Usai sudah persidangan terhadap Frasa “empat
pilar berbangsa dan bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011. MK sudah menyatakan pasal ini bertentangan dengan
konstitusi sehingga dinyatakan tidak memiliki kekuatan hokum yang mengikat.
Terlepas dari
putusan ini, ada yang menarik perhatian penulis. Selain melihat pertimbangan
hakim, penulis menyoroti pemikiran Hakim Konstitusi Arief Hidayat memiliki
alasan berbeda (concurring opinion) dan Pendapat berbeda (DISSENTING
OPINION) Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Hakim Konstitusi
Arief Hidayat menyoroti penempatan Pancasila sebagai pilar berbangsa dan
bernegara” dalam ranah konstitusi terutama diatur ditempatkan dengan penggunaan
kalimat “pilar berbangsa dan bernegara” memang bermasalah. Selain memang tidak
sesuai dengna konstitusi, menempatkan Pancasila sebagai Pilar berbangsa dan
bernegara justru mengebiri Pancasila sebagai fundasi konstitusi (staatfundamentalnorm). Pancasila sebagai
cita hokum (rechtctide) tidak bias
diklasifikasikan dan sejajar dengan UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
Hakim Konstitusi
Arief Hidayat justru menyoroti dalam implementasi pada tataran praksis, istilah
“empat pilar” ini merupakan metode yang digunakan untuk memudahkan penyebutan
dalam sosialisasi nilai-nilai pokok dan fundamental dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sehingga Hakim
Konstitusi Arief Hidayat menawarkan terhadap permohonan yang disampaikan dapat
diputuskan konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).
Berbeda dengan
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar berpendapat bahwa apa yang dimohonkan oleh para Pemohon pada dasarnya bukanlah
persoalan konstitusionalitas norma suatu Undang-Undang melainkan implementasi nilai.
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyatakan seharusnya permohonan ini tidak
dapat diterima.
Terhadap alasan
yang disampaikan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar penulis menghormati. Namun
ketika Hakim Konstitusi Patrialis Akbar kemudian menyatakan “tidak dapat diterima”, penulis kemudian
kembali membuka catatan-catatan lama. Apakah penulis keliru menangkap
pernyataan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ?
Didalam ilmu
hokum, putusan dikenal dengan istilah “menerima”,
menolak dan tidak dapat diterima.
Permohonan
dikabulkan yaitu suatu permohonan adalah dengan syarat bila dalilnya dapat
dibuktikan oleh penggugat sesuai alat bukti
Dikabulkannya
gugatan ini pun ada yang dikabulkan sebagian, ada yang dikabulkan seluruhnya,
ditentukan oleh pertimbangan majelis hakim.
Sedangkan
permohonan ditolak apabila penggugat dianggap tidak berhasil
membuktikan dalil gugatannya, akibat hukum yang harus ditanggungnya atas
kegagalan membuktikan dalil gugatannya adalah gugatannya mesti ditolak
seluruhnya. Jadi, bila suatu gugatan tidak dapat dibuktikan dalil
gugatannya bahwa tergugat patut dihukum karena melanggar hal-hal yang
disampaikan dalam gugatan, maka gugatan akan ditolak.
Sedangkan gugatan
tidak dapat diterima apabila bahwa ada berbagai cacat formil
yang mungkin melekat pada gugatan. Dalam konteks ini, maka MK berpendapat, para
pemohon tidak dapat menjadi para pihak dalam perkara di MK (tidak mempunyai
kapasitas sebagai pemohon). Putusan yang dijatuhkan harus dengan jelas dan
tegas mencantumkan dalam amar putusan “menyatakan
gugatan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijke verklaard/NO)
Dengan
melihat penjelasan yang telah disampaikan, maka kita perhatikan kepada
pernyataan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar didalam dissenting opinion.
Setelah
memaparkan pemikirannya, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar berpendapat “bahwa apa yang dimohonkan oleh para Pemohon
pada dasarnya bukanlah persoalan konstitusionalitas norma suatu Undang-Undang
melainkan implementasi nilai.
Melihat
argumentasi yang disampaikan oleh Patrialis Akbar, maka dengan tegas
Patrialis
Akbar menolak argumentasi dari pemohon. Menggunakan kalimat bahwa apa yang dimohonkan oleh para Pemohon pada
dasarnya bukanlah persoalan konstitusionalitas norma suatu Undang-Undang
melainkan implementasi nilai” merupakan salah satu syarat permohonan harus
ditolak.
Namun menjadi
janggal kemudian setelah penjelasan argumentasinya, Hakim Konstitusi Patrialis
Akbar justru menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
Penulis kesulitan
memahami antara argumentasi yang telah disampaikan dengan pernyataan Patrialis
Akbar.
Apakah tidak
rancu ?
Apabila Hakim
Konstitusi Patrialis Akbar menyatakan “gugatan
tidak dapat diterima”, seharusnya hakim Konstitusi Patrialis Akbar
menerangkan apa kelemahan dari gugatan pemohon. Patrialis Akbar harus rigid menunjukkan kecacatan didalam
gugatan permohonan.
Misalnya pemohon
tidak mempunyai kapasitas sebagai pemohon (legal
standing), atau peraturan yang dimaksudkan keliru, atau antara fakta-fakta
yang disampaikan tidak konsisten dengan yang dimaksudkan (keliru antara posita
dan petitum) dan sebagainya.
Padahal sama
sekali tidak diterangkan oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Pertimbangan yang
disampaikan oleh Patrialis Akbar menunjukkan dengna tegas, hakim konstitusi
Patrialis Akbar “menolak” argumentasi
dari pemohon.
Dengan demikian
maka seharusnya hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyatakan “gugatan haruslah ditolak”. Bukan
dinyatakan “tidak dapat diterima.
Bagaimana ?
Melihat
argumentasi yang telah disampaikan oleh Patrialis Akbar, seharusnya Hakim
Konstitusi Patrialis Akbar menyatakan, gugatan haruslah ditolak.
.