10 April 2014

opini musri nauli : PANDANGAN KONSTITUSI TERHADAP NOTARIS (Studi Kasus Putusan MK terhadap Notaris)




PANDANGAN KONSTITUSI TERHADAP NOTARIS
(Studi Kasus Putusan MK terhadap Notaris)1
Musri Nauli2


Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang tertolak
(justice delayed justice denied),”


Abstraksi
The Constitutional Court of the Republic of Indonesian cancel article 66 Law No. 30 of 2004.
Act of Notary. The Constitutional Court of the Republic of Indonesian declare article 66 act of Notary contrary to the principle equality before the law.
Consideration The Constitutional Court of the Republic of Indonesian interesting to view to how configuration right to refuse following the decision the Constitutional Court of the Republic of Indonesian


  1. Pendahuluan

Pandangan konstitusi mengenai notaris3 menarik perhatian penulis ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memeriksa perkara 49/PUU-X/20124.

Sebelumnya MK sudah menolak sekaligus dua permohonan5 pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 mengenai wadah tunggal organisasi notaris tidak bertentangan dengan Konstitusi. Kalaupun kemudian hanya Ikatan Notaris Indonesia (INI)6 yang diakui Pemerintah, persoalannya bukan lagi pada konstitusionalitas. Masalah ini sudah menyangkut implementasi undang-undang. Dengan demikian Undang-Undang tentang Jabatan Notaris itu tidak terbukti bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menganggap argumen-argumen yang dikemukakan pemohon tidak cukup beralasan. Soal wadah tunggal organisasi notaris. Setiap orang, termasuk notaris, memang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Namun dalam melaksanakan hak berserikat, notaris harus berhimpun dalam satu wadah.

Selain itu juga Mahkamah Konstitusi (MK) pernah memutuskan untuk menolak permohonan uji materi Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) UU No 30/ 2004 Tentang Jabatan Notaris yang diajukan oleh Anthony Saga Widjaja. Dalam pertimbangannya, MK berpendapat soal perubahan usia pensiun seorang pejabat adalah ranah legislative review atau wewenang DPR.

MK berkesimpulan bahwa ketetapan pembentuk undang-undang mengenai batas usia pensiun seseorang pejabat adalah suatu kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang berapa pun usia pensiun yang ditetapkan tidak dapat dikategorikan sebagai ketentuan yang tidak konstitusional.

Namun terhadap putusan MK yang berkaitan pasal 66 UU Notaris menarik perhatian publik.

MK memutuskan mengabulkan permohonan uji materi Pasal 66 ayat (1) UU No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris7. Dalam putusannya, MK membatalkan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam pasal yang diuji.

MK telah memutuskan (1) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya, (2) Menyatakan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (3) Menyatakan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;”

Putusan MK selain mengabulkan permohonan dari Kant Kamal akan menyebabkan perubahan konfigurasi. Apabila sebelumnya proses pemeriksaan terhadap notaris harus “memerlukan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”, maka dengan berlakunya putusan MK nomor 49/PUU-X/2012 akan menyebabkan “tidak diperlukan persetujuan Majelis Pengawas Daerah.
Dengan argumentasi inilah, maka penulis tertarik untuk menggali dan menulisnya dalam sebuah pembahasan yang cukup komprehensif sebagai pandangan terhadap Notaris.

  1. Permasalahan

Didalam melakukan penelitian, penulis berkonsentrasi terhadap Notaris dalam pandangan konstitusi. Untuk memudahkan pembahasan, maka permasalahan yang disoroti berkaitan :
  1. Bagaimana pandangan konstitusi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Notaris apabila dilihat dari sudut pandang hak istimewa sebagaimana diatur didalam pasal 66 UU Notaris ?
  2. Bagaimana konfigurasi posisi Notaris setelah putusan MK ?
  1. Tujuan Penulisan

Didalam pembahasan, maka penulis menggunakan berbagai pendekatan dengan menggunakan optik putusan MK. Putusan MK yang menjadi sorotan yaitu Putusan MK 009/PUU-III/2005 dan Putusan MK 014/PUU-III/2005 untuk memastikan posisi organisasi tunggal Notaris (Ikatan Notaris Indonesia/INI) dalam pandangna konstitusi. Penulis juga melakukan pemantauan terhadap putusan MK mengenai masa usia Notaris.

