PANDANGAN
KONSTITUSI TERHADAP NOTARIS
(Studi
Kasus Putusan MK terhadap Notaris)1
Musri Nauli2
Keadilan yang tertunda
adalah keadilan yang tertolak
(justice delayed
justice denied),”
Abstraksi
The Constitutional Court
of the Republic of Indonesian cancel article 66 Law No. 30 of 2004.
Act of Notary. The
Constitutional Court of the Republic of Indonesian declare article 66
act of Notary contrary to the principle equality before the law.
Consideration The
Constitutional Court of the Republic of Indonesian interesting to
view to how configuration right to refuse following the decision the
Constitutional Court of the Republic of Indonesian
- Pendahuluan
Pandangan konstitusi
mengenai notaris3
menarik perhatian penulis ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memeriksa
perkara 49/PUU-X/20124.
Sebelumnya MK sudah
menolak sekaligus dua permohonan5
pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 mengenai wadah tunggal
organisasi notaris tidak bertentangan dengan Konstitusi. Kalaupun
kemudian hanya Ikatan Notaris Indonesia (INI)6
yang diakui Pemerintah, persoalannya bukan lagi pada
konstitusionalitas. Masalah ini sudah menyangkut implementasi
undang-undang. Dengan demikian Undang-Undang tentang Jabatan Notaris
itu tidak terbukti bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam pertimbangannya,
Mahkamah Konstitusi (MK) menganggap argumen-argumen yang dikemukakan
pemohon tidak cukup beralasan. Soal wadah tunggal organisasi notaris.
Setiap orang, termasuk notaris, memang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Namun dalam
melaksanakan hak berserikat, notaris harus berhimpun dalam satu
wadah.
Selain itu juga Mahkamah
Konstitusi (MK) pernah memutuskan untuk menolak permohonan uji materi
Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) UU No 30/ 2004 Tentang
Jabatan Notaris yang diajukan oleh Anthony Saga Widjaja. Dalam
pertimbangannya, MK berpendapat soal perubahan usia pensiun seorang
pejabat adalah ranah legislative review atau wewenang DPR.
MK berkesimpulan bahwa
ketetapan pembentuk undang-undang mengenai batas usia pensiun
seseorang pejabat adalah suatu kebijakan hukum terbuka (open legal
policy) yang berapa pun usia pensiun yang ditetapkan tidak dapat
dikategorikan sebagai ketentuan yang tidak konstitusional.
Namun terhadap putusan MK
yang berkaitan pasal 66 UU Notaris menarik perhatian publik.
MK memutuskan mengabulkan
permohonan uji materi Pasal 66 ayat (1) UU No 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris7.
Dalam putusannya, MK membatalkan frasa “dengan persetujuan
Majelis Pengawas Daerah” dalam pasal yang diuji.
MK telah memutuskan (1)
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya, (2) Menyatakan frasa
“dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (3)
Menyatakan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”
dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;”
Putusan MK selain
mengabulkan permohonan dari Kant Kamal akan menyebabkan perubahan
konfigurasi. Apabila sebelumnya proses pemeriksaan terhadap notaris
harus “memerlukan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”,
maka dengan berlakunya putusan MK nomor 49/PUU-X/2012 akan
menyebabkan “tidak diperlukan persetujuan Majelis Pengawas
Daerah.
Dengan argumentasi
inilah, maka penulis tertarik untuk menggali dan menulisnya dalam
sebuah pembahasan yang cukup komprehensif sebagai pandangan terhadap
Notaris.
- Permasalahan
Didalam melakukan
penelitian, penulis berkonsentrasi terhadap Notaris dalam pandangan
konstitusi. Untuk memudahkan pembahasan, maka permasalahan yang
disoroti berkaitan :
- Bagaimana pandangan konstitusi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Notaris apabila dilihat dari sudut pandang hak istimewa sebagaimana diatur didalam pasal 66 UU Notaris ?
- Bagaimana konfigurasi posisi Notaris setelah putusan MK ?
- Tujuan Penulisan
Didalam pembahasan, maka
penulis menggunakan berbagai pendekatan dengan menggunakan optik
putusan MK. Putusan MK yang menjadi sorotan yaitu Putusan MK
009/PUU-III/2005 dan Putusan MK 014/PUU-III/2005 untuk memastikan
posisi organisasi tunggal Notaris (Ikatan Notaris Indonesia/INI)
dalam pandangna konstitusi. Penulis juga melakukan pemantauan
terhadap putusan MK mengenai masa usia Notaris.
