24 Juni 2013

opini musri nauli : Menghukum Pembakar lahan dimuka persidangan


Beberapa waktu yang lalu, Indonesia dipermalukan dengan ditegur oleh Pemerintahan Singapura dan Pemerintahan Malaysia karena mengeskpor “asap”. Seakan-akan tidak mau dipermalukan, Indonesia membalas dengan mengatakan “Singapura dan Malaysia” jangan seperti “anak kecil”. Bahkan dengan keras, Pemerintahan Indonesia balik menantang, yang menyebabkan kebakaran merupakan perusahaan yang berasal dari Singapura dan Malaysia.
Gayungpun bersambut. Pemerintah Singapura berjanji akan menerapkan tegas terhadap perusahaan yang nyata-nyata memang berasal dari Singapura.

Namun wacana dan gayung bersambut dari hubungan diplomatik tidak akan selesai apabila tidak akan dilakukan tindakan kongkrit. Persoalan asap merupakan persoalan klasik yang cenderung menggunakan pendekatan “pemadam kebakaran”. Asap diselesaikan dengan cara “menyemprot air” dan membuat hujan buatan. Setelah itu selesai sudah.

Dalam catatan Walhi, sejak tahun 2006 terdapat 146.264 titik api, tahun 2007 : 37.909 titik api, tahun 2008 : 30.616 titik api, tahun 2009 : 29.463 titik api, tahun 2010 : 9.898 titik api tahun 2011 : 22.456 ttk api, tahun 2012 Agustus : 5.627.

Angka-angka ini mewakili “kesuraman” persoalan asap dari tahun-ketahun.

Padahal Kebakaran Hutan Indonesia di Tahun 1982/1983 merupakan kebakaran hutan/lahan terbesar pertama di Indonesia.

Kebakaran tahun 1997 - 1998, terjadi di 23 propinsi (dari 27 propinsi di Indonesia pada waktu itu). Hampir seluruh wilayah ASEAN terkena dampaknya.

Periode tahun 1999 – 2007, Kerugian dari kebakaran hutan dan lahan di tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 cukup besar, di wilayah Sumatera, kerugian mencapai US $ 7,8 milyar dan di wilayah Kalimantan mencapai US $ 5,8 milyar, gabungan keduanya telah mencapai separuh dari total kerugaian di seluruh Indonesia. (WALHI, 2006)

Untuk tahun 2013 saja, Provinsi Riau menempati urutan pertama titik api. Dan dari data-data yang telah disampaikan oleh lembaga-lembaga resmi negara kemudian dilakukan overlay dengan areal konsensi, maka sudah bisa dipastikan, titik api terdapat di areal konsensi perusahaan.

Entah “kehabisan akal”, atau memang “kurang tahu”, atau memang didesain untuk menutupi tanggung jawab perusahaan yang nyata-nyata telah terbukti areal konsensinya telah terbakar, Pemerintah kurang “greget' untuk menyeret dan menindak perusahaan. Pemerintah “reaktif” namun kurang “manjur” memberikan effek jera kepada pelaku pembakar hutan.

Berbagai pernyataan dimedia massa, penegak hukum masih berdebat “mencari pelaku pembakar, mencari barang bukti, mencari saksi dan entah apa lagi” yang membuktikan penegak hukum “kurang menguasai” persoalan dan lebih menitikberatkan kepada persoalan teknis yuridis yang rumit. Pendekatan yang masih digunakan yaitu masih menggunakan pendekatan sistem Eropa Kontinental yang tentu saja memerlukan pembuktikan yang berbeda dengan sistem pembuktian dalam sistem Anglo Saxon.

Tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability)

Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) merupakan gagasan yang disampaikan dalam UU No. 23 tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup kemudian dipertegas di UU No. 32 Tahun 2009. Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.

Dalam lapangan hukum pidana, Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), prinsip ini menegasikan pembuktian kesalahan berdasarkan sistem hukum Eropa Kontinental.

Pemidanaan haruslah dapat dilihat dari dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pembuat (dader). Maka apabila orang yang melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban haruslah dikenakan kepada para pelaku. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. (terjemahan bebas, DARI TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN MENUJU KEPADA TIADA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TANPA KESALAHAN, Chairul Huda, 2006)

Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est reus, nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Bahkan Kadish dan Paulsen menafsirkan, “suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa maksud kehendak jahat”. Dengan demikian, dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri seseorang tersebut. Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawban pembuat tindak pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan mens rea dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam civil law sistem.

