Menurut
Sudikno Mertokusumo, peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian
dengan tugas hakim dalam memutus perkara, baik perkara perdata maupun
perkara pidana untuk mempertahankan atau atau menjamin ditaatinya
hukum materil1
Sedangkan
hukum materil merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang
bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam
masyarakat yang pada hakekatnya bertujuan untuk melindungai
kepentingan orang lain2
Berdasarkan
hal tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi pengadilan sangat penting
sebagai tempat untuk menegakkan hukum.
Pembentukan
Pengadilan dilakukan berdasarkan pada urgensi prioritas.
Namun
selain membicarakan tentang Pengadilan umum, berbagai peraturan juga
mengatur tentang Pengadilan Khusus. Pengadilan khusus sebenarnya
bukan merupakan barang baru di dunia peradilan Indonesia.
Tercatat
setidaknya dua pengadilan khusus pernah berdiri sebelum masuknya era
reformasi, yaitu pengadilan ekonomi (UU Darurat No. 7 Tahun 1955)
dan pengadilan anak (UU No. 3 Tahun 1997).
Setelah
masuknya era reformasi yang diawali dengan krisis moneter, pengadilan
khusus mulai banyak didirikan. Pengadilan khusus yang pertama di era
ini adalah pengadilan niaga, yang diatur dalam Perpu No. 1 Tahun 1998
yang kemudian diundangkan dengan UU No. 4 Tahun 1998, Pengadilan
Pajak (UU No. 14 Tahun 2000), Pengadilan Syariah Aceh,
Pngadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000), Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (UU No. 30 Tahun 2002), Pengadilan Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (UU No. 2 Tahun 2004) dan
yang terakhir yaitu Pengadilan Perikanan (UU No. 31 Tahun 2004).
Didalam
UU yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman, telah diatur mengenai
pengadilan khusus dan peradilan khusus. Sebagai contoh didalam UU No.
19 Tahun 1964, pengaturan mengenai pengadilan khusus tidak terlalu
jelas.
Dalam
batang tubuh UU tersebut sama sekali tidak disebutkan mengenai
keberadaan pengadilan khusus. Satu-satunya pengaturan yang
mengindikasikan dapat dibentuknya pengadilan khusus atau spesialisasi
dalam salah satu lingkungan peradilan terdapat dalam bagian
penjelasan. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1964
disebutkan:
Undang-undang
ini membedakan antara Peradilan Umum, Peradilan Khusus dan Peradilan
Tata-Usaha Negara. Peradilan Umum antara lain meliputi Pengadilan
Ekonomi, Pengadilan Subversi, Pengadilan Korupsi. Peradilan Khusus
terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Yang
dimaksudkan dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah yang disebut
“peradilan administratif” dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, dan antara lain meliputi juga yang
disebut “peradilan kepegawaian” dalam Pasal 21 Undang-undang No.
18 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian
(Lembaran-Negara tahun 1961 No. 263; Tambahan Lembaran-Negara
No.2312).
Dari
ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa pengadilan khusus dapat
dibentuk hanya dalam lingkungan peradilan umum.
Berbeda
dengan UU No. 19 Tahun 1964, UU No. 14 Tahun 1970 yang menggantikan
UU tersebut kemudian mengatur sedikit lebih jelas mengenai pengadilan
khusus, walaupun tetap pengaturannya masih dalam bagian penjelasan
UU.
Jika
dilihat dasar pembentukan Pengadilan khusus, maka merujuk kepada UU
No. 4 Tahun 2004, maka pengaturan dalam delapan UU yang mengatur
pengadilan khusus yang ada dan pernah ada dasar pengkhususan dapat
dibagi menjadi dua.
Pertama.
Pengadilan yang kekhususannya disebabkan hukum materil yang menjadi
ruang lingkupnya dan pengadilan yang kekhususannya karena subyek yang
terlibat. Maka kita akan mudah mendefinisikannya sebagai pengadilan
ekonomi, pengadilan niaga, pengadilan perburuhan, pengadilan HAM,
pengadilan pajak dan pengadilan perikanan.
Kedua.
Pengadilan yang kekhususannya dilihat dari subyek yang terlibat. Pada
pengadilan anak, subjek yang menjadi sumber kekhususan adalah
tersangka/terdakwanya, dalam hal ini anak yang berusia antara 8-18
tahun.
Dengan
demikian maka maka pengadilan khusus sebenarnya akan lebih mudah
dipahami dalam kerangka UU No. 14 Tahun 1970 dimana istilah yang
dipergunakan adalah Pengkhususan (differensiasi/spesialisasi)
bukannya Pengadilan Khusus.
Istilah
Pengkhususan mudah dipahami yang saat ini dimaksud dengan Pengadilan
Khusus pada dasarnya tidak lebih dari pada Kamar Khusus dalam
pengadilan maupun lingkungan peradilan3.
Jika
ditelusuri penggunaan istilah “Pengadilan Khusus”
sebenarnya baru dimulai pada tahun 1998, yaitu ketika pemerintah
menerbitkan Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Kepailitan4,
dimana dalam Perpu tersebut dibentuk Pengadilan Niaga sebagai
Pengadilan Khusus. Selanjutnya hampir seluruh UU yang lahir setelah
tahun 1998 yang membentuk pengadilan khusus menggunakan istilah
Pengadilan Khusus.
