20 Mei 2014

opini musri nauli : 21 MEI 16 TAHUN YANG LALU


Hari ini tanggal 21 Mei 2014. Ingatan kolektif kita dihitung mundur Enam Belas tahun yang lalu. Ya. 16 tahun yang lalu merupakan peristiwa penting didalam Ke-Indonesiaan. Mundurnya Presiden Soeharto (lengser keprabon) menanda peristiwa titik balik jatuhnya orde baru. Harapan kemudian ditumpukan kepada masa orde reformasi.

Soeharto meninggalkan berbagai persoalan kebangsaan. KKN merajalela. Sumber daya alam merusak. Nepotisme menguasai berbagai sektor. Kekerasan dijadikan senjata oleh negara terhadap mereka yang kritis. Hukum “hanya” menindas dan cenderung digunakan sebagai alat kekuasaan. DPR tumpul. Pers dibatasi. Kebebasan organisasi diatur. Partai-partai politik cuma jadi sandiwara menjelang pemilu. Kampus cuma jadi menara gading dan cuma mengajarkan pelajaran yang sudah ditentukan Pemerintah.
Pokoknya zaman itu “seakan-akan” dihinggapi ketakutan. Praktis tidak ada suara yang kritis.

Entah berapa orang yang harus “merasakan” penjara ketika berhadapan dengan negara. Entah dengan alasan perbedaan politik, menyampaikan suara kritis, tidak lapor kepada pihak keamanan mengadakan acara. Pokoknya “Tidak ada pedoman” yang pasti. Yang pasti tergantung “mood” penguasa. Tergantung bahasa tubuh penguasa.

Dari sanalah, momentum “lengser keprabon” Soeharto merupakan pemenuhan “dahaga” kerinduan artinya kebebasan. Arti manusia yang merdeka.

Kitapun kemudian berterima kasih kepada mahasiswa yang gigih berjuang mengangkat poster, berhujan panas demo, dihajar peluru mortir, diterjang pasukan kekar dengan dalih “demi stabilitas”.

Kita juga berterima kasih kepada aktivis yang rela masuk kampung keluar kampung, membawa poster, spidol ataupun cuma kertas karton. Merekalah yang terus menerus membangkitkan semangat perubahan dan terus mengumandangkan reformasi.

Ya. Kemudian kata-kata itu seakan-akan mantra. Yang bisa menggerakkan orang sehingga bersama-sama melakukan perubahan.

Namun memasuki waktu pasca “lengser keprabon” Soeharto, Indonesia kemudian gagap. Indonesia belum mendesain arah politik yang berdaulat, ekonomi yang mandiri dan budaya yang bermartabat.

Indonesia kemudian “seakan-akan” mengikuti arah politik internasional tanpa bisa mempengaruhi. Ekonomi yang cuma dikuasai segelintir orang. Kebudayaan yang menjauhkan dari nilai-nilai ke Indonesiaan. Kemudian kita memasuki lorong yang gelap. Dan kita “seakan-akan” menyesali peristiwa reformasi yang diikuti lengser keprabon Soeharto.

Kita kemudian menyaksikan masuknya penumpang gelap. Yang cepat berganti baju menyesuaikan diri. Mereka yang dulunya menyaksikan demonstrasi di balik televisi makan cemilan sambil ketawa cekikikan melihat mahasiswa “diterjang” panser kemudian berteriak lantang meneriakkan kata “reformasi”. Mereka fasih berbicara atas nama rakyat.

Issu otonomi kemudian bergeser dan menimbulkan “raja-raja kecil”. Sumber daya alam semakin dikeruk. Ekonomi hanya berganti orang. Hanya berganti sistem. Tidak memberikan dampak yang langsung dirasakan orang banyak.

Pendidikan kemudian menjadi barang yang mahal. Kesehatan hanya milik orang kaya.

Dari lorong waktu gelap itulah kita dengan dada sesak terus menyaksikan, para sutradara dan aktor yang terus berganti. Mereka membangun kerajaan baru. Kerajaan bisnis dan kemudian merambah ke politik. Atau dengan diagonal terbalik. Menguasai politik kemudian merampas ekonomi.

