Dalam
diskusi sebuah pertemuan LSM di Jambi, salah satu tema yang paling menarik
ketika mendiskusikan pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal ini merupakan tema yang
“seakan-akan” tidak berkesudahan. Pasal ini kemudian menjadikan diskusi menjadi
perdebatan yang paling seru.
Ketika
diskusi telah selesai, Tema ini sebenarnya
tidak menjadi pengamatan penulis. Penulis beranggapan bahwa ketika
penafsiran tema yang ditawarkan haruslah dilihat dari berbagai aspek. Tidak
serta merta menafsirkan pasal ini apalagi menjadi slogan kampanye.
Namun
ketika dalam perjalanan penulis ke berbagai tempat, ternyata tema ini menjadi
bagian dari kampanye yang didengung-dengungkan. Penulis kemudian harus
membongkar-bongkar file untuk menjelaskan konsepsi ini.
Secara prinsip, pasal
33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi ” Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Makna ”dikuasai oleh negara” (Hak
Menguasai Negara/HMN) sangat berbeda dengan prinsip domein verklaring
dalam Agrarische Wet. Dalam implementasinya, MK berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam Nomor 012/PUU-I/2003 kemudian merumuskan (1) mengadakan
kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan
(regelendaad), (4) pengelolaan (beheersdaad) dan (5) pengawasan
(toezichthoudensdaad). Begitu hakikinya makna ”dikuasai oleh negara”
yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat (3) 1945 merupakan ”roh” dan
identitas khas dari konstitusi Indonesia. M. Hatta merumuskan sebagai ”sosialisme
Indonesia”. Dan itu yang membedakan konstitusi Indonesia dengan
negara-negara liberalisme.
Pasal
33 ayat (3) UUD 1945 seperti “magnit” yang mampu menggelorakan untuk melakukan
perlawanan. Dalam konteks pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dalam melihat hutan, pasal
33 ayat (3) UUD 1945 kemudian “ditafsirkan” sebagai hak untuk “mendapatkan
tanah”.
Padahal
membicarakan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan diturunkan ke UUPA, pasal ini harus
dilihat berbagai aspek.
Pertama.
Ketika menyandingkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan “hak kelola” atau “ruang
kelola maka harus dilihat dari filosofis makna pasal itu sendiri. Dalam konteks
ini, maka Tema “ruang kelola”
merupakan tema yang penting untuk didiskusikan. “ruang kelola” bukan
semata-mata adanya hak untuk membuka hutan untuk dibagi-bagi. Bagi penulis,
ruang kelola tidak berkaitan dengan berkaitan tentang “membuka hutan” dan
kemudian membagi-bagi kepada “orang yang berhak untuk mendapatkan tanah”. Bukan
itu. Terlalu sederhana memandangnya dan terlalu naif juga kemudian dengan
argumentasi pasal 33 UUD dijadikan sandaran.
Ruang kelola berupa
“akses terhadap hutan” yang memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat. Ruang kelola juga merupakan identitas yang tidak mudah hanya “membicarakan kayu” an sich. Ruang kelola merupakan
ruang yang didapatkan dari pengetahuan lokal yang diwariskan dengan turun
temurun.
Dalam berbagai
pendekatan hukum adat yang sering penulis temukan di daerah regional hulu dan
regional tengah, tata cara membuka hutan sangatlah ketat. Selain adanya waktu
yang ditentukan, luasnya yang boleh dibuka, penguasaan terhadap tanah dan
mekanisme penyelesaian terhadap berbagai persoalan yang timbul. Dengan model
“ruang kelola” inilah, membuktikan, 17 Desa yang kemudian mengusulkan hutan
desa seluas 49.508 ha terbukti “tutupan hutannya masih baik. Mereka mempunyai
cara dan model pengelolaan yang terbukti arif dan bijaksana. Sangat ketat dan
masih dihormati masyarakat.
Namun Ruang kelola juga
berkaitan dengan “keberlanjutan”. “membuka hutan” kemudian “membagi-bagi”
tanah, menurut penulis bukanlah “ruang kelola”. Itu sama sekali tidak sesuai
dengan konteks dengan nilai yang terdapat dalam makna filosofis pasal itu.
Berbagai pertimbangan
MK dalam UU yang berkaitan dengan sumber daya alam telah menegaskan.
Menggunakan argumentasi
pasal 33 UUD dengan alasan “membagi-bagi tanah” juga tidak tepat. Salah kaprah
inilah yang kemudian penulis memandang persoalan yang penting ini.
Dengan nilai-nilai inilah,
kemudian, penulis menolak konsepsi tentang hutan yang harus “diproteksi”. Hutan
untuk binatang-binatang saja dan tidak menghargai manusia yang juga menjaga
hutan. Pengusiran terhadap masyarakat yang mempunyai “ruang kelola” di hutanpun
merupakan pelanggaran nilai-nilai pasal 33 ayat (3) UUD 1945
Namun memberikan
“tanah” kepada masyarakat yang kemudian menguasai tanah sampai puluhan
hektarpun, menurut penulis juga tidak sesuai dengan konteks “ruang kelola”.
Model kapital penguasaan tanah untuk kepentingan ambisi pribadi merupakan
pertentangan nilai-nilai filosofis pasal itu sendiri.
Kedua. Model-model
pemberian tanah kepada pembuka hutan tanpa memperhatikan keberlanjutan terhadap
fungsi hutan itu sendiri merupakan “salah persepsi” yang penting untuk diluruskan.
Mekanisme ini masih sering menjadi pengetahuan yang harus disampaikan terus
menerus kepada berbagai pihak.
Ketiga. Harus
dipastikan, yang harus diperjuangkan adalah mereka yang mempunyai “ruang
kelola” yang memperhatikan “keberlanjutan”. Itu tema yang utama. Diluar
daripada nilai-nilai yang ditentukan, menurut penulis merupakan“musuh utama”
dari makna filosofis pasal itu sendiri.
Tema “ruang kelola”
merupakan salah satu tema yang paling menyita perhatian. Entah beberapa kali
penulis harus meluruskan persepsi “ruang kelola”.
Ruang kelola juga
membicarakan masyarakat adat (adatrechtskringen). Sebuah persekutuan hukum
sepakat dengan nilai-nilai yang telah dijelaskan. Pendekatan yang memisahkan
antara “indigenous people” dengan “adatrechtskringen” sama sekali tidak
menjawab terhadap tema yang ditawarkan.