Setelah melihat Putusan MK Nomor 009/PUU-III/2005 dan Putusan MK Nomor 014/PUU-III/2005, maka penulis melakukan kajian dengan melihat pertimbangan didalam Putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012. Untuk memudahkan pertimbangan dan alur pemikiran latar belakang putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012, penulis juga menggunakan pendekatan Putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011. Dengan mempertimbangkan putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011 barulah dilakukan pengkajian dan bisa memotret konfigurasi posisi Notaris dalam konstitusi berdasarkan Putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012. Dengan analisis yang dapat menjawab pertimbangan hakim, penulis dapat menentukan bagaimana konfigurasi yang hendak dibangun.

Tujuan penulisan dilatarbelakangi melihat pandangan konstitusi melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Baik yang berkaitan tentang keorganisasian Notaris, usia pensiun notaris dan proses hukum tidak diperlukannya “persetujuan Majelis pengawas Daerah'.

Dengan melihat pandangan konstitusi maka diharapkan terhadap proses hukum setiap orang yang dimuka hukum menggunakan pendekatan “equality before the law'. Sebuah asas yang konsisten yang digunakan oleh MK didalam melihat berbagai permohonan yang diajukan ke MK.

Tulisan ini dapat membantu untuk memotret posisi Notaris dan konfigurasi Notaris setelah putusan MK. Sehingga ke depan, posisi Notaris dapat memasuki pusaran global dalam dunia hukum.

  1. Pembahasan

Membicarakan Notaris dapat kita lihat didalam UU No. 30 Tahun 2004. Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya8.

Sedangkan Pasal 1868 BW menegaskan “suatu akta otentik ialah suatu akta yg dibuat dalam bentuk yang ditentukan UU oleh/dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Sedangkan pasal 1870 dan 1871 BW menerangkan “Akta otentik adalah alat pembuktian yang sempurna bagi kedua pihak,sekalian orang yg mendapat haknya dari akta tsb…..memberikan kpd pihak-pihak suatu pembuktian yg mutlak.

Akta Otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah9, formil10 dan materil11.

Kewenangan notaris diantaranya (a) Membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan, (b) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, (c) Membukukan surat-surat di bawah tangan, (d) Membuat salinan dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana tertulis dalam surat tersebut, (e) Melakukan pengesahan kecocokan salinan dengan surat aslinya, (e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, (f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, (g) Membuat risalah lelang, atau (h) Melakukan kewenangan lain yang ditentukan peraturan perundang-undangan.

Dalam berbagai pertimbangan di Mahkamah Agung, Notaris ditegaskan “Notaris dalam menjalankan jabatannya hanya bersifat formal12. Notaris hanya berfungsi mencatatkan/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap notaris tersebut. Notaris tidak wajib menyelidiki secara materiil hal-hal yang dikemukakan para penghadap notaris.

Jadi notaris tidak hanya mempunyai hak ingkar (verschongsrecht) akan tetapi juga mempunyai kewajiban ingkar (verschoningssplicht)13

Pandangan konstitusi mengenai keorganisasian Notaris sudah dipertimbangkan oleh MK. Berdasarkan putusan MK, MK menganggap keorganisasian tunggal yaitu INI bukan lagi pada konstitusionalitas. Masalah ini sudah menyangkut implementasi undang-undang. Dengan demikian Undang-Undang tentang Jabatan Notaris itu tidak terbukti bertentangan dengan UUD 1945.

Pandangan konstitusi MK kemudian menolak terhadap permohonan yang disampaikan oleh Ketua Umum Persatuan Notaris Reformasi (Pernori) HM Ridwan Indra dan Sekretaris Umum Himpunan Notaris Indonesia (HNI) Teddy Anwar untuk menguji pasal 1 ayat 5, pasal 82 ayat (1), pasal 67 ayat 3 huruf b) UU Notaris. Selain itu juga meminta agar Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (1860) untuk sementara diberlakukan untuk mengisi kekosongan hukum.

