Beberapa
waktu yang lalu, Indonesia dipermalukan dengan ditegur oleh
Pemerintahan Singapura dan Pemerintahan Malaysia karena mengeskpor
“asap”. Seakan-akan tidak mau dipermalukan, Indonesia membalas
dengan mengatakan “Singapura dan Malaysia” jangan seperti “anak
kecil”. Bahkan dengan keras, Pemerintahan Indonesia balik
menantang, yang menyebabkan kebakaran merupakan perusahaan yang
berasal dari Singapura dan Malaysia.
Gayungpun
bersambut. Pemerintah Singapura berjanji akan menerapkan tegas
terhadap perusahaan yang nyata-nyata memang berasal dari Singapura.
Namun
wacana dan gayung bersambut dari hubungan diplomatik tidak akan
selesai apabila tidak akan dilakukan tindakan kongkrit. Persoalan
asap merupakan persoalan klasik yang cenderung menggunakan pendekatan
“pemadam kebakaran”. Asap diselesaikan dengan cara “menyemprot
air” dan membuat hujan buatan. Setelah itu selesai sudah.
Dalam
catatan Walhi, sejak tahun 2006
terdapat 146.264 titik api, tahun 2007 : 37.909 titik api, tahun
2008 : 30.616 titik api, tahun 2009 : 29.463 titik api, tahun 2010 :
9.898 titik api tahun 2011 : 22.456 ttk api, tahun 2012 Agustus :
5.627.
Angka-angka
ini mewakili “kesuraman” persoalan asap dari tahun-ketahun.
Padahal
Kebakaran Hutan Indonesia di Tahun 1982/1983 merupakan kebakaran
hutan/lahan terbesar pertama di Indonesia.
Kebakaran
tahun 1997 - 1998, terjadi di 23 propinsi (dari 27 propinsi di
Indonesia pada waktu itu). Hampir seluruh wilayah ASEAN terkena
dampaknya.
Periode
tahun 1999 – 2007, Kerugian dari kebakaran hutan dan lahan di tahun
2001 sampai dengan tahun 2006 cukup besar, di wilayah Sumatera,
kerugian mencapai US $ 7,8 milyar dan di wilayah Kalimantan mencapai
US $ 5,8 milyar, gabungan keduanya telah mencapai separuh dari total
kerugaian di seluruh Indonesia. (WALHI, 2006)
Untuk
tahun 2013 saja, Provinsi Riau menempati urutan pertama titik api.
Dan dari data-data yang telah disampaikan oleh lembaga-lembaga resmi
negara kemudian dilakukan overlay dengan areal konsensi, maka sudah
bisa dipastikan, titik api terdapat di areal konsensi perusahaan.
Entah
“kehabisan akal”, atau memang “kurang tahu”, atau memang
didesain untuk menutupi tanggung jawab perusahaan yang nyata-nyata
telah terbukti areal konsensinya telah terbakar, Pemerintah kurang
“greget' untuk menyeret dan menindak perusahaan. Pemerintah
“reaktif” namun kurang “manjur” memberikan effek jera kepada
pelaku pembakar hutan.
Berbagai
pernyataan dimedia massa, penegak hukum masih berdebat “mencari
pelaku pembakar, mencari barang bukti, mencari saksi dan entah apa
lagi” yang membuktikan penegak hukum “kurang menguasai”
persoalan dan lebih menitikberatkan kepada persoalan teknis yuridis
yang rumit. Pendekatan yang masih digunakan yaitu masih menggunakan
pendekatan sistem Eropa Kontinental yang tentu saja memerlukan
pembuktikan yang berbeda dengan sistem pembuktian dalam sistem Anglo
Saxon.
Tanggung
jawab mutlak mutlak (strict liability)
Prinsip
tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) merupakan gagasan
yang disampaikan dalam UU No. 23 tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup
kemudian dipertegas di UU No. 32 Tahun 2009. Yang dimaksud dengan
“bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur
kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar
pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis
dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar
atau perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika
menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan
asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah
tersedia dana lingkungan hidup.
Dalam
lapangan hukum pidana, Prinsip tanggung jawab mutlak (strict
liability), prinsip ini menegasikan pembuktian kesalahan berdasarkan
sistem hukum Eropa Kontinental.
Pemidanaan
haruslah dapat dilihat dari dipertanggungjawabkan perbuatan
seseorang. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu
tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban
pidana ditujukan kepada pembuat (dader). Maka apabila orang yang
melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban haruslah dikenakan
kepada para pelaku. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi
jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana.
(terjemahan bebas, DARI TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN MENUJU KEPADA
TIADA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TANPA KESALAHAN, Chairul Huda, 2006)
Sedangkan
didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est
reus, nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan
bersifat kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat”
didalamnya. Bahkan Kadish dan Paulsen menafsirkan, “suatu kelakuan
tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa maksud kehendak
jahat”. Dengan demikian, dalam sistem common law system, bahwa
untuk dapat dipertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak
pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri seseorang
tersebut. Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat kita lihat
dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita
sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang
menentukan pertanggungjawban pembuat tindak pidana. Dari dari sisi
ini, penggunaan mens rea dalam common law sistem, pada prinsipnya
sejalan dengan penerapan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”
dalam civil law sistem.