Setelah melihat Putusan
MK Nomor 009/PUU-III/2005 dan Putusan MK Nomor 014/PUU-III/2005, maka
penulis melakukan kajian dengan melihat pertimbangan didalam Putusan
MK Nomor 49/PUU-X/2012. Untuk memudahkan pertimbangan dan alur
pemikiran latar belakang putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012, penulis juga
menggunakan pendekatan Putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011. Dengan
mempertimbangkan putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011 barulah dilakukan
pengkajian dan bisa memotret konfigurasi posisi Notaris dalam
konstitusi berdasarkan Putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012. Dengan
analisis yang dapat menjawab pertimbangan hakim, penulis dapat
menentukan bagaimana konfigurasi yang hendak dibangun.
Tujuan penulisan
dilatarbelakangi melihat pandangan konstitusi melalui putusan
Mahkamah Konstitusi. Baik yang berkaitan tentang keorganisasian
Notaris, usia pensiun notaris dan proses hukum tidak diperlukannya
“persetujuan Majelis pengawas Daerah'.
Dengan melihat pandangan
konstitusi maka diharapkan terhadap proses hukum setiap orang yang
dimuka hukum menggunakan pendekatan “equality before the law'.
Sebuah asas yang konsisten yang digunakan oleh MK didalam melihat
berbagai permohonan yang diajukan ke MK.
Tulisan ini dapat
membantu untuk memotret posisi Notaris dan konfigurasi Notaris
setelah putusan MK. Sehingga ke depan, posisi Notaris dapat memasuki
pusaran global dalam dunia hukum.
- Pembahasan
Membicarakan Notaris
dapat kita lihat didalam UU No. 30 Tahun 2004. Notaris adalah
Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya8.
Sedangkan Pasal 1868 BW
menegaskan “suatu akta otentik ialah suatu akta yg dibuat dalam
bentuk yang ditentukan UU oleh/dihadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Sedangkan pasal 1870 dan
1871 BW menerangkan “Akta otentik adalah alat pembuktian yang
sempurna bagi kedua pihak,sekalian orang yg mendapat haknya dari akta
tsb…..memberikan kpd pihak-pihak suatu pembuktian yg mutlak.
Kewenangan notaris
diantaranya (a) Membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian dan ketetapan, (b) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan
kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus, (c) Membukukan surat-surat di bawah tangan, (d) Membuat
salinan dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana tertulis dalam surat tersebut, (e)
Melakukan pengesahan kecocokan salinan dengan surat aslinya, (e)
Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, (f)
Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, (g) Membuat risalah
lelang, atau (h) Melakukan kewenangan lain yang ditentukan peraturan
perundang-undangan.
Dalam berbagai
pertimbangan di Mahkamah Agung, Notaris ditegaskan “Notaris
dalam menjalankan jabatannya hanya bersifat formal12.
Notaris hanya berfungsi mencatatkan/menuliskan apa-apa yang
dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap notaris
tersebut. Notaris tidak wajib menyelidiki secara materiil hal-hal
yang dikemukakan para penghadap notaris.
Jadi notaris tidak hanya
mempunyai hak ingkar (verschongsrecht) akan tetapi juga mempunyai
kewajiban ingkar (verschoningssplicht)13
Pandangan konstitusi
mengenai keorganisasian Notaris sudah dipertimbangkan oleh MK.
Berdasarkan putusan MK, MK menganggap keorganisasian tunggal yaitu
INI bukan lagi pada konstitusionalitas. Masalah ini sudah menyangkut
implementasi undang-undang. Dengan demikian Undang-Undang tentang
Jabatan Notaris itu tidak terbukti bertentangan dengan UUD 1945.
Pandangan konstitusi MK
kemudian menolak terhadap permohonan yang disampaikan oleh Ketua Umum
Persatuan Notaris Reformasi (Pernori) HM Ridwan Indra dan Sekretaris
Umum Himpunan Notaris Indonesia (HNI) Teddy Anwar untuk menguji
pasal 1 ayat 5, pasal 82 ayat (1), pasal 67 ayat 3 huruf b) UU
Notaris. Selain itu juga meminta agar Reglement op Het Notaris Ambt
in Indonesie (1860) untuk sementara diberlakukan untuk mengisi
kekosongan hukum.