Dari paparan yang telah disampaikan tersebut, maka secara prinsip penggunaan doktrin “mens rea” dalam sistem hukum common law sejalan dengan asas “geen straf zonder schul beginsel” dalam sistem hukum civil law.

Maka untuk menentukan kesalahan dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, (aqua means rea atau “kehendak jahat”).

Prinsip ini kemudian dinegasikan Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability). Pembuktian tidak semata-mata dilihat apakah pelaku (dader) melakukan tindak pidana yang dituduhkan melakukan kesalahan atau tidak, tapi beban pembuktian langsung mutlak dibebankan terhadap pelaku (dader) terhadap kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengna sumber daya alam (baca termasuk kejahatan lingkungan hidup). Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dibebankan kepada perusahaan lingkungan hidup yang nyata-nyata melakukan kesalahan/kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian, maka pembuktian menjadi sederhana dan mudah diterapkan. Pembuktian ini praktis sehingga tidak perlu memenuhi unsur yang dituduhkan kepada pelaku (dader).

Berangkat dari prinsip ini, praktis kejahatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup lebih banyak dibebankan kepada perusahaan. Dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability), maka tidak perlu dibuktikan, apakah para pelaku (dader) melakukan perbuatan itu atau tidak, tapi penegak hukum bisa membuktikan, bahwa karena kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan asap. Dengan pembuktian yang sederhana ini, maka bisa disidangkan dimuka hukum. Dan perusahaan yang bertanggung jawab dapat dipersalahkan dan pertanggungjawaban pidana.

Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) inilah salah satu solusi untuk menyelesaikan berbagai kejahatan baik kesengajaan ataupun kelalaian dari perusahaan lingkungan hidup. Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) merupakan prinsip yang sederhana dan pembuktian yang mudah menyebabkan berbagai kejahatan di berbagai dunia dapat diselesaikan. Dan Indonesia sudah mengadopsinya di berbagai ketentuan di luar KUHP (seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup). Maka pernyataan dari berbagai kalangan harus mendapatkan respon, agar implementasi UU ini sudah selayaknya diterapkan sebagai salah satu solusi mengatasi berbagai kejahatan lingkungan hidup.

Berangkat dari konsepsi  tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability), para pelaku dapat dijerat dengan  UU Perkebunan dan UU Kehutanan. Negara kemudian mengidentifikasikan titik api (hotspot) dan menyeret pelaku dimuka persidangan. Apabila titik api (hotspot) berada dalam kawasan sebuah izin (baik Perusahaan perkebunan maupun perusahaan kehutanan), maka pemegang izin tersebut haruslah diminta pertanggungjawaban. Baik karena kesengajaan (dolus) maupun karena kelalaian (culpa). UU No. 40 tahun 2009 juga telah menggariskan bahwa yang dapat bertindak dimuka hukum adalah Direksi.

Sahuri L dalam Disertasinya menjelaskan, pertanggungjawaban korporasi harusnya mempunyai kesalahan, dan juga perbuatan itu diatur didalam perundang-undangan yang berlaku. Dengan menggunakan definisi yang disampaikan oleh Dr. Sahuri, maka terhadap pelaku harus diterapkan terhadap pertanggungjawaban korporasi. Tidak tepatnya menerapkan pertanggungjawaban korporasi selain mengakibatkan terdakwa haruslah dibebaskan (vrijpraak), maka justru akan mengakibatkan beban tanggung jawab korporasi hanya dialihkan kepada tanggung jawab individu (naturlijkee person).

Ketidaktepatan menempatkan dan mencampurkanadukkan antara pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban pribadi (naturlijkee person) mengakibatkan, didalam sistem hukum menjadi rancu. Apakah kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan pidana sebagai pribadi (naturlijkee person) atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Kesalahan dan ketidakcermatan didalam merumuskannya selain membuat kasus ini tidak menjadi jelas (obsuur libels) juga tidak pantas apabila kesalahan korporasi harus dibebankan kepada terdakwa sebagai perbuatan pidana pribadi (naturlijkee person)

Oleh karena itu, sudah saatnya, harus diminta pertanggungjawaban kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi. Dengan demikian, penanggulangan mengenai asap dapat tercapai.