Dari
paparan yang telah disampaikan tersebut, maka secara prinsip
penggunaan doktrin “mens rea” dalam sistem hukum common law
sejalan dengan asas “geen straf zonder schul beginsel” dalam
sistem hukum civil law.
Maka
untuk menentukan kesalahan dengna menggunakan “tiada pidana tanpa
kesalahan yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum
nisi mens sir rea”, (aqua means rea atau “kehendak jahat”).
Prinsip
ini kemudian dinegasikan Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict
liability). Pembuktian tidak semata-mata dilihat apakah pelaku
(dader) melakukan tindak pidana yang dituduhkan melakukan kesalahan
atau tidak, tapi beban pembuktian langsung mutlak dibebankan terhadap
pelaku (dader) terhadap kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengna
sumber daya alam (baca termasuk kejahatan lingkungan hidup). Prinsip
tanggung jawab mutlak (strict liability) dibebankan kepada perusahaan
lingkungan hidup yang nyata-nyata melakukan kesalahan/kelalaian dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian, maka pembuktian
menjadi sederhana dan mudah diterapkan. Pembuktian ini praktis
sehingga tidak perlu memenuhi unsur yang dituduhkan kepada pelaku
(dader).
Berangkat
dari prinsip ini, praktis kejahatan yang berkaitan dengan lingkungan
hidup lebih banyak dibebankan kepada perusahaan. Dengan menerapkan
prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability), maka tidak
perlu dibuktikan, apakah para pelaku (dader) melakukan perbuatan itu
atau tidak, tapi penegak hukum bisa membuktikan, bahwa karena
kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan asap. Dengan pembuktian
yang sederhana ini, maka bisa disidangkan dimuka hukum. Dan
perusahaan yang bertanggung jawab dapat dipersalahkan dan
pertanggungjawaban pidana.
Prinsip
tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability) inilah salah satu
solusi untuk menyelesaikan berbagai kejahatan baik kesengajaan
ataupun kelalaian dari perusahaan lingkungan hidup. Prinsip tanggung
jawab mutlak mutlak (strict liability) merupakan prinsip yang
sederhana dan pembuktian yang mudah menyebabkan berbagai kejahatan di
berbagai dunia dapat diselesaikan. Dan Indonesia sudah mengadopsinya
di berbagai ketentuan di luar KUHP (seperti UU Kehutanan, UU
Perkebunan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup). Maka pernyataan dari
berbagai kalangan harus mendapatkan respon, agar implementasi UU ini
sudah selayaknya diterapkan sebagai salah satu solusi mengatasi
berbagai kejahatan lingkungan hidup.
Berangkat
dari konsepsi tanggung jawab mutlak mutlak (strict liability),
para pelaku dapat dijerat dengan UU Perkebunan dan UU
Kehutanan. Negara kemudian mengidentifikasikan titik api (hotspot)
dan menyeret pelaku dimuka persidangan. Apabila titik api (hotspot)
berada dalam kawasan sebuah izin (baik Perusahaan perkebunan maupun
perusahaan kehutanan), maka pemegang izin tersebut haruslah diminta
pertanggungjawaban. Baik karena kesengajaan (dolus) maupun karena
kelalaian (culpa). UU No. 40 tahun 2009 juga telah menggariskan bahwa
yang dapat bertindak dimuka hukum adalah Direksi.
Sahuri
L dalam Disertasinya menjelaskan, pertanggungjawaban korporasi
harusnya mempunyai kesalahan, dan juga perbuatan itu diatur didalam
perundang-undangan yang berlaku. Dengan menggunakan definisi yang
disampaikan oleh Dr. Sahuri, maka terhadap pelaku harus diterapkan
terhadap pertanggungjawaban korporasi. Tidak tepatnya menerapkan
pertanggungjawaban korporasi selain mengakibatkan terdakwa haruslah
dibebaskan (vrijpraak), maka justru akan mengakibatkan beban tanggung
jawab korporasi hanya dialihkan kepada tanggung jawab individu
(naturlijkee person).
Ketidaktepatan
menempatkan dan mencampurkanadukkan antara pertanggungjawaban
korporasi dan pertanggungjawaban pribadi (naturlijkee person)
mengakibatkan, didalam sistem hukum menjadi rancu. Apakah kesalahan
yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan pidana sebagai
pribadi (naturlijkee person) atau perbuatan pidana yang dilakukan
oleh korporasi.
Kesalahan
dan ketidakcermatan didalam merumuskannya selain membuat kasus ini
tidak menjadi jelas (obsuur libels) juga tidak pantas apabila
kesalahan korporasi harus dibebankan kepada terdakwa sebagai
perbuatan pidana pribadi (naturlijkee person)
Oleh
karena itu, sudah saatnya, harus diminta pertanggungjawaban kesalahan
dan pertanggungjawaban korporasi. Dengan demikian, penanggulangan
mengenai asap dapat tercapai.