Begitu juga Permohonan
diajukan oleh beberapa orang notaris Hady Evianto, HM Ilham Pohan,
Ukon Krisnajaya, dan Yance Budi SL Tobing. Selain mempersoalkan pasal
82 ayat (1), Hady Evianto dan kawan-kawan juga menginginkan agar
pasal 16 ayat (1) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Namun terhadap pasal 66
UU Notaris, MK kemudian membuktikan sebaliknya.
Sebelum putusan MK
sebagaimana diatur didalam pasal 66 UU No. 30 Tahun 2004, Pemeriksaan
terhadap Notaris harus dilakukan oleh Majelis Pemeriksaan Daerah.
Upaya ini dalam praktek sering menimbulkan persoalan.
Di tahap penyidikan,
pemeriksaan terhadap Notaris terbentur karena persoalan administrasi
dan harus ada “persetujuan Majelis Pemeriksaan Daerah”.
Kasus Kant Kamal dinilai merugikan lantaran kasus yang dilaporkan
melibatkan notaris pernah di-SP3, meski Polda Metro Jaya telah
memeriksa saksi-saksi terkait pembuatan akta otentik. Alasannya,
tak mendapat persetujuan MPD. Hal ini dianggap menghalangi proses
penyidikan, sehingga Kant Kamal merasakan tidak mendapatkan keadilan.
Kant Kamal yang menganggap pasal Pasal 66 ayat (1) UU No 30
Tahun 2004 adalah diskriminasi hukum. Dimana seorang Notaris
dibedakan dalam pemeriksaan proses hukum dan harus dilakukan Majelis
Pemeriksaan Daerah.
Dengan melihat secara
normatif, maka terhadap permohonan terhadap yang diajukan oleh Kant
Kamal seharusnya termasuk kedalam “penerapan norma”,
dimana penegak hukum dalam tingkat penyidikan cukup melihat bukti
formal surat-surat yang diajukan.
Dalam UU No. 30 Tahun
2004, latar belakang diperlukan mekanisme administrasi “persetujuan
Majelis Pemeriksaan Daerah” sebagai upaya protektif terhadap
profesi Notaris.
Semangat ini juga
dirasakan terhadap pemeriksaan terhadap Kepala Daerah sebagaimana
diatur didalam pasal 36 UU No. 32 Tahun 2004.
Sebagaimana telah
diputuskan oleh MK, tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tidak perlu persetujuan
tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.
"Pasal
36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat,"
MK berpendapat dengan
adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan proses
peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan
keadilan.
"Persyaratan
persetujuan tertulis dari Presiden bagi penyelidikan dan penyidikan
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah juga menghambat proses
hukum, yang seharusnya sesuai asas yaitu bersifat cepat, sederhana,
dan berbiaya ringan," demikian pertimbangan MK.
Dalam pengujian UU Pemda
ini, MK juga memutuskan Pasal 36 ayat (3) dan ayat (4) UU Pemda
konstitusional bersyarat.
MK menyatakan Pasal 36 ayat (3) UU Pemda
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai "tindakan penyidikan yang
dilanjutkan dengan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan
apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh Presiden
dalam waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak diterimanya surat
permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan
dapat langsung dilakukan"14.
Sedangkan Pasal 36 ayat
(4) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai "hal-hal yang dikecualikan
dari ketentuan tersebut pada ayat (3) adalah: a. tertangkap tangan
melakukan tindak pidana kejahatan; atau b. disangka telah melakukan
tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah
melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara".
MK berdasarkan Putusan
No. Nomor 73/PUU-IX/2011 telah mengabulkan permohonan pemohon dan
kemudian membatalkan Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. MK
juga menegaskan selain membatalkan juga menyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Dengan semangat itulah,
maka MK kemudian membatalkan pasal 66 UU Notaris sehingga adanya
persamaan dimuka hukum.
Padahal semangat lahirnya
UU Notaris, Sebagai sebuah profesi yang dilindungi oleh hukum, fungsi
Notaris harus dilindungi oleh hukum dengan cara “memproteksi”
dari gangguan berbagai pemeriksaan di muka proses hukum.
