14 Mei 2014

opini musri nauli : MAKNA SIMBOLIK KEDATANGAN JOKOWI


Hari senin, 12 Mei 2014, Joko Widodo (Jokowi) datang ke Kantor Eksekutif Nasional Walhi di Tegal Parang, Jakarta Selatan. Kedatangan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta “bertamu” ke Walhi merupakan rangkaian panjang perjalanan Jokowi setelah sebelumnya mendatangi YLBHI, SPI dan AMAN.

Walaupun kedatangan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta, namun kedatangan Jokowi ke kantor Eknas Walhi tidak bisa dipisahkan dengan “makna” politik Jokowi sebagai kandidate Capres 2014. Makna simbolik kedatangan Jokowi membuat “tafsiran” yang bisa menjauhkan dari substansi kedatangan Jokowi itu sendiri.
Terlepas dari berbagai makna politik kedatangan Jokowi, message penting yang hendak disampaikan merupakan substansi yang “arasnya” tetap dijaga. Sehingga kedatangan Jokowi tidak bisa hanya “sekedar' entertainmant yang bisa mengganggu agenda Lingkungan itu sendiri.

Membicarakan Walhi tidak bisa dipisahkan dari keberadaan organisasi advokasi lingkungan hidup terbesar di Indonesia. Walhi mempunyai 28 Eksekutif daerah di 28 Propinsi dengan anggotanya 470 lebih anggota tersebar di Indonesia. Mulai dari Aceh hingga Papua. Praktis Walhi belum berdiri di Propinsi yang relatif baru atau Propinsi pemekaran seperti Kepulauan Riau, Banten, Gorontalo, Papua Barat, Kalimantan Utara.

Dengan rentang kendali yang mudah menjangkau setiap propinsi, Walhi kemudian dapat mengidentifikasi berbagai problem lingkungan akibat kebijakan negara didalam mengurusi lingkungan.
Mulai dari issu perkotaan seperti sampah, limbah, pemakaian barang bekas hingga ke issu-issu industri yang menghancurkan lingkungan. Baik issu pesisir, hutan, tambang, sawit maupun industri-industri ekstraktif.

Ada tiga periode penghancuran hutan. Pertama. Di sektor kehutanan dengan pemberian konsesi HPH. Kemudian dilanjutkan dengna pemberian konsesi industri pulp and paper. Ketiga. Pemberian konsesi perkebunan. (Rikardo Simarmata, Kapitalisme Perkebunan).

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Internasional tahun 2005 mengatakan bahwa perusakan hutan Indonesia selama 2000-2005 sama dengan 1.87 juta hektar setiap tahun, seluas 51 kilometer setiap hari, atau sebanding luas 300 lapangan sepak bola setiap jam. Dengan angka seperti itu, Indonesia masuk The Guiness Book of World Record sebagai negara tercepat merusak hutan. Angka ini terus menerus naik dalam pemerintahan SBY periode 2009 – 2014.

Sampai dengan kuartal ketiga 2011 terdapat 244 unit izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) Hutan tanaman industry (HTI) seluas 9,9 juta hektare

Perusakan hutan kemudian dialihkan untuk membangun industri monokultur sawit. Data-data dari berbagai sumber menyebutkan jumlah perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia sekitar 13,5 juta hektare. Angka ini melebihi angka dan data Kementerian Pertanian per Desember 2012 yang mencatat total luas perkebunan sawit Indonesia sebesar 9,27 juta hektare.

Perusakan hutan juga menyebabkan kebakaran hutan. Titik api di hutan Riau, yang semula hanya 70 titik, bertambah menjadi 1.234 titik dengan luas sekitar 1.200 hektare lahan. Kabut asap tahun 2012 telah “mengekspor” asap ke Singapura dan Malaysia. Padahal asap disebabkan pembukaan hutan di Riau dan di Jambi.

Belum selesai mendiskusikan persoalan kehutanan, ancaman massif tambang terus datang. JATAM sendiri melansir pada tahun perhitungan 2011 saja, ada 1099 unit izin pinjam pakai kawasan hutan dengan total luas 2.264.877,41 hektar. Konsesi tambang bahkan melebih Pulau Kalimantan. Sekedar diketahui, luas Pulau Kalimantan sendiri mencapai 539.460 km persegi.

Siti Maimunah dari Jatam menyebutkan “Tambang adalah kegiatan rakus lahan,alat-alat negara dimobilisasi untuk pembebasan lahan. Penggusuran lahan, pengusiran hingga “relokasi” terjadi hampir di semua lokasi tambang.

