05 April 2014

MEMAHAMI PEMIKIRAN PATRIALIS AKBAR



 
Usai sudah persidangan terhadap Frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. MK sudah menyatakan pasal ini bertentangan dengan konstitusi sehingga dinyatakan tidak memiliki kekuatan hokum yang mengikat.

Terlepas dari putusan ini, ada yang menarik perhatian penulis. Selain melihat pertimbangan hakim, penulis menyoroti pemikiran Hakim Konstitusi Arief Hidayat memiliki alasan berbeda (concurring opinion) dan Pendapat berbeda (DISSENTING OPINION) Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyoroti penempatan Pancasila sebagai pilar berbangsa dan bernegara” dalam ranah konstitusi terutama diatur ditempatkan dengan penggunaan kalimat “pilar berbangsa dan bernegara” memang bermasalah. Selain memang tidak sesuai dengna konstitusi, menempatkan Pancasila sebagai Pilar berbangsa dan bernegara justru mengebiri Pancasila sebagai fundasi konstitusi (staatfundamentalnorm). Pancasila sebagai cita hokum (rechtctide) tidak bias diklasifikasikan dan sejajar dengan UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat justru menyoroti dalam implementasi pada tataran praksis, istilah “empat pilar” ini merupakan metode yang digunakan untuk memudahkan penyebutan dalam sosialisasi nilai-nilai pokok dan fundamental dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sehingga Hakim Konstitusi Arief Hidayat menawarkan terhadap permohonan yang disampaikan dapat diputuskan konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).

Berbeda dengan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar berpendapat bahwa apa yang dimohonkan oleh para Pemohon pada dasarnya bukanlah persoalan konstitusionalitas norma suatu Undang-Undang melainkan implementasi nilai. Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyatakan seharusnya permohonan ini tidak dapat diterima.

Terhadap alasan yang disampaikan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar penulis menghormati. Namun ketika Hakim Konstitusi Patrialis Akbar kemudian menyatakan “tidak dapat diterima”, penulis kemudian kembali membuka catatan-catatan lama. Apakah penulis keliru menangkap pernyataan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ?

Didalam ilmu hokum, putusan dikenal dengan istilah “menerima”, menolak dan tidak dapat diterima.

Permohonan dikabulkan yaitu suatu permohonan adalah dengan syarat bila dalilnya dapat dibuktikan oleh penggugat sesuai alat bukti

Dikabulkannya gugatan ini pun ada yang dikabulkan sebagian, ada yang dikabulkan seluruhnya, ditentukan oleh pertimbangan majelis hakim.

Sedangkan permohonan ditolak apabila penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya, akibat hukum yang harus ditanggungnya atas kegagalan membuktikan dalil gugatannya adalah gugatannya mesti ditolak seluruhnya. Jadi, bila suatu gugatan tidak dapat dibuktikan dalil gugatannya bahwa tergugat patut dihukum karena melanggar hal-hal yang disampaikan dalam gugatan, maka gugatan akan ditolak.  

Sedangkan gugatan tidak dapat diterima apabila bahwa ada berbagai cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan. Dalam konteks ini, maka MK berpendapat, para pemohon tidak dapat menjadi para pihak dalam perkara di MK (tidak mempunyai kapasitas sebagai pemohon). Putusan yang dijatuhkan harus dengan jelas dan tegas mencantumkan dalam amar putusan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard/NO)

Dengan melihat penjelasan yang telah disampaikan, maka kita perhatikan kepada pernyataan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar didalam dissenting opinion.

Setelah memaparkan pemikirannya, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar berpendapat “bahwa apa yang dimohonkan oleh para Pemohon pada dasarnya bukanlah persoalan konstitusionalitas norma suatu Undang-Undang melainkan implementasi nilai.

Melihat argumentasi yang disampaikan oleh Patrialis Akbar, maka dengan tegas
Patrialis Akbar menolak argumentasi dari pemohon. Menggunakan kalimat bahwa apa yang dimohonkan oleh para Pemohon pada dasarnya bukanlah persoalan konstitusionalitas norma suatu Undang-Undang melainkan implementasi nilai” merupakan salah satu syarat permohonan harus ditolak.

Namun menjadi janggal kemudian setelah penjelasan argumentasinya, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar justru menyatakan gugatan tidak dapat diterima.

Penulis kesulitan memahami antara argumentasi yang telah disampaikan dengan pernyataan Patrialis Akbar.

Apakah tidak rancu ?

Apabila Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyatakan “gugatan tidak dapat diterima”, seharusnya hakim Konstitusi Patrialis Akbar menerangkan apa kelemahan dari gugatan pemohon. Patrialis Akbar harus rigid menunjukkan kecacatan didalam gugatan permohonan.

Misalnya pemohon tidak mempunyai kapasitas sebagai pemohon (legal standing), atau peraturan yang dimaksudkan keliru, atau antara fakta-fakta yang disampaikan tidak konsisten dengan yang dimaksudkan (keliru antara posita dan petitum) dan sebagainya.

Padahal sama sekali tidak diterangkan oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.

Pertimbangan yang disampaikan oleh Patrialis Akbar menunjukkan dengna tegas, hakim konstitusi Patrialis Akbar “menolak” argumentasi dari pemohon.

Dengan demikian maka seharusnya hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyatakan “gugatan haruslah ditolak”. Bukan dinyatakan “tidak dapat diterima.

Bagaimana ?


Melihat argumentasi yang telah disampaikan oleh Patrialis Akbar, seharusnya Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyatakan, gugatan haruslah ditolak.
.