Namun ketika Pasal 36 UU
No. 32 Tahun 2004 kemudian dicabut oleh MK, maka semangat
memperlakukan “setiap orang dimuka hukum sebagai terjemahan
langsung dari pasal 28 ayat (1) UUD 1945 juga mengalir dalam
setiap profesi apapun termasuk Notaris.
MK kemudian menegaskan
“Persetujuan MPD bertentangan dengan prinsip independensi proses
peradilan.
Independensi proses
peradilan sebagai persamaan didepan hukum dinyatakan melanggar
prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law)
yang tersurat dan tersirat dalam Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 yang
bersifat universal sesuai pula dengan Article 26 ICCPR (International
Covenant on Civiland Political Rights) 1966 yang juga sudah
diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No.12 Tahun 2005. Di sini
ditegaskan adanya persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan
hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama (equal
protection) tanpa diskriminasi.
Di samping itu, menurut
MK, ada suatu prinsip demokrasi dan rule of law yang dapat
dicederai dengan frasa di atas, yaitu kekuasaan kehakiman yang
merdeka (independence of the judiciary), yang harus dikawal
oleh MK dan Mahkamah Agung (MA). Campur tangan Majelis Pengawas
Daerah juga dianggap dapat menimbulkan penundaan proses peradilan dan
keadilan (justice delayed justice denied). Sementara penundaan
keadilan juga melanggar HAM (delay of justice is violation of
human rights).
MK menyatakan proses
peradilan guna mengambil dokumen dalam penyimpanan notaris dan
memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan
dokumen-dokumen yang dibuatnya tidak perlu meminta persetujuan Majeli
Pengawas Daerah. Prosedur persetujuan itu dinilai bertentangan dengan
prinsip equal protection sebagaimana yang dijamin UUD 1945.
Menurut MK, perlakuan
berbeda terhadap notaris dapat dibenarkan sepanjang perlakuan itu
masuk lingkup Kode Etik Notaris yakni sikap, tingkah laku, dan
perbuatan notaris yang berhubungan dengan moralitas. Sedangkan
notaris selaku warga negara dalam proses penegakan hukum pada semua
tahapan harus diberlakukan sama di hadapan hukum seperti dijamin
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
MK menilai ketentuan yang
mengharuskan adanya persetujuan Majelis Pengawasn Daerah bertentangan
dengan prinsip independensi dalam proses peradilan dan bertentangan
dengan kewajiban seorang notaris sebagai warga negara. Dengan begitu,
akan terhindarkan adanya proses peradilan yang berlarut-larut yang
mengakibatkan berlarut-larutnya pula upaya penegakan keadilan yang
akhirnya dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu
sendiri.
“Keadilan yang tertunda
adalah keadilan yang tertolak (justice delayed justice denied)
demikian kesan yang penulis tangkap dengan melihat pertimbangan MK
Pasal 66 Ayat (1) UU
Notaris berbunyi, “Untuk kepentingan penyidik, penuntut umum,
atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang : (a)
mengambil fotokopi Minuta Akta dan atau surat-surat yang dilekatkan
pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan notaris, dan
(b) memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam
penyimpanan notaris.”
Menurut pemohon,
pemeriksaan hukum yang melibatkan notaris tak perlu persetujuan
Majelis Pengawas Daerah. Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan
frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” yang
terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris dibatalkan karena
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945.
Terhadap putusan MK
menarik untuk menjadi bahan pembelajaran terhadap penegakkan hukum
dan posisi Notaris itu sendiri.
Merujuk kepada permohonan
yang telah disampaikan oleh Pemohon, dengan melihat secara normatif,
maka terhadap permohonan terhadap yang diajukan oleh Kant Kamal
seharusnya termasuk kedalam “penerapan norma”, dimana
penegak hukum dalam tingkat penyidikan cukup melihat bukti formal
surat-surat yang diajukan.
Kecuali terhadap bukti
formal yang disampaikan oleh Notaris sudah dapat dibuktikan adanya
perbuatan pidana sehingga Kant kamal dirugikan dan merasa keberatan
pemeriksaan terhadap Notaris terhalang dengan “persetujuan Majelis
Pengawas Daerah”. Atau Kant Kamal bisa membuktikan pemeriksaan
terhadap Notaris terhalang dengna proses administrasi dari Majelis
Pengawas Daerah.