Sedangkan
Jimly Assidiq sendiri merumuskan istilah peradilan khusus dipahami
sebagai antonim dari pengertian peradilan pada umumnya yang
berjenjang mulai dari peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri,
peradilan tingkat banding di Pengadilan Tinggi sampai peradilan
tingkat kasasi ke Mahkamah Agung5
Karena
itu, semua pengadilan di luar lingkungan peradilan biasa pada umumnya
tersebut di atas disebut Pengadilan Khusus, seperti Pengadilan Agama
yang berasal dari ‘Priesterraad’ dan lain-lain. Sesudah
Indonesia merdeka, muncul pula pemikiran untuk mengadopsi
perkembangan pengertian tentang negara hukum (rechtsstaat) di Eropah
Barat yang mengharuskan adanya peradilan tata usaha negara.
Karena
itu, sebenarnya, alasan kita untuk menyebut adanya istilah peradilan
khusus itu dalam sejarah, hanya lah karena sudah diterimanya
pengertian mengenai peradilan umum, sehingga karenanya, yang lain
dari peradilan umum itu harus disebut sebagai peradilan khusus.
Jimly
Assidiq sendiri mencatat pengadilan khusus yang ada yaitu Pengadilan
Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan TIPIKOR,
Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Perikanan, Pengadilan
Pajak, Mahkamah Pelayaran, Mahkamah Syar’iyah di Aceh, Pengadilan
Adat di Papua, Pengadilan Tilang.
Lebih
lanjut diterangkan oleh Jimly Assidiq, untuk melihat kekuasaan
kehakiman maka dapat dilihat :
- Kekuasaan untuk memberikan penilaian dan pertimbangan. (The power to exercise judgement and discretion);
- Kekuasaan untuk mendengar dan menentukan atau memastikan fakta-fakta dan untuk membuat putusan. (The power to hear and determine or to ascertain facts and decide);
- Kekuasaan untuk membuat amar putusan dan pertimbangan-pertimbangan yang mengikat sesuatu subjek hukum dengan amar putusan dan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dibuatnya. (The power to make binding orders and judgements);
- Kekuasaan untuk mempengaruhi hak orang atau hak milik orang per orang. (The power to affect the personal or property rights of private persons);
- Kekuasaan untuk menguji saksi-saksi, untuk memaksa saksi untuk hadir, dan untuk mendengar keterangan para pihak dalam persidangan. (The power to examine witnesses, to compel the attendance of witnesses, and to hear the litigation of issues on a hearing); dan
- Kekuasaan untuk menegakkan keputusan atau menjatuhkan sanksi hukuman. (The power to enforce decisions or impose penalties).
Dengan
melihat berbagai rumusan terbentuknya Pengadilan khusus maka kita
dapat melihat rumusan didalam UUP3H.
Bahwa
untuk menentukan perlu atau tidaknya pengadilan khusus maka kita bisa
melihat ketentuan yang secara tegas menyatakan demikian. Atau dengan
melihat rumusan sehingga pentingnya diadakan pengadilan khusus.
Sebagai
langkah awal, maka didalam "mengingat" harus secara
tegas mencantumkan UU Kekuasaan Kehakiman" dimulai dari pasal 24
UUD 1945 (amandemen), UU No. 19 Tahun 1964, UU No. 14 Tahun 1970
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 tahun 1999 yang diubah
dengan UU. No. 4 tahun 2004 dan terakhir diganti dengan UU. No. 48
tahun 2009.
Kesalahan
tidak mencantumkan ketentuan tentang UU Kekuasaan Kehakiman, maka
terhadap pasal-pasal yang berkaitan tentang pengadilan khusus harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak berlaku
(vide Putusan Mahkamah No. 12/PUU-IV/2006, Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 016/PUU-IV/2006, Putusan Mahkamah Konstitusi No.
019/PUU-IV/2006)
Yurisprudensi
Mahkamah Konstitus sebagaimana yang telah disampaikan didalam
pertimbangan putusan pengujian UU KPK terhadap UUD 1945 yang diajukan
Mulyana Wirakusumah (Perkara 012/PUU-IV/2006), Nazaruddin
Sjamsuddin, dkk. (Perkara 016/PUU-IV/2006) dan Capt.Tarcisius Walla
(019/PUU-IV/20060).
MK
menyatakan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) bertentangan dengan UUD 1945.
Keputusan
MK yang menyatakan bahwa Pasal 53 UU No. 30/2002 tentang KPK
bertentangan dengan UUD 1945 dapat dilihat sebagai putusan yang
memberikan kepastian hukum. Putusan ini sesuai dengan Pasal 24A UUD
1945 yang menyatakan, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan
hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur
dengan undang-undang” Pengertian frasa “diatur dengan
undang-undang” dalam Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 tersebut
berarti pembentukan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung harus
dilakukan dengan undang-undang.
Dengan
demikian, maka pasal 51, pasal 52 dan pasal 53, pasal 109 ayat (4)
dan ayat (5) UU P3H harusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
dan dinyatakan tidak berlaku.
1Sudoku
Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di
Indonesia sejak 1942, cet.2, Yogyakarta, Liberty, 1983, hal. 3
2Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata IndonesiaI, cet.1 , Yogyakarta:
Liberty, 1993, hal.1
3Dalam
pasal 8 UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum istilah yang
dipergunakan juga masih menggunakan istilah ‘pengkhususan’.
4Lihat
Konsiderans Menimbang huruf f Perpu No. 1 tahun 1998.
5Jimly
Asshiddiqie, Model-Model Peradilan Konstitusi di Berbagai Negara,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010