Hari
senin, 12 Mei 2014, Joko Widodo (Jokowi) datang ke Kantor Eksekutif
Nasional Walhi di Tegal Parang, Jakarta Selatan. Kedatangan Jokowi
sebagai Gubernur DKI Jakarta “bertamu” ke Walhi merupakan
rangkaian panjang perjalanan Jokowi setelah sebelumnya mendatangi
YLBHI, SPI dan AMAN.
Walaupun
kedatangan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta, namun kedatangan
Jokowi ke kantor Eknas Walhi tidak bisa dipisahkan dengan “makna”
politik Jokowi sebagai kandidate Capres 2014. Makna simbolik
kedatangan Jokowi membuat “tafsiran” yang bisa menjauhkan dari
substansi kedatangan Jokowi itu sendiri.
Terlepas
dari berbagai makna politik kedatangan Jokowi, message penting yang
hendak disampaikan merupakan substansi yang “arasnya” tetap
dijaga. Sehingga kedatangan Jokowi tidak bisa hanya “sekedar'
entertainmant yang bisa mengganggu agenda Lingkungan itu sendiri.
Membicarakan
Walhi tidak bisa dipisahkan dari keberadaan organisasi advokasi
lingkungan hidup terbesar di Indonesia. Walhi mempunyai 28 Eksekutif
daerah di 28 Propinsi dengan anggotanya 470 lebih anggota tersebar di
Indonesia. Mulai dari Aceh hingga Papua. Praktis Walhi belum berdiri
di Propinsi yang relatif baru atau Propinsi pemekaran seperti
Kepulauan Riau, Banten, Gorontalo, Papua Barat, Kalimantan Utara.
Dengan
rentang kendali yang mudah menjangkau setiap propinsi, Walhi kemudian
dapat mengidentifikasi berbagai problem lingkungan akibat kebijakan
negara didalam mengurusi lingkungan.
Mulai
dari issu perkotaan seperti sampah, limbah, pemakaian barang bekas
hingga ke issu-issu industri yang menghancurkan lingkungan. Baik issu
pesisir, hutan, tambang, sawit maupun industri-industri ekstraktif.
Ada
tiga periode penghancuran hutan. Pertama. Di sektor kehutanan dengan
pemberian konsesi HPH. Kemudian dilanjutkan dengna pemberian konsesi
industri pulp and paper. Ketiga. Pemberian konsesi perkebunan.
(Rikardo Simarmata, Kapitalisme Perkebunan).
Menurut
Organisasi Pangan dan Pertanian Internasional tahun 2005 mengatakan
bahwa perusakan hutan Indonesia selama 2000-2005 sama dengan 1.87
juta hektar setiap tahun, seluas 51 kilometer setiap hari, atau
sebanding luas 300 lapangan sepak bola setiap jam. Dengan angka
seperti itu, Indonesia masuk The Guiness Book of World Record sebagai
negara tercepat merusak hutan. Angka ini terus menerus naik dalam
pemerintahan SBY periode 2009 – 2014.
Sampai
dengan kuartal ketiga 2011 terdapat 244 unit izin usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu (IUPHHK) Hutan tanaman industry (HTI) seluas 9,9
juta hektare
Perusakan
hutan kemudian dialihkan untuk membangun industri monokultur sawit.
Data-data dari berbagai sumber menyebutkan jumlah perkebunan kelapa
sawit yang ada di Indonesia sekitar 13,5 juta hektare. Angka ini
melebihi angka dan data Kementerian Pertanian per Desember 2012 yang
mencatat total luas perkebunan sawit Indonesia sebesar 9,27 juta
hektare.
Perusakan
hutan juga menyebabkan kebakaran hutan. Titik api di hutan Riau, yang
semula hanya 70 titik, bertambah menjadi 1.234 titik dengan luas
sekitar 1.200 hektare lahan. Kabut asap tahun 2012 telah “mengekspor”
asap ke Singapura dan Malaysia. Padahal asap disebabkan pembukaan
hutan di Riau dan di Jambi.
Belum
selesai mendiskusikan persoalan kehutanan, ancaman massif tambang
terus datang. JATAM sendiri melansir pada tahun perhitungan 2011
saja, ada 1099 unit izin pinjam pakai kawasan hutan dengan total luas
2.264.877,41 hektar. Konsesi tambang bahkan melebih Pulau Kalimantan.
Sekedar diketahui, luas Pulau Kalimantan sendiri mencapai 539.460 km
persegi.
Siti
Maimunah dari Jatam menyebutkan “Tambang adalah kegiatan rakus
lahan,alat-alat negara dimobilisasi untuk pembebasan lahan.
Penggusuran lahan, pengusiran hingga “relokasi” terjadi hampir di
semua lokasi tambang.