Padahal menurut Majelis
Pengawas Nasional (MPN), Tahun 2009, MPN Pusat melakukan terobosan
dengan menjatuhkan pemberhentian tidak hormat buat notaris nakal.
Dilihat dari jumlah kasus, MPN hanya menangani 23 perkara15.
Vonis itu dijatuhkan
kepada notaris asal Kelaten, Lani Sofyan pada Oktober 2009 lalu.
Meski hanya satu orang, hukuman itu bisa menjadi peringatan bagi
notaris lain setelah ‘aman’ sejak 2005-2008. Ketika itu tak ada
hukuman buat notaris nakal.
Hukuman itu merupakan
rekomendasi dari MPN Jawa Tengah. Lani dihukum lantaran tak
membayarkan uang titipan pajak penghasilan (PPh) dan bea perolehan
hak tanah dan bangunan (BPHTB) milik kliennya. Padahal sebelumnya,
MPN telah memberikan waktu agar Lani mengembalikan uang itu. MPN Jawa
Tengah mengakui perbuatan Lani bisa dikategorikan sebagai tindak
pidana. Namun tidak melaporkan hal itu pada kepolisian.
Dalam putusan No.
15/B/Mj.PPN/2009 dijelaskan korban Lani tidak hanya pelapor dalam
kasus ini. Banyak masyarakat lain yang dirugikan hingga pada suatu
saat Lani dicari rumahnya untuk membuka kantornya dan menyerahkan
kembali berkas-berkas yang tidak dijalankan. Lani disebut-sebut tiga
kali berpindah alamat tanpa sebelumnya, pelapor mengadukan Lani
lantaran tidak mendaftarkan balik nama sebidang sawah milik pelapor
meski sudah membayar BPHTB dan PPH.
Selain itu juga, harus
dilihat bahwa para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana harus
benar-benar cermat sebelum memasuki wilayah kerja notaris, karena
dunia notaris diwarnai oleh hukum profesi dalam hubungan (duty)
antara notaris dan klien berdasarkan hukum dan sumpah jabatan adalah
jabatan kepercayaan.
Dalam dimensi yang lain,
sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akte otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana telah ditegaskan didalam UU Notaris,
maka produk hukum Notaris adalah akta otentik. Akta otentik merupakan
keinginan dan kesepakatan para pihak16.
Sehingga apabila adanya
akta otentik yang telah dibuat oleh Notaris sebagai produk hukum
merupakan alat bukti yang sempurna17,
namun apabila adanya pihak yang merasa keberatan terhadap akta
otentik seharusnya mengajukan melalui mekanisme hukum. Mengajukan
gugatan misalnya.
Atau dapat membuat
laporan kepada penyidik terhadap akta yang dibuat tidak sesuai dengan
hukum. Misalnya salah satu pihak atau para pihak mempermasalahkan
notaris karena ada salah satu pihak yang merasa tidak menandatangani
minuta, tapi dinyatakan menandatangani minuta. Atau salah satu pihak
merasa bahwa di dalam akta itu ada keterangan palsu, maka terhadap
persoalan itu seharusnya, pihak yang dirugikan dapat membuat laporan
kepada kepolisian dengan alasan Notaris dan pihak yang menandatangani
didalam akta otentik dengan tuduhan membuat laporan palsu atau
keterangan palsu sebagaimana diatur didalam KUHP.
Namun berbeda dengan
pemeriksaan terhadap Notaris terhadap fakta-fakta hukum di lapangan
hukum pidana, dimana penyidik berkeinginan melihat akta otentifik,
maka penyidik cukup melihat akta yang telah dibuat para pihak.
Atau terhadap para pihak
yang telah membuat akta otentik didepan Notaris namun para pihak
kemudian mengingkari pernyataannya kemudian, maka pernyataan tersebut
haruslah dibatalkan dimuka persidangan. Namun terhadap Notaris tidak
dapat diminta pertanggungjawaban hukum.
Sehingga tidak salah
kemudian pasal 66 UU Notaris memakan korban diluar dari yang
dimohonkan oleh Kant Kamal dan kemudian menyebabkan kehebohan di
dunia Notaris18.
Ikatan Notaris Indonesia
melalui Ketua Umum, Adrian Djuani di Jakarta, menyayangkan keputusan
MK tidak melibatkan para notaris dalam pengambilan keputusan.