Begitu juga Permohonan diajukan oleh beberapa orang notaris Hady Evianto, HM Ilham Pohan, Ukon Krisnajaya, dan Yance Budi SL Tobing. Selain mempersoalkan pasal 82 ayat (1), Hady Evianto dan kawan-kawan juga menginginkan agar pasal 16 ayat (1) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Namun terhadap pasal 66 UU Notaris, MK kemudian membuktikan sebaliknya.
Sebelum putusan MK sebagaimana diatur didalam pasal 66 UU No. 30 Tahun 2004, Pemeriksaan terhadap Notaris harus dilakukan oleh Majelis Pemeriksaan Daerah. Upaya ini dalam praktek sering menimbulkan persoalan.

Di tahap penyidikan, pemeriksaan terhadap Notaris terbentur karena persoalan administrasi dan harus ada “persetujuan Majelis Pemeriksaan Daerah”. Kasus Kant Kamal dinilai merugikan lantaran kasus yang dilaporkan melibatkan notaris pernah di-SP3, meski Polda Metro Jaya telah memeriksa saksi-saksi terkait pembuatan akta otentik. Alasannya, tak mendapat persetujuan MPD. Hal ini dianggap menghalangi proses penyidikan, sehingga Kant Kamal merasakan tidak mendapatkan keadilan. Kant Kamal yang menganggap pasal Pasal 66 ayat (1) UU No 30 Tahun 2004 adalah diskriminasi hukum. Dimana seorang Notaris dibedakan dalam pemeriksaan proses hukum dan harus dilakukan Majelis Pemeriksaan Daerah.

Dengan melihat secara normatif, maka terhadap permohonan terhadap yang diajukan oleh Kant Kamal seharusnya termasuk kedalam “penerapan norma”, dimana penegak hukum dalam tingkat penyidikan cukup melihat bukti formal surat-surat yang diajukan.

Dalam UU No. 30 Tahun 2004, latar belakang diperlukan mekanisme administrasi “persetujuan Majelis Pemeriksaan Daerah” sebagai upaya protektif terhadap profesi Notaris.

Semangat ini juga dirasakan terhadap pemeriksaan terhadap Kepala Daerah sebagaimana diatur didalam pasal 36 UU No. 32 Tahun 2004.

Sebagaimana telah diputuskan oleh MK, tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tidak perlu persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.

"Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,"

MK berpendapat dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan.



"Persyaratan persetujuan tertulis dari Presiden bagi penyelidikan dan penyidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah juga menghambat proses hukum, yang seharusnya sesuai asas yaitu bersifat cepat, sederhana, dan berbiaya ringan," demikian pertimbangan MK.

Dalam pengujian UU Pemda ini, MK juga memutuskan Pasal 36 ayat (3) dan ayat (4) UU Pemda konstitusional bersyarat.
MK menyatakan Pasal 36 ayat (3) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dapat langsung dilakukan"14.



Sedangkan Pasal 36 ayat (4) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan tersebut pada ayat (3) adalah: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara".

MK berdasarkan Putusan No. Nomor 73/PUU-IX/2011 telah mengabulkan permohonan pemohon dan kemudian membatalkan Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. MK juga menegaskan selain membatalkan juga menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Dengan semangat itulah, maka MK kemudian membatalkan pasal 66 UU Notaris sehingga adanya persamaan dimuka hukum.

Padahal semangat lahirnya UU Notaris, Sebagai sebuah profesi yang dilindungi oleh hukum, fungsi Notaris harus dilindungi oleh hukum dengan cara “memproteksi” dari gangguan berbagai pemeriksaan di muka proses hukum.

