08 Oktober 2013

opini musri nauli : Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi


Dalam sebuah pemberitaan di media  hokumonline, ada wacana yang didorong penghapusan unsur “kerugian Negara” sebagai unsur utama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Unsur “kerugian Negara” hanyalah sebagai pemberat tindak pidana.

Sebagai sebuah wacana, tema ini menarik selain karena tema ini akan merubah paradigm doktrin tindak pidana, juga sebagai bentuk terobosan pemberantasan korupsi yang semakin canggih, rapih dan melibatkan tokoh-tokoh penting yang akan sulit dideteksi dengan pendekatan hokum pidana biasa.

Kajian tentang pidana korupsi terus berkembang. Selain bentuk korupsi semakin canggih, upaya pemberantasan korupsi sering terhambat ataupun terhenti dengan pendekatan penegakkan hokum konvensional.

Dalam pemeriksaan terhadap Andi Mallarangeng (AM) dan Anas Urbaningrum (AU) yang belum berujung dilimpahkan ke tahap penuntutan didasari hasil penghitungan dari BPK. Padahal ditetapkan Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum sebagai tersangka sudah menjadi konsumsi public. Berlarut-larutnya pelimpahan AM dan AU selain menimbulkan persoalan dalam tataran ilmu pidana juga akan mengganggu integritas KPK.

Unsur “kerugian Negara” dapat kita lihat didalam UU No. 31 Tahun 1999. Unsur “kerugian Negara” merupakan unsur essensial dari tindak pidana korupsi.

Namun wacana penghapusan unsur “kerugian Negara” tentu saja menggunakan pendekatan berbagai disiplin ilmu hokum sehingga wacana ini dapat dipergunakan sebagai bahan argumentasi yang kuat dalam praktek peradilan.

Untuk membuka wacana, kita harus melihat bahwa Hukum Pidana bertujuan untuk mencari keadilan yang materiil yaitu keadilan yang sebenar-benarnya. Dengan demikian, maka terhadap alat bukti sebagaimana diatur didalam pasal 184 KUHAP, haruslah mempunyai kekuatan dasar yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tindak pidana korupsi tidak adanya korban kejahatan secara langsung, sebagaimana doktrin dalam hukum pidana, maka “NO VICTIM, NO CRIME (TIADA KORBAN, TIADA KEJAHATAN). 
Maka kerugian Negara” merupakan victim” untuk menguatkan doktrin dari “crime”. Dengan demikian maka  unsur yang paling penting didalam tindak pidana korupsi (corruption crime) adalah “kerugian Negara”.  Unsur “kerugian negara” merupakan unsur utama dalam pembuktian tindak pidana korupsi.

Definisi Kerugian negara   dapat dilihat UU NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA  Pasal 1 ayat (22) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Oleh karena itu kerugian negara itu harus pasti, tidak menerka-nerka dan harus dilakukan penghitungan kerugian negara.

Lantas bagaimana menghubungkan antara pelaku (dader) dengan korban (victim)dalam teori hubungan sebab akibat atau biasa dikenal teori kausalitas (teori condition sine qua non). Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Von bori mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat).

Teori conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent theorie), karena tiap factor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama dan sederajat. Maka teori Von Buri ini menerima beberapa sebab (meervoudige causa)

Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” (teori syarat). Disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan sebab(causa) tidak ada perbedaan.

Maka, siapa yang menjadi “cuasa (akibat)” dari akibat (weggedacht) ?
Pertanyaan ini disampaikan agar beban pembuktian didalam persidangan “kerugian Negara” harus pasti.

Perhatian “kerugian Negara” juga dapat dilihat dari pandangan MK sebagaimana pertimbangannya “Selain itu juga maka penghitungan kerugian negara mempunyai dasar yang kuat untuk melakukan penghitungan kerugian negara. MK sudah mempertimbangkan didalam putusannya ““siapa yang boleh menghitung “kerugian negara ?” Apakah semua orang, penyidik, atau kah Ahli yang terkait ?. Bahkan apabila kita lebih jauh menguraikan, siapakah ahli yang terkait yang dimaksudkan ?

Ketentuan ini dapat kita temukan didalam pasal 10 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 Tentang BPK dinyatakan “BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”. Sedangkan dipasal 11 huruf c “BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara.

Dengan demikian maka Sejak dikeluarkannya UU BPK yang baru, maka kewenangan untuk menghitung kerugian Negara menjadi kewenangan BPK.

Begitu pentingnya unsur “kerugian negara’” dalam tindak pidana maka diperlukan alasan yang kuat untuk mendorong penghapusan “kerugian negara” baik didalam ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 maupun doktrin ilmu hokum pidana.