Dengan lugas kemudian
menyatakan “Kami tidak bermaksud menentang atau menolak
keputusan MK, kami hanya menyesalkan karena tidak dilibatkan dalam
proses pengambilan keputusan tersebut. "Padahal MPD adalah
perpanjangan tangan negara (KemenkumHam) dalam rangka pembinaan,
pengawasan notaris. Tugas MPD itu melakukan pemeriksaan terhadap
seorang notaris terkait pemanggilan oleh penyidik yang meminta
keterangan notaris soal akta yang dibuatnya.
Putusan MK yang
menghapuskan pasal 66 UU Jabatan Notaris membuat dilema para profesi
notaris.
Padahal apabila Notaris
dianggap melanggar sumpah jabatan dapat dikenakan sanksi pasal 84
yakni notaris tersebut bisa dituntut oleh klien pembuat akta. Nah
dengan adanya Majelis Pengawas Daerah itu nanti akan diseleksi
(diuji) sebelum memberikan keterangan ke penyidik.
Tapi menurut INI, masih
ada upaya keberatan dengan melakukan direvisi UUJN.
Terlepas berbagai
pandangan setelah putusan MK, Notaris tidak usah terlalu panik
menghadapi Putusan MK yang menghapuskan “hak istimewa” Notaris.
Notaris dapat mempertimbangkan dan menggunakan hak istimewa berupa
hak ingkar.
Notaris yang telah diberi
kepercayaan untuk menyimpan rahasia mengenai akta otentik yang telah
dibuat oleh para pihak dapat menggunakan hak ingkar19.
Dengan demikian, jika
ternyata Notaris sebagai saksi atau tersangka, tergugat ataupun dalam
pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan
memberikan keterangan yang seharusnya wajib dirahasiakan, sedangkan
undang-undang tidak memerintahkannya, maka atas pengaduan pihak yang
merasa dirugikan kepada pihak yang berwajib dapat diambil atas
Notaris tersebut, Notaris seperti ini dapat dikenakan Pasal 322 ayat
(1) dan (2) KUHP, yaitu membongkar rahasia, padahal Notaris
berkewajiban untuk menyimpannya.
Dalam kedudukan sebagai
saksi (dalam perkara perdata), Notaris dapat minta dibebaskan dari
kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena jabatannya menurut
undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya. Ketentuan ini dapat
dilihat didalam Pasal 1909 ayat (3) BW.
Namun merujuk kepada
pasal 170 KUHAP, hak ingkar ini dapat dikesampingkan apabila
undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan
keterangan/ pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya.
Ketentuan ini dapat dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU
Notaris dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UU Notaris.
Dengan mempergunakan asas
“equality before the law”, maka MK secara konsisten
didalam memperlakukan setiap negara dimuka hukum. Putusan MK Nomor
73/PUU-IX/2011 merupakan asas didalam melihat pondasi dan
pertimbangan putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012. Sebuah asas yang tunduk
sebagaimana telah digariskan oleh konstitusi berdasarkan pasal 28
ayat (1) UUD 1945.
Berpijak kepada putusan
MK, maka hak ingkar yang sering diklaim sebagai hak istimewa Notaris
tetap diletakkan kepada landasan penting profesi Notaris. Hak ingkar
dapat dibenarkan dalam menilai dan termasuk kedalam ruang lingkup
kode etik yaitu bersikap, bertingkah laku dan perbuatan notaris yang
berhubungan dengan moralitas.