Namun ketika Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2004 kemudian dicabut oleh MK, maka semangat memperlakukan “setiap orang dimuka hukum sebagai terjemahan langsung dari pasal 28 ayat (1) UUD 1945 juga mengalir dalam setiap profesi apapun termasuk Notaris.

MK kemudian menegaskan “Persetujuan MPD bertentangan dengan prinsip independensi proses peradilan.

Independensi proses peradilan sebagai persamaan didepan hukum dinyatakan melanggar prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) yang tersurat dan tersirat dalam Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 yang bersifat universal sesuai pula dengan Article 26 ICCPR (International Covenant on Civiland Political Rights) 1966 yang juga sudah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No.12 Tahun 2005. Di sini ditegaskan adanya persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama (equal protection) tanpa diskriminasi.

Di samping itu, menurut MK, ada suatu prinsip demokrasi dan rule of law yang dapat dicederai dengan frasa di atas, yaitu kekuasaan kehakiman yang merdeka (independence of the judiciary), yang harus dikawal oleh MK dan Mahkamah Agung (MA). Campur tangan Majelis Pengawas Daerah juga dianggap dapat menimbulkan penundaan proses peradilan dan keadilan (justice delayed justice denied). Sementara penundaan keadilan juga melanggar HAM (delay of justice is violation of human rights).

MK menyatakan proses peradilan guna mengambil dokumen dalam penyimpanan notaris dan memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan dokumen-dokumen yang dibuatnya tidak perlu meminta persetujuan Majeli Pengawas Daerah. Prosedur persetujuan itu dinilai bertentangan dengan prinsip equal protection sebagaimana yang dijamin UUD 1945.

Menurut MK, perlakuan berbeda terhadap notaris dapat dibenarkan sepanjang perlakuan itu masuk lingkup Kode Etik Notaris yakni sikap, tingkah laku, dan perbuatan notaris yang berhubungan dengan moralitas. Sedangkan notaris selaku warga negara dalam proses penegakan hukum pada semua tahapan harus diberlakukan sama di hadapan hukum seperti dijamin Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

MK menilai ketentuan yang mengharuskan adanya persetujuan Majelis Pengawasn Daerah bertentangan dengan prinsip independensi dalam proses peradilan dan bertentangan dengan kewajiban seorang notaris sebagai warga negara. Dengan begitu, akan terhindarkan adanya proses peradilan yang berlarut-larut yang mengakibatkan berlarut-larutnya pula upaya penegakan keadilan yang akhirnya dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri.

“Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang tertolak (justice delayed justice denied) demikian kesan yang penulis tangkap dengan melihat pertimbangan MK

Pasal 66 Ayat (1) UU Notaris berbunyi, “Untuk kepentingan penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang : (a) mengambil fotokopi Minuta Akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan notaris, dan (b) memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.”

Menurut pemohon, pemeriksaan hukum yang melibatkan notaris tak perlu persetujuan Majelis Pengawas Daerah. Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” yang terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris dibatalkan karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Terhadap putusan MK menarik untuk menjadi bahan pembelajaran terhadap penegakkan hukum dan posisi Notaris itu sendiri.

Merujuk kepada permohonan yang telah disampaikan oleh Pemohon, dengan melihat secara normatif, maka terhadap permohonan terhadap yang diajukan oleh Kant Kamal seharusnya termasuk kedalam “penerapan norma”, dimana penegak hukum dalam tingkat penyidikan cukup melihat bukti formal surat-surat yang diajukan.

Kecuali terhadap bukti formal yang disampaikan oleh Notaris sudah dapat dibuktikan adanya perbuatan pidana sehingga Kant kamal dirugikan dan merasa keberatan pemeriksaan terhadap Notaris terhalang dengan “persetujuan Majelis Pengawas Daerah”. Atau Kant Kamal bisa membuktikan pemeriksaan terhadap Notaris terhalang dengna proses administrasi dari Majelis Pengawas Daerah.

Padahal menurut Majelis Pengawas Nasional (MPN), Tahun 2009, MPN Pusat melakukan terobosan dengan menjatuhkan pemberhentian tidak hormat buat notaris nakal. Dilihat dari jumlah kasus, MPN hanya menangani 23 perkara15.

