istilah Notohamijoyo
“Negara hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi
pada hukum bukan pada seorang penguasa absolut”.
Apabila
kita melihat sejarah Indonesia yang pernah dijajah Belanda, maka
Sistem Hukum Belanda menganut system
kodifikasi sebagaimana kita mengenalnya dengan beberapa kitabnya.
Sistematika yang dipakai merupakan adopsi hukum Napoleon. Tidak
banyak perbedaan perbedaan antara system hukum Indonesia dengan
Belanda. (Ade Maman Suherman,
PENGANTAR PERBANDINGAN SISTEM HUKUM,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal. 61)
Belanda
masih meninggalkan produk-produk hukum yang secara yuridis masih
berlaku. Baik itu di lapangan Hukum Pidana
(wetboek van strafrecht voor Indonesia),
Hukum Perdata (burgelijk
wetboek),
Hukum Dagang (wetboek
van kophandel),
Hukum Acara Perdata (reglement
op de rechsvordering),
Pidana maupun berbagai peraturan yang tersebar di berbagai peraturan
perundang-undangan. Dengan melihat berbagai literatur, maka sistem
hukum Belanda berangkat dari sistem hukum Eropa kontionental. Di
konstitusi kemudian secara tegas dinyatakan dengan kalimat “negara
hukum (rechtstaat)
Sistem
Hukum Belanda menganut system kodifikasi sebagaimana kita mengenalnya
dengan beberapa kitabnya. Hukum Belanda berakar dari tradisi-tradisi
hukum Indo-Jerman dan Romawi dan lewat berbagai Revolusi, mulai dari
“Papal Revolution” sampai Revolusi Kaum borjuis-liberal di
Perancis pada akhir abad ke 19-an. Dalam tata hukum Belanda,
kodifikasi dan hukum kodifikasi dikenal pada masa ekspansi kekuasaan
Napoleon yang menyebabkan negeri Belanda bagian dan Empinium
Perancis. Pada tahun 1810 Kitab hukum yang terkenal dengan nama Codes
Napoleon dalam hukum perdata (Code Civil), hukum dagang (Code
Commerce), hukum pidana (Code Penal) diundangkan di negeri tersebut.
Ketika Napoleon jatuh, Kodifikasi tetap dinyatakan berlaku.
Sistematika
yang dipakai merupakan adopsi hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan
perbedaan antara system hukum Indonesia dengan Belanda. Apabila
melihat secara produk hukum tersebut maka Belanda yang menganut
sistem hukum Eropa Kontinental mengakibatkan Indonesia dapat
dikatakan juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil Law
System).
Dengan
demikian, maka sistem hukum Eropa kontinental lebih dikenal sebagai
“civil law”
yang berangkat dari pemikiran positivisme. Sedangkan Anglo Saxon
dikenal “common law”
yang berangkat dari pemikiran social-jurisprudence. Sebagian juga
memberikan istilah “case law.
Indonesia
juga mengadopsi pelaksanaan hukum Kasus (Common
Law system)
sebagaimana terjadi di Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo
Saxon. Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23 Tahun 1997
Tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. System hukum Anglo
Saxon menawarkan perwakilan kelompok (class action) dan hak gugat
organisasi (legal standing) dan dalam konsep pemidanaan dikenal
dengan istilah strict liability. UU ini juga menawarkan proses
penyelesaian mediasi dan arbitrasi. Juga mengatur ganti rugi.
Selain
itu juga berbagai
peradilan khusus dibentuk dalam peradilan umum. Pengadilan Anak,
Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan
Perikanan, Pengadilan
Hak-hak Asasi Manusia. Bahkan, pengadilan HAM terdiri atas peradilan
HAM ad hoc untuk pelanggaran berat HAM sebelum UU No 26/2000, dan
peradilan HAM bukan ad hoc untuk pelanggaran berat HAM yang terjadi
sejak 2000.
Pada
peradilan TUN ada Pengadilan Pajak, yang merupakan peradilan khusus
perpajakan dengan yurisdiksi khusus TUN. Peradilan khusus militer
memeriksa sengketa TUN militer. Untuk otonomi daerah, di Aceh
Mahkamah Syar’iyah menggabung kekhususan dua yurisdiksi khusus
sebagai “pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama
sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama” dan
sebagai “pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum
Jadi,
ada berbagai UU yang mengatur dan membentuk peradilan. Pengadilan
Niaga dibentuk dengan UU Kepailitan 1998. Pengadilan Perburuhan
dibentuk melalui UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
2004, dan diatur bersama dengan mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi di
bidang perburuhan. Pengadilan Perikanan diatur melalui UU Perikanan
2004.
Persepsi
Sebagai
sebuah konsep hukum, strict liability merupakan konsep yang dikenal
dalam sistem anglo saxon. Sebuah konsep yang “mengenyampingkan”
dalam konsep ilmu hukum pidana dalam sistem Eropa kontinental yang
berangkat, untuk menentukan kesalahan (schuld) dengna menggunakan
“tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een
straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea.
(Walaupun dalam tataran akademis, konsep ini merupakan kajian yang
sudah lama disuarakan)
Sebagai
sebuah konsep yang masih baru dalam tataran sistem hukum Eropa
kontinental, maka konsep ini akan ”merubah”
berbagai pandangan dan pemikiran yang hinggap di kalangan praktisi
hukum.
Dari
ranah inilah, kemudian penulis menyadari, konsep ”strict
liability”
akan menimbulkan kesulitan dan kerumitan dalam pembuktian.