Namun dengan putusan MK
nomor 73/PUU-IX/2011, maka posisi Notaris sebagai warga negara dalam
proses hukum dalam semua tahapan haruslah diperlakukan sama di
hadapan hukum. Selain memberikan kepastian akan asas “before the
law', asas ini juga bersandarkan kepada pasal 27 ayat (1) dan
pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
- Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang
telah dilakukana, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
- Mahkamah Konstitusi telah menyatakan pasal 66 UU Notaris bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian maka pasal 66 ayat (1) UU Notaris tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Asas yang digunakan adalah “equality before the law sebagai dasar sebagai diatur Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
- Rumusan pasal 66 UU Notaris yang mengenal hak istimewa “hak ingkar” terhadap profesi Notaris kemudian dihapuskan oleh MK. Namun demikian, hak ingkar dapat dilakukan oleh Notaris sebagai perwujudan sebagai profesi yang diberikan kepercayaan untuk menyimpan rahasia mengenai akte otentik. Notaris dapat mempertimbangkan dan menggunakan hak istimewa berupa hak ingkar. Notaris dapat minta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena jabatannya menurut undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya. Ketentuan ini dapat dilihat didalam Pasal 1909 ayat (3) BW.Namun merujuk kepada pasal 170 KUHAP, hak ingkar ini dapat dikesampingkan apabila undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan/ pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya. Ketentuan ini dapat dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Notaris dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UU Notaris.Dengan demikian, maka posisi Notaris sebagai warga negara dalam proses hukum dalam semua tahapan haruslah diperlakukan sama di hadapan hukum. Selain memberikan kepastian akan asas “before the law', asas ini juga bersandarkan kepada pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
- Saran
Sebagai negara hukum,
maka semua peraturan perundang-undangan harus tunduk kepada ikrar
negara hukum. Sebagai ikrar negara hukum, maka asas-asas didalam
konstitusi yang telah diputuskan oleh MK menjadi pertimbangan sebelum
peraturan perundang-undangan
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
JATI DIRI NOTARIS
INDONESIA DULU, SEKARANG DAN MASA YANG AKAN DATANG, Gramedia,
Jakarta, 2008.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
UNDANG-UNDANG
Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daeah
Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang KUHAP
Kitab Undang-undang Hukum
Perdata
PUTUSAN
Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia
Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 49/PUU-X/2012
Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 009/PUU-III/2005
Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 014/PUU-III/2005
Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 73/PUU-IX/2011
Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No.702K/Sip/1973
MEDIA MASSA
Hukumonline, 13 September
2005
MANTRA SAKSI UNTUK
MEMANGGIL PEJABAT, Musri Nauli, Dimuat di Posmetronline, 13 September
2012.
WEBSITE
www.ikatannotarisindonesia.or.id
www.indonesiarayanews.com
www.musrinauli.blogspot.com
1Jurnal
Kenotariatan Universitas Jambi, Jambi, 2014
2Advokat,
Tinggal di Jambi
3Sejarah
notariat diawali tumbuh di Italia dimulai pada abad ke XI atau XII
yang dikenal dengan nama “Latinjse Notariat” yang
merupakan tempat asal berkembangnya notariat, tempat ini teletak di
Italia Utara. Kemudian meluas ke daerah Perancis dimana notariat ini
sepanjang masa jabatannya merupakan suatu pengabdian yang dilakukan
kepada masyarakat umum yang kebutuhan dan kegunannya senantiasa
mendapat pengakuan dari masyarakat dan dari Negara. Dari Perancis
pada frase ke dua perkembangannya pada perumulaan abad ke XIX
lembaga notariat ini meluas ke negara lain di dunia termasuk pada
nantinya tumbuh dan berkembang di Indonesia. Nama Notariat dengan
nama lembaga ini dikenal dimana-mana berasal dari nama pengabdinya
yang pertama yakni NOTARIUS yang menandakan satu golongan
orang-orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis menulis
tertentu. Mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke 17 dengan
beradanya “Oost Ind Compagnie” di Indonesia pada tanggal
27 Agustus 1620 diangkat Notaris pertama di Indonesia yaitu Melchior
kerchem, sekretaris college van schepenen”. Lihat JATI DIRI
NOTARIS INDONESIA DULU, SEKARANG DAN MASA YANG AKAN DATANG,
Gramedia, Jakarta, 2008.
4Uji
materi ini diajukan seorang direktur perusahaan, Kant Kamal. Pasal
yang mengatur persetujuan MPD dalam hal pemeriksaan proses hukum itu
dinilai merugikannya lantaran kasus yang dilaporkan melibatkan
notaris pernah di-SP3, meski Polda Metro Jaya telah memeriksa
saksi-saksi terkait pembuatan akta otentik. Alasannya, tak mendapat
persetujuan MPD. Hal ini dianggap menghalangi proses penyidikan,
sehingga pemohon tidak mendapatkan keadilan. Kant Kamal yang
menganggap pasal 66 ayat (1) UU No 30 Tahun 2004 adalah
diskriminasi hukum. Dimana seorang Notaris dibedakan dalam
pemeriksaan proses hukum dan harus dilakukan Majelis Pemeriksaan
Daerah.