Vonis itu dijatuhkan kepada notaris asal Kelaten, Lani Sofyan pada Oktober 2009 lalu. Meski hanya satu orang, hukuman itu bisa menjadi peringatan bagi notaris lain setelah ‘aman’ sejak 2005-2008. Ketika itu tak ada hukuman buat notaris nakal.

Hukuman itu merupakan rekomendasi dari MPN Jawa Tengah. Lani dihukum lantaran tak membayarkan uang titipan pajak penghasilan (PPh) dan bea perolehan hak tanah dan bangunan (BPHTB) milik kliennya. Padahal sebelumnya, MPN telah memberikan waktu agar Lani mengembalikan uang itu. MPN Jawa Tengah mengakui perbuatan Lani bisa dikategorikan sebagai tindak pidana. Namun tidak melaporkan hal itu pada kepolisian.

Dalam putusan No. 15/B/Mj.PPN/2009 dijelaskan korban Lani tidak hanya pelapor dalam kasus ini. Banyak masyarakat lain yang dirugikan hingga pada suatu saat Lani dicari rumahnya untuk membuka kantornya dan menyerahkan kembali berkas-berkas yang tidak dijalankan. Lani disebut-sebut tiga kali berpindah alamat tanpa sebelumnya, pelapor mengadukan Lani lantaran tidak mendaftarkan balik nama sebidang sawah milik pelapor meski sudah membayar BPHTB dan PPH.

Selain itu juga, harus dilihat bahwa para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana harus benar-benar cermat sebelum memasuki wilayah kerja notaris, karena dunia notaris diwarnai oleh hukum profesi dalam hubungan (duty) antara notaris dan klien berdasarkan hukum dan sumpah jabatan adalah jabatan kepercayaan.

Dalam dimensi yang lain, sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akte otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana telah ditegaskan didalam UU Notaris, maka produk hukum Notaris adalah akta otentik. Akta otentik merupakan keinginan dan kesepakatan para pihak16.

Sehingga apabila adanya akta otentik yang telah dibuat oleh Notaris sebagai produk hukum merupakan alat bukti yang sempurna17, namun apabila adanya pihak yang merasa keberatan terhadap akta otentik seharusnya mengajukan melalui mekanisme hukum. Mengajukan gugatan misalnya.

Atau dapat membuat laporan kepada penyidik terhadap akta yang dibuat tidak sesuai dengan hukum. Misalnya salah satu pihak atau para pihak mempermasalahkan notaris karena ada salah satu pihak yang merasa tidak menandatangani minuta, tapi dinyatakan menandatangani minuta. Atau salah satu pihak merasa bahwa di dalam akta itu ada keterangan palsu, maka terhadap persoalan itu seharusnya, pihak yang dirugikan dapat membuat laporan kepada kepolisian dengan alasan Notaris dan pihak yang menandatangani didalam akta otentik dengan tuduhan membuat laporan palsu atau keterangan palsu sebagaimana diatur didalam KUHP.

Namun berbeda dengan pemeriksaan terhadap Notaris terhadap fakta-fakta hukum di lapangan hukum pidana, dimana penyidik berkeinginan melihat akta otentifik, maka penyidik cukup melihat akta yang telah dibuat para pihak.

Atau terhadap para pihak yang telah membuat akta otentik didepan Notaris namun para pihak kemudian mengingkari pernyataannya kemudian, maka pernyataan tersebut haruslah dibatalkan dimuka persidangan. Namun terhadap Notaris tidak dapat diminta pertanggungjawaban hukum.

Sehingga tidak salah kemudian pasal 66 UU Notaris memakan korban diluar dari yang dimohonkan oleh Kant Kamal dan kemudian menyebabkan kehebohan di dunia Notaris18.

Ikatan Notaris Indonesia melalui Ketua Umum, Adrian Djuani di Jakarta, menyayangkan keputusan MK tidak melibatkan para notaris dalam pengambilan keputusan.