Tapi putaran zaman terus bergulir. Suara hati jernih mahasiswa dan rakyat yang tertindas orde baru terus bersuara. Pelan tapi pasti roda terus berputar.

Satu persatu penumpang gelap yang merampas waktu reformasi jatuh berguguran. Entah tersangkut kasus korupsi. Entah tersangkut dalam persoalan lain.

Pelan tapi pasti roda itu terus berputar.

Suara kejujuran tidak bisa ditutupi. Suara bening kejujuran tidak bisa dibendung. Suara itu terus menerus mengisi ruang publik. Terus. Pelan. Satu langkah terus berjalan.

Pemilu 1999, pemilu 2004 pemilu 2009 menampakkan arah yang menuju ke-Indonesiaan. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan, partai-partai yang mendengarkan suara rakyat yang akan bertahan. Sementara partai-partai yang sibuk mengurusi “kelakuan” para pengurusnya, tersangkut kasus korupsi ataupun terjebak dengan figur kemudian “dihukum” oleh rakyat. Mereka kemudian menjadi penonton.

Suasana itulah dirasakan mulai bergesernya bandul di pucuk pimpinan. Sudah banyak kepala Daerah yang dilahirkan dalam masa reformasi. Sudah banyak pimpinan partai yang direbut kaum muda. Sudah banyak posisi penting di pemerintahan mulai diisi kaum muda.

Dan puncaknya dengan didaftarkan Jokowi sebagai calon Presiden 2014. Suasana pemilihan Presiden menjadi milik kaum muda. Suasana “magis” kursi kepresidenan buyar dengan gaya anak muda. Tidak suka protokoler. Berpakaian santai. Baju kedodoran. Cuek.

Yang santai memperbaiki microphone yang terlalu rendah. Yang celingak-celinguk dipanggil.

Yang mendaftar dengan sepeda onthel. Yang berdesak-desakkan ketika datang ke KPU. Persis suasana orang mau nonton sepakbola.

Yang meladeni wartawan cengengesan. Yang hobby nonton konser metal. Yang rela berjibun di konser Metalica.

Suka nongkrong dipasar. Suka datang tanpa kasih aba-aba. Suka nyelonong. Suka sidak. Sering begurau dengan wartawan.

Suasana itulah membuat suasana deklarasi Presiden milik anak muda.

Ya. bandul kekuasaan sudah harus dimiliki kaum muda. Sudah harus direbut kaum muda.

Meminjam istilah Sulthan Hamengkubowo IX, “istana milik rakyat'. Maka Presiden harus milik kita semua. Milik anak muda.

Suasana magis deklarasi Presiden menjadi suasana milik anak muda. Magis Presiden untuk rakyat. Kekuasaan Presiden dicurahkan untuk “memastikan” hak rakyat. Memastikan pendidikan dan kesehatan menjadi tanggungjawab negara. Memastikan sumber daya alam tidak dikeruk ke luar negeri.

Mengembalikan ekonomi yang mandiri. Memastikan  Indonesia dalam kancah internasional sebagai bangsa yang bermartabat dan dihormati.

Mengembalikan identitas budaya nasional yang khas.

Ya. Magis Presiden harus ditularkan menjadi energi yang menggerakkan seluruh potensi rakyat untuk melawan musuh utama masyarakat. Kemiskinan dan korupsi.

Dengan daya magis Presiden kita mampu melewati berbagai problema kebangsaan yang terancam terkoyak-koyak. Ancaman disintegrasi. Ancaman perpecahan. Ancaman permusuhan karena perbedaan politik, agama dan rasial.

Kita mampu melewatinya.

Dengan daya magis Presiden kita kemudian bisa bercerita kepada anak cucu kita. Ya. Kita pernah menawarkan perjalanan perubahan. Dan kita bisa mengantarkan anak muda menggapai mimpi tertinggi. Menjadi Presiden.

Dengan bangga kita kemudian bercerita. Daya magis Presidenlah yang memberikan energi kita untuk terus menatap Indonesia lebih baik.

Baca : 

Jokowi, Adian Napitupulu dan Ahok