Hari ini tanggal 21 Mei 2014.
Ingatan kolektif kita dihitung mundur Enam Belas tahun yang lalu. Ya. 16 tahun
yang lalu merupakan peristiwa penting didalam Ke-Indonesiaan. Mundurnya
Presiden Soeharto (lengser keprabon) menanda peristiwa titik balik
jatuhnya orde baru. Harapan kemudian ditumpukan kepada masa orde reformasi.
Soeharto meninggalkan berbagai
persoalan kebangsaan. KKN merajalela. Sumber daya alam merusak. Nepotisme
menguasai berbagai sektor. Kekerasan dijadikan senjata oleh negara terhadap
mereka yang kritis. Hukum “hanya” menindas dan cenderung digunakan
sebagai alat kekuasaan. DPR tumpul. Pers dibatasi. Kebebasan organisasi diatur.
Partai-partai politik cuma jadi sandiwara menjelang pemilu. Kampus cuma jadi
menara gading dan cuma mengajarkan pelajaran yang sudah ditentukan Pemerintah.
Pokoknya zaman itu “seakan-akan”
dihinggapi ketakutan. Praktis tidak ada suara yang kritis.
Entah berapa orang yang harus “merasakan”
penjara ketika berhadapan dengan negara. Entah dengan alasan perbedaan politik,
menyampaikan suara kritis, tidak lapor kepada pihak keamanan mengadakan acara.
Pokoknya “Tidak ada pedoman” yang pasti. Yang pasti tergantung “mood”
penguasa. Tergantung bahasa tubuh penguasa.
Dari sanalah, momentum “lengser
keprabon” Soeharto merupakan pemenuhan “dahaga” kerinduan artinya
kebebasan. Arti manusia yang merdeka.
Kitapun kemudian berterima kasih
kepada mahasiswa yang gigih berjuang mengangkat poster, berhujan panas demo,
dihajar peluru mortir, diterjang pasukan kekar dengan dalih “demi stabilitas”.
Kita juga berterima kasih kepada
aktivis yang rela masuk kampung keluar kampung, membawa poster, spidol ataupun
cuma kertas karton. Merekalah yang terus menerus membangkitkan semangat
perubahan dan terus mengumandangkan reformasi.
Ya. Kemudian kata-kata itu
seakan-akan mantra. Yang bisa menggerakkan orang sehingga bersama-sama
melakukan perubahan.
Namun memasuki waktu pasca “lengser
keprabon” Soeharto, Indonesia kemudian gagap. Indonesia belum mendesain
arah politik yang berdaulat, ekonomi yang mandiri dan budaya yang bermartabat.
Indonesia kemudian “seakan-akan”
mengikuti arah politik internasional tanpa bisa mempengaruhi. Ekonomi yang cuma
dikuasai segelintir orang. Kebudayaan yang menjauhkan dari nilai-nilai ke
Indonesiaan. Kemudian kita memasuki lorong yang gelap. Dan kita “seakan-akan”
menyesali peristiwa reformasi yang diikuti lengser keprabon Soeharto.
Kita kemudian menyaksikan
masuknya penumpang gelap. Yang cepat berganti baju menyesuaikan diri. Mereka
yang dulunya menyaksikan demonstrasi di balik televisi makan cemilan sambil
ketawa cekikikan melihat mahasiswa “diterjang” panser kemudian berteriak
lantang meneriakkan kata “reformasi”. Mereka fasih berbicara atas
nama rakyat.
Issu otonomi kemudian bergeser
dan menimbulkan “raja-raja kecil”. Sumber daya alam semakin dikeruk.
Ekonomi hanya berganti orang. Hanya berganti sistem. Tidak memberikan dampak
yang langsung dirasakan orang banyak.
Pendidikan kemudian menjadi
barang yang mahal. Kesehatan hanya milik orang kaya.
Dari lorong waktu gelap itulah
kita dengan dada sesak terus menyaksikan, para sutradara dan aktor yang terus
berganti. Mereka membangun kerajaan baru. Kerajaan bisnis dan kemudian merambah
ke politik. Atau dengan diagonal terbalik. Menguasai politik kemudian merampas
ekonomi.