5Judicial
review UU Jabatan Notaris dimohonkan oleh sejumlah notaris. Pertama.
Nomor Perkara 009/PUU-III/2005, dimohonkan oleh Ketua Umum Persatuan
Notaris Reformasi (Pernori) HM Ridwan Indra dan Sekretaris Umum
Himpunan Notaris Indonesia (HNI) Teddy Anwar. Pemohon mempersoalkan
aturan tentang badan hukum notaries (pasal 1 ayat 5), wadah tunggal
notaries (pasal 82 ayat 1), dan pengawasan notaris (pasal 67 ayat 3
huruf b). Mereka juga meminta agar Reglement op Het Notaris Ambt in
Indonesie (1860) untuk sementara diberlakukan untuk mengisi
kekosongan hukum. Permohonan kedua. Nomor Perkara 014/PUU-III/2005,
diajukan oleh beberapa orang notaris: Hady Evianto, HM Ilham Pohan,
Ukon Krisnajaya, dan Yance Budi SL Tobing. Selain mempersoalkan
pasal 82 ayat (1), Hady Evianto dan kawan-kawan juga menginginkan
agar pasal 16 ayat (1) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Hukumonline, 13 September 2005
6Ikatan
Notaris Indonesia (INI) merupakan satu-satunya wadah organisasi bagi
segenap Notaris di seluruh Indonesia yang berbentuk Perkumpulan yang
berbadan Hukum dari Peraturan Perundang-undangan Hindia Belanda
yakni Gouvernements Besluit (Penetapan Pemerintah) tanggal 05
September 1908 Nomor 9 Tentang Keberadaan Ikatan Notaris Indonesia
(I.N.I). INI merupakan wadah perkumpulan/organisasi bagi para
notaris. Lihat http://www.ikatannotarisindonesia.or.id
7Pasal
66 Ayat (1) UU Notaris menyatakan,“Untuk kepentingan penyidik,
penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah
berwenang : (a) mengambil fotokopi Minuta Akta dan atau surat-surat
yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam
penyimpanan notaris, dan (b) memanggil notaris untuk hadir dalam
pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol
Notaris yang berada dalam penyimpanan notaris”.
8Notaris
yang dalam pasal 1868 BW, dikenal sebagai Pejabat Umum (Openbare
Ambtenaren) dan telah dijabarkan dalam Undang-undang nomor 30 tahun
2004.
9Kekuatan
pembuktian lahiriah yaitu akta itu sendiri mempunyai kekuatan untuk
membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik, karena
kehadirannya, kelahirannya sesuai /ditentukan dengan
perundang-undangan yang mengaturnya.
10Kekuatan
pembuktian formil yaitu apa yangg dinyatakan dalam akta tersebut
adalah benar.
11Kekuatan
pembuktian materil bertujuan untuk memberikan kepastian terhadap
peristiwa apa yang diterangkan dalam akta itu benar.
12
Yurisprudensi Mahkamah Agung No.702K/Sip/1973
13Rahasia
jabatan atas dasar hak ingkar pun (verschoningsrecht) tidak bersifat
absolut karena bisa dikesampingkan apabila terdapat kepentingan yang
lebih tinggi. Yaitu, supremasi hukum, atas perintah hakim
berdasarkan UU (Pasal 170 ayat 1 dan 2 KUHAP). Contohnya, dalam
perkara korupsi dan perpajakan, tanpa khawatir dituntut atas dasar
Pasal 322 KUHP.
14MANTRA
SAKSI UNTUK MEMANGGIL PEJABAT, Musri Nauli, Dimuat di Posmetronline,
13 September 2012.
15Hukumonline.com,
31 Desember 2009.
16Lihat
pasal 1320 BW
17Dengan
pemikiran perjanjian yang dibuat didepan pejabat yang berwenang.
18http://indonesiarayanews.com/read/2013/05/30/67424/news-nasional-05-30-2013-19-43-ini-sesalkan-keputusan-mk-hapus-hak-istimewa-notaris
19hak
ingkar dapat dilakukan dengan batasan sepanjang Notaris diperiksa
oleh instansi mana saja yang berupaya untuk meminta pernyataan/
keterangan dari Notaris yang berkaitan dengan akta yang telah atau
pernah dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang bersangkutan.