Namun didalam melakukan upaya pemenuhan perbaikan lingkungan, disadari kemudian selain pembangunan yang tidak memperhatikan dampak lingkungan, persoalan lingkungan disebabkan berbagai kebijakan negara yang mengabaikan lingkungan. Kesadaran itu tumbuh dan senantiasa berkembang selain memang akumulasi berbagai persoalan yang belum diselesaikan, kecendrungan merusak lingkungan terus menerus terjadi. Semakin massif.

Kesadaran itulah yang membuat disatu sisi berbagai kebijakan mendapatkan perlawanan dari masyarakat korban. Akibatnya timbul di berbagai daerah. KPA menyebutkan bahwa dalam kurung waktu tahun 1970 sampai tahun 2000 terdapat 1.753 konflik agraria yang mencakup 10.892.203 hektar luas areal sengketa di 16 provinsi di seluruh Indonesia.

Sementara Walhi sendiri melansirkan data, Dalam tahun 2010 saja, konflik yang berkaitan dengan sumber daya alam mencapai 200 lebih konflik. Konflik ini terus menaik setiap tahun.

Akumulasi berbagai konflik yang belum diselesaikan dan timbulnya konflik yang terjadi setiap tahun membuat persoalan lingkungan menjadi rumit. Penyelesaian berbagai konflik bermuara kepada kepentingan investasi sehingga mengganggu upaya resolusi konflik itu sendiri.

Walhi terus mencatat sehingga praktis membangun kesadaran untuk melakukan perbaikan juga di kebijakan. Sementara disisi lain membangun kesadaran dan meminta terus menerus meminta pertanggungjawaban negara untuk memastikan hak “lingkungan yang baik dan sehat” sebagai amanat konstitusi dan dirumuskan didalam berbagai UU.

Namun ruang itu tidak cukup. Melihat kebijakan negara yang cenderung pragmatis, mengobral potensi sumber daya alam, rakus industri, inefisiensi mengakibatkan berbagai persoalan akut tidak semata-mata berakibat konflik. Hulu persoalan sektor sumber daya alam juga disadari. Berbagai UU sektoral SDA baik dimulai “salah makna” pasal 33 UUD 1945, UU PMA, maupun UU sektoral (UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Air, UU Tambang, UU Pesisir). Ruang itu tidak cukup dengan “melihat konflik”. Ruang itu harus dibenahi dari hulu sehingga praktis meminimalisir potensi konflik yang terjadi di hilir.

Walhi kemudian melakukan perlawanan melalui gugatan dan menggagas “hak uji organisasi (legal standing)” yang kemudian menjadi yurisprudensi MA dan kemudian diadopsi di berbagai UU.

Selain itu Walhi bersama-sama dengan berbagai jaringan mendorong upaya penyelesaian konflik (resolusi konflik). Baik yang sudah diatur melalui mekanisme ADR (alternatif dispute resolution) maupun berbagai perangkat peraturan (Komnas HAM, BPN) dan resolusi konflik.

Dari ruang inilah kemudian posisi masyarakat korban “menemukan” ruang sehingga korban dapat diminimalisir dalam jangka pendek.

Pengalaman kasus Mesuji dengan menggagas “kaukus” Sumber daya alam di parlemen dan Satgas SDA di pemerintahan memberikan pelajaran berharga bagi semua pihak. Upaya minimal yang telah dilakukan tidak cukup hanya bersandarkan kepada “kaukus” ataupun satgas semata.

Namun dalam jangka panjang, upaya ini terus menerus dibenahi dan tidak boleh berhenti. Pembentukan sebuah Badan yang mempunyai tanggung jawab membenahi persoalan akut harus terus dilakukan. Persoalan tumpah tindih lahan, tumpang tindih kewenangan, ego sektoral, keangkuhan investasi tidak cukup diselesaikan dengan “membenahi” peraturan. Harus diselesaikan melalui mekanisme yang kuat dari seorang Presiden (goodwill) yang kuat, konsisten dan tidak mudah menyerah.

Pengalaman panjang Walhi telah mengajarkan. Berbagai perangkat peraturan atau berbagai lembaga tidak mampu menyelesaikannya. Harus dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dari kemauan yang teguh dari Presiden.

Dan makna itu yang harus ditangkap dengan kedatangan Jokowi ke Walhi. Jokowi sepakat dengan agenda mengusung Badan khusus penyelesaian konflik agraria. Dan tentu saja makna simbolik Jokowi ke Walhi merupakan muara dari harapan masyarakat korban konflik agraria.



Direktur Walhi Jambi
Tulisan merupakan pendapat pribadi