07 Desember 2013

opini musri nauli : AIR MATA ANGGIE


Ketika diperiksa sebagai saksi di KPK, Anggelia Sondakh (anggie) menangis dan kemudian pingsan. Berita kemudian heboh. Publik kemudian “mengaitkan” menangis dan pingsan-nya Anggie karena baru saja dijatuhkan putusan di tingkat Kasasi dari empat tahun enam bulan penjara menjadi 12 tahun penjara. Dan diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp12,58 milliar dan 2,35 dolar Amerika atau sekitar Rp27,4 milliar.
Air mata anggie menimbulkan berbagai prasangka. Prasangka bisa dilihat dari “jiwanya” yang dianiaya putusan MA yang “menghukum” cukup lama dan dendanya yang besar. Bisa juga prasangka “semakin berat” beban ditanggungnya. Atau prasangka anggie teringat kepada Sang Suami yang sudah meninggal. Atau prasangka mengingat anak-anaknya yang tidak mendapatkan kesempatan kasih sayang.

Putusan MA sudah dijatuhkan. Terlepas dari perdebatan apakah hukum itu terlalu tinggi atau sudah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, itu menjadi tugas dari penegak hukum. Namun sorotan yang hendak disampaikan pada kali ini sebenarnya “masa depan” anak-anaknya.

Publik masih ingat, ketika Anggie “dinikahkan” oleh Adjie Massaid, Adjie Massaid mempunyai dua orang putri. Dan dari Adjie Massaid, Anggie juga mendapatkan seorang putri.

Menjadi persoalan hukum sekarang. Apakah Anggie “masih” berhak sebagai “hak asuh” ?

Ketika Adjie Massaid “bercerai” dengan Reza, hak asuh kemudian ditetapkan kepada Adjie Massaid. Adjie Massaid kemudian merawat dua putrinya dari hasil perkawinan Reza.

Kemudian Anggie kemudian “nikah” dengan Adjie Massaid, Adjie Massaid kemudian membawa kedua putrinya dengan dalam perkawinan Anggie. Perkawinan Adjie Massaid – Anggie kemudian melahirkan seorang putri.

Persoalan timbul ketika Adjie Massaid meninggal dunia. Apabila menurut ketentuan, maka hak asuh dikembalikan kepada Reza. Selain karena Reza sebagai ibu kandungnya, Anggie tidak berhak terhadap “hak asuh” kedua putri Adjie Massaid – Reza. Sehingga hak asuh “dikembalikan” kepada Reza.

Namun Reza “kelihatannya” enggan untuk “mempersoalkan “hak asuh” yang kemudian dilakukan oleh Anggie. Reza tidak ingin “meninggalnya” Adjie Massaid selain akan menimbulkan luka yang dalam kepada Anggie juga menimbulkan persoalan “bathin” kedua putrinya.

Cerita berbeda ketika Anggie” dihukum pidana selama 12 tahun. Menurut berbagai ketentuan, putusan diatas 5 tahun dapat menyebabkan Anggie dianggap tidak mampu lagi menjadi orang tua asuh. Anggie harus berkonsentrasi menjalani putusan pidana. Anggie harus melepaskan “hak asuh” baik kepada kedua putri hasil perkawinan Adjie Massaid – Reza maupun putri dari hasil perkawinan Adjie Massaid – Anggie.

Tentu saja Reza mengajukan keberatan terhadap hak asuh terhadap Anggie (mengajukan gugatan). Reza harus “memastikan” kedua putrinya mendapatkan kasih sayang yang tidak mungkin lagi didapatkan dari Anggie selama 12 tahun.

Apabila Reza “tidak” mengajukan gugatan, maka penulis bingung dengan Reza. Dia ini sebenarnya siapa sih ? Seorang Ibu yang tidak peduli anaknya ?

Nah. Apabila “tangisan” anggie dikaitkan dengan prasangka seperti “jiwanya” yang merasa diperlakukan “tidak adil” oleh Putusan MA, prasangka semakin berat beban ditanggungnya, prasangka “teringat” sang suami, prasangka “teringat” anak-anaknya yang tidak mendapatkan kasih sayang, maka saya malah berprasangka, Anggie “takut” kehilangan buah hatinya.