Sebagai
contoh. Konsep “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een
straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea, telah
hinggap dan menjadi pengetahuan sehari-hari praktisi hukum. Dalam
persoalan kebakaran asap dan lahan yang rutin terjadi di Jambi dan
berbagai daerah sekitar Jambi seperti Palembang, Riau yang kemudian
”Mengirimkan”
asap ke Singapura dan Malaysia, para praktisi hukum masih menggunakan
pendekatan pembuktian dalam sistem hukum Eropa Kontinental. Pihak
penyidik masih berkutat mencari alat bukti seperti saksi yang melihat
kebakaran asap, masih mencari barang bukti lainnya seperti dirijen,
bensin, masih mempelajari apakah kebakaran itu merupakan ”kesengajaan
(dolus)”,
atau merupakan persoalan bencana.
Pemikiran
inilah yang menjadi salah satu faktor terpenting, hingga kini
”setiap”
kebakaran, hampir praktis, sulit menjerat daripada pelaku pembakaran.
Alasan yang paling dikemukakan oleh penyidik yang disampaikan oleh
juru resmi kepolisian yang disampaikan di media massa, sangat klasik.
”Kita tidak bisa menyeret
pelaku pembakaran hutan, karena tidak ada saksi yang mengetahui dan
melihat langsung pelaku pembakaran itu”.
Dengan
pernyataan ini, setidak-tidaknya menggambarkan asas ” “tiada
pidana tanpa kesalahan yaitu een
straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”,
masih hinggap dan masih berkutat dengan hukum acara pidana
sebagaimana diatur didalam KUHAP. Pembuktian masih menggunakan
pendekatan, yang secara sederhana dirumuskan ”tidak
dapat dipidana seseorang apabila tidak ada kesalahan”,
dimana kesalahan itu ditentukan dengna menggunakan pendekatan alat
bukti 184 KUHAP seperti saksi, ahli, surat, petunjuk dan keterangan
tersangka.
Konsepsi
ini sebenarnya merupakan pemikiran dari KUHP yang memang produk
peninggalan kolonial Belanda yang berangkat dari sistem hukum Eropa
kontinental yang menjadi pegangan bagi penyidik, Jaksa Penuntut Umum
dan proses di muka persidangan.
Padahal
didalam lapangan hukum diluar KUHP terutama terhadap kejahatan yang
berkaitan dengan sumber daya alam seperti UU Perkebunan, UU
Kehutanan, UU Pertambangan (pokoknya
UU yang berkaitan dengan sumber daya alam yang diatur diluar KUHP),
Indonesia sudah menganut sistem hukum Anglo Saxon yang berbeda jauh
dengan sistem hukum Eropa kontinental.
Misalnya
ada tanggung jawab korporasi,
class action, legal standing,
strict liability, Proportional Liability dan
sebagainya. Konsep ini merupakan terjemahan langsung dari konsep dari
sistem hukum anglo saxon.
Guru
Besar Hukum Lingkungan Universitas Maastricht, Belanda, Prof Michael
Faure menjelaskan bahwa konsep Strict
Liability
sebenarnya sangat simpel. Untuk menggugat dengan konsep ini,
penggugat tak perlu membuktikan apakah perusahaan melanggar hukum
sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan atau tidak.
Salah
satunya, mengajukan gugatan pertanggungjawaban kepada perusahan yang
menyebabkan polusi atau kerusakan lingkungan. Dalam ranah hukum
lingkungan, gugatan ini dikenal dengan “strict
liability”
atau tanggung jawab mutlak perusahaan yang mengakibatkan kerusakan
lingkungan.
Faure
menyatakan dalam rezim Strict
Liability
tak perlu membuktikan bahwa perusahaan telah melanggar hukum ketika
menjalankan usahanya. Artinya, apakah perusahaan itu telah bekerja
sesuai dengan undang-undang atau tidak, bukanlah persoalah sepanjang
praktik perusahaan itu memang telah mengakibatkan pencemaran
lingkungan.
Dengan
menggunakan pernyataan dari Faure, maka terhadap pelaku kebakaran
asap ditentukan tidak semata-mata dicari “siapa
yang menjadi pelaku”
kebakaran asap, namun dapat ditentukan diminta pertanggungjawaban
mutlak (strict liability) dari
korporasi.
Dalam
pembuktian, penyidik langsung saja menggunakan peta citralansat yang
dengan mudah menentukan “titik
api (hotspot)”
dimana kebakaran itu terjadi. Kemudian dari “titik
api (hotspot)”
digunakan mekanisme pemetaan digitasi letak titik api, dihubungkan
dengan izin pemberian dari perusahaan dan kemudian akan mudah
ditetapkan sebagai pelaku pembakaran.
Dengan
mekanisme inilah, UU Perkebunan, UU kehutanan, ataupun UU lingkungan
hidup dapat diterapkan kepada perusahaan yang berasal dari titik api
tersebut.
Tinggal
ditentukan, apakah adanya unsur “kesengajaan
(dolus)” atau “kelalaian (culpa).
Dengan mekanisme ini maka selain mudah diterapkan tentu saja konsepsi
ini akan menyeret pelaku.
Dengan
melihat penjelasan yang telah disampaikan, maka persoalan penegakkan
hukum lingkungan yang kurang maksimal, bukan berangkat dari “tidak
adanya pengadilan adhock lingkungan hidup”. Tapi berangkat dari
persepsi yang belum seragam antara penegak hukum didalam melihat
persoalan lingkungan hidup. Terutama berangkat dari sistem hukum yang
masih “terkotak” dengan sistem hukum Eropa kontinental.