Ketua, Ketua mesti berangkat
!!!. Kalimat itu lebih bermakna “diperintahkan” daripada himbauan dari Ketua Oslan
Purba, Manager Kantor Eksekutif Nasional Walhi di Jakarta menjelang beberapa
hari keberangkatan ke Philipine.
Untung saja ke Philipine tidak “mesti
urus visa” dan passport belum memasuki masa
habis 6 bulan. Jadi tinggal go dan tidak perlu urus ini urus itu.
Didalam TOR yang dikirimi via
email, model EBA (ecosystem based adaptation) bersinggungan dengan
climate change. Dengan pemahaman bahasa Inggeris yang terpatah-patah, penulis
menganggap bahwa bahwa model EBA yang sudah dipraktekkan masyarakat dapat
menjadi pelajaran penting didalam melihat hutan.
Dengan semangat itu, maka penulis
kemudian berkomunikasi dengna ketua Nego untuk memastikan sikap dan pandangan
Walhi.
Kesempatan ini tidak
disia-siakan. Selain mendapatkan kehormatan menghadiri forum internasional juga
mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat dalam satu rumpun negara ASEAN.
Sebagai sebuah negara yang
berdaulat tentu saja, pengamatan yang dilihat bagaimana kehidupan masyarakat,
suasana kondisi psikologis dan tentu saja peradaban bangsa.
Utusan dari Indonesia terdiri
dari Diky Kurniawan , Herbert, Carlo, Neni, Telly. Penyampaian materi dari Indonesia disampaikan
oleh Diky dan Telly. Dalam pertemuan itu
hanya pertemuan dari Indonesia dan Philipine dan peninjau dari IUCN Belanda.
Seingat penulis peserta berjumlah lebih kurang 30 orang.
Pertemuan dilaksanakan tanggal 11
– 12 Oktober 2013. Tapi dua hari sebelumnya, penulis, Diki dan Herbert
menghadiri kegiatan Workshop Nasional EBA Philipine dan persiapan pertemuan
tanggal 10 Oktober 2013. Tanggal 10 Oktober pagi, barulah mas Ruwi datang dan
Tanggal 11 Oktober pagi datang Carlo, Neni dan Telly.
Acara diadakan di Eugenio
Lopez Center, Antipolo Rizal. 40 km dari Manila. Eugenio Lopez adalah seorang
“Bapak bangsa Philipina”, seorang kaya dari Antipolo. Dia mempunyai berbagai
perusahaan baik termasuk telekomunikasi, manufaktur, tekstil, perusahaan avtur.
Tempat pertemuan merupakan miliknya. Diatas bukit yang dapat melihat Manila
dari kejauhan. Seperti daerah puncak.
Dalam pertemuan di Workshop
Nasional Philipine, penulis menyaksikan berbagai inisiatif masyarakat dan NGO
Philipine didalam menghadapi climate change.
Secara umum, yang dijadikan basis program adalah masyarakat adat local.
Penulis menangkap kesan, secara substansi, sebagai masyarakat adat, tentu saja
mempunyai jiwa dan roh yang tetap menjunjung alam dan mempunyai pola dan
tradisi panjang menjaga hutan. Pemahaman ini didasarkan baik kepada cara-cara
didalam mengelola alam dan presentasi yang dipaparkan selalu diselipkan
gambar-gambar penting yang akan mudah dipahami sehingga penulis berkeyakinan
secara substansi tidak ada perbedaan mendasar.
Namun dalam beberapa hari
pertemuan, sorotan tajam tentu saja menjadi tema yang menarik perhatian
penulis. Pertama. NGO dan masyarakat local tetap menyoroti pandangan Negara
dalam climate change. Kedatangan narasumber seperti National REDD of Philipine
menjadikan diskusi menjadi menarik. Sama seperti di Indonesia, kedatangan
utusan resmi dari Negara menjadi diskusi menjadi serius. Kedua. Teman-teman NGO
sudah banyak bekerja di issu climate change. Ketiga. Model-model yang
ditawarkan berangkat dari model-model yang dikembangkan dari masyarakat. Namun
Issu seperti konflik, tambang kurang mendapatkan perhatian penuh.
Disela-sela pertemuan, penulis
berkesempatan diskusi dengan Erwin, teman dari FoE (Friend of Earth, jaringan
Walhi di Internasional). Erwin cukup baik menjelaskan bagaimana persoalan
konflik kurang menjadi perhatian. Ini didasarkan kepada daerah-daerah yang
menjadi sorotan, dominan militer masih kuat. Walaupun issu demokratisasi
menjadi issu utama, namun dominan militer masih menjadi salah satu issu yang
cukup hati-hati dirumuskan.
Dalam pengamatan sekilas, secara
sederhana dimulai dengan istilah yang digunakan, makanan, kehidupan
sehari-hari. Terlepas sebagai negara metropolitan yang sudah maju, Manila sudah
berhasil menata kota metropolitan. Walaupun banyak yang memiliki kendaraan
pribadi, namun dengan harga minyak yang cukup mahal, membuat orang harus
berfikir untuk memakai kendaraan pribadi. Sebagai perbandingan, satu liter
minyak solar dijual dengan harga p 43,00. Dengan asumsi US$ 1 dikurskan p 40
lebih. Maka, minyak solar Rp 11.000,- lebih./liter. Padahal di Indonesi masih
Rp 5.5000,-.
Belum lagi makanan yang dihargai
rata-rata diatas p 170 (US 4 $) membuat penulis harus berfikir ulang untuk
membeli. Padahal dengan jenis yang sama-sama, paling-paling di Indonesia Rp
10.000,- (US 1 $).
Mengenai istilah, penulis kaget
mendengar ada kata-kata "selamat", ketika pengucapan dari pramugari
pesawat Philipine Airlines. Penulis pikir, karena pesawat dari Jakarta. Namun
kemudian mengetahui setelah di tempat lokasi pertemuan, ternyata kata
"selamat" artinya. Terima kasih.. Waduh. Kok jadi gini. Jadi setiap
peserta dari Philipine habis presentasi, ada ucapan "Selamat",
penulis selalu harus refresh dengan menggantikan istilah "selamat"
menjadi "terima kasih".
Sampai dengan pulang, masih
memerlukan konsentrasi tinggi, apabila teman-teman mengucapkan kata-kata
"selamat"..
Secara pribadi, keterikatan
penulis dengan negara Philipine sulit ditemukan. Baik dengan alasan kedekatan
geografis, perjalanan sejarah maupun ikatan emosional. Berbeda dengan Malaysia
atapun Singapura selain banyak ornamen, cerita para pejuang, ikatan emosional
mudah terbangun.
Menurut penulis, secara emosional
Philipina dekat dengan Sulawesi. Baik karena dengan alasan sejarah maupun
ikatan emosional. Pengakuan mereka juga dapat dikonfirm. Selain itu juga, para
nelayan Sulawesi sering sampai 4 perbatasan philipina. Belum lagi berbagai
ornamen yang membuktikan Philipina merupakan hubungan baik dengan Sulawesi.