Tapi putaran zaman terus
bergulir. Suara hati jernih mahasiswa dan rakyat yang tertindas orde baru terus
bersuara. Pelan tapi pasti roda terus berputar.
Satu persatu penumpang gelap yang
merampas waktu reformasi jatuh berguguran. Entah tersangkut kasus korupsi.
Entah tersangkut dalam persoalan lain.
Pelan tapi pasti roda itu terus
berputar.
Suara kejujuran tidak bisa
ditutupi. Suara bening kejujuran tidak bisa dibendung. Suara itu terus menerus
mengisi ruang publik. Terus. Pelan. Satu langkah terus berjalan.
Pemilu 1999, pemilu 2004 pemilu
2009 menampakkan arah yang menuju ke-Indonesiaan. Terlepas dari
kelebihan dan kekurangan, partai-partai yang mendengarkan suara rakyat yang
akan bertahan. Sementara partai-partai yang sibuk mengurusi “kelakuan”
para pengurusnya, tersangkut kasus korupsi ataupun terjebak dengan figur
kemudian “dihukum” oleh rakyat. Mereka kemudian menjadi penonton.
Suasana itulah dirasakan mulai
bergesernya bandul di pucuk pimpinan. Sudah banyak kepala Daerah yang
dilahirkan dalam masa reformasi. Sudah banyak pimpinan partai yang direbut kaum
muda. Sudah banyak posisi penting di pemerintahan mulai diisi kaum muda.
Dan puncaknya dengan didaftarkan
Jokowi sebagai calon Presiden 2014. Suasana pemilihan Presiden menjadi milik
kaum muda. Suasana “magis” kursi kepresidenan buyar dengan gaya anak
muda. Tidak suka protokoler. Berpakaian santai. Baju kedodoran. Cuek.
Yang santai memperbaiki
microphone yang terlalu rendah. Yang celingak-celinguk dipanggil.
Yang mendaftar dengan sepeda
onthel. Yang berdesak-desakkan ketika datang ke KPU. Persis suasana orang mau
nonton sepakbola.
Yang meladeni wartawan
cengengesan. Yang hobby nonton konser metal. Yang rela berjibun di konser
Metalica.
Suka nongkrong dipasar. Suka
datang tanpa kasih aba-aba. Suka nyelonong. Suka sidak. Sering begurau dengan
wartawan.
Suasana itulah membuat suasana
deklarasi Presiden milik anak muda.
Ya. bandul kekuasaan sudah harus
dimiliki kaum muda. Sudah harus direbut kaum muda.
Meminjam istilah Sulthan
Hamengkubowo IX, “istana milik rakyat'. Maka Presiden harus milik
kita semua. Milik anak muda.
Suasana magis deklarasi
Presiden menjadi suasana milik anak muda. Magis Presiden untuk
rakyat. Kekuasaan Presiden dicurahkan untuk “memastikan” hak rakyat.
Memastikan pendidikan dan kesehatan menjadi tanggungjawab negara. Memastikan
sumber daya alam tidak dikeruk ke luar negeri.
Mengembalikan ekonomi yang
mandiri. Memastikan Indonesia dalam
kancah internasional sebagai bangsa yang bermartabat dan dihormati.
Mengembalikan identitas budaya
nasional yang khas.
Ya. Magis Presiden harus
ditularkan menjadi energi yang menggerakkan seluruh potensi rakyat untuk
melawan musuh utama masyarakat. Kemiskinan dan korupsi.
Dengan daya magis Presiden kita
mampu melewati berbagai problema kebangsaan yang terancam terkoyak-koyak.
Ancaman disintegrasi. Ancaman perpecahan. Ancaman permusuhan karena perbedaan
politik, agama dan rasial.
Kita mampu melewatinya.
Dengan daya magis Presiden kita
kemudian bisa bercerita kepada anak cucu kita. Ya. Kita pernah menawarkan
perjalanan perubahan. Dan kita bisa mengantarkan anak muda menggapai mimpi
tertinggi. Menjadi Presiden.
Dengan bangga kita kemudian
bercerita. Daya magis Presidenlah yang memberikan energi kita untuk
terus menatap Indonesia lebih baik.
Baca :