Dengan lugas kemudian menyatakan “Kami tidak bermaksud menentang atau menolak keputusan MK, kami hanya menyesalkan karena tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut. "Padahal MPD adalah perpanjangan tangan negara (KemenkumHam) dalam rangka pembinaan, pengawasan notaris. Tugas MPD itu melakukan pemeriksaan terhadap seorang notaris terkait pemanggilan oleh penyidik yang meminta keterangan notaris soal akta yang dibuatnya.
Putusan MK yang menghapuskan pasal 66 UU Jabatan Notaris membuat dilema para profesi notaris.

Padahal apabila Notaris dianggap melanggar sumpah jabatan dapat dikenakan sanksi pasal 84 yakni notaris tersebut bisa dituntut oleh klien pembuat akta. Nah dengan adanya Majelis Pengawas Daerah itu nanti akan diseleksi (diuji) sebelum memberikan keterangan ke penyidik.

Tapi menurut INI, masih ada upaya keberatan dengan melakukan direvisi UUJN.

Terlepas berbagai pandangan setelah putusan MK, Notaris tidak usah terlalu panik menghadapi Putusan MK yang menghapuskan “hak istimewa” Notaris. Notaris dapat mempertimbangkan dan menggunakan hak istimewa berupa hak ingkar.

Notaris yang telah diberi kepercayaan untuk menyimpan rahasia mengenai akta otentik yang telah dibuat oleh para pihak dapat menggunakan hak ingkar19.

Dengan demikian, jika ternyata Notaris sebagai saksi atau tersangka, tergugat ataupun dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan memberikan keterangan yang seharusnya wajib dirahasiakan, sedangkan undang-undang tidak memerintahkannya, maka atas pengaduan pihak yang merasa dirugikan kepada pihak yang berwajib dapat diambil atas Notaris tersebut, Notaris seperti ini dapat dikenakan Pasal 322 ayat (1) dan (2) KUHP, yaitu membongkar rahasia, padahal Notaris berkewajiban untuk menyimpannya.

Dalam kedudukan sebagai saksi (dalam perkara perdata), Notaris dapat minta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena jabatannya menurut undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya. Ketentuan ini dapat dilihat didalam Pasal 1909 ayat (3) BW.

Namun merujuk kepada pasal 170 KUHAP, hak ingkar ini dapat dikesampingkan apabila undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan/ pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya. Ketentuan ini dapat dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Notaris dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UU Notaris.

Dengan mempergunakan asas “equality before the law”, maka MK secara konsisten didalam memperlakukan setiap negara dimuka hukum. Putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011 merupakan asas didalam melihat pondasi dan pertimbangan putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012. Sebuah asas yang tunduk sebagaimana telah digariskan oleh konstitusi berdasarkan pasal 28 ayat (1) UUD 1945.

Berpijak kepada putusan MK, maka hak ingkar yang sering diklaim sebagai hak istimewa Notaris tetap diletakkan kepada landasan penting profesi Notaris. Hak ingkar dapat dibenarkan dalam menilai dan termasuk kedalam ruang lingkup kode etik yaitu bersikap, bertingkah laku dan perbuatan notaris yang berhubungan dengan moralitas.

Namun dengan putusan MK nomor 73/PUU-IX/2011, maka posisi Notaris sebagai warga negara dalam proses hukum dalam semua tahapan haruslah diperlakukan sama di hadapan hukum. Selain memberikan kepastian akan asas “before the law', asas ini juga bersandarkan kepada pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

