Kemarin
Presiden SBY telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) Nomor
1 Tahun 2013 yang mengatur Mahkamah Konstitusi. Sebagai pemegang kekuasaan
sebagaimana dirumuskan didalam UUD 1945, Presiden mempunyai kewenangan untuk
mengeluarkan Perpu. Kewenangan ini juga diatur didalam UU No. 12 Tahun 2011
Tentang Peraturan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam
mekanisme peraturan perundang-undangan, tinggal DPR yang kemudian menentukan
apakah Perpu ini bisa diterima dan kemudian menjadi UU. Atau DPR menolaknya.
Sebagai
bahan perpu, pertanyaan yang paling sering menjadi sorotan adalah “hal ikhwal
genting dan memaksa”. Norma ini penting selain bahan ilmiah juga menjadi bahan
politik di DPR untuk menilai diterima atau tidaknya Perpu.
Dalam
praktek ketatanegaraan, Indonesia paska tahun 1998 sudah beberapa kali
mengeluarkan Perpu. Yang paling diingat public ketika Perpu mengenai bom Bali
2003. Mengingat pentingnya perpu itu dan suasana psikologis terhadap terror bom
dan belum ada perangkat hokum terhadap tindak pidana terorisme, Perpu ini
dirasakan tepat dan DPR kemudian menjadikan UU yang sampai sekarang masih
berlaku.
Didalam
Perpu itu selain dijelaskan norma-norma yang berkaitan dengan tindak pidana
terorisme, perpu juga menjangkau tindak pidana yang dilakukan sebelum perpu
lahir (berlaku surut (retroaktif)).
Para
pelaku kemudian dapat diseret dengan UU terorisme. Namun MK kemudian
berpandangan, tindak pidana terorisme tidak dapat diterapkan asas berlaku surut
(retroaktif).
Kembali
ke pembahasan Perpu mengenai MK dan peluang Perpu dijadikan UU.
Pertama.
Melihat suasana “genting dan memaksa”, maka Perpu ini harusnya berangkat dari
kondisi ketatanegaraan yang dilihat Presiden. Presiden SBY yang mengeluarkan
Perpu dianggap terlalu “lambat’. Alasan klasik Presiden “ingin” mendapatkan
masukan berbagai pihak, juga memperlihatkan kepada public, Presiden khawatir
akan menjadi konsumsi politik.
Selain
itu karena MK sedang berbenah dengna membentuk Majelis Kehormatan MK, membuka
peluang KPK untuk mengusut secara tuntas, public sudah bisa memahami untuk
melihat persoalan secara jernih.
Tertangkapnya
Ketua MK harus diusut tuntas. Biarlah ranah hokum yang bisa menentukan
bagaimana peristiwa itu terjadi. Namun sebagai produk reformasi, MK harus
diselamatkan.
Melihat
pandangan obyektif, maka public mendukung berbagai proses hokum kepada Ketua
MK. Namun public justru menjaga agar MK tidak diserang secara kelembagaan dari
penumpang gelap yang ingin meruntuhkan MK.
Kedua.
Materi Perpu MK yang sudah masuk kepada tata cara pengangkatan hakim konstitusi
lebih tepat masuk kedalam ranah revisi UU
MK.
Kriteria
ini tidak dapat dikualifikasikan sebagai “keadaan genting yang memaksa’.
Ketiga.
Mengenai lembaga pengawasan kepada MK. Mengenai tema ini sudah diputuskan oleh
MK ketika MK “membonsai” kewenangan KY untuk memeriksa dan mengawasi MK melalui
putusannya tahun 2006. Oleh karena itu,
maka tema ini tidak relevan menjadi kewenangan Presiden untuk mengaturnya.
Selain rawan untuk digugat di MK, cara-cara ini justru menampakkan Presiden
yang tidak menghargai konstitusi.
Keempat.
Perpu ini akan rawan menjadi komoditas politik di DPR. Bacaan public yang sudah
“tenang” dan focus ingin melihat MK tetap pada posisinya, membuat makna perpu
tidak relevan untuk dibicarakan.
Kelima.
Perpu ini akan mudah ditolak dari parlemen. Berbagai pernyataan anggota DPR
yang secara tegas akan “mempersoalkan” Perpu dapat kita lihat di media massa.
Dengan slogan seperti “harusnya masuk ke revisi MK”, “tidak ada keadaan genting
sehingga dikeluarkannya perpu”, ada ungkapan dari pihak parlemen. Terlepas dari
dinamika yang bisa berkembang di parlemen, maka suara-suara parlemen akan
mewarnai politik di parlemen.
Keenam.
Apabila kemudian Perpu disahkan menjadi UU, maka tentu saja akan menjadi bahan
materi yang mudah diajukan ke MK. Putusan MK tahun 2006 dapat dijadkan bahan
argumentasi yang kuat dan diterima oleh MK. MK, tentu saja tidak perlu
mendengarkan keterangan dari DPR atau Pemerintah, atau memeriksa saksi, tapi
dapat langsung memutuskan menerima permohonan untuk membatalkan UU dengan
mendasarkan putusan sebelumnya.
Tentu
saja analisis yang disampaikan berangkat dari pengamatan terhadap perkembangan pembahasan
Perpu. Terlepas dari dinamika politik yang berkembang, apabila Perpu kemudian
dijadikan UU dan kemudian tidak digugat di MK, maka Perpu yang telah menjadi UU
akan menjadi norma yang harus dipatuhi.