Ketika diperiksa sebagai
saksi di KPK, Anggelia Sondakh (anggie) menangis dan kemudian
pingsan. Berita kemudian heboh. Publik kemudian “mengaitkan”
menangis dan pingsan-nya Anggie karena baru saja dijatuhkan putusan
di tingkat Kasasi dari empat tahun enam bulan penjara menjadi 12
tahun penjara. Dan diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp12,58
milliar dan 2,35 dolar Amerika atau sekitar Rp27,4 milliar.
Air mata anggie
menimbulkan berbagai prasangka. Prasangka bisa dilihat dari “jiwanya”
yang dianiaya putusan MA yang “menghukum” cukup lama dan dendanya
yang besar. Bisa juga prasangka “semakin berat” beban
ditanggungnya. Atau prasangka anggie teringat kepada Sang Suami yang
sudah meninggal. Atau prasangka mengingat anak-anaknya yang tidak
mendapatkan kesempatan kasih sayang.
Putusan MA sudah
dijatuhkan. Terlepas dari perdebatan apakah hukum itu terlalu tinggi
atau sudah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, itu menjadi tugas
dari penegak hukum. Namun sorotan yang hendak disampaikan pada kali
ini sebenarnya “masa depan” anak-anaknya.
Publik masih ingat,
ketika Anggie “dinikahkan” oleh Adjie Massaid, Adjie Massaid
mempunyai dua orang putri. Dan dari Adjie Massaid, Anggie juga
mendapatkan seorang putri.
Menjadi persoalan hukum
sekarang. Apakah Anggie “masih” berhak sebagai “hak asuh” ?
Ketika Adjie Massaid
“bercerai” dengan Reza, hak asuh kemudian ditetapkan kepada Adjie
Massaid. Adjie Massaid kemudian merawat dua putrinya dari hasil
perkawinan Reza.
Kemudian Anggie kemudian
“nikah” dengan Adjie Massaid, Adjie Massaid kemudian membawa
kedua putrinya dengan dalam perkawinan Anggie. Perkawinan Adjie
Massaid – Anggie kemudian melahirkan seorang putri.
Persoalan timbul ketika
Adjie Massaid meninggal dunia. Apabila menurut ketentuan, maka hak
asuh dikembalikan kepada Reza. Selain karena Reza sebagai ibu
kandungnya, Anggie tidak berhak terhadap “hak asuh” kedua putri
Adjie Massaid – Reza. Sehingga hak asuh “dikembalikan” kepada
Reza.
Namun Reza “kelihatannya”
enggan untuk “mempersoalkan “hak asuh” yang kemudian dilakukan
oleh Anggie. Reza tidak ingin “meninggalnya” Adjie Massaid selain
akan menimbulkan luka yang dalam kepada Anggie juga menimbulkan
persoalan “bathin” kedua putrinya.
Cerita berbeda ketika
Anggie” dihukum pidana selama 12 tahun. Menurut berbagai ketentuan,
putusan diatas 5 tahun dapat menyebabkan Anggie dianggap tidak mampu
lagi menjadi orang tua asuh. Anggie harus berkonsentrasi menjalani
putusan pidana. Anggie harus melepaskan “hak asuh” baik kepada
kedua putri hasil perkawinan Adjie Massaid – Reza maupun putri dari
hasil perkawinan Adjie Massaid – Anggie.
Tentu saja Reza
mengajukan keberatan terhadap hak asuh terhadap Anggie (mengajukan
gugatan). Reza harus “memastikan” kedua putrinya mendapatkan
kasih sayang yang tidak mungkin lagi didapatkan dari Anggie selama 12
tahun.
Apabila Reza “tidak”
mengajukan gugatan, maka penulis bingung dengan Reza. Dia ini
sebenarnya siapa sih ? Seorang Ibu yang tidak peduli anaknya ?
Nah. Apabila “tangisan”
anggie dikaitkan dengan prasangka seperti “jiwanya” yang merasa
diperlakukan “tidak adil” oleh Putusan MA, prasangka semakin
berat beban ditanggungnya, prasangka “teringat” sang suami,
prasangka “teringat” anak-anaknya yang tidak mendapatkan kasih
sayang, maka saya malah berprasangka, Anggie “takut” kehilangan
buah hatinya.