  1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukana, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
  1. Mahkamah Konstitusi telah menyatakan pasal 66 UU Notaris bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian maka pasal 66 ayat (1) UU Notaris tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Asas yang digunakan adalah “equality before the law sebagai dasar sebagai diatur Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
  2. Rumusan pasal 66 UU Notaris yang mengenal hak istimewa “hak ingkar” terhadap profesi Notaris kemudian dihapuskan oleh MK. Namun demikian, hak ingkar dapat dilakukan oleh Notaris sebagai perwujudan sebagai profesi yang diberikan kepercayaan untuk menyimpan rahasia mengenai akte otentik. Notaris dapat mempertimbangkan dan menggunakan hak istimewa berupa hak ingkar. Notaris dapat minta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena jabatannya menurut undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya. Ketentuan ini dapat dilihat didalam Pasal 1909 ayat (3) BW.
    Namun merujuk kepada pasal 170 KUHAP, hak ingkar ini dapat dikesampingkan apabila undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan/ pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya. Ketentuan ini dapat dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Notaris dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UU Notaris.
    Dengan demikian, maka posisi Notaris sebagai warga negara dalam proses hukum dalam semua tahapan haruslah diperlakukan sama di hadapan hukum. Selain memberikan kepastian akan asas “before the law', asas ini juga bersandarkan kepada pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
  1. Saran

Sebagai negara hukum, maka semua peraturan perundang-undangan harus tunduk kepada ikrar negara hukum. Sebagai ikrar negara hukum, maka asas-asas didalam konstitusi yang telah diputuskan oleh MK menjadi pertimbangan sebelum peraturan perundang-undangan


DAFTAR PUSTAKA



BUKU

JATI DIRI NOTARIS INDONESIA DULU, SEKARANG DAN MASA YANG AKAN DATANG, Gramedia, Jakarta, 2008.


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daeah
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
PUTUSAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 49/PUU-X/2012
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 009/PUU-III/2005
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 014/PUU-III/2005
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 73/PUU-IX/2011
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia


Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.702K/Sip/1973


MEDIA MASSA

Hukumonline, 13 September 2005
MANTRA SAKSI UNTUK MEMANGGIL PEJABAT, Musri Nauli, Dimuat di Posmetronline, 13 September 2012.


WEBSITE

www.ikatannotarisindonesia.or.id
www.indonesiarayanews.com
www.musrinauli.blogspot.com