Namun
didalam melakukan upaya pemenuhan perbaikan lingkungan, disadari
kemudian selain pembangunan yang tidak memperhatikan dampak
lingkungan, persoalan lingkungan disebabkan berbagai kebijakan negara
yang mengabaikan lingkungan. Kesadaran itu tumbuh dan senantiasa
berkembang selain memang akumulasi berbagai persoalan yang belum
diselesaikan, kecendrungan merusak lingkungan terus menerus terjadi.
Semakin massif.
Kesadaran
itulah yang membuat disatu sisi berbagai kebijakan mendapatkan
perlawanan dari masyarakat korban. Akibatnya timbul di berbagai
daerah. KPA menyebutkan bahwa dalam kurung waktu tahun 1970 sampai
tahun 2000 terdapat 1.753 konflik agraria yang mencakup 10.892.203
hektar luas areal sengketa di 16 provinsi di seluruh Indonesia.
Sementara
Walhi sendiri melansirkan data, Dalam tahun 2010 saja, konflik yang
berkaitan dengan sumber daya alam mencapai 200 lebih konflik. Konflik
ini terus menaik setiap tahun.
Akumulasi
berbagai konflik yang belum diselesaikan dan timbulnya konflik yang
terjadi setiap tahun membuat persoalan lingkungan menjadi rumit.
Penyelesaian berbagai konflik bermuara kepada kepentingan investasi
sehingga mengganggu upaya resolusi konflik itu sendiri.
Walhi
terus mencatat sehingga praktis membangun kesadaran untuk melakukan
perbaikan juga di kebijakan. Sementara disisi lain membangun
kesadaran dan meminta terus menerus meminta pertanggungjawaban negara
untuk memastikan hak “lingkungan yang baik dan sehat” sebagai
amanat konstitusi dan dirumuskan didalam berbagai UU.
Namun
ruang itu tidak cukup. Melihat kebijakan negara yang cenderung
pragmatis, mengobral potensi sumber daya alam, rakus industri,
inefisiensi mengakibatkan berbagai persoalan akut tidak semata-mata
berakibat konflik. Hulu persoalan sektor sumber daya alam juga
disadari. Berbagai UU sektoral SDA baik dimulai “salah makna”
pasal 33 UUD 1945, UU PMA, maupun UU sektoral (UU Kehutanan, UU
Perkebunan, UU Air, UU Tambang, UU Pesisir). Ruang itu tidak cukup
dengan “melihat konflik”. Ruang itu harus dibenahi dari hulu
sehingga praktis meminimalisir potensi konflik yang terjadi di hilir.
Walhi
kemudian melakukan perlawanan melalui gugatan dan menggagas “hak
uji organisasi (legal standing)” yang kemudian menjadi
yurisprudensi MA dan kemudian diadopsi di berbagai UU.
Selain
itu Walhi bersama-sama dengan berbagai jaringan mendorong upaya
penyelesaian konflik (resolusi konflik). Baik yang sudah diatur
melalui mekanisme ADR (alternatif dispute resolution) maupun berbagai
perangkat peraturan (Komnas HAM, BPN) dan resolusi konflik.
Dari
ruang inilah kemudian posisi masyarakat korban “menemukan” ruang
sehingga korban dapat diminimalisir dalam jangka pendek.
Pengalaman
kasus Mesuji dengan menggagas “kaukus” Sumber daya alam di
parlemen dan Satgas SDA di pemerintahan memberikan pelajaran berharga
bagi semua pihak. Upaya minimal yang telah dilakukan tidak cukup
hanya bersandarkan kepada “kaukus” ataupun satgas semata.
Namun
dalam jangka panjang, upaya ini terus menerus dibenahi dan tidak
boleh berhenti. Pembentukan sebuah Badan yang mempunyai tanggung
jawab membenahi persoalan akut harus terus dilakukan. Persoalan
tumpah tindih lahan, tumpang tindih kewenangan, ego sektoral,
keangkuhan investasi tidak cukup diselesaikan dengan “membenahi”
peraturan. Harus diselesaikan melalui mekanisme yang kuat dari
seorang Presiden (goodwill) yang kuat, konsisten dan tidak mudah
menyerah.
Pengalaman
panjang Walhi telah mengajarkan. Berbagai perangkat peraturan atau
berbagai lembaga tidak mampu menyelesaikannya. Harus dibutuhkan
kepemimpinan yang kuat dari kemauan yang teguh dari Presiden.
Dan
makna itu yang harus ditangkap dengan kedatangan Jokowi ke Walhi.
Jokowi sepakat dengan agenda mengusung Badan khusus penyelesaian
konflik agraria. Dan tentu saja makna simbolik Jokowi ke Walhi
merupakan muara dari harapan masyarakat korban konflik agraria.
Baca : Menjaring Sang Perusak Hutan
Direktur
Walhi Jambi
Tulisan
merupakan pendapat pribadi