1Jurnal Kenotariatan Universitas Jambi, Jambi, 2014
2Advokat, Tinggal di Jambi
3Sejarah notariat diawali tumbuh di Italia dimulai pada abad ke XI atau XII yang dikenal dengan nama “Latinjse Notariat” yang merupakan tempat asal berkembangnya notariat, tempat ini teletak di Italia Utara. Kemudian meluas ke daerah Perancis dimana notariat ini sepanjang masa jabatannya merupakan suatu pengabdian yang dilakukan kepada masyarakat umum yang kebutuhan dan kegunannya senantiasa mendapat pengakuan dari masyarakat dan dari Negara. Dari Perancis pada frase ke dua perkembangannya pada perumulaan abad ke XIX lembaga notariat ini meluas ke negara lain di dunia termasuk pada nantinya tumbuh dan berkembang di Indonesia. Nama Notariat dengan nama lembaga ini dikenal dimana-mana berasal dari nama pengabdinya yang pertama yakni NOTARIUS yang menandakan satu golongan orang-orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis menulis tertentu. Mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke 17 dengan beradanya “Oost Ind Compagnie” di Indonesia pada tanggal 27 Agustus 1620 diangkat Notaris pertama di Indonesia yaitu Melchior kerchem, sekretaris college van schepenen”. Lihat JATI DIRI NOTARIS INDONESIA DULU, SEKARANG DAN MASA YANG AKAN DATANG, Gramedia, Jakarta, 2008.
4Uji materi ini diajukan seorang direktur perusahaan, Kant Kamal. Pasal yang mengatur persetujuan MPD dalam hal pemeriksaan proses hukum itu dinilai merugikannya lantaran kasus yang dilaporkan melibatkan notaris pernah di-SP3, meski Polda Metro Jaya telah memeriksa saksi-saksi terkait pembuatan akta otentik. Alasannya, tak mendapat persetujuan MPD. Hal ini dianggap menghalangi proses penyidikan, sehingga pemohon tidak mendapatkan keadilan. Kant Kamal yang menganggap pasal 66 ayat (1) UU No 30 Tahun 2004 adalah diskriminasi hukum. Dimana seorang Notaris dibedakan dalam pemeriksaan proses hukum dan harus dilakukan Majelis Pemeriksaan Daerah.
5Judicial review UU Jabatan Notaris dimohonkan oleh sejumlah notaris. Pertama. Nomor Perkara 009/PUU-III/2005, dimohonkan oleh Ketua Umum Persatuan Notaris Reformasi (Pernori) HM Ridwan Indra dan Sekretaris Umum Himpunan Notaris Indonesia (HNI) Teddy Anwar. Pemohon mempersoalkan aturan tentang badan hukum notaries (pasal 1 ayat 5), wadah tunggal notaries (pasal 82 ayat 1), dan pengawasan notaris (pasal 67 ayat 3 huruf b). Mereka juga meminta agar Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (1860) untuk sementara diberlakukan untuk mengisi kekosongan hukum. Permohonan kedua. Nomor Perkara 014/PUU-III/2005, diajukan oleh beberapa orang notaris: Hady Evianto, HM Ilham Pohan, Ukon Krisnajaya, dan Yance Budi SL Tobing. Selain mempersoalkan pasal 82 ayat (1), Hady Evianto dan kawan-kawan juga menginginkan agar pasal 16 ayat (1) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hukumonline, 13 September 2005
6Ikatan Notaris Indonesia (INI) merupakan satu-satunya wadah organisasi bagi segenap Notaris di seluruh Indonesia yang berbentuk Perkumpulan yang berbadan Hukum dari Peraturan Perundang-undangan Hindia Belanda yakni Gouvernements Besluit (Penetapan Pemerintah) tanggal 05 September 1908 Nomor 9 Tentang Keberadaan Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I). INI merupakan wadah perkumpulan/organisasi bagi para notaris. Lihat http://www.ikatannotarisindonesia.or.id
7Pasal 66 Ayat (1) UU Notaris menyatakan,“Untuk kepentingan penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang : (a) mengambil fotokopi Minuta Akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan notaris, dan (b) memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan notaris”.
8Notaris yang dalam pasal 1868 BW, dikenal sebagai Pejabat Umum (Openbare Ambtenaren) dan telah dijabarkan dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2004.
9Kekuatan pembuktian lahiriah yaitu akta itu sendiri mempunyai kekuatan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik, karena kehadirannya, kelahirannya sesuai /ditentukan dengan perundang-undangan yang mengaturnya.
10Kekuatan pembuktian formil yaitu apa yangg dinyatakan dalam akta tersebut adalah benar.
11Kekuatan pembuktian materil bertujuan untuk memberikan kepastian terhadap peristiwa apa yang diterangkan dalam akta itu benar.
12 Yurisprudensi Mahkamah Agung No.702K/Sip/1973
13Rahasia jabatan atas dasar hak ingkar pun (verschoningsrecht) tidak bersifat absolut karena bisa dikesampingkan apabila terdapat kepentingan yang lebih tinggi. Yaitu, supremasi hukum, atas perintah hakim berdasarkan UU (Pasal 170 ayat 1 dan 2 KUHAP). Contohnya, dalam perkara korupsi dan perpajakan, tanpa khawatir dituntut atas dasar Pasal 322 KUHP.

14MANTRA SAKSI UNTUK MEMANGGIL PEJABAT, Musri Nauli, Dimuat di Posmetronline, 13 September 2012.
15Hukumonline.com, 31 Desember 2009.
16Lihat pasal 1320 BW
17Dengan pemikiran perjanjian yang dibuat didepan pejabat yang berwenang.
18http://indonesiarayanews.com/read/2013/05/30/67424/news-nasional-05-30-2013-19-43-ini-sesalkan-keputusan-mk-hapus-hak-istimewa-notaris

19hak ingkar dapat dilakukan dengan batasan sepanjang Notaris diperiksa oleh instansi mana saja yang berupaya untuk meminta pernyataan/ keterangan dari Notaris yang berkaitan dengan akta yang telah atau pernah dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang bersangkutan.